Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini setelah mendengar bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya, meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti.
Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.
Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.
"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi?
"Maafkan aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan." Katanya sambil menjura dengan hormat.
Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik.
"Kau akan mengemis makanan?"
Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula.
"Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada pekerjaan, sudahlah!"
Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."
Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.
"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini."
"Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"
Di bagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.
"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur Si Tanpa Baju kepada kakek pertama.
"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"
Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si Nenek berpaling memandang.
"Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air di sini. Lucu, kan?"
Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah tidak ada yang waras!
"Kau makanlah dan ambil sendiri di atas meja itu." Kata Si Nenek tak acuh.
Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja dan melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguhpun bahannya sangat sederhana.
Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal setengahnya lagi!
"Ho-ho-ha-ha-hah! Malam ini kita berpuasa, A-kwi!"
Kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.
"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula." Kata A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Sam-hwa muncul dari pintu. Melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu.
"Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!"
Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang.
Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat berat buah tadi adalah tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song keluar dapur.
"Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa keluar."
Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak di sudut rumah.
"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air." Celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih.
"Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Mereka berjalan keluar.
Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.
"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga.
A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua,
"Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Bu Song, Kek."
"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjiwir telinga Bu Song. "Kau harus sebut Ong-ya!"
Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda.
Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda maupun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?"
"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."
"Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada urusan penting."
"Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
Akhirnya dari puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.
Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.
"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi?
"Maafkan aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan." Katanya sambil menjura dengan hormat.
Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik.
"Kau akan mengemis makanan?"
Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula.
"Aku bukan pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada pekerjaan, sudahlah!"
Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."
Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek inilah yang merobohkannya.
"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini."
"Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"
Di bagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.
"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur Si Tanpa Baju kepada kakek pertama.
"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"
Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si Nenek berpaling memandang.
"Sam-hwa, kau isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua tempat air di sini. Lucu, kan?"
Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah tidak ada yang waras!
"Kau makanlah dan ambil sendiri di atas meja itu." Kata Si Nenek tak acuh.
Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja dan melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguhpun bahannya sangat sederhana.
Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal setengahnya lagi!
"Ho-ho-ha-ha-hah! Malam ini kita berpuasa, A-kwi!"
Kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak tertutup baju itu berguncang-guncang.
"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula." Kata A-kwi sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Sam-hwa muncul dari pintu. Melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan dua orang kakek itu.
"Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!"
Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang.
Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat berat buah tadi adalah tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song keluar dapur.
"Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa keluar."
Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang terletak di sudut rumah.
"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air." Celanya sambil mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih.
"Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Mereka berjalan keluar.
Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.
"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga.
A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua,
"Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah.
"Siapa namamu?"
"Nama saya Bu Song, Kek."
"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjiwir telinga Bu Song. "Kau harus sebut Ong-ya!"
Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda.
Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda maupun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?"
"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."
"Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada urusan penting."
"Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar