Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua tangan menyambut dan kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan Kim-mo Taisu berlutut!
"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku ...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya.
"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis diantara katupan giginya.
Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut.
"Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?"
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang.
"Mengapa tidak kau katakan demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.
Lu Sian tertawa.
"Aku ingin melihat sampai sejauh mana aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin hebat..."
Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.
"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak.
Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu Sian merasa betapa hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur pernapasan.
Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup, Kwee-twako.." katanya lirih.
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.
"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"
Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin.
"Panjang ceritanya..." ia berkata setengah mengeluh. Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"
Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala.
"Panjang ceritanya..."
Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.
"Tok-siauw-kwi, hendak lari kemana kau sekarang?"
Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi.
Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!
Adapun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan dada.
"Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"
Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan.
Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi, pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar.
Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. ia maklum bahwa andaikata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung.
Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur,
"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku ...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum bertemu anakku... Bu Song..."
Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya, bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya.
"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis diantara katupan giginya.
Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut.
"Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri, bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun juga. Kalau ada yang hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?"
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang.
"Mengapa tidak kau katakan demikian sejak malam tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.
Lu Sian tertawa.
"Aku ingin melihat sampai sejauh mana aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin hebat..."
Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.
"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak.
Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti, menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan memasuki tubuh Lu Sian.
Ketika Lu Sian merasa betapa hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur pernapasan.
Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila, diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa lelah hampir lenyap.
"Cukup, Kwee-twako.." katanya lirih.
Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.
"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"
Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin.
"Panjang ceritanya..." ia berkata setengah mengeluh. Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"
Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya. Baru saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping suami yang mencinta dan putera yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu menggigit bibir dan menggeleng kepala.
"Panjang ceritanya..."
Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya kepada pria yang pernah mencintainya ini.
Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara bentakan-bentakan keras.
"Tok-siauw-kwi, hendak lari kemana kau sekarang?"
Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka membayangkan kepandaian yang tinggi.
Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai. Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!
Adapun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan dada.
"Tikus-tikus busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"
Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan bermacam-macam senjata di tangan.
Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya.
Kim-mo Taisu maklum bahwa biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi, pada saat itu Lu Sian baru saja sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar.
Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu. Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. ia maklum bahwa andaikata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung.
Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah merasa girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.
Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk bersila meramkan mata dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur,
"Bukankah Sicu ini Kim-mo Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?"
"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
"Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat membenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan matanya?
Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata,
"Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya.
"Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!"
"Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya.
"Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak,
"Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya.
"Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.
"Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.
Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat membenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan matanya?
Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata,
"Cu-wi (Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan kalian?"
Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya.
"Biarkan pinceng (aku) maju sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!"
"Benar! Pinto pun berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.
"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu! Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.
Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak menghendaki hal ini terjadi, maka katanya.
"Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini, Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah sembuh dari lukanya."
Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak,
"Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak melindungi seorang siluman betina!"
Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya.
"Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar