FB

FB


Ads

Minggu, 20 Januari 2019

Bukek Siansu Jilid 045

Kwat Lin tersenyum mengejek melihat delapan orang suhengnya itu mengeluarkan senjata.

"Hemmm, apakah kalian ini sudah buta? Apakah para suheng tidak melihat bahwa tingkat kepandaianku jauh melebihi kalian, dan bahkan andaikata Suhu masih hidup, beliau sendiri tidak akan mampu menandingi aku."

"Keparat...!" Souw Cin Cu dan tujuh orang sutenya menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba Kui Tek Tojin berseru, "Tahan senjata! Mundur kalian!"

Mendengar teriakan ini, delapan orang ini serentak mundur mentaati perintah calon ketua mereka. Kui Tek Tojin melangkah maju menghampiri wanita yang tersenyum-senyum itu.

"Siancai... kiranya engkau telah memiliki kepandaian tinggi maka berani menentang Bu-tong-pai! The kwat Lin, selama ini engkau telah mempelajari ilmu silat dari luar Bu-tong-pai, tidak tahu dari perguruan manakah?"

"Memang benar dugaanmu, Susiok, akan tetapi tidak perlu aku menceritakan kepada siapapun juga."

"Hei, tosu bau! Ibu adalah Ratu dari Pulau Es, tahukah engkau?"

"Bu Ong...!"

Kwat Lin membentak puteranya, akan tetapi anak itu sudah terlanjur bicara dan bukan main kagetnya Kui Tek Tojin dan para anak murid Bu-tong-pai mendengar ini.

Pulau Es hanya disebut-sebut dalam dongeng saja, dan memang nama besar tokoh Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es amat terkenal di dunia kang-ouw. Timbul keraguan di dalam hati Kui Tek Tojin, akan tetapi karena wanita di hadapannya itu juga merupakan anak murid Bu-tong-pai, maka dia menekan perasaannya dan berkata,

"The Kwat Lin, kalau engkau masih mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, engkau harus tunduk kepada pimpinan Bu-tong-pai. Sebaliknya, kalau engkau sudah mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tidak lagi merasa sebagai orang Bu-tong-pai, engkau tidak berhak mencampuri urusan dalam dari Bu-tong-pai."

Kwat Lin tersenyum mengejek.
"Susiok, tidak perlu kupungkiri lagi bahwa aku telah mempelajari ilmu silat dari golongan lain dan tingkat kepandaianku menjadi jauh lebih tinggi daripada semua tokoh Bu-tong-pai. Akan tetapi aku bukan saja masih mengaku orang Bu-tong-pai, bahkan ingin memimpin Bu-tong-pai menjadi perkumpulan terkuat di dunia. Akan kuperbaiki dan kupertinggi mutu ilmu silat Bu-tong-pai agar tidak ada lagi golongan lain yang berani memandang rendah Bu-tong-pai, apalagi menghina anak murid Bu-tong-pai seperti yang terjadi kepada Cap-sha Sin-hiap sepuluh tahun yang lalu."

"Hemm, kalau begitu, pinto sebagai calon ketua Bu-tong-pai, terpaksa melarang dan menentang kehendakmu, The Kwat Lin."

"Dengan cara bagaimana kau hendak menentangku, Susiok?"

"Dengan mempertaruhkan nyawaku. Kehormatan Bu-tong-pai lebih penting dari pada nyawa seorang ketuanya. Majulah dan mari kita putuskan persoalan ini dengan kepandaian kita ."

The Kwat Lin tersenyum.
"Susiok, betapapun mudahnya bagiku membunuhmu, membunuh para suheng dan membunuh semua orang yang menentangku. Akan tetapi, aku bahkan ingin menolong kalian, ingin mengangkat nama Bu-tong-pai, maka biarlah aku hanya akan mengalahkan Susiok tanpa membunuhmu."

Ucapan ini malah merupakan penghinaan yang luar biasa sekali, karena mengalahkan lawan tanpa membunuhnya merupakan hal yang amat sukar dan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari lawannya!

Merah muka tosu tua itu. Dia dipandang rendah oleh murid keponakannya sendiri! Bukan hanya itu saja. Dia sebagai orang tertua dari Bu-tong-pai, sebagai calon ketua Bu-tong-pai, dihina oleh seorang anggauta muda Bu-tong-pai! Oleh karena itu, tosu tua ini mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan wanita yang kini dipandangnya bukan sebagai anggauta Bu-tong-pai lagi, melainkan sebagai seorang musuh yang hendak mengacau Bu-tong-pai.

“The Kwat Lin sebagai seorang ketua Bu-tong-pai, pinto menyediakan nyawa untuk mempertahankan kehormatan Bu-tong-pai terhadap siapapun juga dan saat ini pinto akan mempertahankannya terhadap engkau! Majulah!" sambil berkata demikian tosu tua berjenggot lebat ini meloncat ke depan, tongkatnya di tangan kanan dan ujung lengan bajunya melambai panjang.






Kwat Lin mengenal tongkat itu. Tongkat kayu cendana yang harum dan menghitam saking tuanya, tongkat yang menjadi tongkat pusaka para ketua Bu-tong-pai sejak dahulu. Dia maklum pula bahwa tongkat itu hanya sebagai lambang kedudukan ketua belaka, namun dalam hal ilmu silat bersenjata, ujung lengan baju kakek itu jauh lebih barbahaya dari pada tongkatnya.

Dia dapat menduga bahwa tentu kakek ini sudah memiliki tingkat tertinggi dari Bu-tong-pai, dan telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga kedua ujung lengan bajunya dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh yang dapat menghadapi senjata apapun juga dari lawan, dapat dibikin kaku keras seperti besi dan lemas seperti ujung cambuk yang dapat melakukan totokan-totokan maut keseluruh jalan darah di tubuh lawan!

Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, cepat dia mengeluarkan pekik melengking, dan tubuhnya sudah bergerak maju, tangan kananya melakukan pukulan dorongan dengan telapak tangan sambil mengerahkan tenaga sinkang Swat-im Sin-jiu.

Hawa yang amat dingin menghembus ke depan menyerang kakek itu. Swat-im Sin-jiu adalah tenaga dalam inti salju yang dilatihnya di Pulau Es, kekuatannya dahsyat bukan main karena hawa yang menyambar ini mengandung tenaga sakti yang mendatangkan rasa dingin.

"Siancai...!!"

Tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa hawa yang menyambar dari depan amat dinginnya, membuat tangannya ketika mendorong kembali terasa membeku. Maka dia lalu menggerakan tongkat di tangan kanannya, mengambil keuntungan dari ukuran tongkat yang panjang, menghantam ke arah kepala wanita itu dari samping.

"Wuuuuttt... plakkkk!"

Dengan berani sekali Swat Lin menggunakan tangan kiri yang dibuka untuk memapaki sambaran tongkat dari samping, terus mencengkram tongkat itu dan mengerahkan sinkang, menyalurkannya lewat getaran tongkat dan kembali tosu itu berseru kaget ketika merasa betapa lengan kananya yang memegang tongkat terasa dingin dan lumpuh!

Kesempatan baik ini, dalam satu detik pada saat lawan masih terkejut dan belum sempat mengerahkan sinkang, dipergunakan oleh Kwat Lin dengan jalan menarik ke bawah, bergulingan ke depan dan menghantam ke arah lawan dengan tangan kananya, kini menggerakan tenaga sinkang yang berhawa panas!

"Ouhhh...!"

Kui Tek Tojin berteriak, cepat meloncat ke belakang dan tentu saja tongkatnya dapat dirampas. Dia tadi sudah mengerahkan sinkang melawan getaran melalui tongkat, dengan niat merampasnya kembali, akan tetapi pukulan lawannya dari bawah yang ditangkis dengan tangan kanan, ternyata luar biasa kuat dan panasnya, mengejutkanya karena perubahan sinkang yang berlawanan itu tidak disangka-sangkanya, maka untuk menyelamatkan diri, terpaksa dia meloncat ke belakang dan mengorbankan tongkatnya.

Kwat Lin sudah melompat kebelakang pula, memegang tongkat itu dengan kedua tangan di atas kepala sambil tertawa dan berkata,

"Hi-hik, tongkat pusaka telah berada di tanganku, berarti akulah ketua Bu-tong-pai!"

"Kembalikan tongkat!"

Kui Tek Tojin berteriak marah dan kedua lengannya bergerak ketika tubuhnya menerjang maju. Dengan amat cepatnya kedua ujung lengan bajunya bergerak seperti kilat menyambar-nyambar dan dalam segebrakan itu, Kwat Lin telah dihujani sembilan kali totokan yang amat berbahaya!

Sukarlah membebaskan diri dari ancaman totokan yang hebat ini dan andaikata Kwat lin bukan seorang pewaris ilmu-ilmu dari Pulau Es, tidak mungkin dia dapat menghindarkan diri lagi. Dia menggunakan ginkangnya berloncatan menghindar, akan tetapi sebuah totokan yang meleset masih mengenai pergelangan tangannya, membuat tongkat pusaka itu terlepas dari pegangannya! Kwat Lin menjerit marah, pedangnya sudah dicabutnya, yaitu pedang Ang-bwe-kiam dan tampak sinar merah berkeredepan dan menyambar-nyambar dahsyat.

"Bret-brettttt...!!"

Kui Tek Tojin berteriak kaget, meloncat mundur dan ternyata bahwa ujung lengan bajunya telah terbabat buntung oleh pedang di tangan Kwat Lin, dan sekarang wanita itu telah mengambil lagi tongkat pusaka yang tadi terpaksa dilepaskan oleh tangannya yang tertotok.

"Susiok! Dan kalian para suheng semua! Kalau kalian mendesak, terpaksa aku akan mematahkan tongkat pusaka ini kemudian membunuh kalian dan merampas Bu-tong-pai dengan kekerasan!" Dia mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi. "Aku hanya menuntut hak seorang murid Bu-tong-pai yang memiliki tingkat tinggi dan memegang tongkat wasiat itu, hak menjadi ketua dengan niat untuk mempertinggi tingkat Bu-tong-pai!"

Delapan orang suheng itu masih penasaran dan mereka hendak menyerbu ke depan, akan tetapi Kui Tek Tojin mengangkat tangan ke atas dan berkata,

"Mundurlah kalian. Dia benar, kita tidak boleh melawan pemegang tongkat pusaka!" Kemudian dia berkata kepada Kwat Lin, "Baiklah, melihat tongkat pusaka di tanganmu, kami tidak akan melawan. Akan tetapi, betapapun juga kami tidak dapat menerima engkau menjadi ketua kami dan kami harap engkau tidak memaksa anak murid Bu-tong-pai yang tidak mau tunduk kepadamu dan meninggalkan tempat ini."

Kwat Lin tersenyum. Memang bukan kehendaknya untuk memusuhi anak murid Bu-tong-pai. Dia tidak membenci Bu-tong-pai, melainkan hendak mencarikan kemuliaan bagi puteranya dengan perantaraan sebuah perkumpulan besar dan dia akan mengusahakan agar Bu-tong-pai menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat dan paling besar.

"Terserah kepadamu, Susiok." dia lalu memandang ke sekeliling, kepada para anak murid Bu-tong-pai, "Haiii, semua anggauta dan murid Bu-tong-pai, dengarlah baik-baik! Betapapun juga aku adalah murid Bu-tong-pai sejak kecil, dan di dalam sepak terjang Cap-sha Sin-hiap, kalian juga sudah tahu betapa aku dan para suheng telah menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai dan aku ingin menyebarkan ilmuku kepada kalian semua agar kalian menjadi orang-orang yang lihai dan Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang paling kuat di dunia ini. Terserah kepada kalian apakah hendak besetia kepada nama Bu-tong-pai dan menjadi murid-muridku, ataukah hendak bersetia kepada tosu Kui Tek Tojin dan delapan orang suhengku ini yang hendak membelakangi Bu-tong-pai!"

Berisiklah keadaan di situ setelah Kwat Lin mengeluarkan kata-kata ini. Para anak murid Bu-tong-pai saling bicara sendiri, saling berbantahan dan akhirnya hanya ada dua puluh orang termasuk Kui Tek Tojin yang meninggalkan tempat itu, menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan di kaki bukit yang dipilih oleh Kui Tek Tojin untuk menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu sambil menanti perkembangan selanjutnya. Sisanya semua suka mengangkat Kwat Lin menjadi ketua mereka setelah mereka tadi menyaksikan betapa lihainya Kwat Lin dan mereka semua ingin memperoleh bagian pelajaran ilmu silat yang tinggi.

Demikianlah, mulai hari itu, The Kwat Lin menjadi ketua yang baru dari Bu-tong-pai yang dipimpinnya dengan gaya dan bentuk yang baru pula. Dengan harta benda berupa emas permata yang amat mahal, yang didapatkan dan dilarikannya dari Pulau Es, dia membangun markas Bu-tong-pai menjadi bangunan yang megah, mewah dan kuat.

Bahkan dalam keinginan hatinya untuk lekas-lekas melihat Bu-tong-pai menjadi perkumpulan yang kuat dan banyak anggautanya, dia menerima anggauta-anggauta baru. Anggauta baru diterima dari golongan apapun juga, syaratnya hanya satu bahwa mereka itu haruslah memiliki kepandaian yang sampai pada tingkat tertentu, dan bersumpah setia sampai mati kepada Bu-tong-pai.

Karena mendengar bahwa ketua Bu-tong-pai yang baru adalah seorang wanita yang cantik yang memiliki kesaktian hebat, juga amat kaya raya, maka banyaklah orang-orang kang-ouw dan golongan kaum sesat yang tadinya hidup sebagai perampok dan bajak-bajak yang tidak tertentu penghasilanya, berdatanganlah dan masuk menjadi anggauta Bu-tong-pai!

Mulai pulalah The Kwat Lin mengatur dan merencanakan cita-citanya untuk puteranya. Dengan kerja sama antara dia dan para anggauta baru yang berpengalaman mulailah dia diam-diam mengadakan kontak dan mencari kesempatan untuk menghubungi para pembesar tinggi yang merupakan kekuatan rahasia untuk memberontak terhadap kaisar. Inilah cita-cita The Kwat Lin.

Dia pernah menjadi ratu, menjadi istri seorang raja, biarpun hanya raja kecil yang menguasai Kerajaan Pulau Es, karena itu, dia menganggap bahwa puteranya, Han Bu-ong, adalah seorang pangeran! Seorang pangeran haruslah bercita-cita menjadi raja. Bukan raja kecil yang hanya menguasai sebuah pulau, melainkan raja besar! Dan satu-satunya jalan untuk dapat mencapai ini, hanyalah menggulingkan kaisar sehingga kelak ada kesempatan bagi puteranya untuk menjadi kaisar!

Tentu saja untuk memberontak sendiri dengan mengandalkan kekuatan Bu-tong-pai merupakan hal yang tak masuk diakal dan hanya merupakan bunuh diri, maka dia mencari kesempatan mengadakan kontak dengan para pembesar tinggi yang berambisi seperti dia sehingga mungkin bagi mereka untuk menggunakan bala tentara yang dapat dikuasai untuk mencapai cita-cita mereka itu.

Memang sesungguhnyalah bahwa kemuliaan duniawai atau alam benda merupakan keadaan yang amat berbahaya. Tak dapat disangkal pula bahwa hidup memang memerlukan kebendaan sebagai pelengkap dan pelangsung hidup, dan amat baiklah kalau orang dapat menggunakan keduniawian itu pada tempat sebenarnya.

Akan tetapi, akan celakalah dan hanya akan menimbulkan malapetaka bagi diri sendiri dan bagi orang lain kalau manusia sudah dikuasai oleh duniawi yang merupakan harta benda, kedudukan, nama besar, kepandaian dan lain-lain sebagainya. Alam kebendaan ini mempunyai sifat seperti arak. Diminum dengan kesadaran dan pengertian akan menjadi obat, tapi di lain saat dalam keadaan lalai akan menjadi minuman yang memabokan. Dan sekali orang mabok oleh duniawi, akan timbullah perbuatan sombong, sewenang-wenang, dan lupa segala yang ada hanyalah keinginan memenuhi segala kehendaknya dengan cara apapun juga tanpa mengharamkan dengan segala cara.

Demikian pula yang terjadi dengan The Kwat lin. Dahulu, belasan tahun yang lalu, The Kwat Lin merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa menentang kejahatan yang gigih sehingga namanya bersama dua belas orang suhengnya sebagai Cap-sha Sin-hiap amatlah terkenal.

Akan tetapi setelah malapetaka menimpa Cap-sha Sin-hiap, dendam menaburkan bibit yang merobah seluruh pandangan hidupnya. Setelah dia berhasil membalas dendam secara keji dan kejam sekali, bibit itu masih berkembang biak dan merobah sifat, dari dendam kepada pengejaran kemuliaan yang tanpa batas.

**** 020 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar