“Hemm, kulihat kau seorang yang jujur dan baik. Mengapa engkau hendak membela orang yang meyeleweng daripada kebenaran?”
“Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sutenya, melihat seorang suhengnya terluka lawan, bagaimana aku dapat diam ? Kewajibankulah untuk membelanya ! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku ini!”
Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi “tar-tar-tar!” nyaring sekali.
Diam-diam Kwee seng kagum sekali. Cambuk itu biarpun kelihatan seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berkata.
“Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti Suhengmu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan.” Setelah berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil berkata. “Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak.” Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.
Liu Lu Sian tercengang sejenak lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar. Tinggal Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
“Kauw Bian-sute ! Adik macam apa kau ini ? Kenapa tidak serang dia?”
Kauw Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.
“Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak mau melawan?”
“Uhhh, dasar kau lemah…”
Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena mendadak bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun.
Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.
“Ma Thai Kun ! Bagus sekali perbuatanmu, ya ? Kau layak dipukul seperti anjing!”
Tangan kiri Liu Gan bergerak dan “plakkk, plakkk!” telapak dan punggung tangan sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang.
Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit berbahaya ketika berdongak memandang.
“Twa-suheng, apa kesalahanku?”
“Masih bertanya tentang kesalahan lagi ? Anjing hina kau ! Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu ? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat diampunkan!”
“Suheng, apa buktinya?”
“Setan alas ! Kau kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu ? Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu ! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku. Keparat!!”
Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran, terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
“Twa-suheng, semua itu memang benar ! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian! Dia wanita dan aku laki-laki ! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah-marah?”
Gemeretak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Jahanam hina ! Apa kau kira menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu ? Huh, goblok dan hina ! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu ! Kau sama sekali tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!”
Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.
“Kau… Kauw Bian Sute, mau apa??”
“Maaf, Twa Suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapapun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa Ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri.”
Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sutenya yang paling muda dan memang paling ia sayang itu.
“Ah, Siauw-sute ! Kau masih begini muda namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahanku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau ! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu”
Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.
“Kau menangis, Sute ?” Liu Gan bertanya heran.
Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun.
“Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk selamanya? Betapapun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapapun juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.”
Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Hemmm, agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah Suhengmu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua tiga bulan.”
“Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian ? Itu baik sekali, Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pria dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita daripada si pria.”
“Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi !”
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.
“Tindakan Sam-suheng memang tidak kusetujui, akan tetapi sebagai sutenya, melihat seorang suhengnya terluka lawan, bagaimana aku dapat diam ? Kewajibankulah untuk membelanya ! Orang she Kwee, hayo keluarkan senjatamu dan lawanlah cambukku ini!”
Setelah berkata demikian, Kauw Bian menggerakkan cambuknya keatas dan terdengar bunyi “tar-tar-tar!” nyaring sekali.
Diam-diam Kwee seng kagum sekali. Cambuk itu biarpun kelihatan seperti cambuk biasa, namun ditangan orang ini dapat menjadi senjata yang ampuh sekali. Dan ia kagum akan isi jawaban yang membayangkan kejujuran budi dan kesetiaan yang patut dipuji. Maka Kwee Seng segera menjura dan berkata.
“Kauw-enghiong, sikapmu membuat aku lemas dan aku mengaku kalah terhadapmu. Maafkanlah, aku tidak mungkin mengangkat senjata melawan seorang yang benar, dan aku pun percaya kau tidak seperti Suhengmu untuk menyerang seorang yang tidak mau melawan.” Setelah berkata demikian, Kwee Seng melompat keatas kudanya, menoleh kepada Lu Sian sambil berkata. “Nona, terserah kepadamu ingin melanjutkan perjalanan bersamaku atau tidak.” Lalu ia melarikan kudanya pergi dari situ.
Liu Lu Sian tercengang sejenak lalu tersenyum dan membedal kudanya pula, mengejar. Tinggal Kauw Bian yang masih memegang pecut, tidak tahu harus berbuat apa dan hanya dapat memandang dua buah bayangan yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap itu.
“Kauw Bian-sute ! Adik macam apa kau ini ? Kenapa tidak serang dia?”
Kauw Bian terkejut dan cepat menoleh. Kiranya Ma Thai Kun sudah berdiri di belakangnya, meringis kesakitan dan ke dua lengannya masih bengkak-bengkak.
“Tidak mungkin, Suheng. Dia tidak mau melawanku, bagaimana aku bisa menyerang orang yang tidak mau melawan?”
“Uhhh, dasar kau lemah…”
Mendadak Ma Thai Kun menghentikan omelannya karena mendadak bertiup angin dan sesosok tubuh tinggi besar melayang turun.
Kiranya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang datang. Jelas bahwa tokoh ini marah, sepasang matanya melotot memandang Ma Thai Kun dan begitu kakinya menginjak tanah, ia lalu membentak.
“Ma Thai Kun ! Bagus sekali perbuatanmu, ya ? Kau layak dipukul seperti anjing!”
Tangan kiri Liu Gan bergerak dan “plakkk, plakkk!” telapak dan punggung tangan sudah menampar cepat sekali mengenai sepasang pipi Ma Thai Kun yang terhuyung-huyung ke belakang.
Pucat muka Ma Thai Kun dan matanya menyipit berbahaya ketika berdongak memandang.
“Twa-suheng, apa kesalahanku?”
“Masih bertanya tentang kesalahan lagi ? Anjing hina kau ! Kau, tua bangka, kau berani menaruh hati cinta kepada puteriku, keponakanmu ? Penghinaan besar sekali ini, tidak dapat diampunkan!”
“Suheng, apa buktinya?”
“Setan alas ! Kau kira aku tidak tahu akan segala perbuatanmu ? Sebelum kau membunuhi pemuda-pemuda itu, pada malam hari itu kau membujuk-bujuk Lu Sian dengan kata-kata merayu, kau menyatakan cintamu dan minta kepada Lu Sian agar jangan mau diadakan pemilihan jodoh. Huh, tak malu ! Dan kau begitu cemburu dan membunuhi para pemuda yang tergila-gila kepada Lu Sian, malah engkau membunuh tiga orang pemuda yang sudah kalah oleh Lu Sian. Kemudian sekarang kau berani mampus menghadang Kwee Seng sehingga dikalahkan dan karenanya menampar mukaku. Keparat!!”
Mendengar ini semua, Kauw Bian mukanya sebentar merah sebentar pucat saking heran, terkejut, dan bingung mendengar kelakuan Sam-suheng (Kakak Seperguruan ke Tiga). Namun Ma Thai Kun malah tersenyum.
“Twa-suheng, semua itu memang benar ! Akan tetapi, apa salahnya kalau aku mencinta Lu Sian! Dia wanita dan aku laki-laki ! Agama kita tidak melarang akan hal ini, tidak melarang perjodohan antar keluarga, apalagi antara kita hanya ada hubungan keluarga seperguruan. Twa-suheng, memang aku mencinta Lu Sian dengan sepenuh jiwaku. Lu Sian sendiri tidak marah mendengar pengakuanku, mengapa Suheng marah-marah?”
Gemeretak bunyi gigi dalam mulut Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Jahanam hina ! Apa kau kira menjadi tanda bahwa dia membalas cintamu ? Huh, goblok dan hina ! Lu Sian selalu akan gembira mendengar orang laki-laki jatuh cinta kepadanya, karena ia ingin menikmati kelucuan badut-badut itu ! Kau sama sekali tidak memandang mukaku, maka kau harus binasa sekarang juga!”
Liu Gan sudah bergerak maju, akan tetapi ia menarik kembali tangannya ketika melihat Kauw Bian melompat ke tengah menghalanginya.
“Kau… Kauw Bian Sute, mau apa??”
“Maaf, Twa Suheng. Terus terang saja siauwte sendiri tidak setuju perbuatan Ma-suheng itu. Akan tetapi, Twa-suheng, betapapun besar kesalahannya, kiranya tidaklah baik kalau Twa-suheng menjatuhkan hukuman mati kepada Ma-suheng. Pertama, mengingat akan saudara seperguruan, ke dua hal itu akan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw dan merendahkan nama besar Twa-suheng, malah menyeret pula nama Beng-kauw yang kita cintai. Betapa dunia kang-ouw akan gempar kalau mendengar bahwa Ketua Beng-kauw membunuh adik seperguruannya sendiri.”
Liu Gan mengerutkan kening, menarik napas panjang dan memeluk sutenya yang paling muda dan memang paling ia sayang itu.
“Ah, Siauw-sute ! Kau masih begini muda namun pandanganmu luas, pikiranmu sedalam lautan. Untung ada engkau yang dapat menahan kemarahanku. Eh, Ma Thai Kun, minggatlah kau ! Mulai detik ini, aku tidak sudi lagi melihat mukamu dan kalau kau berani muncul di depanku, hemmm, aku tidak peduli lagi, pasti aku akan membunuhmu”
Ma Thai Kun menjura dalam-dalam lalu membalikkan tubuh dan lenyap di antara pohon-pohon. Kauw Bian menarik napas panjang dan mengusap dua titik air matanya dari pipi.
“Kau menangis, Sute ?” Liu Gan bertanya heran.
Dengan suara serak Kauw Bian menjawab, masih membalikkan tubuh memandang ke arah perginya Ma Thai Kun.
“Perbuatan manusia selalu mendatangkan kebaikan dan keburukan, Twa-suheng. Kalau kita mengingat yang buruk-buruk saja memang dapat menimbulkan benci. Akan tetapi saya teringat akan kebaikan-kebaikan Ma-suheng selama menjadi kakak seperguruan, dan bagaimana hati saya takkan sedih melihat dia pergi untuk selamanya? Betapapun juga, beginilah agaknya yang paling baik. Dengan penuh duka adikmu ini melihat betapapun juga Ma-suheng pergi membawa serta dendam dan kebencian yang hebat, yang tentu akan membuatnya nekat dan melakukan hal-hal yang berbahaya. Akan tetapi karena Twa-suheng mengusirnya, berarti bahwa semua perbuatannya tiada sangkut-pautnya dengan Beng-kauw.”
Mendengar kata-kata ini, berkerut kening Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Hemmm, agaknya benar lagi pendapatmu tentang baik buruk yang lekat pada perbuatan manusia. Kwee Seng kelihatan seorang yang pilihan, akan tetapi siapa tahu sewaktu-waktu sifat buruknya akan menonjol pula. Kauw Bian Sute, kau kembalilah dan bantulah Suhengmu Liu Mo menjaga Beng-kauw dan beri laporan kepada Sri Baginda bahwa aku akan merantau selama dua tiga bulan.”
“Twa-suheng hendak membayangi perjalanan Kwee Seng dan Lu Sian ? Itu baik sekali, Twa-suheng, karena perjalanan bersama antara seorang pria dan wanita, sungguh merupakan bahaya besar yang bahayanya lebih banyak mengancam si wanita daripada si pria.”
“Sute, kau benar-benar berpemandangan tajam. Nah, aku pergi !”
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan berkelebat, angin menyambar dan ia sudah lenyap dari depan Kauw Bian. Pemuda yang berpakaian sederhana seperti pengembala ini menarik napas panjang saking kagumnya, kemudian ia pun melangkah pergi dari hutan itu.
**** 009 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar