Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah Koai-tung Tiang-lo.
Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya terlepas!
"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?"
Melihat betapa dikeroyok lima, lawannya itu masih dapat mengejeknya bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh!"
Teriak si Raja Pengemis dan cepat ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima. Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi.
Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju dan menerjangnya dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai daripada Ma Thai Kun!
Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang, tadi pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama cepatnya dengan dia sendiri.
Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun, kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan kosong!"
Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai. Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan panca inderanya terganggu dan pada detik yang bersamaan, setelah berhasil menghindarkan yang lain, ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang.
Tiga orang pengeroyok lain telah menutup jalan keluarnya, maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai biarpun lihai, dapat ia atasi tenaganya.
"Bukkk!"
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi dilain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang pengeroyoknya tidak berani turun tangan khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali ke atas tanah, tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!
"Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku, majulah!"
Ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka.
Ia heran tadinya karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sin-kang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali.
Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahhului menggerakkan cabang pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi.
Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sin-kang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi.
Cabang kayu di tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas batang kayu kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan bersenjatakan cabang kayu mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang, akan tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.
Melihat ini, Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana seekor burung garuda.
Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka, seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur.
"Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?" Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya.
Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguhpun tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang tak kunjung padam.
Namun ia merasa lebih unggul daripada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman. Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka dan tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya lalu membentuk sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas.
Pouw Kee Lui biarpun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi.
Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula, yang ia mainkan seperti orang bermain toya, kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran.
Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh.
Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang pedang dan toya.
Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng telah di "isi" hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya daripada sepasang senjata.
Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa beracun! Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. namun Kim-mo Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biarpun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka seorang demi seorang. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula.
Dengan pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti.
Setelah kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang yang telah roboh tadi memiliki tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi bukannya membantu, bahkan menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini dapat bersilat leluasa dan mencurahkan seluruh daya serangnya.
Kim-mo Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya dengan pukulan Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam yang hanya setingkat lebih lunak daripada tangan Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun!
Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan pedangnya dengan serangan air ludah! Luar biasa berbahaya, dan menjijikkan sekali cara bertempur Si Raja Pengemis ini. Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan dari mulutnya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Ketika Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai betisnya, terasa panas seperti terpercik air mendidih!
Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang lihai ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permainannya itu hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk menghadapi pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat dimainkan berbareng.
Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang, penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai-san-hoat, ilmu kipas yang juga telah mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo Taisu harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna.
Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang maupun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebagai pedang. Tentu saja tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada pedang, kini ia menggantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.
Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya terlepas!
"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?"
Melihat betapa dikeroyok lima, lawannya itu masih dapat mengejeknya bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh!"
Teriak si Raja Pengemis dan cepat ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima. Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi.
Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju dan menerjangnya dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya. Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai daripada Ma Thai Kun!
Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang, tadi pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama cepatnya dengan dia sendiri.
Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun, kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan kosong!"
Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai. Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan panca inderanya terganggu dan pada detik yang bersamaan, setelah berhasil menghindarkan yang lain, ujung cambuk Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang.
Tiga orang pengeroyok lain telah menutup jalan keluarnya, maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai biarpun lihai, dapat ia atasi tenaganya.
"Bukkk!"
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi dilain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang pengeroyoknya tidak berani turun tangan khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali ke atas tanah, tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!
"Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku, majulah!"
Ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka.
Ia heran tadinya karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sin-kang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali.
Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahhului menggerakkan cabang pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi.
Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sin-kang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi.
Cabang kayu di tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas batang kayu kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan bersenjatakan cabang kayu mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang, akan tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.
Melihat ini, Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana seekor burung garuda.
Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka, seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur.
"Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?" Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya.
Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguhpun tenaga dalam dan hawa sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang tak kunjung padam.
Namun ia merasa lebih unggul daripada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman. Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka dan tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya lalu membentuk sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari atas.
Pouw Kee Lui biarpun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi.
Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula, yang ia mainkan seperti orang bermain toya, kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran.
Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh.
Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang pedang dan toya.
Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng telah di "isi" hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya daripada sepasang senjata.
Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa beracun! Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. namun Kim-mo Taisu agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biarpun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka seorang demi seorang. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula.
Dengan pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti.
Setelah kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang yang telah roboh tadi memiliki tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi bukannya membantu, bahkan menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini dapat bersilat leluasa dan mencurahkan seluruh daya serangnya.
Kim-mo Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya dengan pukulan Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam yang hanya setingkat lebih lunak daripada tangan Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun!
Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan pedangnya dengan serangan air ludah! Luar biasa berbahaya, dan menjijikkan sekali cara bertempur Si Raja Pengemis ini. Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan dari mulutnya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan. Ketika Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai betisnya, terasa panas seperti terpercik air mendidih!
Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang lihai ini dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permainannya itu hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk menghadapi pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat dimainkan berbareng.
Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang, penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai-san-hoat, ilmu kipas yang juga telah mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo Taisu harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna.
Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang maupun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebagai pedang. Tentu saja tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada pedang, kini ia menggantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar