FB

FB


Ads

Sabtu, 05 Januari 2019

Bukek Siansu Jilid 009

"Hemmm, setelah ada aku disini jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!" kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk.

Orang ini bernama Ciang Ham julukannya Thian-he Te-it, Sedunia Nomor satu! Usianya kurang lebih 50 tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya 50 tahun tapi masih tampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang mauwpit alat tulis pena panjang.

"Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda berdua), Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku."

Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya,

"Harap maafkan, akan tetapi siapakah saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun dan bu (Sastra dan silat) yang tinggi ini?"

Laki-laki itu tersenyum dan menjawab halus,
"Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seorang yang suka bersunyi di Beng-san."

Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata,
"Aihhh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Cin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san. Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjungi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!"

Ucapan terakhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi. Orang ke lima dari rombongan itu adalah seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (Kebutan Pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (Pemeluk Agama To)!

"Amat sempurna, namun tampak tak sempurna, tampak tidak lengkap, sungguhpun kegunaannya tiada kurang. Terisi penuh, namun tampaknya meluap tumpah, tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah kehabisan. Yang paling lurus, kelihatan bengkok, yang paling cerdas, kelihatan bodoh, yang paling fasih, kelihatan gagu. Api panas dapat mengatasi dingin, air sejuk dapat mengatasi panas, Sang Budiman, murni dan tenang dapat memberkati dunia!"

"Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah Lam-hai Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!" kata Pat-jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.

Tosu itu berkata,
"Siancai! Pat-jiu Kai-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan bodoh."

"Ah, jangan merendah, Totiang," kata Kiam-mo Cai-li, "Siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun Anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya."

"Siancai! Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah.

Tee-tok Siangkoan Houw mngeluarkan suara menggereng tidak sabar.
"Apa apaan semua kepura-puraan yang menjemukan ini? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!"






"Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?"

Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jelas bahwa dia merasa tak senang.

"Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yang sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid kami atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melalui suaranya yang nyaring.

"Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, Untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja sekarang bagaimana baiknya?"

"Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dari dunia kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua? Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku seorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Gin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata Kiam-mo Cai-li yang cerdik.

"Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee-tok membentak marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!"

"Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun melangkah maju.

"Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!" kata Pat-jiu Kai-ong mencela.

"Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!"

Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.

"Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutannya. "Harap Cuwi(Anda Sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukanlah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling baku hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri, Bagaimana?"

"Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.

"Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong.

"Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!"

Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan ingin menyerang Thian-tok yang licik itu.

"Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cai-li mengejek Thian-tok.

"Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!"

"Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.

"Siancai...!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah marilah kita mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong."

Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.

"Sin-tong yang baik. Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh. Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, kau mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!"

Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk-rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.

"Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali melihat engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engkau akan menjadi raja Pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!"

Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.

"Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku tekun menghimpun ilmu silat, ilmu sastra dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong."

"Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong."

"Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapapun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong."

"Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!"

"Siancai...siancai..! Kau dengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorangpun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!"

Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka.

"Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak, saya tidak akan turut siapapun, saya lebih senang tinggal disini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat-mayat yang patut dikasihani ini."

"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berwatak berangasan dan kasar.

"Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya!" bentak Thian-tok.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar