Sudah terlalu lama kita meninggalkan Han Swat Hong. puteri dari Raja Han Ti Ong dan sebaiknya kita mengikuti pengalamanya agar tidak tertinggal terlampau jauh. Seperti kita ketahui, Swat Hong yang berwatak keras itu marah-marah ketika melihat betapa Sin Liong menolong seekor biruang dan tidak mempedulikan dia. Dianggapnya Sin Liong sengaja mencari-cari alasan untuk menghambat perjalanan, padahal dia ingin sekali segera mencari dan menemukan ibunya yang tidak ia ketahui kemana perginya dan bagaimana nasibnya setelah badai yang amat dahsyat mengamuk disekitar lautan itu.
Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukkan kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin Liong mengobati biruang itu tidak nampak lagi dara itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong.
Sudah dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan menyatakan penyesalan hatinya dan dia akan memaafkannya! Saat-saat seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya.
Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja!
Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada, setelah berteriak-teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar perahu keluar dari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri mencari ibunya.
Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah-olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya.
Pada suatu hari, tampaklah olehnya garis hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi. Itulah daratan besar, pikirnya dengan girang dan dia segera membelokkan perahunya menuju ke garis hitam itu.
Ketika perahunya sudah tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak.
Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja mendayung perahunya ke tepi. Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong.
Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di daratan besar dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu dengannya.
Andaikata tidak, dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa demikian pula agaknya pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga berasal dari darata besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali pula ke daratan besar!
"Heiii... Nona! Tunggu...!!"
Swat Hong mengerutkan alisnya dan berhenti melangkahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya.
"Mau apa engkau mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik.
Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, yang perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat sekali.
Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau seorang nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu.
Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah "makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan.
"Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan.
"Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi dan aku tidak peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing lancang!"
Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus air matanya.
"Nona hebat sekali! Ha-ha-ha, aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan."
Melihat sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum.
"Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku dengan maksud apakah engkau seorang pria minta berkenalan dengan seorang wanita?"
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu dan dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Memang, sebelum aku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan hatimu."
Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan.
"Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik.
"Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka!” Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu dengan senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka sekali bernyanyi."
Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata,
"Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa."
“Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkanya di perahu!"
Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke perahunya dan ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?"
"Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!"
Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh ini.
"Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang."
Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan.
"Apa peduli kata-kata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri."
Swat Hong makin tertarik, akan tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan, siapa tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?"
"Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!"
"Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai daripada bicaramu sepeti penjual jamu?"
"Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!"
"Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!"
Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya.
"Akan tetapi, Nona...."
Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya!
"Tidak usah banyak meragu. Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!"
Akan tetapi tentu saja bukan dengan hati yang sesungguhnya dia hendak meninggalkan Sin Liong di pulau kosong itu, melainkan hanya untuk sekedar menunjukkan kemarahan hatinya saja. Karena itu setelah perahunya jauh meninggalkan pulau itu sehingga pulau dimana Sin Liong mengobati biruang itu tidak nampak lagi dara itu memutar lagi perahunya dan hendak kembali kepada Sin Liong.
Sudah dibayangkannya betapa Sin Liong yang selalu sabar dan selalu mengalah kepadanya itu akan minta maaf dan menyatakan penyesalan hatinya dan dia akan memaafkannya! Saat-saat seperti itu mendatangkan keharuan, kebanggan dan kemenangan di dalam hatinya.
Betapa bingung dan kagetnya ketika kemudian dia mendapat kenyataan bahwa dia tersesat jalan dan tidak tahu lagi dimana dia meninggalkan Sin Liong tadi! Demikian banyaknya pulau yang sama bentuknya di lautan itu, banyak sekali bongkahan es yang datang dan pergi seperti hidup saja!
Setelah berputar putar tanpa hasil dan yakin bahwa dia berada makin jauh dari tempat dimana Sin Liong berada, setelah berteriak-teriak memanggil dengan pengerahan khikang tanpa ada jawabannya dan memutar perahu keluar dari daerah penuh pulau kecil yang membingungkan itu. Biarlah, dia akan pergi saja melanjutkan perjalanan seorang diri mencari ibunya.
Dia merasa yakin bahwa suhengnya itu tentu akan dapat menyelamatkan diri. Suhengnya memiliki ilmu kepandaian yg amat tinggi. Swat Hong tidak tahu bahwa perahunya menuju ke selatan, bukan menuju ke daerah Pulau Es lagi. Namun karena maksudnya untuk mencari ibunya, dara ini seolah-olah berlayar tanpa tujuan dan membiarkan saja kemana perahu yang terdorong angin itu membawanya.
Pada suatu hari, tampaklah olehnya garis hitam di sebelah kanan, masih jauh sekali, akan tetapi dengan girang dia dapat mengenal bahwa garis hitam yang amat panjang membujur dari kanan kiri itu adalah sebuah daratan yang agaknya tiada bertepi. Itulah daratan besar, pikirnya dengan girang dan dia segera membelokkan perahunya menuju ke garis hitam itu.
Ketika perahunya sudah tiba di dekat pantai yang sunyi, dia melihat ada sebuah perahu lain yang meluncur cepat dari sebelah kirinya. Perahu kecil dan yang berada di perahu itu seorang laki-laki muda yang kelihatannya gagah dan tampan. Pemuda itu pun memandang kepadanya sehingga dua pasang mata saling pandang sejenak.
Akan tetapi Swat Hong membuang muka dan tidak mempedulikan orang yang tidak dikenalnya itu, terus saja mendayung perahunya ke tepi. Begitu perahunya mendekati daratan, dia lalu meloncat ke daratan, tidak menghiraukan perahunya lagi. Memang dia tidak berpikir untuk kembali ke tempat itu dan berperahu lagi. Untuk apa berlayar? Pulau Es sudah kosong.
Dia akan mencari ibunya di daratan besar, karena kalau ibunya berada di suatu pulau, agaknya tentu tidak akan dapat terlepas dari amukan badai yang dahsyat itu. Kalau ibu berada di daratan besar dan ini mungkin saja terjadi, barulah ada harapan bahwa ibunya masih hidup dapat bertemu dengannya.
Andaikata tidak, dia pun akan merantau di daratan besar, tidak kembali kelaut. Dan dia tahu bahwa demikian pula agaknya pendapat suhengnya karena sebelum berpisah mereka sudah membicarakan hal ini berkali-kali. Nenek moyangnya yang selama ini menjadi raja di Pulau Es juga berasal dari darata besar! Setelah kini Kerajaan Pulau Es terbasmi badai dan tidak ada lagi, sepatutnya kalau dia sebagai ahli waris satu-satunya kembali pula ke daratan besar!
"Heiii... Nona! Tunggu...!!"
Swat Hong mengerutkan alisnya dan berhenti melangkahkan kakinya, membalik dan melihat betapa pemuda yang berada di dalam perahu tadi sudah menambatkan perahunya dan juga perahu yang ditinggalkanya meloncat tadi, di pantai. Kini pemuda itu berlari mengejarnya.
"Mau apa engkau mengejar dan memanggil aku?" Swat Hong bertanya, matanya memandang penuh selidik.
Pemuda itu usianya tentu hanya lebih tua dua tiga tahun darinya, seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah, yang perawakanya tinggi besar dan matanya menyorotkan kejujuran dan membayangkan kekerasan dan keberanian. Kedua lengan yang tampak tersembul keluar dari lengan baju pendek itu kekar berotot membayangkan tenaga yang hebat, juga bajunya yang terbuat dari kain tipis membayangkan dada yang bidang, terhias sedikit rambut, berotot dan kuat sekali.
Melihat bahan pakaiannya dapat di duga bahwa pemuda ini seorang yang beruang, namun melihat dari keadaan tubuhnya dan kaki tangannya, agaknya dia biasa dengan pekerjaan berat. Seorang petani atau seorang nelayan, pikir Swat Hong, kagum juga memandang tubuh yang kokoh kuat itu.
Pemuda itu tersenyum. Senyumnya lebar memperlihatkan deretan gigi yang kokoh kuat pula, senyum terbuka seorang yang berwatak jujur dan bersahaja. Akan tetapi sikapnya ketika mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, membuktikan bahwa dia pernah "makan sekolahan" alias terpelajar, terbukti pula dari kata-katanya yang biarpun ringkas dan singkat akan tetapi tetap sopan.
"Maafkanlah, Nona meninggalkan perahu begitu saja, aku merasa sayang dan membantu meminggirkannya. Melihat gerakan Nona ketika meloncat, jelas bahwa Nona berkepandaian tinggi. Aku ingin sekali belajar kenal."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Hatinya sedang tidak senang, karena selain kegagalannya mencari ibu, juga perpisahanya dengan Sin Liong setidaknya mendatangkan rasa gelisah di hatinya. Kini ada pemuda yang amat lancang ingin "belajar kenal", sungguh menggemaskan.
"Aku tidak membutuhkan perahu itu lagi dan aku tidak peduli apakah kau meminggirkannya atau hendak memilikinya, aku tidak minta bantuanmu. Tentang belajar kenal biasanya hanya pedang, kepalan tangan dan tendangan kaki saja yang mau belajar kenal dengan orang asing lancang!"
Sepasang mata lebar itu terbelalak seolah-olah memandang sesuatu yang amat aneh, namun membayangkan kekaguman yang luar biasa. Dan memang, di luar dugaan Swat Hong sendiri, sikap dan kata-katanya tadi mendatangkan rasa kagum yang amat besar di dalam hati pemuda ini. Telah menjadi ciri khas pemuda ini yang mengagumi sikap orang yang terbuka, jujur, kasar dan tanpa pura-pura seperti sikap Swat Hong yang baru saja diperlihatkan.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pemuda itu tertawa bergelak dan kedua matanya menjadi basah oleh air mata. Ini pun ciri khasnya. Kalau dia tertawa, air matanya keluar seperti orang menangis. Dengan punggung tangannya yang besar dan berotot dia menghapus air matanya.
"Nona hebat sekali! Ha-ha-ha, aku Kwee Lun selama hidupku baru sekarang ini bertemu dengan seorang nona yang begini hebat! Diantara seribu orang gadis, belum tentu ada satu! Nona, kalau sudi, perkenalkanlah aku Swee Lin, biarpun jelek dan kasar bukanlah tidak terkenal. Ayahku adalah seorang pelaut biasa dan sudah meninggal, demikian pula Ibuku. Aku anak pelaut akan tetapi sejak kecil aku sudah ikut kepada guruku. Guruku inilah yang terkenal. Guruku adalah Lam Hai Sen-jin, pertapa yang amat terkenal di dunia kang-ouw dan kami berdua tinggal di Pulau Kura-kura di laut selatan."
Melihat sikap terbuka ini, geli juga hati Swat Hong. Kini dia melihat jelas bahwa pemuda ini sama sekali tidak kurang ajar. Kasar memang, akan tetapi kekasaran yang memang menjadi wataknya yang terbuka. Orang macam ini baik dijadikan sahabat, pikirnya. Akan tetapi harus dibuktikan dulu apakah pemuda ini pantas menjadi sahabatnya, sungguhpun menurut pengakuannya dia murid seorang pertapa yang namanya terkenal di dunia kang-ouw! Swat Hong tersenyum.
"Aihh, engkau lebih pantas menjadi seorang penjual jamu! Setelah engkau memperkenalkan semua nenek moyangmu kepadaku dengan maksud apakah engkau seorang pria minta berkenalan dengan seorang wanita?"
Kwee Lun mengerutkan alisnya yang sangat lebat seperti dua buah sikat ditaruh melintang di dahinya itu dan dia menggeleng-geleng kepalanya.
"Memang, sebelum aku berangkat merantau, suhu berpesan dengan sungguh bahwa aku tidak boleh mendekati wanita cantik yang katanya amat berbahaya melebihi ular berbisa! Akan tetapi, biarpun Nona cantik sukar dicari cacatnya, namun kepandaian Nona tinggi dan sikap Nona jujur menyenangkan. Aku ingin bersahabat, karena sekarang ini baru pertama kali aku merantau seorang diri, aku membutuhkan seorang sahabat yang pandai seperti Nona untuk memberi petunjuk kepadaku. Untuk budi Nona ini, tentu aku akan berusaha menyenangkan hatimu."
Swat Hong makin terheran. Dia tidak tahu apakah pemuda ini pintar atau bodoh. Sikapnya terbuka akan tetapi biarpun kata-katanya teratur, ada bayangan ketololan.
"Hemm, kau bisa apa sih? Bagaimana engkau bisa menyenangkan hatiku?" Dia menyelidik.
"Aku? Wah, aku bodoh akan tetapi kalau ada orang-orang kurang ajar kepadamu, tanpa Nona turun tangan sendiri, aku sanggup menghajar mereka!” Dia melonjorkan kedua lengannya yang kekar berotot itu. "Dan jangan Nona sangsi lagi, biar ada lima puluh orang, aku masih sanggup menghadapi mereka, kalau perlu dibantu dengan senjataku kipas dan pedang. Kalau Nona senang sajak, aku banyak mengenal sajak kuno yang indah dan di waktu Nona kesepian, aku dapat menghibur Nona dengan nyanyian! Aku suka sekali bernyanyi."
Hampir saja Swat Hong tertawa geli orang yang kekar seperti seekor singa buas ini membaca sajak, bernyanyi dan senjatanya kipas? Benar-benar seorang pemuda yang aneh, akan tetapi tentu saja dia belum mau percaya begitu saja. Sambil memandang tajam dia berkata,
"Hemm, kau bicara tentang pedang dan kipas sebagai senjata, akan tetapi aku tidak melihat engkau membawa senjata apa-apa."
“Ahh, tunggu dulu, Nona. Aku memang sengaja meninggalkanya di perahu!"
Setelah berkata demikian, Kwee Lun membalikkan tubuhnya dan berlari cepat sekali ke perahunya dan ketika dia sudah kembali ke depan Swat Hong, benar saja dia telah membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah dan sebuah kipas bergagang perak yang diselipkan di ikat pinggangnya!
"Mengapa baru sekarang kau memperlihatkan senjata-senjatamu?"
"Aih, kalau tadi aku membawa senjata, tentu akan menimbulkan dugaan yang bukan-bukan dan untuk berkenalan dengan seorang gadis, bagaimana aku berani membawa senjata? Tentu disangka perampok atau bajak!"
Mau atau tidak, Swat Hong tersenyum. Timbul rasa sukanya kepada pemuda kasar yang aneh ini.
"Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan engkau seorang pria, mana mungkin menjadi sahabat? Tidak patut dilihat orang."
Mata yang lebar itu kembali terbelalak penuh penasaran dan tangan kirinya dikepalkan.
"Apa peduli kata-kata orang? Kalau ada yang berani mengatakan yang bukan-bukan tentu akan kuhancurkan mulutnya! Wanita adalah seorang manusia, pria pun seorang manusia. Apa salahnya berkenalan dan bersahabat? Nona, aku Kwee Lun bukan seorang yang berpikiran kotor, juga aku tidak akan sembarangan memilih kawan! Aku kagum melihat Nona, maka kalau Nona sudi, harap memperkenalkan diri."
Swat Hong makin tertarik, akan tetapi dia masih ragu-ragu apakah orang ini patut dijadikan seorang teman. Biarpun lagaknya seperti jagoan, siapa tahu kalau kosong belaka?
"Kau bilang tadi murid seorang tosu yang terkenal?"
"Ya, Suhu Lam Hai Seng-jin merupakan tokoh yang paling terkenal di daerah selatan!"
"Kalau begitu, ilmu silatmu tentu lebih lihai daripada bicaramu sepeti penjual jamu?"
"Ihhh, harap jangan mentertawakan! Biarpun tidak selihai Nona yang dapat kulihat dari gerakan meloncat dari perahu tadi, akan tetapi masih tidak terlalu orang di dunia ini yang akan sanggup mengalahkan Kwee Lun!"
"Tidak ada artinya kalau hanya disombongkan dan dibanggakan tanpa ada buktinya! Aku juga tidak sembarangan memperkenalkan diri kepada orang lain. Untuk membuktikan apakah kau patut menjadi kenalanku, cabut kedua senjatamu, dan coba kau hadapi pedangku!"
Sambil berkata demikian, Swat Hong sudah mencabut pedangnya perlahan-lahan dan tampaklah sinar pedang ketika sinar matahari menimpanya.
"Akan tetapi, Nona...."
Kwee Lun meragu. Biarpun dia tadi menyaksikan betapa gesit dan ringannya tubuh nona itu melayang ke daratan, namun dia tidak percaya apakah nona ini mampu menandingi pedang dan kipasnya!
"Tidak usah banyak meragu. Kalau kau tidak mau, pergilah dan jangan menggangguku lebih lama lagi!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar