Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka.
Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!
Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini.
Akan tetapi ia justeru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permaianan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Kiranya barisan biasa saja setelah terdapat rahasia sumbernya.
"Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha!"
Sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai "bekerja", tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat.
Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul beterbangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani lagi turun!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, ternyata menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu.
Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!"
Tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung!
"Twa-suheng...!"
Dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu.
"Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seorang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap!
Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa bergelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan. Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah.
Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam lagi. Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu." Wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat daripada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau mau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini, ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekuatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan.
"Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat daripada sutera tipis dan halus beraneka warna.
Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa "tamu agung" itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu. Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata.
"Silahkan Khekkoan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!"
Katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi.
Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari kedalam di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak menimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Adapun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan.
Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar.
"Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut Si Cantik.
Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata.
"Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata genit.
"Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah,
"Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah."
Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.
"Aduhhh...! Aduhhh...!!"
Dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka tertusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!"
Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!
Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada para pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini.
Akan tetapi ia justeru ingin melihat bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permaianan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Kiranya barisan biasa saja setelah terdapat rahasia sumbernya.
"Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha!"
Sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai "bekerja", tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat.
Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul beterbangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani lagi turun!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, ternyata menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu.
Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata, suaranya penuh permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!"
Tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung!
"Twa-suheng...!"
Dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata, suaranya nyaring dan merdu.
"Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap kai-ong itu, yang seakan-akan benar-benar seorang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap!
Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa bergelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan depan. Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah.
Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam, keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan yang lebih dalam lagi. Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu." Wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat daripada lantai dan permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau mau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini, ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekuatiran. Agaknya wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan.
"Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat daripada sutera tipis dan halus beraneka warna.
Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa "tamu agung" itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu. Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata.
"Silahkan Khekkoan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!"
Katanya cepat-cepat sambil menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi.
Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari kedalam di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak menimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan araknya. Adapun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan.
Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar.
"Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut Si Cantik.
Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata.
"Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi lalatnya di dagu, berkata genit.
"Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah,
"Mana bisa aku dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah."
Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya yang berani membantah itu.
"Aduhhh...! Aduhhh...!!"
Dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka tertusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar