FB

FB


Ads

Senin, 18 Maret 2019

Suling Emas Jilid 045

Wajah mereka hanya terpisah dua jengkal saja, tangan mereka masih saling berpegang.

"Kalau tadi aku tidak kau bantu, aku pun sudah celaka di tangan Ban-pi Lo-cia."

Ketika Lu Sian menunduk dan melihat bajunya yang robek, ia cepat-cepat menutupkannya, dan kembali dua pipinya tiba-tiba menjadi merah.

Kam Si Ek bingung. Sejenak ia terpesona. Biasanya, menghadapi gadis cantik yang terang-terangan memperlihatkan cinta kasih kepadanya, ia memandang rendah dan tidak mengacuhkan. Ia selalu menganggap bahwa wanita hanya akan melemahkan semangatnya berjuang ! Akan tetapi sekali ini ia benar-benar bingung. Wajah ini, biarpun basah kuyup dan rambutnya awut-awutan, luar biasa cantiknya.

"Kenapa kau memandang terus tanpa berkedip?" Tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil tersenyum.

"Eh.. oh.. aku heran, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terkurung bencana dan dapat datang menolong..."

Dalam gugupnya Kam Si Ek berkata, heran akan kenakalan gadis ini menggodanya seperti itu.

Lu Sian lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendengar rencana jahat yang dilakukan Phang-ciangkun untuk menipu dan menawan Kam Si Ek dan semua peristiwa yang terjadi ketika ia melakukan pengejaran untuk menolong Kam Si Ek ke Lok-yang, Kam Si Ek mendengarkan penuh perhatian, kagum akan kecerdikan Lu Sian dalam mengikuti jejak mereka yang menculiknya, bergidik mendengar akan kekejaman Kong Lo Sengjin membunuhi pengungsi.

"Dia dahulu adalah seorang Raja Muda yang perkasa, berjuang mati-matian mempertahankan Dinasti Tang. Sayang bahwa kekecewaan karena melihat jatuhnya Kerajaan Tang membuat ia seperti gila dan menjadi seorang kejam."

"Kau sendiri bersetia kepada Tang sampai rela mengorbankan nyawa." Lu Sian menegur.

"Akan tetapi semua kesetiaanku kutujukan kepada negara dan bangsa. Kerajaan Tang roboh karena kesalahan Kaisar dan pembantu-pembantunya yang mengabaikan rakyat. Sekarang, setelah Kerajaan Tang jatuh, aku hanya mengabdi kepada negara dan rakyat, tidak mudah tertipu oleh mereka yang mengangkat diri sendiri menjadi raja-raja kecil yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan."

"Hemm, kau memang... memang lain daripada yang lain..." Lu Sian menarik napas panjang memandang kagum tanpa disembunyikan lagi.

Melihat pandang mata gadis ini, berdebar jantung Kam Si Ek karena ia menjadi bingung dan tidak mengerti mengapa gadis ini memandangnya seperti itu, menimbulkan rasa tegang dan juga senang.

"Nona, mengapa kau lakukan semua ini...?" Akhirnya ia bertanya, memandang tajam.

"Lakukan apa?"

Lu Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah diseluruh tubuh Kam Si Ek bergelora.

"Melakukan semua untuk menolongku? Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu sendiri hanya... hanya untuk menolong orang seperti aku?"

Sejenak mereka saling pandang dan tanpa sengaja, kini mereka saling mendekat, tinggal sejengkal saja jarak antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya terdengar merdu dan jelas.

"Karena ........... karena aku cinta kepadamu !"

Hampir saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat memegang lengannya dan menariknya,

"Kau ... kenapa.....?" Gadis itu bertanya kaget.






"Ah..... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir mati kaget....!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan girang.

Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara terang-terangan?

"Lu Sian... mungkin... mungkinkah ini..." ia lalu merangkul.

"Mengapa tidak mungkin? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang bahwa hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu aku tak dapat melupakanmu..."

"Aduh, kau adikku yang nakal... adikku yang manis..."

Dalam kegirangan yang meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap kepala gadis itu dan menciumnya. Keduanya yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri tegak, dan tergulinglah mereka ke dalam air, masih berpelukan dan berciuman!

Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka melihat bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari rumpun alang-alang! Tentu saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan napas!

Setelah bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling rangkul dan terengah-engah, kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling peluk dan saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa kata-kata, kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih,

"Moi-moi, terima kasih atas budi dan cintamu, percayalah, semenjak aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri, seorang seperti aku mana mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"

Lu Sian mencubit lengan pemuda itu.
"Kau seorang Jenderal ! Dan aku.. aku hanya wanita biasa, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan.

Memang tadi di dalam air sudah amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin menghebat.

"Ah, kau kedinginan ! Mari kita keluar dari sini!" katanya

"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini." Lu Sian menggoda.

Mereka tertawa dan kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas, lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan heran.

Mereka lalu meloncat ke darat.
"Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di sana?"

"Ah, malah kembali ke perahu?"

"Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua orang kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."

Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke Sungai Kuning di utara.

Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu dibawanya dalam saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena kuatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak dapat menahan hatinya dan ia memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing.

Karena melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari barulah mereka sampai di sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah kaget hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin membesar. Dusun yang terendam air makin tak tampak dan keadaan di situ sunyi sekali, para anak buah perahu berjaga. Dari tempat tinggi itu tampak perahu masih berada di sana sehingga mereka menjadi girang sekali.

Karena banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit, kira-kira sejengkal dalamnya. Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu, mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.

"Celaka betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja! Apakah kita akan didiamkan di sini sampai mati kedinginan?"

"Ah, Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada pahalanya!" cela suara lain.

Tiba-tiba enam orang prajurit yang bertugas menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok bayangan melompat masuk dan seorang gadis dengan pedang di tangan telah berada di depan mereka. Apalagi ketika melihat bahwa bayangan ke dua adalah Kam Si Ek, orang yang tadinya tertawan dan dibawa ke kota raja, seketika mereka menjadi pucat dan berseru.

"Celaka...!"

Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar, mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah dari tubuh enam orang itu yang roboh satu-satu dengan dada berlubang atau leher hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air yang merendam lantai seketika menjadi merah.

"Moi-moi... jangan..."

Kam Si Ek mencegah, akan tetapi gerakan pedang Lu Sian amat cepat, secepat kilat menyambar dan enam orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi.

Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini berdiri dengan muka berkerut, tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini yang dianggapnya amat kejam dan ganas. Teringat ia bahwa gadis kekasihnya ini adalah puteri tunggal Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya kekejaman-kekejaman yang terjadi di Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah sekali.

"Hemm, gadis berhati kejam! Sekarang aku tahu maksud hatimu! Kau tidak ada bedanya dengan yang lain. Tentu kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao, bukan? Kau mempergunakan kecantikanmu untuk menjatuhkan hatiku. Memang, aku cinta kepadamu, aku tergila-gila kepadamu oleh kecantikanmu. Akan tetapi jangan harap bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan bangsa hanya karena seorang wanita!" Ia mencabut golok emasnya dan memandang dengan mata penuh kemarahan.

Lu Sian terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum, tersenyum mengejek. Ia puteri tunggal Pat-jiu Sin-ong, tentu saja ia pun mempunyai watak yang amat aneh. Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut dibunuh harus dibunuh, demikian ajaran ayahnya.

Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan cinta kepada Kam Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah kesempatan baik baginya untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia lalu menggerakkan pedangnya dan berkata.

"Kam Si Ek, begitukah dugaanmu? Dan kau telah menghunus golokmu? Baiklah, mari kita lihat siapa diantara kita yang lebih lihai!"

Sambil berkata demikian, gadis itu meloncat ke ruangan belakang gedung yang lebih luas karena ruangan itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, membikin hati Kam Si Ek makin panas.

"Lihat golok!" bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar