FB

FB


Ads

Sabtu, 16 Maret 2019

Suling Emas Jilid 039

“Eh, Enci Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak dahulu, mengapa kau minum telur mentah?”

“Kau tahu apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan menjadi tua!”

Im Giok yang baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit sungguhpun harus diakui amat menarik hati pula.

Memang, banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti menggerakkan bibir di waktu bicara dan cara senyumnya yang kesemuanya amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!

“Enci Pek Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi kali ini agaknya aku sukar untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”

Pek Hoa tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali diam-diam ia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang cantik dan muda.

“Im Giok, yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang hanya dapat ditemukan di daerah yang amat sukar di utara. Yang kuminum tadi telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”

“Akan tetapi apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi tetap muda?”

“Kau lihat aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?”

“Kau cantik sekali, Enci Pek Hoa.”

Pek Hoa tersenyum puas.
“Kelak kau lebih cantik daripada aku, Im Giok. Kau bilang aku cantik dan berapa kau kira usiaku?”

“Kalau kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang kita jumpai, paling banyak kau tentu berusia dua puluh tahun.”

Kembali senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
“Dua puluh tahun? Anak baik, usiaku sudah, dua kali itu, lebih lagi…”

“Empat puluh tahun?” Im Giok berseru tidak percaya.

Pek Hoa mengangguk.
“Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”

Im Giok menjadi girang sekali.
“Mari kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun ingin muda selalu dan cantik seperti engkau.”

Demikianlah sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama makin cantik dan agaknya ia takkan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.

Im Giok juga amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.

“Bagus, kau mempunyai kesukaan yang sama dengan aku di waktu masih remaja, Im Giok. Aku pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul dengan kulitmu yang putih halus itu.”






Selain mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang luar biasa sekali, apalagi memang Pek Hoa mengajar dengan sungguh hati. Dalam waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan pedangnya, bahkan kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin-i, ia menonton dan memperhatikan.

“Enci Pek Hoa, ilmu silat yang kau mainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku ingin mempelajari ilmu silat itu Enci?”

Pek Hoa tiba-tiba menghentikan permainan silatnya dan memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri.

“Hush, kau anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa.”

Im Giok merasa aneh dan kecewa. Diam-diam tiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan dan diam-diam ia dapat memetik beberapa jurus dari ilmu silat ini, di bagian yang indah gerakannya. Im Giok tentu saja memandang ilmu silat ini dari segi keindahan dan ia ingin memetiknya untuk memperindah gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini amat suka akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah.

Pada suatu hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak persembunyian itu. Tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung bertamasya ke dusun-dusun, kali ini Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh muridnya membawa semua pakaiannya pula.

“Enci Pek Hoa, kita akan pergi ke manakah?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat girang diajak bepergian.

“Kita turun gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”

Hampir saja Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan saja, menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumah.

Akan tetapi setelah mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan perasaannya. Maka betapapun girang hatinya, pada wajahnya yang manis sekali itu tidak nampak perubahan.

“Apakah Enci akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah hendak mencari Ayah?”

Dua macam pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena ibunya tinggal di Sian-koan. Adapun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari Pek Hoa bahwa ayahnya telah meninggalkan ibunya, ayahnya yang bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia kang-ouw yang suka merantau. Ia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya sengaja meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih ibunya!

“Sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu telah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.”

Demikian Pek Hoa mengarang, hati Im Giok tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap ibunya, sungguhpun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.

“Akan tetapi sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.”

Kata-kata ini membuat hati Im Giok terharu sekali sehingga pernah ia mengajukan permohonan kepada gurunya untuk mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak gunung. Sekarang begitu gurunya mengajaknya turun gunung, otomatis Im Giok mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.

“Tidak, Im Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san, kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”

Tentu saja Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah, Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw yang selain telah membunuh tiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu Pun Su.”

“Bu Pun Su…?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya sederhana sekali itu.

“Im Giok, jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su (Tiada Kepandaian), akan tetapi dialah orang yang paling lihai di antara semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kelak kau orangnya yang kuharapkan akan dapat membalasnya.”

Demikianlah, sambil menuturkan pengalamannya, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari cepat, menuruni puncak bukit dimana mereka bersembunyi sambil berlatih silat selama empat tahun lebih.

Setelah merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su.

Ia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin-khai-i yang baru ia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.

Adapun rasa gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian mendiang tiga orang suhunya sendiri! Karena itu, ia merasa ragu-ragu apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.

**** 039 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar