Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atas diri Liu Bwee.
Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu?
Karena tidak mengenal jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya.
Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur.
Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, bertapa selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau.
Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh arus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam.
Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus berpegang kuat-kuat mengerahkan sinkangnya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena air menghantam seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...."
Liu Bwee melihat ke kanan kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu.
Kembali datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegang erat-erat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.
"Haiiii....! Yang di sana itu.....! Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!"
Teriakan suara laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh....!"
Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan.
"Matilah aku...." bisiknya.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya.
Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu.
Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu.
Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisa padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat.
Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.
"Cepat.... cepatlah!"
Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya, tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!
"Aneh....!"
Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.
"Aneh sekali....!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang.
"Ahhhh....!" Dia berkata lalu mengangkat muka memandang.
Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya tampak sebatang pedang.
Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata "aneh" dan tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Engkaukah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.
Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata,
"Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali....!"
"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya.
"Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau merasa berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya,
"Bagaimana Inkong bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."
"Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toa-nio...."
Kembali wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri.
"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."
"Untung bagiku, engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."
"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....."
"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."
"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?"
"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya."
Dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguhpun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhhh??" Kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"
"Dia anaknya...."
Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan kata-katanya.
Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya.
"Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."
Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu?
Karena tidak mengenal jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya. Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya.
Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur.
Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, bertapa selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau.
Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh arus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam.
Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus berpegang kuat-kuat mengerahkan sinkangnya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena air menghantam seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...."
Liu Bwee melihat ke kanan kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu.
Kembali datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegang erat-erat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.
"Haiiii....! Yang di sana itu.....! Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!"
Teriakan suara laki-laki ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh....!"
Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan.
"Matilah aku...." bisiknya.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya.
Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu.
Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain menariknya ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu.
Dia berenang hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisa padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat dahsyat.
Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.
"Cepat.... cepatlah!"
Dia merintih dan dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya, tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri!
"Aneh....!"
Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan yang membantu peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.
"Aneh sekali....!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang.
"Ahhhh....!" Dia berkata lalu mengangkat muka memandang.
Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya bersih dan rapi, di punggungnya tampak sebatang pedang.
Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata "aneh" dan tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Engkaukah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.
Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata,
"Harap jangan berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia manapun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali....!"
"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya.
"Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau merasa berdebar dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya,
"Bagaimana Inkong bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."
"Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toa-nio...."
Kembali wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri.
"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."
"Untung bagiku, engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."
"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....."
"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."
"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?"
"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya."
Dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguhpun kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhhh??" Kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"
"Dia anaknya...."
Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan kata-katanya.
Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya.
"Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar