FB

FB


Ads

Jumat, 22 Maret 2019

Suling Emas Jilid 051

"Ha-ha-ha, Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu. Siapakah yang membuat hati dan menimbulkan cinta ? Hanya para Dewa yang tahu. Siapa sekarang yang membuat segala macam pangkat dan kedudukan ? Hanya manusia. Apa sukarnya kalau sekarang aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau Ponggawa yang tinggi kedudukannya ? Mudah saja, bukan ? Akan tetapi aku tidak mau lakukan itu, kenaikan tingkat menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat Salinga, berarti suatu penghinaan, baik bagi Salinga maupun bagi keluargaku sendiri. Nah, cukup, tak perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!"

Demikianlah, dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan hati Tayami dan menjatuhkan diri Salinga. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani secara berterang melakukan hal ini, karena Salinga adalah kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula kepada Tayami, adik tirinya !

Pagi hari itu kota raja Paoto amatlah ramainya. Kwee Seng memasuki kota raja ini dan biarpun ia menarik perhatian karena pakaiannya yang compang-camping dan penuh tambalan itu menunjukkan bahwa dia seorang selatan, namun sikapnya yang seperti orang gila membuat orang-orang hanya tertawa kepadanya.

Memang pada waktu itu, banyak sekali orang Khitan sudah berpakaian seperti orang Han, dengan pakaian yang dapat mereka rampas kalau mereka menyerbu ke selatan, atau pakaian yang mereka perdagangkan dengan kulit dan bulu domba. Banyak juga pedagang-pedagang dari selatan sampai Khitan, mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi para pedagang, di mana ada "untung" ke sana ia pergi, tak peduli di sana terdapat bahaya menantang.

Keramaian kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan yang lalu, di bawah pimpinan Panglima Muda Bayisan sendiri, sepasukan orang Khitan menyerbu dan menghancurkan pasukan Kerajaan Cin Muda yang ternyata adalah pasukan yang melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil perampasan mereka terhadap Kerajaan Tang Muda yang kalah perang.

Banyak sekali barang rampasan ini, belum lagi kuda dan senjata, maka saking gembiranya Raja Kulu-khan lalu mengadakan pesta untuk menghormati pasukan itu. Dan sebagaimana biasanya, dalam setiap keramaian seperti itu, tentu diadakan perlombaan-perlombaan ketangkasan di tepi Sungai Kuning. Perlombaan macam ini bukan hanya sebagai hiburan untuk menggembirakan suasana, namun ada maksudnya pula unutk mengumpulkan tenaga-tenaga muda dan tidak jarang dalam kesempatan seperti ini bermunculan perwira-perwira baru yang diangkat karena kemenangannya dalam perlombaan.

Kwee Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat perlombaan. Sambil makan roti susu kambing yang tadi dibelinya dari warung dan kini digerogoti, Kwee Seng ikut berlari-lari. Lapangan di tepi sungai itu luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan.

Hati Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang di antara para perwira tinggi yang hadir di tempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan lain adalah Bayisan, musuh lama yang dicari-carinya.

Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak melihat Ban-pi Lo-cia di tempat itu. Di panggung yang sengaja dibuat, duduklah Raja Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, belasan orang panglima tinggi lainnya, dan di samping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik jelita, pakaiannya serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung di belakang punggung. Inilah Puteri Mahkota Tayami, dan Kwee Seng juga dapat menduganya karena seringkali ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung orang dalam perjalanannya di daerah Khitan.

Pada saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar dan agaknya menanti tanda untuk segera berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan ada empat meter lebarnya.

Tombak-tombak itu memenuhi jalan dan dipasang amat kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing di atas. Tak jauh dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang siap dengan busur dan anak panah. Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada penonton di sebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang daripada para pedagang perantau.

"Inilah saat penentuan bagi para pemenang," orang itu menerangkan, "enam orang itu adalah orang-orang pilihan yang telah keluar sebagai pemenang beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih yang paling gagah di antara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh dia yang berbaju kuning!"






Kwee Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang tampan dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada di tempat paling kiri. Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar dan sinar matanya penuh semangat.

"Perlombaan apa saja yang akan dipertandingkan?" ia bertanya gembira.

Orang itu menengok. Melihat orang yang bertanya, biarpun dari suaranya jelas seorang Han, namun pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan tertawa-tawa menunjukkan bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu menjawab singkat,

"Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!"

Kwee Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia di mana-mana masih belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai seseorang dari pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin di hormat oranglah kamu ! Akan tetapi ia tidak peduli dan melongok-longok, mendesak di antara banyak orang untuk dapat menonton lebih jelas.

Sementara itu, di panggung, Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.

"Ahh," jawab Raja Kulu-khan. "Siapa yang tidak tahu bahwa kau adalah Panglima Muda dan memiliki kepandaian tinggi ? Apa perlunya kau hendak ikut pertandingan?"

Bayisan tersenyum.
"Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini, Paduka kelak akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"

Raja Kulu-khan tersenyum. Di dalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga mencari kesempatan "jual muka" memamerkan kepandaian, akan tetapi karena alasan tadi ada benarnya pula, maka ia mengangguk memberi ijin.

"Heh-heh-heh, Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!" Panglima Tua Kalisani menegur Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar.

Memang Kalisani terkenal sebagai seorang yang suka bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga terhitung masih sanak dengan keluarga raja.

Bayisan hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling ke arah Puteri Tayami sambil berkata,

"Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira seperti mereka itu?"

Setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada raja dan meloncat turun dari panggung.

Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri Salinga, pemuda pilihan hati Tayami, hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami sendiri, maupun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani.

Ketika Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar sebaris dengan enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera menerjang orang yang telah berbuat curang terhadapnya itu.

Akan tetapi ia menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbukan kegemparan dan kalau ia kemudian dikepung oleh semua orang Khitan, mampukah dia meloloskan diri ? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan turun tangan di waktu malam sunyi.

Raja memberi tanda dengan tangan diangkat ke atas, terompet tanduk menjangan dibunyikan orang dan perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang, berteriak keras, kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher mengikuti larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang menghalang jalan.

Kwee Seng sudah tidak tampak lagi di antara penonton, karena ia sudah enak-enak duduk di atas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan enak.

Setelah tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya melompat ke atas. Hebat lompatan kuda ini. Keempat kakinya hampir menyentuh ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa akan tetapi juga permainan yang amat berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda itu menyentuh mata tombak, tentu tubuh kuda akan terguling dan jatuh di "sate" ujung banyak tombak, mungkin berikut penunggangnya !

Namun kuda hitam bersama penunggangnya amatlah tangkas, secepat kilat kuda itu sudah melewati barisan tombak dan turun dengan selamat, menimbulkan debu mengebul tinggi dan sorak-sorai tepuk tangan gemuruh dari para penonton. Raja mengangguk puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang setangkas itu, makin kuatlah Kerajaan Khitan.

Akan tetapi lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian bukan hanya sampai pada melompati barisan mata tombak. Ini masih belum berbahaya ! Ujian kedua lebih hebat lagi, yaitu melalui barisan anak panah. Penunggang kuda hitam sudah melarikan kudanya cepat-cepat, kembali lagi setelah tiba di ujung sana untuk memasuki lingkungan barisan anak panah, yang sudah siap sedia.

Begitu kuda itu memasuki lingkungan itu, busur-busur di pentang dan melesatlah puluhan batang anak panah, menyambar ke arah tubuh Si Penunggang Kuda. Semua pelepas anak panah adalah ahli-ahli pilihan sehingga tidak sebatang pun anak panah yang akan mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat di atas tubuh kuda, lewat dengan cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang menyerempet pelana di punggung kuda.

Akan tetapi Si Penunggang Kuda yang cekatan itu tahu-tahu telah lenyap dari atas kuda. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga ia seolah-olah menghilang, padahal ketika anak-anak panah menyambar, penunggang ini sudah menjatuhkan diri ke kiri, terus tubuhnya menggantung ke bawah perut kuda, hanya kedua kakinya yang menahan tubuh, kedua kaki yang dikaitkan kepada pelana kuda itu.

Kuda lari terus, penunggangnya bergantung dibawahnya, sungguh ketangkasan yang mengagumkan ! Tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ketangkasan ini setelah kuda beserta penunggangnya selamat melewati barisan anak panah. Dengan gerakan indah Si Penunggang mengayun tubuhnya dan dari sebelah kanan perut kuda ia telah duduk kembali dengan tegaknya !

Ujian ke tiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil menunggang kuda yang mengitari lapangan, Si Penunggang Kuda hitam itu mementang busur dan berturut-turut ia melepas anak panah yang menancap tepat pada dada dan perut boneka besar manusia yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah lapangan.

Tujuh kali Si Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan lima di antaranya menancap tepat di tengah dada, yang dua agak meleset, menancap di pundak dan paha. Namun ini saja sudah cukup menyatakan bahwa ia lulus ! Dengan bangga Si Penunggang Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke bawah panggung, melompat turun dan berlutut ke arah raja, kemudian menuntun kudanya berdiri di pinggir ikut menonton peserta-peserta berikutnya.

Peserta ke dua mengalami saat naas baginya. Ketika kudanya melompati barisan tombak, di bagian terakhir kudanya terjungkal, jatuh ke bawah. Perut kuda tertembus tombak-tombak itu dan penunggangnya pun mengalami nasib yang sama, perut dan dadanya tembus oleh tombak.

Penonton berseru kengerian dan beberapa orang penjaga segera lari mendatangi untuk membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban mulai jatuh dari permainan berbahaya ini dan penonton mulai tegang !

Peserta ke tiga selamat melampaui barisan tombak dan ketika melampaui barisan anak panah, kurang cepat ia bersembunyi sehingga pundak dan pahanya terserempet anak panah. Dalam keadaan luka ringan ini ketika ia memanah orang-orangan, di antara tujuh batang anak panahnya, hanya dua yang mengenai sasaran, maka tentu saja ia pun dinyatakan gagal !

Peserta ke empat hanya berhasil melampaui barisan tombak. Ia terjungkal roboh dengan anak panah menancap di perut dan lehernya ! Kembali ada korban yang kehilangan nyawanya dalam lomba ketangkasan ini. Namun para penonton tidak lagi menjadi ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata oleh mereka betapa sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar