FB

FB


Ads

Rabu, 03 April 2019

Suling Emas Jilid 085

"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya, lekas kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!"

Setelah berkata demikian, kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari setengah terbang.

Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan kemudian segera meninggalkan tempat ini.

Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.

Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa.

"Latihan ini menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air ke dalam kolam itu."

Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya.

Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu mendaki lagi. Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi, kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!

"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan kepadamu."

Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek.
"Aku tidak membutuhkan kasihan orang!"

Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jenkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.

Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air. Biarpun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh!

Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak!

Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.

"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong. Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.

Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai.
"Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)."

Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng.
"Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"

Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijiwir orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang menjiwirnya.

"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik Si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song.

Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek A-kwi melirik ke arah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar anak itu berjalan lebih cepat.

Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel.
"Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih dulu!"

Sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan, dan Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya.

**** 085 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar