FB

FB


Ads

Minggu, 03 Februari 2019

Bukek Siansu Jilid 075

"Ke mana...? Mereka semua ke mana ....?"

Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong dan sunyi itu.

Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata suaranya tegas dan penuh rasa iba,

"Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai."

Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak.

"Ahhh....! Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!"

Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan.

"Aku khawatir sekali, Tonio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"

"Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?"

Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik.

Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.

"Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...."

Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya!

"Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong."

"Ohhh....!!"

Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya. Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali. Raja Pulau Es benar-benar hebat, dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara itu.

"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.

Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat membayangkan apa yang terjadi.

"Duhai suamiku.... betapa kau menderita hebat...." bisiknya diantara isak tangisnya.

Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding. namun, kekuatan badai yang amat dahsyat itu akhirnya menang dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai, lenyap dalam perut lautan.






Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah. Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia membaca lagi,

"Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal."

Membaca ini, Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakkannya ke dalam sebuah kamar. Ketika memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat sehingga keadaannya gawat.

Dengan tergesa-gesa, Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokkan obat itu ke dalam mulut Liu Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkangnya sehingga semalam suntuk dia duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat.

Pada keesokan harinya, Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat mujarab.

Setelah tangisnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.

"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?"

"Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah,"

"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"

"Hemmm...., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?"

"Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus sisa air matanya.

"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biarpun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau kosong ini."

Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak.
"Bagaimana engkau bisa tahu?"

"Aku melihat bekas tapak kaki mereka, tapak kaki seorang wanita dan seorang pria, masih jelas membekas di bagian es yang membeku di atas sana, dan aku juga menemukan ini."

Ouw Sian Kok mengeluarkan sehelai saputangan hijau dan memberikannya kepada Liu Bwee.

Liu Bwee menyambar saputangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata. Dia mendekap saputangan itu dan berkata,

"Benar, ini adalah saputangan pengikat rambut anakku! Di mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!"

Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas dan benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong?

"Tidak salah lagi, tentu anakku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu dengan puteriku, Ouw-twako."

Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal.
"Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu."

"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."

Ouw Sian Kok mengangguk-angguk.
"Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio ke daratan besar di barat sana?"

Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan khawatir, ke mana harus mencari puterinya, padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi.

Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia berkata,

"Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."

Berseri wajah Liu Bwee dan dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan terima kasih, akan tetapi mulutnya berkata,

"Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...."

"Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria. Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri apalagi hendak mencari puterimu didaratan besar? Aku sudah merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi kutemani."

"Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako. Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?"

Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah.

Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya,
"Pandang matamu itu sudah merupakan pembalasan yang berlipat ganda bagiku."

Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar, namun biarpun dia bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu maka dia tidaklah amat menderita bahkan dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.

**** 075 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar