"Twako(Kakak)," Lo Thong berkata dan tidak seperti lain penghuni Pulau Neraka yang menyebut ketua mereka tocu (majikan pulau), dia menyebutnya kakak, "mengapa Twako bingung menghadapi urusan dua orang anak-anak ini? Betapapun juga, mereka berada di pulau ini dan seharusnya mereka tunduk kepada semua perintah Twako yang menjadi hukum di sini. Kalau mereka hendak mengambil keputusan sendiri, boleh saja akan tetapi mereka harus lebih dulu dapat mengalahkan kita!"
Ouw Kong Ek memandang pembantunya dengan muka berseri, seolah-olah dia terlepas dari keadaan yang ruwet.
"Kalau begitu, bagaimana baiknya, Lo-tee?"
"Menurut saya, lebih baik diadakan pertandingan antara orang pemuda She Kwa ini dan Twako. Kalau dalam pertandingan itu dia kalah, maka dia dan Sumoinya harus selamanya tinggal di sini dan menjadi penghuni pulau ini seperti kita semua."
"He, Botak! Enak saja kau bicara! Siapa bilang Suhengku kalah oleh ketua kalian? Habis, kalau kemudian ketua kalian yang kalah, bagaimana?" Swat Hong berteriak nyaring.
"Twako kalah? Ha-ha, mana mungkin?" Lo Thong menjawab. "Akan tetapi kalau Twako kalah, biarlah pemuda She Kwa ini mengajarkan ilmu pengobatan sampai Twako pandai, baru kalian berdua boleh pergi meninggalkan pulau ini dengan bebas."
"Usul yang bagus sekali!" Ouw Kong Ek berseru gembira. "Kwa Sin Liong, aku mendengar bahwa di dunia ramai, di daratan sana, orang-orang gagah menggunakan kepandaian untuk memutuskan sebuah perkara yang ruwet. Aku percaya bahwa engkau tentu seorang gagah pula, maka biarlah kita membereskan urusan ini dengan mengukur kepandaian masing-masing seperti yang diusulkan oleh pembantuku Lo Thong."
Sin Liong menggeleng kepalanya.
"Tocu, aku tidak suka menggunakan ilmu yang kupelajari untuk kekerasan. Mengapa Tocu hendak menggunakan cara kekerasan untuk menahan kami berdua selamanya di pulau ini? Aku sudah besedia mengajarkan ilmu pengobatan, maka sudah sepatutnya kalau Tocu membalasnya dengan membebaskan kami.
"Tidak. Kita harus saling mengukur kepandaian dulu!" ketua itu berkeras.
Tiba-tiba Swat Hong melompat ketengah lapangan dan membusungkan dada menegakkan kepalanya.
"Hayolah! Kalau Suheng tidak mau, biarlah aku yang melayanimu! Siapa sih takut kepada orang Pulau Neraka? Aku yang memasuki pertandingan itu, dan kalau kalah, boleh kalian berbuat apa saja sesuka kalain!"
"Sumoi...!!" Sin Liong menegur.
"Suheng, aku tidak takut!" Swat Hong membantah.
Ouw Kong Ek mengerutkan alisnya.
"Soan Cu, kau layani bocah liar yang sombong ini!" katanya.
"Baik Kong-kong."
Soan Cu bangkit berdiri dan melangkah maju, akan tetapi segera berhenti ketika mendengar suara Sin Liong,
"Soan Cu harap jangan bertanding. Di antara kita tidak ada permusuhan, bukan?"
Soan Cu meragu, memandang kepada Kong-kongnya, kemudian kepada Sin Liong, dan akhirnya dia kembali duduk di tempatnya yang tadi.
"Soan Cu...." Kakeknya menegur.
"Kong-kong, aku tidak mau bertanding. Mereka bukan musuhku."
Mata kakek itu terbelalak, akan tetapi dia tidak marah bahkan lalu tertawa bergelak.
"Kau...kau lebih taat kepadanya? Ha-ha-ha-ha!"
Dia tertawa karena sikap cucunya itu jelas membuktikan betapa cucunya benar-benar telah jatuh cinta kepada Sin Liong! Sampai-sampai berani membangkang terhadap perintahnya hanya karena Sin Liong menghendaki demikian.
Makin panaslah hati Swat Hong. Tadinya dia sudah siap-siap untuk menjatuhkan cucu ketua Pulau Neraka itu, selain agar menang pertandingan juga hendak memperlihatkan kepada Suhengnya bahwa dia lebih pandai dari pada Soan Cu. Akan tetapi, ternyata Suhengnya melarang Soan Cu dan dara Pulau Neraka itu begitu taat!
"Ouw Kong Ek, kalau cucumu tidak berani maju, biarlah kau sendiri yang maju! Hayo tandingilah aku, puteri Raja Pulau Es!" Dia menantang-nantang dengan suara penuh kemarahan.
Sin Liong hanya menggeleng kepalanya dan bingung sekali bagaimana harus mencegah sumoinya.
Kembali kakek itu menjadi marah. Tantangan yang keluar dari mulut Swat Hong membuat mukanya merah dan telinganya panas. Akan tetapi betapa memalukan kalau dia harus menandingi seorang bocah perempuan yang usianya sebaya dengan cucunya sendiri!
"Twako, perkenankanlah saya menghajar bocah bermulut lancang ini" Lo Thong berkata dan Ouw Kong Ek mengangguk, akan tetapi masih ingat dan memesan.
"Akan tetapi cukup beri hajaran saja, jangan sampai dia terbunuh."
"Baik saya mengerti, Twako."
Lo Thong menjawab lalu sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan Swat Hong. Menyaksikan ginkang yang hebat ini diam-diam Sin Liong khawatir sekali, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegahnya karena maklum kalau dia melarang, Sumoinya tentu akan menjadi makin nekat saja. Maka dia hanya bangkit berdiri dan memandang dengan jantung berdebar tegang.
Swat Hong memandang kakek botak yang berdiri di depannya, lalu berkata, suaranya mengejek.
"Apakah pertandingan ini akan memutuskan perjanjian tadi, bahwa kalau aku menang kami berdua boleh pergi dari sini?"
"Tidak", jawab Lo Thong. "Pertandingan ini hanya mengenai dirimu, kalau kau menang kau boleh pergi, kalau kau kalah, kau harus tinggal di sini selamanya dan menjadi muridku."
"Setan alas! Siapa takut padamu?" Swat Hong yang sudah kena dibakar hatinya itu membentak.
"Sumoi, tanpa pertandingan pun kau boleh pergi sekarang juga!" Sin Liong berteriak.
"Tidak, Suheng. Aku merasa kurang terhormat kalau pergi begitu saja. Aku tidak sudi menerima kebaikan orang-orang Pulau Neraka. Kalau aku pergi berarti aku pergi mengandalkan kepandaian aku sendiri, bukan karena kebaikan hati mereka. Hayo, kakek botak, boleh kau keluarkan segala ilmumu!"
"Bocah sombong, sambutlah ini!"
Lo Thong merasa panas juga perutnya melihat sikap dara remaja yang memandang rendah kepadanya itu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa dara ini tentu memiliki kepandaian tinggi sebagai puteri Raja Pulau Es, maka sekali menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaianya, mengeluarkan jurus yang ampuh dan mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Wuuuuuttt... sirrr...desss!"
Mula-mula Lo Thong menggerakan tubuhnya rendah kebawah, seolah-olah lengan kirinya yang bergerak itu hendak menangkap kaki Swat Hong, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya meninggi, tangan kanannya meluncur dan mencengkram ke arah pinggang dara itu.
Namun Swat Hong yang usianya masih muda sekali itu belum lima belas tahun, telah mewarisi inti kepandaian dari ilmu-ilmu kesaktian Pulau Es. Dengan tenang dia melihat bahwa bukan tangan kiri lawan yang berbahaya melainkan tangan kanannya, maka dia cepat menarik kaki kiri dan menangkis dengan sabetan tangan miring dari samping yang mengenai lengan lawan.
LoThong mencelat ke belakang dan inilah kehebatan ginkangnya. Gerakannya bukanlah langkah kaki, melainkan loncatan yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini dengan amat cepatnya dan sama sekali tidak terduga-duga lawan.
"Sumoi awasilah gerakannya. Ginkangnya lihai!"
Sin Liong berseru dan diam-diam Lo Thong mendongkol juga. Ternyata pemuda itu lihai sekali, baru segebrakan saja sudah mengenal dimana letak keampuhannya. Maka dia lalu menggereng dan menubruk maju, menghujani Swat Hong dengan serangan bertubi-tubi.
Swat Hong diam-diam terkejut juga. Ternyata bahwa pembantu utama dari ketua Pulau Neraka ini hebat bukan main. Setiap gerakan tangannya mendatangkan angin keras menyambar dan kecepatannya membuat dia pening karena harus menggerakan kekuatan matanya untuk mengikuti terus gerakan lawan. namun, tentu saja dia tidak menjadi gentar. Sejak kecil dara remaja ini tidak pernah mengenal artinya takut, dan dia pun mengeluarkan kepandaiannya untuk membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Semua mata memandang pertandingan itu dengan penuh perhatian. Diam-diam Soan Cu merasa kagum sekali kepada Swat Hong dan dia harus mengaku dalam hatinya bahwa andaikata tadi dia yang maju, dia akan kalah menghadapi kelihaian dara Pulau Es itu, maka dia merasa makin bersyukur kepada Sin Liong yang tadi mencegahnya maju melawan Swat Hong. Apakah pemuda itu sudah tahu bahwa dia akan kalah kalau melawan Swat Hong? Soan Cu melirik ke arah Sin Liong dan melihat betapa wajah pemuda yang tampan itu diliputi kekhawatiran, maka dia kembali menyaksikan pertandingan yang hebat itu.
Tubuh mereka berdua yang bertanding itu sudah tidak dapat kelihatan jelas, yang tampak hanya dua bayangan berkelebatan ke kanan kiri dengan cepat sekali. Ginkang yang dikuasai oleh Lo Thong memang hebat sekali, akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan puteri Raja Han Ti Ong dari Pulau Es! Biarpun masih kalah sedikit namun Swat Hong dapat mengimbangi kecepatan lawan, bahkan dapat mendesak dengan ilmu silatnya yang luar biasa dan tenaga sinkangnya yang berdasarkan hawa murni dari im-kang yang dingin.
Ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong adalah ilmu silat tangan kosong Jit-cap-ji-seng (Tujuh Puluh Dua Bintang ) yang mempunyai tuluh puluh dua jurus-jurus ampuh. Sebagai bekas penghuni Pulau Es sebelum Swat Hong terlahir, tentu Lo Thong mengenal ilmu ini, bahkan ilmu silatnya sediri pun bersumber pada ilmu silat Pulau Es.
Akan tetapi setelah dua puluh tahun lebih berada di Pulau Neraka dan mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Neraka, maka ilmu silatnya menjadi campur aduk dan tentu saja kalah murni oleh ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong. Pula, Lo Thong dahulu belum mempelajari Jit-cap-ji-seng sampai habis, hal yang jarang dilakukan penghuni Pulau Es kecuali keluarga raja.
Mulailah Lo Thong terdesak oleh serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Swat Hong. Ingin sekali Lo Thong menggunakan senjatanya, yaitu ular hidup yang melingkar di lehernya, namun dia takut akan pesan ketuanya tadi. Kalau dia menggunakan senjata itu dan sekali lawan tergigit mati tentu dia akan mendapat marah besar. Maka dia lalu berteriak keras dan mengerahkan seluruh ilmunya meringankan tubuh.
"Aihhh...!"
Swat Hong terkejut ketika melihat betapa tubuh lawan dapat bergerak lebih cepat lagi dan dalam serangkaian serangan yang tak terduga saking cepatnya, hampir saja pundaknya kena dicengkeram. Dia berseru sambil meloncat keatas, tinggi sekali kemudian bagaikan seekor burung walet, tubuhnya sudah membalik di udara, menukik kebawah dan dia sudah melancarkan serangan dengan jurus Kak-seng-jip-hai (Bintang Terompet Memasuki Laut), jurus terakhir yang paling ampuh dan yang dulu dilatihnya dengan ibu dan ayahnya sehingga dia mahir sekali mainkan jurus ini.
Hebat bukan main daya serang jurus ini karena selagi tubuh meluncur turun dengan menukik kebawah, kedua tangannya sudah bergerak mencengkram kearah ubun-ubun kepala lawan yang botak itu!
"Hayaaa...!" kini Lo Thong yang kaget ketika merasa ada hawa dingin menyentuh ubun-ubun kepalanya dari atas.
Maklum bahwa serangan itu merupakan ancaman maut bagi dirinya, dia tidak berani lengah, cepat membuang diri kebelakang sehingga dia terjengkang, kemudian menggunakan ginkangnya untuk berguling di atas lantai. Dengan gerakan ini, biarpun pakainnya kotor terkena debu, namun dia selamat dan dapat menghindarkan diri dari serangan jurus Kak-seng-jip-hai tadi. Akan tetapi, betapa terkejutnya melihat dara itu sudah meloncat ke depan dan baru saja dia bangkit berdiri, Swat Hong sudah menghantamnya dengan kedua tangan didorongkan ke depan.
"Haiiiiiiittt!!" Swat Hong berseru nyaring dan mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Sumoi, jangan....!"
Ouw Kong Ek memandang pembantunya dengan muka berseri, seolah-olah dia terlepas dari keadaan yang ruwet.
"Kalau begitu, bagaimana baiknya, Lo-tee?"
"Menurut saya, lebih baik diadakan pertandingan antara orang pemuda She Kwa ini dan Twako. Kalau dalam pertandingan itu dia kalah, maka dia dan Sumoinya harus selamanya tinggal di sini dan menjadi penghuni pulau ini seperti kita semua."
"He, Botak! Enak saja kau bicara! Siapa bilang Suhengku kalah oleh ketua kalian? Habis, kalau kemudian ketua kalian yang kalah, bagaimana?" Swat Hong berteriak nyaring.
"Twako kalah? Ha-ha, mana mungkin?" Lo Thong menjawab. "Akan tetapi kalau Twako kalah, biarlah pemuda She Kwa ini mengajarkan ilmu pengobatan sampai Twako pandai, baru kalian berdua boleh pergi meninggalkan pulau ini dengan bebas."
"Usul yang bagus sekali!" Ouw Kong Ek berseru gembira. "Kwa Sin Liong, aku mendengar bahwa di dunia ramai, di daratan sana, orang-orang gagah menggunakan kepandaian untuk memutuskan sebuah perkara yang ruwet. Aku percaya bahwa engkau tentu seorang gagah pula, maka biarlah kita membereskan urusan ini dengan mengukur kepandaian masing-masing seperti yang diusulkan oleh pembantuku Lo Thong."
Sin Liong menggeleng kepalanya.
"Tocu, aku tidak suka menggunakan ilmu yang kupelajari untuk kekerasan. Mengapa Tocu hendak menggunakan cara kekerasan untuk menahan kami berdua selamanya di pulau ini? Aku sudah besedia mengajarkan ilmu pengobatan, maka sudah sepatutnya kalau Tocu membalasnya dengan membebaskan kami.
"Tidak. Kita harus saling mengukur kepandaian dulu!" ketua itu berkeras.
Tiba-tiba Swat Hong melompat ketengah lapangan dan membusungkan dada menegakkan kepalanya.
"Hayolah! Kalau Suheng tidak mau, biarlah aku yang melayanimu! Siapa sih takut kepada orang Pulau Neraka? Aku yang memasuki pertandingan itu, dan kalau kalah, boleh kalian berbuat apa saja sesuka kalain!"
"Sumoi...!!" Sin Liong menegur.
"Suheng, aku tidak takut!" Swat Hong membantah.
Ouw Kong Ek mengerutkan alisnya.
"Soan Cu, kau layani bocah liar yang sombong ini!" katanya.
"Baik Kong-kong."
Soan Cu bangkit berdiri dan melangkah maju, akan tetapi segera berhenti ketika mendengar suara Sin Liong,
"Soan Cu harap jangan bertanding. Di antara kita tidak ada permusuhan, bukan?"
Soan Cu meragu, memandang kepada Kong-kongnya, kemudian kepada Sin Liong, dan akhirnya dia kembali duduk di tempatnya yang tadi.
"Soan Cu...." Kakeknya menegur.
"Kong-kong, aku tidak mau bertanding. Mereka bukan musuhku."
Mata kakek itu terbelalak, akan tetapi dia tidak marah bahkan lalu tertawa bergelak.
"Kau...kau lebih taat kepadanya? Ha-ha-ha-ha!"
Dia tertawa karena sikap cucunya itu jelas membuktikan betapa cucunya benar-benar telah jatuh cinta kepada Sin Liong! Sampai-sampai berani membangkang terhadap perintahnya hanya karena Sin Liong menghendaki demikian.
Makin panaslah hati Swat Hong. Tadinya dia sudah siap-siap untuk menjatuhkan cucu ketua Pulau Neraka itu, selain agar menang pertandingan juga hendak memperlihatkan kepada Suhengnya bahwa dia lebih pandai dari pada Soan Cu. Akan tetapi, ternyata Suhengnya melarang Soan Cu dan dara Pulau Neraka itu begitu taat!
"Ouw Kong Ek, kalau cucumu tidak berani maju, biarlah kau sendiri yang maju! Hayo tandingilah aku, puteri Raja Pulau Es!" Dia menantang-nantang dengan suara penuh kemarahan.
Sin Liong hanya menggeleng kepalanya dan bingung sekali bagaimana harus mencegah sumoinya.
Kembali kakek itu menjadi marah. Tantangan yang keluar dari mulut Swat Hong membuat mukanya merah dan telinganya panas. Akan tetapi betapa memalukan kalau dia harus menandingi seorang bocah perempuan yang usianya sebaya dengan cucunya sendiri!
"Twako, perkenankanlah saya menghajar bocah bermulut lancang ini" Lo Thong berkata dan Ouw Kong Ek mengangguk, akan tetapi masih ingat dan memesan.
"Akan tetapi cukup beri hajaran saja, jangan sampai dia terbunuh."
"Baik saya mengerti, Twako."
Lo Thong menjawab lalu sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah mencelat ke depan Swat Hong. Menyaksikan ginkang yang hebat ini diam-diam Sin Liong khawatir sekali, akan tetapi dia pun tidak dapat mencegahnya karena maklum kalau dia melarang, Sumoinya tentu akan menjadi makin nekat saja. Maka dia hanya bangkit berdiri dan memandang dengan jantung berdebar tegang.
Swat Hong memandang kakek botak yang berdiri di depannya, lalu berkata, suaranya mengejek.
"Apakah pertandingan ini akan memutuskan perjanjian tadi, bahwa kalau aku menang kami berdua boleh pergi dari sini?"
"Tidak", jawab Lo Thong. "Pertandingan ini hanya mengenai dirimu, kalau kau menang kau boleh pergi, kalau kau kalah, kau harus tinggal di sini selamanya dan menjadi muridku."
"Setan alas! Siapa takut padamu?" Swat Hong yang sudah kena dibakar hatinya itu membentak.
"Sumoi, tanpa pertandingan pun kau boleh pergi sekarang juga!" Sin Liong berteriak.
"Tidak, Suheng. Aku merasa kurang terhormat kalau pergi begitu saja. Aku tidak sudi menerima kebaikan orang-orang Pulau Neraka. Kalau aku pergi berarti aku pergi mengandalkan kepandaian aku sendiri, bukan karena kebaikan hati mereka. Hayo, kakek botak, boleh kau keluarkan segala ilmumu!"
"Bocah sombong, sambutlah ini!"
Lo Thong merasa panas juga perutnya melihat sikap dara remaja yang memandang rendah kepadanya itu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa dara ini tentu memiliki kepandaian tinggi sebagai puteri Raja Pulau Es, maka sekali menyerang, dia telah mengeluarkan kepandaianya, mengeluarkan jurus yang ampuh dan mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Wuuuuuttt... sirrr...desss!"
Mula-mula Lo Thong menggerakan tubuhnya rendah kebawah, seolah-olah lengan kirinya yang bergerak itu hendak menangkap kaki Swat Hong, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya meninggi, tangan kanannya meluncur dan mencengkram ke arah pinggang dara itu.
Namun Swat Hong yang usianya masih muda sekali itu belum lima belas tahun, telah mewarisi inti kepandaian dari ilmu-ilmu kesaktian Pulau Es. Dengan tenang dia melihat bahwa bukan tangan kiri lawan yang berbahaya melainkan tangan kanannya, maka dia cepat menarik kaki kiri dan menangkis dengan sabetan tangan miring dari samping yang mengenai lengan lawan.
LoThong mencelat ke belakang dan inilah kehebatan ginkangnya. Gerakannya bukanlah langkah kaki, melainkan loncatan yang membuat tubuhnya mencelat ke sana-sini dengan amat cepatnya dan sama sekali tidak terduga-duga lawan.
"Sumoi awasilah gerakannya. Ginkangnya lihai!"
Sin Liong berseru dan diam-diam Lo Thong mendongkol juga. Ternyata pemuda itu lihai sekali, baru segebrakan saja sudah mengenal dimana letak keampuhannya. Maka dia lalu menggereng dan menubruk maju, menghujani Swat Hong dengan serangan bertubi-tubi.
Swat Hong diam-diam terkejut juga. Ternyata bahwa pembantu utama dari ketua Pulau Neraka ini hebat bukan main. Setiap gerakan tangannya mendatangkan angin keras menyambar dan kecepatannya membuat dia pening karena harus menggerakan kekuatan matanya untuk mengikuti terus gerakan lawan. namun, tentu saja dia tidak menjadi gentar. Sejak kecil dara remaja ini tidak pernah mengenal artinya takut, dan dia pun mengeluarkan kepandaiannya untuk membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Semua mata memandang pertandingan itu dengan penuh perhatian. Diam-diam Soan Cu merasa kagum sekali kepada Swat Hong dan dia harus mengaku dalam hatinya bahwa andaikata tadi dia yang maju, dia akan kalah menghadapi kelihaian dara Pulau Es itu, maka dia merasa makin bersyukur kepada Sin Liong yang tadi mencegahnya maju melawan Swat Hong. Apakah pemuda itu sudah tahu bahwa dia akan kalah kalau melawan Swat Hong? Soan Cu melirik ke arah Sin Liong dan melihat betapa wajah pemuda yang tampan itu diliputi kekhawatiran, maka dia kembali menyaksikan pertandingan yang hebat itu.
Tubuh mereka berdua yang bertanding itu sudah tidak dapat kelihatan jelas, yang tampak hanya dua bayangan berkelebatan ke kanan kiri dengan cepat sekali. Ginkang yang dikuasai oleh Lo Thong memang hebat sekali, akan tetapi sekarang dia berhadapan dengan puteri Raja Han Ti Ong dari Pulau Es! Biarpun masih kalah sedikit namun Swat Hong dapat mengimbangi kecepatan lawan, bahkan dapat mendesak dengan ilmu silatnya yang luar biasa dan tenaga sinkangnya yang berdasarkan hawa murni dari im-kang yang dingin.
Ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong adalah ilmu silat tangan kosong Jit-cap-ji-seng (Tujuh Puluh Dua Bintang ) yang mempunyai tuluh puluh dua jurus-jurus ampuh. Sebagai bekas penghuni Pulau Es sebelum Swat Hong terlahir, tentu Lo Thong mengenal ilmu ini, bahkan ilmu silatnya sediri pun bersumber pada ilmu silat Pulau Es.
Akan tetapi setelah dua puluh tahun lebih berada di Pulau Neraka dan mempelajari ilmu-ilmu dari Pulau Neraka, maka ilmu silatnya menjadi campur aduk dan tentu saja kalah murni oleh ilmu silat yang dimainkan oleh Swat Hong. Pula, Lo Thong dahulu belum mempelajari Jit-cap-ji-seng sampai habis, hal yang jarang dilakukan penghuni Pulau Es kecuali keluarga raja.
Mulailah Lo Thong terdesak oleh serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Swat Hong. Ingin sekali Lo Thong menggunakan senjatanya, yaitu ular hidup yang melingkar di lehernya, namun dia takut akan pesan ketuanya tadi. Kalau dia menggunakan senjata itu dan sekali lawan tergigit mati tentu dia akan mendapat marah besar. Maka dia lalu berteriak keras dan mengerahkan seluruh ilmunya meringankan tubuh.
"Aihhh...!"
Swat Hong terkejut ketika melihat betapa tubuh lawan dapat bergerak lebih cepat lagi dan dalam serangkaian serangan yang tak terduga saking cepatnya, hampir saja pundaknya kena dicengkeram. Dia berseru sambil meloncat keatas, tinggi sekali kemudian bagaikan seekor burung walet, tubuhnya sudah membalik di udara, menukik kebawah dan dia sudah melancarkan serangan dengan jurus Kak-seng-jip-hai (Bintang Terompet Memasuki Laut), jurus terakhir yang paling ampuh dan yang dulu dilatihnya dengan ibu dan ayahnya sehingga dia mahir sekali mainkan jurus ini.
Hebat bukan main daya serang jurus ini karena selagi tubuh meluncur turun dengan menukik kebawah, kedua tangannya sudah bergerak mencengkram kearah ubun-ubun kepala lawan yang botak itu!
"Hayaaa...!" kini Lo Thong yang kaget ketika merasa ada hawa dingin menyentuh ubun-ubun kepalanya dari atas.
Maklum bahwa serangan itu merupakan ancaman maut bagi dirinya, dia tidak berani lengah, cepat membuang diri kebelakang sehingga dia terjengkang, kemudian menggunakan ginkangnya untuk berguling di atas lantai. Dengan gerakan ini, biarpun pakainnya kotor terkena debu, namun dia selamat dan dapat menghindarkan diri dari serangan jurus Kak-seng-jip-hai tadi. Akan tetapi, betapa terkejutnya melihat dara itu sudah meloncat ke depan dan baru saja dia bangkit berdiri, Swat Hong sudah menghantamnya dengan kedua tangan didorongkan ke depan.
"Haiiiiiiittt!!" Swat Hong berseru nyaring dan mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Sumoi, jangan....!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar