FB

FB


Ads

Minggu, 10 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 090

Kini, menghadapi tiga orang lawan yang mengeroyoknya dan yang berusaha sunguh-sungguh untuk membunuhnya, Sin Liong menjadi repot juga. Apalagi dia hanya mengelak, menangkis, dan kadang-kadang membalas serangan dengan gerakan yang diperlambat dan diperlunak karena takut kalau-kalau salah tangan membunuh orang.

Dengan demikian, dia lebih banyak diserang daripada balas menyerang. Seratus jurus telah lewat dan pemuda yang luar biasa ini belum juga dapat dikalahkan oleh para pengeroyoknya. Hal ini membuat mereka bertiga menjadi penasaran, marah dan malu sekali.

Biarpun di tempat itu tidak ada orang lain kecuali para anak buah mereka yang kini mulai bermunculan dan mengurung tempat itu, orang-orang katai dan juga para anak buah Rawa Bangkai, namun tiga orang itu tentu saja merasa malu bahwa mereka bertiga maju bersama dengan senjata lengkap sampai seratus jurus tidak mampu membekuk atau menewaskan seorang pemuda yang bertangan kosong!

The Kwat Lin yang selama ini merasa bahwa dia tidak menemukan tandingan, biarpun tahu betapa lihainya murid bekas sumoinya ini, namun dia telah dibantu oleh dua orang pandai dan belum juga dapat menang, maka dia merasa penasaran sekali.

Kiam-mo Cai-li yang selama ini terkenal sebagai datuk kaum sesat yang lihai, selama hidupnya baru sekali ini dia mengeroyok seorang pemuda dengan dua orang teman yang kepandaiannya lebih tinggi dari dia sendiri, maka dia pun penasaran.

Terutama sekali Ouwyang Cin Cu. Sebelum ini sukar membayangkan bahwa dia, yang memiliki ilmu-ilmu luar biasa, akan mengeroyok seorang pemuda seperti itu. Hal ini benar-benar menyakitkan hati dan menghancurkan kebanggaan hati mereka akan ilmu kepandaian mereka masing-masing yang sudah terkenal di dunia kang-ouw.

"Pemuda setan, mampuslah!!"

Ouwyang Cin Cu berteriak keras, pedang birunya untuk ke sekian kalinya menyambar ganas ke arah leher Sin Liong, sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah perut.

Pada saat itu, Sin Liong baru saja menyingkirkan pedang di tangan The Kwat Lin yang menyambar kakinya dengan cara menendang pergelangan tangan bekas ibu gurunya itu sehingga The Kwat Lin terpaksa menarik kembali pedangnya dan meloncat ke samping.

"Hiaaaaaattttt!!"

Kiam-mo Cai-li yang sudah memuncak kemarahannya itu pun membarengi serangan Ouwyang Cin Cu dari belakang, kukunya mencengkeram ke arah punggung Sin Liong sedangkan pedang payungnya berputar-putar mengancam tengkuk.

Dalam demi detik berbahaya itu Sin Liong maklum akan datangnya ancaman maut dari depan dan belakang. Tiba-tiba dia berteriak, tubuhnya melesat ke atas dan tak dapat dicegah lagi, pedang payung bertemu dengan pedang biru.

"Cringgggggg.....!!"

Pada saat itulah Sin Liong yang mencelat ke atas itu bergerak cepat bukan main, tubuhnya sudah berjungkir balik, menukik turun dan kedua tangannya menyambar seperti sepasang garuda.

"Plak! Plak!"

Ouwyang Cin Cu dan Kiam-mo Cai-li mengeluh. Kakek itu terhuyung dan memuntahkan darah segar, sedangkan Kiam-mo Cai-li terguling-guling, kemudian meloncat berdiri dengan muka pucat. Baju di pundak ke dua orang sakti ini robek terkena tamparan tangan Sin Liong!

“Orang muda, lihat ini....!!"

Tiba-tiba Ouwyang Cin Cu berseru aneh sekali, pedang birunya diputar-putar merupakan sinar biru bergulung-gulung di depannya.

Sin Liong mengira bahwa kakek itu akan menyerangnya atau akan menggunakan senjata rahasia, maka dia memandang penuh perhatian. Terkejutlah dia ketika sekali memandang, berarti sekali menuruti kata-kata kakek itu, dia merasa betapa pandang matanya sukar dialihkan lagi dari gulungan sinar biru itu!

"Orang muda, engkau telah lelah, mengasolah.... duduklah kau.....!" kembali suara kakek itu mendengung dengan aneh dan mendatangkan pengaruh yang ajaib.






Sin Liong menggoyang-goyang kepalanya, berusaha mengusir pengaruh yang memaksanya untuk duduk itu. Seketika dia merasa tubuhnya lelah bukan main. Dia maklum bahwa kakek itu kembali menggunakan ilmu hitamnya dan kesadaran ini mendatangkan kekuatan kepada dirinya. Dia mengerahkan sinkangnya untuk menolak pengaruh itu sehingga tubuhnya kadang-kadang diserang kelelahan, kemudian lenyap lagi, datang lagi seolah-olah terjadi "pertandingan" yang tidak tampak.

Akan tetapi, karena terlalu mencurahkan perhatiannya kepada kakek yang menyerangnya dengan sihir, dan menggunakan sinkangnya untuk melawan pengaruh aneh itu, perhatian Sin Liong terhadap dua orang lawan lainya menjadi berkurang banyak.

Dua orang wanita itu tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Melihat betapa pemuda itu kelihatan bengong dan menghentikan gerakannya, Kiam-mo Cai-li cepat menyerang, akan tetapi dia didahului oleh The Kwat Lin yang sudah menusukan Ang-bwe-kiam ke arah lambung Sin Liong, disusul oleh tusukan pedang payung dan cengkeraman kuku tangan kiri Kiam-mo Cai-li, kemudian disusul oleh hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung imkang amat dahsyatnya.

Ketika merasa adanya angin yang menyambar-nyambar menyerangnya, Sin Liong berusaha mengelak. Dengan kedua tangannya yang melakukan gerakan membalik, dia dapat memukul tangan Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin yang memegang pedang dan gerakannya ini hebat bukan main sehingga kedua wanita itu memekik dan pedang mereka terlepas dari pegangan!

Akan tetapi, kuku jari tangan Kiam-mo Cai-li yang beracun itu berhasil mencengkeram pundak dekat tengkuk Sin Liong dan pada saat yang hampir sama, tangan kiri The Kwat Lin menghantam punggungnya dengan hebat.

"Plakk! Dessss....!!"

Tubuh Sin Liong terguling, cengkeraman kuku tangan Kiam-mo Cai-li belum tentu akan dapat merobohkan karena secara otomatis hawa sinkang di tubuhnya melindungi tempat yang dicengkeram, akan tetapi hantaman tangan kiri The Kwat Lin yang mengandung tenaga im-kang yang dingin itu terlalu keras bagi Sin Liong yang pada saat itu sedang mencurahkan tenaga melawan sihir Ouwyang Cin Cu. Dia masih terlindung oleh sinkangnya yang otomatis sehingga tidak mengalami luka dalam yang terlalu parah, akan tetapi guncangan yang hebat akibat pukulan itu membuat dia pingsan!

Melihat pemuda yang membuatnya malu dan penasaran itu sudah roboh pingsan, dengan gemasnya ouwyang Cin Cu meloncat dekat, mengangkat tangan kirinya menghantam ke arah ubun-ubun kepala Sin Liong untuk membunuhnya.

"Wuuuuuttt... plakk!”

“Ehhhh? Kiam-mo Cai-li, mengapa kau menangkis dan melindunginya?" Ouwyang Cin Cu membentak kaget dan melotot memandang kepada kekasih barunya ini.

Kiam-mo Cai-li tersenyum penuh arti, matanya yang indah itu dengan lirikan yang memikat.

"Sayang sekali kalau dibunuh begitu saja!" katanya sambil mengusap dagu Sin Liong yang masih pingsan. "Dia adalah sin-tong, kalau aku bisa mendapatkan dia, manfaatnya melebihi seratus orang jejaka lain...."

"Huh, kau memang cabul!" Ouwyang Cin Cu mencela akan tetapi tidak berani turun tangan lagi.

"Tidak, dia harus dibunuh! kalau dibiarkan hidup berbahaya sekali, akan tetapi juga jangan sampai ada bekasnya, jangan sampai ada yang tahu bahwa kita yang membunuhnya. Kita lempar dia di sumur ular, juga gadis itu. Mereka berdua harus mati, akan tetapi tidak boleh meninggalkan jejak!"

"Ah, ya.... gadis itu....!"

Ouwyang Cin Cu yang teringat kepada gadis berpunggung putih mulus itu segera berlari ke dalam guha terowongan untuk mencari Swat Hong. Tentu saja dia tidak akan membunuh gadis itu begitu saja sebelum melakukan kecabulan yang sama seperti yang berada di dalam benak Kiam-mo Cai-li!

Akan tetapi tak lama kemudian dia kembali dengan muka berubah.
"Dia.... dia tidak ada!"

"Apa....?" The Kwat Lin berseru dengan muka pucat. "Kalau begitu..... lekas kita lemparkan dia ini ke sumur ular kemudian cari gadis itu sampai dapat....!”

The Kwat Lin sendiri menggotong tubuh Sin Liong yang masih pingsan itu dan beramai-ramai mereka menuju ke sebuah sumur di dalam guha terowongan. Sumur ini lebarnya hanya satu setengah meter, dalamnya sukar diukur karena amat gelap dan dari atas orang dapat menangkap suara mendesis-desis karena sumur itu penuh dengan ular-ular berbisa. Hawa yang memuakkan dapat tercium dari atas, bau yang harum aneh bercampur amis. Tanpa ragu-ragu lagi The Kwat Lin melemparkan tubuh yang pingsan itu ke dalam sumur.

Mereka semua menanti, ingin mendengar keluhan atau rintihan atau pekik ketakutan dari pemuda yang diberikan kepada ular-ular berbisa itu. Namun tidak terdengar sesuatu dan mereka menganggap bahwa tentu pemuda yang pingsan itu tidak sadar kembali dan terus mati karena dikeroyok ular dalam keadaan pingsan.

"Cepat kerahkan orang untuk mencari gadis itu!"

The Kwat Lin berkata, dan sibuklah mereka semua mencari Swat Hong, namun sampai habis seluruh lorong terowongan itu dijelajahi dan sampai jauh di luar, di sekitar Rawa Bangkai, tetap saja tidak tampak bayangan gadis itu yang seolah-olah lenyap ditelan bumi!

"Heran sekali, tadi ketika ditinggalkan pemuda itu, dia masih pingsan!" kata Ouwyang Cin Cu ketika mereka bertiga kembali berkumpul di dalam guha di depan sumur ular.

"Kenapa kau pucat sekali? Gadis itu tidak terlalu berbahaya kukira. Andaikata dia berhasil melarikan diri, biarkan dia datang. Pemuda itu yang lebih hebat pun dapat kita basmi," kata Kiam-mo Cai-li ketika melihat betapa The Kwat Lin nampak ketakutan dan mukanya pucat.

"Aihhh... kau tidak tahu....! Lenyapnya Swat Hong begitu aneh...., aku takut kalau-kalau...."

"Mengapa? Apa yang perlu ditakuti?" Ouwyang Cin Cu juga berkata.

"Kalau ayahnya yang datang, kita celaka. Baru muridnya saja sudah demikian sukar dilawan, apalagi Gurunya..."

"Bekas suamimu?" Kiam-mo Cai-li bertanya.

"Raja Pulau Es?"

Ouwyang Cin Cu juga berkata sambil menengok ke kanan kiri, karena gentar juga mendengar tentang guru pemuda luar biasa tadi.

"Kalau begitu, sebaiknya kita cepat mengunjungi utara dan menghadap An Tai-goanswe," kata Kiam-mo Cai-li.

"Benar, kalau terlalu lama, tentu aku akan ditegur. Beliau telah menanti-nanti!" kata pula Ouwyang Cin Cu karena kini hatinya gentar sekali seperti halnya Kiam-mo Cai-li.

"Memang sebaiknya kita pergi hari ini juga. Akan tetapi hatiku belum puas kalau belum yakin benar akan kematian Sin Liong. Pemuda itu terlalu berbahaya dan lihai, siapa tahu dia masih belum mati di dalam sana."

"Aiihhhh, siapa dapat hidup di lempar ke dalam sumur yang penuh ular berbisa itu?" Ouwyang Cin Cu berkata sambil bergidik karena dia merasa ngeri juga memikirkan hal itu.

Kiam-mo Cai-li tertawa.
"The-lihiap, mengapa khawatir? Aku sebagai pemilik tempat ini mengerti betul bahwa sumur itu merupakan sumur maut. Entah sudah berapa banyak..... eh, orang-orang yang kulempar ke situ dan tidak pernah ada yang dapat hidup kembali. Sumur itu dahulunya memang merupakan sarang ular-ular berbisa, kemudian kutambah lagi dengan ratusan ekor ular berbisa lain. Kurasa jangankan baru pemuda itu, biar dewa sekalipun kalau terjatuh ke dalam sumur itu tentu mampus!"

Dan memang apa yang diceritakan oleh wanita ini benar. Sudah banyak pria yang dia lempar ke dalam sumur itu, yaitu para pria yang diculiknya dan menjadi korban nafsu berahinya. Setelah dia merasa bosan, para korban itu dilempar ke dalam sumur menjadi mangsa ular-ular berbisa.

"Betapapun juga, aku masih belum yakin benar, Cai-li."

"Kalau begitu, kita runtuhkan saja guha ini agar sumur tertutup dan tidak ada jalan keluar lagi baginya andaikata dia benar masih hidup." Ouwyang Cin Cu memberikan usulnya.

"Memang baik sekali begitu," kata The Kwat Lin.

Kiam-mo Cai-li setuju dan mengerahkan semua anak buah Rawa Bangkai, juga orang-orang katai untuk meruntuhkan guha itu sehingga sumur ular itu tertutup oleh batu-batu besar dan tidak ada jalan keluar dari tempat yang terpendam batu-batu besar itu.

Kemudian bergegas tiga orang ini mengajak anak buah mereka meninggalkan Rawa Bangkai dan diam-diam secara terpencar, mereka melakukan perjalanan ke utara untuk membantu pergerakan Jenderal An Lu Shan yang sudah mulai mempersiapkan kekuatannya untuk menyerbu kota raja.

**** 090 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar