FB

FB


Ads

Selasa, 05 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 078

Dengan hati kagum Liu Bwee dan Ouw Sian Kok menyaksikan betapa delapan belas orang pendekar itu beraksi. Seorang di antara mereka, yang betubuh tinggi besar dan jelas membayangkan tenaga yang hebat, berdiri di tepi jurang, memasang kuda-kuda dan mengarahkan Tenaga Sakti Ban-kin-liat sehingga kedua kakinya seolah-olah berakar di dalam tanah yang diinjaknya. Di dalam latihannya, apalagi orang berkaki kuat ini sudah memasang kuda-kuda seperti itu, enam ekor kuda pun tidak akan mampu menarik kedua kakinya terlepas dari tanah!

Dia berdiri memasang kuda-kudanya di belakang sebongkah batu yang menonjol sedikit dari dalam tanah, batu yang merupakan batu raksasa tertanam di tepi jurang itu. Kemudian, seorang saudaranya melompat dan berdiri di atas pundaknya. Disusul pula oleh loncatan orang ke tiga dan ke empat sehingga mereka berdiri tersusun, masing-masing berdiri di pundak saudaranya dengan tegak dan sedikit pun tidak bergoyang seolah-olah merupakan sebatang pohon yang kokoh!

Setelah itu, orang ke lima merayap naik melalui tubuh empat orang saudaranya, terus berdiri di atas pundak orang yang berada paling atas, disusul oleh orang ke enam yang berdiri di atas pundak orang ke lima dan demikian seterusnya sampai ada tujuh belas orang berdiri susun menyusun amat tingginya, namun sedikit pun tidak bergoyang dan orang yang berada paling bawah kelihatan tidak bergeming, seolah-olah beban enam belas orang banyaknya itu tidak terasa amat berat baginya!

Kemudian atas aba-aba Song Kiat yang berada paling atas, kaki masing-masing yang tadinya menginjak pundak orang dibawahnya itu merosot ke belakang pundak dan kedua betisnya ditangkap oleh kedua tangan orang bawah, dan pada saat itu, susunan orang itu mendoyong ke depan dan terus mendoyong dengan cepatnya seperti akan runtuh ke dalam jurang. Orang ke delapan belas yang tidak ikut naik tadi, kini membantu orang paling bawah, memasang kuda-kuda dan memegangi kedua kaki orang terbawah yang sudah mengait pada tonjolan batu tadi.

Melihat ini, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok merasa cemas sekali. Mereka mulai mengerti bagaimana cara mereka itu membentuk sebuah jembatan manusia, akan tetapi cara itu sungguh amat berbahaya, selain membutuhkan ginkang dan sinkang yang kuat, ketangkasan yang terlatih, juga membutuhkan nyali yang amat besar karena sekali saja meleset atau sedikit saja salah perhitungan, bisa mengakibatkan tewasnya delapan belas orang itu terjerumus kedalam jurang!

Kini susunan orang itu telah melintang dan orang teratas telah berhasil mencapai seberang dan menyambar akar pohon yang amat kuat, yang berdiri di seberang. Maka jadilah "jembatan" istimewa itu! Sunguh merupakan demonstrasi ketangkasan yang luar biasa dan berbahaya bukan main!

Sejenak Liu Bwee dan Ouw Sian Kok tercengan, penuh keheranan dan kagum. Baru mereka sadar ketika terdengar suara orang yang memegangi kaki orang terbawah tadi,

"Taihiap dan Lihiap, silahkan menyeberang lebih dulu agar dapat melindungi kami di seberang sana!"

Kata-kata ini menyadarkan kedua orang itu dan ketika Liu Bwee memandang kepada Ouw Sian Kok, putera Ketua Pulau Neraka ini mengangguk. Dengan tombak rampasan di tangannya, Ouw Sian Kok tanpa ragu-ragu lagi lalu melangkah dan "Menyeberang" melalui jembatan manusia yang sambung menyambung dan menelungkup itu sambil mengerahkan ginkangnya. Dia melangkah dengan cekatan dan ringan sekali sehingga tak lama kemudian Ouw Sian Kok telah tiba di seberang sana, lalu melambaikan tangannya kepada Liu Bwee yang memandang dengan kagum.

Setelah melihat betapa Ouw Sian Kok menyeberang Liu Bwee lalu mencontoh perbuatan temannya itu. Dengan pedang rampasan di tangan kanan, dengan hati-hati sambil mengerahkan ginkangnya, Liu Bwee mulai menyeberangi "jembatan" istimewa itu dan melangkah sambil mengatur keseimbangan tubuhnya. Betapapun lihainya, Liu Bwee tidak berani menengok ke bawah karena dia merasa ngeri juga!

Akhirnya dia berhasil mencapai tepi seberang dan meloncat ke bawah pohon dekat Ouw Sian Kok sambil berkata,

"Mereka benar-benar merupakan pendekar-pendekar yang mengagumkan."

Ouw Sian Kok mengangguk dan merasa girang bahwa dia dan Liu Bwee telah mengambil keputusan untuk membantu delapan belas orang gagah ini. Setelah dua orang itu menyeberang dengan selamat, orang ke delapan belas yang berada paling belakang, lalu mengeluarkan suara teriakan sebagai isyarat kepada saudara-saudaranya, kemudian orang terakhir juga memegangi kedua betis orang ke tujuh belas dan melompat ke bawah jurang!

Liu Bwee hampir menjerit karena ngerinya menyaksikan betapa jembatan manusia itu seolah-olah putus di ujung sana dan kalau tadi ketika membentuk jembatan mereka saling berdiri di pundak orang di bawahnya, kini mereka saling bergantungan pada kaki orang yang berada di atasnya.

Yang mengerikan adalah ketika susunan orang yang delapan belas banyaknya ini meluncur ke bawah dari ujung sana dan agaknya akan terbanting hancur pada dinding karang di seberang sini. Namun, dengan cekatan dan terlatih, masing-masing kini hanya merangkul kedua kaki teman di atas dengan sebuah lengan saja sedangkan tangan yang bebas dipergunakan untuk mendorong ke depan, ke arah dinding karang ketika tubuh mereka terayun dekat dinding.






Akhirnya, selamatlah rangkaian orang ini tergantung di sepanjang dinding karang dan kini yang paling berat baginya adalah Song Kiat karena dia merupakan orang pertama paling atas yang menggunakan kekuatan kedua tangannya, bergantung pada akar pohon dan menahan berat tujuh belas orang sutenya itu yang bergantung pada kakinya!

Pantas saja twa-suheng ini menjadi orang pertama karena memang tugasnya paling berat, dan ji-suheng (kakak seperguruan ke dua belas) dari delapan orang pendekar itulah yang menjadi orang terakhir, yaitu Si Tinggi Besar tadi.

Ouw Sian Kok mengangguk kagum ketika bersama Liu Bwee dia melihat betapa orang yang bergantung paling bawah kini mulai merayap naik ke atas, disusul oleh orang ke dua, ketiga dan seterusnya sehingga tak lama kemudian, kedelapan belas orang itu telah dapat meloncat ke tepi dengan selamat!

"Bagus! Cuwi memang pantas menjadi Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong!" Ouw Sian Kok memuji.

"Taihiap terlalu memuji. kami telah melihat daerah ini dan penyeberangan secara membuat jembatan tadi telah kami latih selama berbulan-bulan baru hari ini kami berani mencoba menyeberangi tempat ini. Sekarang selanjutnya kami hanya mengharapkan bantuan Jiwi, karena An Lu Shan memiliki banyak sekali kaki tangan yang amat lihai. Menurut penyelidikan kami, pada saat ini, Telaga Utara kosong sehingga kita boleh menyelidiki dengan aman karena kalau jenderal pemberontak itu tidak berada di sini, penjagaan tidaklah demikian kuat."

Ouw Sian Kok menoleh ke kanan kiri, lalu menghela napas dan berkata,
"Kuharap saja Cuwi (Saudara Sekalian) tidak sampai membuat salah perhitungan. Menurut penglihatanku, tempat rahasia seorang berpangkat tinggi tentulah selalu dijaga ketat dan tempat ini kelihatan begitu sunyi senyap, seperti sebuah pulau kosong saja. Hal ini bahkan menimbulkan kecurigaan...."

"Apapun yang akan terjadi, setelah kita berada di sini, akan kita hadapi bersama. Ouw-toako, tidak perlu kita khawatir." Liu Bwee menghibur.

Mereka lalu begerak maju memasuki daerah itu dan tak lama kemudian tibalah mereka di tepi telaga dan sudah tampak bangunan besar yang berada di tengah telaga. Selama itu, tidak nampak seorang pun penjaga sehingga Ouw Sian Kok merasa makin khawatir dan curiga.

"Hemm, hanya ada dua kemungkinan. Mereka telah pindah dan meninggalkan tempat ini, atau kita masuk perangkap!"

Baru saja Ouw Sian Kok mengeluarkan kata-kata ini, terdengar suara tertawa disusul suara gerakan banyak orang dan muncullah puluhan orang dari jembatan telaga maupun dari belakang pohon dan semak-semak.

"Celaka, kita terjebak...!" Song Kiat berseru. "Taihiap Lihiap, kita kembali saja!"

Tergesa-gesa delapan belas orang pendekar itu memutar tubuh dan lari kembali ke jurang di mana mereka menyeberang tadi, diikuti oleh Ouw Sian Kok dan Liu Bwee. Akan tetapi, begitu tiba di tepi jurang, Song Kiat menjadi pucat dan memandang ke depan dengan mata terbelalak, demikian pula para sutenya.

Ternyata di tempat penyeberangan itu, di sebelah sana tampak berbaris pasukan yang siap dengan busur dan anak panah mereka. Dengan adanya pasukan panah itu tidak mungkin lagi bagi mereka untuk melarikan diri dengan membentuk jembatan manusia seperti tadi. Tentu mereka akan dihujani anak panah dan akan tewas semua.

Melihat betapa delapan belas orang pendekar itu kebingungan, Ouw Sian Kok berkata dengan suara agak kecewa,

"Mengapa Cuwi menjadi bingung setelah berhadapan dengan musuh?"

"Taihiap tidak tahu, memang benar dugaan Taihiap tadi bahwa kita terperosok ke dalam perangkap. Penyelidikan kita yang sudah-sudah pun agaknya sudah diketahui oleh orang-orang An Lu Shan. Ternyata secara diam-diam An Lu Shan berada di sini, lengkap dengan semua pembantunya dan hal ini amatlah berbahaya."

"Berbahaya atau tidak, kita sudah menghadapinya dan perlu apa bingung? Kebingungan hanya akan membuat kita tidak tenang dan lemah. Hadapilah apa saja yang kita temui, berbahaya maupun tidak. Apa gunanya hidup sebagai pendekar kalau matinya seperti pengecut?"

Mendengar ucapan Ouw Sian Kok ini, bangkitlah semangat kepahlawanan delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu.

"Ucapan Taihiap tepat sekali! Maafkan kalau tadi kami bingung karena hal ini sama sekali tidak kami duga-duga dan apalagi kami telah mengajak Jiwi ke sini, berarti kami menyeret Jiwi ke dalam bahaya pula."

"Hidup memang merupakan keadaan yang penuh bahaya, tergantung kita menghadapinya."

Liu Bwee berkata. Memang bagi wanita yang sudah mengalami banyak kesengsaraan, apalagi sejak kecil tinggal di Pulau Es, bahaya bukanlah apa-apa dan merupakan hal yang wajar.

"Kalau begitu, mari kita ke telaga dan kita hadapi An Lu Shan sendiri. Setelah menghadapi dia, tugas kami berubah, tidak lagi melakukan penyelidikan melainkan kalau perlu menewaskan jenderal pemberontak itu!" Song Kiat berkata penuh semangat sambil mencabut pedangnya.

Gerakan ini diikuti oleh tujuh belas orang sutenya dan dengan berlari cepat mereka kembali ke telaga di mana telah menanti An Lu Shan dan semua pembantunya. Akan tetapi mereka tercengang ketika tiba ditempat itu, mereka melihat An Lu Shan sendiri diiringkan oleh puluhan orang yang bermacam-macam bentuk dan keadaannya, menanti dengan sikap tenang, sama sekali tidak memperlihatkan sikap permusuhan, akan tetapi mereka juga melihat betapa tempat itu telah dikurung oleh banyak sekali orang-orang yang bersenjata lengkap!

Delapan belas orang itu tidak tahu harus berkata apa, akan tetapi mereka sudah siap untuk melawan dengan nekat dan mati-matian apabila diserang oleh pasukan yang demikian banyaknya.

Ternyata memang An Lu Shan telah mengatur perangkap ini. Ketika mendengar pelaporan dari anak buahnya yang berhasil menyelamatkan diri betapa delapan belas orang pendekar dari Bu-tong-pai yang tadinya sudah hampir dapat dibasmi itu diselamatkan oleh dua orang laki-laki dan wanita yang memiliki kesaktian luar biasa, An Lu Shan merasa tertarik sekali dan cepat dia mengatur persiapan untuk menyambut mereka.

"Mereka tentu akan mengunjungi tempat ini," katanya. "Biarkan mereka menyeberang dan jangan menurunkan tangan besi sebelum mendapatkan perintahku. Aku ingin untuk bicara dulu dengan mereka, siapa tahu kita dapat membujuk mereka untuk bekerja sama, terutama dua orang sakti itu."

Demikianlah, karena memandang rendah kecerdikan An Lu Shan, delapan belas orang murid Bu-tong-pai itu masuk ke dalam perangkap yang memang telah dipasang oleh jenderal itu. Kalau dia menghendaki, tadi ketika delapan belas orang itu membuat jembatan manusia, tentu dengan mudah dia akan membasmi mereka.

"Hemm, Cuwi tentulah Bu-tong Cap-pwe Enghiong yang gagah perkasa," terdengar An Lu Shan berkata dengan suaranya yang nyaring penuh wibawa, kasar dan tidak memakai banyak sopan santun pula. "Ada keperluan apakah Cuwi mengunjungi tempat kami ini?"

Karena tidak mungkin lagi berpura-pura atau membohong, maka sesuai dengan wataknya sebagai pendekar, Song Kiat menjawab dengan suara lantang,

"Kami datang untuk membunuh Jenderal pemberontak An Lu Shan!"

Tentu saja jawaban ini membuat marah para pembantu jenderal itu, yang sudah kelihatan gatal tangan untuk membasmi musuh, akan tetapi An Lu Shan menggerakkan tangan ke atas mencegah dan dia berkata lagi, ditujukan kepada delapan belas orang pendekar itu, akan tetapi diam-diam matanya yang tajam menyapu dengan penuh selidik kepada laki-laki setengah tua yang memegang tombak dan wanita cantik yang memegang pedang di dekat delapan belas pendekar itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar