FB

FB


Ads

Rabu, 06 Maret 2019

Suling Emas Jilid 012

Ucapan ini benar-benar membayangkan keangkuhan dan kesombongan, akan tetapi diam-diam Kwee Seng maklum bahwa sama sekali ucapan itu bukan kesombongan kosong karena ia tahu, kalau enam orang itu nekat mengeroyok, takkan sukar bagi Lu Sian untuk membuktikan ancamannya. Ia dapat menduga bahwa mereka itu adalah jago-jago dari kota Kwi-san, bahkan agaknya orang she Lauw ini dalam usahanya menuntut balas atas kematian puteranya, telah minta bantuan seorang hwesio dan dua orang tosu, agaknya tokoh-tokoh dalam kuil di kota itu.

“Bagus ! Kau harus menebus nyawa anakku dan dua orang temanku!”

Seru Si Pemegang Golok dan dengan gerakan cepat ia bersama enam orang temannya menyerbu ke arah meja di mana Lu Sian berdiri.

Gadis itu menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek. Tiba-tiba sekali, tanpa kelihatan gadis itu menggerakkan kakinya, cawan arak, mangkok dan piring beterbangan ke arah enam orang dibarengi bentakan Lu Sian.

“Nih, makanlah sebagai tebusan senjata rahasia kalian tadi!”

Hebat sekali serangan lu Sian ini. Gadis itu dengan sin-kangnya yang sudah amat kuat, hanya menggunakan ujung kakinya menyentil barang-barang diatas meja dan beterbanganlah mangkok dan cawan berikut isinya, yaitu masakan dan arak, ke arah enam orang lawannya.

Demikian cepatnya sambaran benda-benda ini sehinngga enam orang itu sama sekali tidak berhasil menghindarkan diri dan setidaknya pakaian mereka menjadi kotor tersiram kuah sayur dan arak, bahkan muka si Hwesio terkena hantaman mangkok penuh masakan daging ! Tentu saja hwesio itu gelagapan karena sebagai seorang yang selamanya pantang makanan berjiwa, kali ini masakan daging menghantam muka dan banyak kuah memasuki mulutnya, membuat ia hampir muntah !

Sebetulnya, melihat gerakan ini saja, kalau enam orang itu tahu diri, mereka sudah akan maklum bahwa gadis itu bukan lawan mereka. Akan tetapi agaknya kemarahan meluap-luap membuat mereka mata gelap dan segera menggerakkan senjata masing-masing mengepung meja itu dan menyerang dari semua jurusan,

Lu Sian tertawa mengejek, tidak bergerak dari atas meja, melainkan pedangnya kadang-kadang menyambar untuk menangkis senjata pengeroyok yang terlalu dekat. Kadang-kadang ia hanya mengangkat sebelah kaki menghindarkan golok yang menyambar atau merendahkan tubuh untuk membiarkan tongkat melayang melalui atas kepalanya. Gadis ini hanya menanti kesempatan baik untuk membuktikan ancamannya, yaitu membunuh mereka tanpa turun dari meja.

Mendadak saja, enam orang itu berturut-turut mengeluarkan teriakan kaget dan senjata semua runtuh ke atas lantai karena tanpa mereka ketahui mengapa, tahu-tahu tangan mereka yang memegang senjata menjadi kejang yang menyebabkan mereka terpaksa melepaskan senjata masing-masing.

Tercium oleh mereka bau arak dan tepat pada jalan darah disiku lengan mereka basah. Dengan kaget dan heran mereka saling pandang dan terdengarlah suara Kwee Seng yang masih saja duduk minum arak.

“Menyerang orang secara menggelap dengan senjata rahasia untuk membunuh sudah termasuk perbuatan pengecut, sekarang mengeroyok seorang gadis mengandalkan tenaga enam orang laki-laki, sungguh amat memalukan. Apakah kalian masih belum mau insyaf dan tidak tahu diri, menantang maut yang sudah membayang di depan mata? Lekas pungut senjata dan pergi barulah perbuatan orang yang berakal sehat!”

Tahulah enam orang itu sekarang bahwa yang membuat mereka semua terpaksa melepaskan senjata adalah pemuda pelajar yang duduk minum arak dengan tenangnya, sahabat puteri Ketua Beng-kauw itu. Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi gentar. Nona itu sendiri sudah cukup berat untuk dikalahkan, apalagi dengan adanya seorang yang demikian saktinya, yang tanpa bergerak dari tempat duduknya, tanpa menghentikan keasyikannya minum arak, sudah mampu mengalahkan mereka dan melucuti senjata mereka !

Orang she Lauw tadi memungut goloknya, diturut oleh teman-temannya lalu ia menjura ke arah Kwee Seng.

“Siauw-enghiong (Pendekar Muda), kepandaianmu membuat mata kami yang bodoh, membuat kami terpaksa menelan hinaan dan menderita kekalahan. Bolehkah kami mengetahui siapa nama dan julukan Siauw-enghiong yang gagah?”

Kwee seng menarik napas panjang, kemudian ia berdiri dengan cawan penuh arak di tangan kanan, diangkatnya tinggi lalu ia bernyanyi dengan lagak seorang mabok.

“Angin kipas mengusir lalat dan menyegarkan diri suara suling mengusir harimau dan menentramkan hati nama harta kepandaian tiada artinya yang penting adalah pelaksaan kebenaran dalam hidupnya!”






Enam orang itu hanya saling pandang, tidak dapat mengenal pemuda ini karena mereka pun tidak pernah mendengar nyanyian itu. Lu Sian tertawa dan dari atas meja itu ia berkata nyaring.

"Sebangsa cacing macam kalian ini mana mengenalnya? Dia bernama Kwee Seng, para locianpwe mengenalnya sebagai kim-mo-eng. Hanya dia seoranglah yang mampu menandingi aku. Biarpun begitu, masih belum tentu ia bisa menjadi jodohku ! Apalagi orang-orang macam anakmu hendak memperisteri aku. Cih Bukankah itu lucu sekali?”

Enam orang itu kelihatan kaget dan tanpa bicara apa-apa lagi mereka lalu meninggalkan tempat itu. Pelayan-pelayan mulai muncul kembali, memandang takut-takut ke arah Kwee Seng dan Lu Sian. Kwee Seng menyatakan kesanggupannya membayar harga barang-barang yang rusak, mereka kelihatan senang dan melayani sepasang orang ini dengan kehormatan berlebihan.

Lu Sian juga kelihatan senang dan gembira sekali. Mulutnya selalu tersenyum, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan tiada hentinya ia menatap wajah Kwee Seng dengan sikap menggoda.

Sebaliknya Kwee Seng sama sekali tidak kelihatan gembira. Pemuda ini sudah tidak makan lagi, akan tetapi melihat cara ia berkali-kali memenuhi cawan arak dan meminumnya habis sekali tenggak, terang bahwa perasaan hatinya amat terganggu.

Memang demikianlah. Hati pemuda ini tidak karuan rasanya, hampir ia meloncat bangun untuk lari meninggalkan gadis ini. Ia merasa betapa gadis ini sengaja menggodanya, sengaja hendak mempermainkannya. Ucapan Lu Sian tadi benar-benar menikam jantungnya. Gadis itu di depan orang banyak mengakui bahwa hanya Kwee Seng yang mampu menandinginya, namun betapapun juga, pemuda itu belum tentu bisa menjadi jodohnya !

Ia merasa makin tak senang, muak dan benci menyaksikan sikap Lu Sian, apalagi mengingat betapa tadi gadis itu sudah pasti akan membunuh enam orang lawannya kalau saja ia tidak cepat-cepat turun tangan. Ia makin benci, akan tetapi juga makin cinta ! Makin lama ia berdekatan dengan gadis ini, makin besar pula daya tariknya menguasai hatinya.

“Kwee-koko, dalam nyanyianmu tadi kau menyebut-nyebut tentang kipas dan suling. Tentang kipasmu, aku sudah melihatnya dan sudah tahu kelihaiannya. Akan tetapi tentang suling, adakah kau mempunyai suling, dan pandaikah kau meniup suling dan mempergunakannya sebagai senjata?”

“Aku seorang bekas pelajar gagal, biasanya hanya berkipas-kipas mendinginkan kepala panas lalu menghibur diri dengan suara suling. Memang tadinya aku memiliki sebuah suling, akan tetapi benda itu hancur ketika aku bertemu dengan Ban-pi Locia (Dewa Locia Berlengan Selaksa) di telaga See-ouw (Telaga Barat).”

Terbelalak sepasang mata yang indah itu, penuh perhatian dan ingin tahu.
“Apa ? Kau betul-betul bertemu dengan ok-hengcia (pendeta jahat) itu ? Aku pernah mendengar dari ayah bahwa pendeta perkasa itu amat cabul dan keji, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Ayah sendiri pernah bentrok dengan Ban-pi Lo-cia, bertempur sampai dua hari dua malam tidak ada yang kalah atau menang. Hanya karena khawatir kalau pertandingan dilanjutkan keduanya akan tewas, maka mereka menghentikan pertandingan. Dan kau… kau bertemu dengannya ? Bertanding? Dan sulingmu hancur olehnya ? Ah, Kwee-koko, apakah kau kalah olehnya?”

Kwee Seng mengipas-ngipas lehernya yang terasa panas oleh pengaruh arak.
“Dia memang hebat, akan tetapi juga jahat bukan main. Secara kebetulan saja aku bertemu dengannya ketika aku berpesiar di telaga See-ouw.” Pemuda itu lalu menceritakan pengalamannya seperti berikut.

Beberapa bulan yang lalu, dalam perantauannya yang tidak mempunyai tujuan tertentu, tibalah Kwee Seng di telaga See-ouw, Telaga Barat ini amatlah terkenal semenjak dahulu, karena luasnya, karena indahnya, dan karena segar nyaman hawanya.

“Air berkeriput biru sehalus beludru tilam pembaringan berkasur bulu bunga teratai aneka warna penghias indah dicumbu rayu ikan-ikan emas berwarna cerah berperahu di telaga barat mandi sinar bulan minum arak sesudah itu mati pun tak penasaran!”

Nyanyian ini banyak dinyanyikan tukang-tukang perahu yang menyewakan perahu mereka untuk para pelancong. Pelancong yang tergolong miskin cukup merasa puas dengan berjalan-jalan disekitar telaga, yang tergolong cukup merasa puas dengan menyewa perahu kecil menghadapi seguci arak. Akan tetapi bagi para pelancong kaya raya, acaranya bermacam-macam. Yang sudah pasti mereka itu akan menyewa perahu besar yang mempunyai bilik yang terlindung dan tertutup, memesan hidangan arak dan masakan lezat mewah, kemudian memanggil pula pelacur-pelacur untuk melayani mereka makan minum sambil mendengarkan beberapa orang perempuan penyanyi menabuh yangkim dan bernyanyi. Pesta macam ini hampir diadakan setiap malam diwaktu musim tiada hujan, sehingga keadaan telaga barat amat meriah.

Ketika Kwee Seng tanpa disengaja tiba di telaga See-ouw, keadaan di situ sedang meriah sekali karena musim panas telah tiba. Di waktu musim panas mengamuk, banyak orang-orang kaya dan pembesar-pembesar merasa tidak betah tinggal di kota dan banyak yang mengungsi untuk beberapa hari atau pekan lamanya ke Telaga See-ouw di mana mereka dapat menghibur tubuh dan pikiran, dan baru ingat pulang kalau uang sudah habis dihamburkan !

Begitu melihat seorang pemuda tampan dengan pakaian pelajar yang cukup rapi datang seorang diri, segera para tukang perahu merubungnya, menawarkan perahu mereka.

"Mari, Kongcu (Tuan Muda), perahu saya bersih dan kosong !”

“Saya pesankan arak Hang-ciu yang paling baik !”

“Kongcu perlu hidangan yang paling lezat ? Restoran Can-lok … “

“Atau rombongan penyanyi ? Anak buah Bibi Cong… cantik-cantik, muda dan suaranya emas…”

“Atau Kongcu suka… ehmm… ditemani bidadari jelita ? Tinggal pilih menurut selera Kongcu…”

Demikianlah, ribut mereka menawarkan perahu sampai pelacur. Kwee Seng tersenyum dan menggerak-gerakkan tangan menyuruh mereka jangan bicara sambung-menyambung membikin bising.

“Dengar baik-baik, jangan ribut sendiri!” katanya tertawa. “Aku hanya membutuhkan sebuah perahu kecil yang dapat dipakai duduk berdua, tanpa pendayung. Perahu kecil yang bersih dan tidak bocor, terbuka tanpa bilik. Kemudian, boleh sediakan arak dan dua cawannya, beberapa macam masakan yang panas-panas dan kemudian boleh panggil seorang pelacur yang pandai bicara, pandai main yangkim meniup suling, pandai bernyanyi dan pandai bermain catur.”

“Wah, mengajak pelesir seorang bidadari, mengapa pakai perahu kecil terbuka, Siangkong (Tuan Muda)? Saya mempunyai yang besar, ada biliknya yang bersih dan enak, tidak terganggu dari luar…”

Kembali Kwee Seng tersenyum dan kedua pipinya agak merah. Pemuda ini tidak pantang bersenang-senang dengan wanita, akan tetapi hanya sampai pada batas mengobrol dan bercakap-cakap gembira, bersenda-gurau dan main catur atau mendengarkan si cantik bernyanyi atau menabuh yangkim meniup suling saja.

“Aku ingin menyewa perahu kecil terbuka tanpa pendayung, ada tidak?”

“Ada! Ada! Jangan khawatir, Kongcu, perahu saya kecil bersih, dicat biru dan tanggung tidak bocor. Lima belas chi saja untuk semalam suntuk!”

“Dan perempuan yang kukehendaki itu ada tidak ? Pandai bicara, pandai main musik, bernyanyi dan pandai main catur, tidak menolak minum arak!”

“Wah, wah… yang sepandai itu agaknya, hanyalah Ang-siauw-hwa (Bunga Kecil Merah) seorang… seorang bidadari yang tercantik dan termahal disini!”

“Bagus ! Kau panggil Ang-siauw-hwa untukku,” kata Kwee Seng, senang hatinya.

“Ah, tidak mungkin, Kongcu. Biarlah saya memanggil si Kim-bwe (Bunga Bwee Emas) yang juga pandai segala biarpun tidak secantik Ang-siauw-hwa…”

“Atau si Kim-lian (Teratai Emas) yang pandai meniup suling dan cantik jelita, akan tetapi tidak pandai main catur dan tidak suka minum arak….”

Hati Kwee Seng sudah kecewa.
“Tidak, aku menghendaki Ang-siauw-hwa itu. Mengapa tidak mungkin memanggil dia ? Berapa harganya ? Aku sanggup bayar!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar