Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya.
"Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa.
Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri!
Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka?
Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis. Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir.
Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim.
Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat!
Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok.
Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya.
Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
"Kejahatan yang dilakukan terhadap
seorang tak berdosa
akan berbalik menimpa si dungu
yang melakukannya,
bagaikan menebarkan debu
melawan arah angin
yang akan menimpa dirinya sendiri!"
Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
"Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan!
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa
engkau akan mencapai sorga, alam para Ariya!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!"
Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak.
"Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!"
Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata,
"Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut,
"Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan.
"Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya.
"Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk.
"Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis. Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya.
Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya.
Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
"Kalau Tuhan menghendaki aku mati dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu Song."
"Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo Taisu...?"
"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"
"Plakkk!"
Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri! wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri! Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan menegurnya sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa.
Akan tetapi begitu ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri!
Anaknya begitu tampan dan gagah. Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!
Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada saat itu ia hanya ingin mati!
Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?
Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu keasyikannya berduka?
Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan mentertawakan orang sedang menangis. Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang.
Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim, mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di balik awan.
Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir.
Karena ingin sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim.
Dengan jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!
Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat!
Lu Sian menjadi kaget dan juga gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia tidak boleh menerima kalah begitu saja!
Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.
Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang seperti orang mabok.
Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya.
Kulit kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.
"Kejahatan yang dilakukan terhadap
seorang tak berdosa
akan berbalik menimpa si dungu
yang melakukannya,
bagaikan menebarkan debu
melawan arah angin
yang akan menimpa dirinya sendiri!"
Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.
"Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu
urusan kematian telah mendekatimu.
Engkau berdiri di ambang pintu kematian
apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan!
Buatlah pulau perlindungan bagimu,
berjuanglah segera penuh bijaksana.
Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa
engkau akan mencapai sorga, alam para Ariya!
Berapa lama hidup ini?
Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.
Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan
dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!"
Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil berlutut di depan kakek itu ia berteriak.
"Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!"
Lu Sian lalu menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia, selama ini.
Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata,
"Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta kubunuh?"
Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka ia menunduk lagi dan tetap berlutut,
"Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah, tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kau turunkan tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"
Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan.
"Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau bertobat."
Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul dugaan hatinya.
"Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"
Kakek itu tersenyum dan mengangguk.
"Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik, bersediakah kau kembali ke jalan terang?"
Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis. Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw, semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya.
Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai, mencuri pedang di Hoa-san-pai.
Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu yang tenang dan sabar.
"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."
Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya.
Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.
**** 132 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar