Tiba-tiba pendekar itu tertawa dan begitu dia tertawa, dia nampak jauh lebih muda daripada usianya. Dan memang dia masih ganteng!
“Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal gin-kang, engkau kalah jauh dari aku, biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”
“Dan kalau engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”
“Aha, soal itu nanti dulu.”
“Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek Gan Cui berteriak penasaran.
“Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati.”
“Tapi engkau terima tantanganku?”
“Tentu saja.”
“Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Aku menantangmu untuk mengadu ilmu gin-kang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.
“Siapa dia?”
Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.
“Siapa dia tak perlu kau tahu. Pendeknya, dia adalah jago dan wakilku untuk menandingimu dalam ilmu gin-kang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”
Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia mengangguk-angguk.
“Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?”
“Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini.”
Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini Gangga terkejut karena botol itu adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untuk dipakai berebut, agar ia mau berlumba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!
“Perempuan licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”
Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah.
“Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimanapun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlumba. Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol ditanganmu itu, dia menang!”
Nenek itu menyeringai.
“Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan iapun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghendaki benda ini!”
Setelah berkata demikian, nenek itupun berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu. Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.
Gangga tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa ia tidaklah lemah untuk dapat dipandang ringan saja.
Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimanapun juga, tiga orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan.
“Kita mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum. Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”
Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di sampingnya dan ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya.
Bu-taihiap menjadi penasaran dan diapun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan betapapun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu gin-kang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat hebat.
“Ha-ha-ha, engkau lucu, adik Cui. Engkau tahu bahwa dalam hal gin-kang, engkau kalah jauh dari aku, biar engkau belajar puluhan tahun lagi, belum tentu engkau akan mampu mengalahkan aku. Tentu saja kuterima tantanganmu.”
“Dan kalau engkau kalah, engkau akau memenuhi tuntutanku?”
“Aha, soal itu nanti dulu.”
“Tapi, tiga tahun yang lalu, seperti yang sudah-sudah, engkau menerima taruhan itu!” Nenek Gan Cui berteriak penasaran.
“Hemm, karena ketika itu aku merasa yakin akan kemenanganku. Dan sekarang, selagi aku semakin tua dan engkau semakin bersemangat mempelajari ilmu-ilmu, aku harus hati-hati.”
“Tapi engkau terima tantanganku?”
“Tentu saja.”
“Nah, dengarkan baik-baik, Bu Seng Kin! Aku menantangmu untuk mengadu ilmu gin-kang dan aku mengajukan jagoku ini!” Nenek Gan Cui menepuk pundak Gangga.
“Siapa dia?”
Bu-taihiap bertanya dengan sikap kaget, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang datang bersama Gan Cui itu ternyata adalah jago yang hendak diajukan oleh nenek yang keras hati itu. Kini dia menatap tajam wajah dan tubuh Gangga, penuh selidik.
“Siapa dia tak perlu kau tahu. Pendeknya, dia adalah jago dan wakilku untuk menandingimu dalam ilmu gin-kang. Kalau dia kalah, berarti aku kalah olehmu, akan tetapi kalau dia menang, berarti engkau harus mengaku kalah.”
Bu-taihiap tidak merasa khawatir, bahkan kelihatan sepasang matanya bersinar-sinar, seperti merasa gembira menghadapi peristiwa yang menarik. Dia mengangguk-angguk.
“Baiklah, adik Cui, lalu bagaimana pertandingan ini akan diatur?”
“Aku tidak ingin tertipu olehmu yang licik. Aku akan pergi ke ujung puncak ini dan membawa ini. Kemudian kalian berdua merebut botol ini dari tanganku dan berlari dari sini.”
Nenek itu mengeluarkan sebuah botol dan melihat ini Gangga terkejut karena botol itu adalah botol yang terisi tiga butir pel katak buduk hitam yang dibutuhkannya! Agaknya nenek yang cerdik itu sengaja mengeluarkan benda itu untuk dipakai berebut, agar ia mau berlumba dengan sesungguhnya mengalahkan Bu-taihiap untuk memiliki obat itu!
“Perempuan licik!” Tiba-tiba Tang Cun Ciu membentak. “Pertandingan macam apa itu? Kalau engkau yang menjadi sasarannya, tentu engkau akan membantu agar jagomu yang menang! Katakan saja engkau hendak mengeroyok!”
Bu-taihiap tertawa dan menggerakkan tangan mencegah isterinya itu marah-marah.
“Biarkanlah. Tentu saja aku tahu bahwa kalau kami berdua tiba di dekatnya, ia akan menyerahkan benda itu kepada jagoannya dan kalau aku yang hendak mengambilnya tentu ia akan melawan. Akan tetapi, jagoannya itu masih begini muda, patutnya menjadi muridku, maka biarlah dibantu oleh adik Cui. Bagaimanapun juga, akhirnya aku yang akan menang. Baik, adik Cui, engkau bawalah benda itu ke ujung sana dan kami berdua akan berlumba. Siapa yang lebih dahulu mendapatkan botol ditanganmu itu, dia menang!”
Nenek itu menyeringai.
“Orang she Bu, sekali ini engkau akan kecelik dan kalah!” Dan iapun menoleh kepada Gangga sambil berkata, “Ingat, engkau tidak boleh kalah kalau engkau menghendaki benda ini!”
Setelah berkata demikian, nenek itupun berlari cepat sekali menuju ke ujung puncak itu. Jarak itu cukup jauh dan tubuhnya semakin kecil, akhirnya hanya menjadi sebuah titik hitam yang makin mengecil. Puncak itu memang merupakan tanah datar yang amat panjang, akan tetapi permukaannya yang halus hanyalah di sekitar pondok, sedangkan jarak itu melalui tanah yang penuh dengan batu besar kecil yang kasar dan tidak mudah dilalui karena kalau tidak berhati-hati, orang dapat tergelincir.
Gangga tadinya sudah merasa tidak senang kepada nenek Gan Cui yang ternyata sedikit membohong ketika bercerita tentang urusannya dengan Bu-taihiap. Ia sudah mulai ragu-ragu apakah baik kalau ia melanjutkan pertolongan dan bantuannya kepada nenek itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar kata-kata Bu-taihiap tentang dirinya yang dianggap terlalu muda dan hanya patut menjadi murid pendekar itu dengan pandang mata dan nada suara memandang rendah, hatinya menjadi panas juga. Pendekar ini terlampau sombong, pikirnya, memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya timbul dorongan hati untuk membuktikan bahwa ia tidaklah lemah untuk dapat dipandang ringan saja.
Bu-taihiap sudah bangkit berdiri bersama tiga orang isterinya. Bagaimanapun juga, tiga orang isterinya tidak akan tinggal diam saja dan mereka itu hendak mengikuti sang suami agar jangan menjadi korban kecurangan lawan.
“Kita mulai?” tanya Bu-taihiap kepada Gangga sambil tersenyum. Setelah Gangga mengangguk, Bu-taihiap berkata lagi. “Akan kuhitung sampai tiga dan kita mulai berlari. Satu, dua.... tiga!”
Dua tubuh itu melesat ke depan. Bu-taihiap mengerahkan tenaganya dan larinya cepat sekali, seperti terbang saja. Akan tetapi, betapa kaget hatinya ketika dia melihat Gangga berkelebat di sampingnya dan ternyata pemuda itu bergerak dengan demikian ringannya seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi! Sebentar saja tubuh pemuda itu sudah melesat ke depan dan melewatinya.
Bu-taihiap menjadi penasaran dan diapun mengerahkan seluruh tenaganya, mengenjot tubuhnya untuk menyusul. Akan tetapi, pemuda itu agaknya juga menambah tenaganya dan betapapun dia membalap, tetap saja pemuda itu berada di depannya! Barulah dia benar-benar terkejut dan dari gerakan kaki pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu memiliki ilmu gin-kang Jouw-sang Hui-teng (Ilmu Terbang Di Atas Rumput) yang amat hebat.
Mereka berkejaran dengan cepat sehingga tiga orang wanita yang juga membayangi tertinggal jauh dan sebentar saja mereka sudah dapat melihat nenek Gan Cui berdiri di ujung timur tanah datar puncak bukit itu.
Sementara itu, Gangga merasa puas bahwa ternyata gin-kangnya tidak kalah oleh Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan? Akan tetapi ia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu kepadanya?
Mereka kini terpaksa juga merobah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu gin-kang ini.
“Nona, perlahan dulu.!”
Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang menahannya dari belakang. Pendekar tua itu agaknya telah mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sin-kang! Dan pendekar tua itupun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan sin-kangnya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sin-kang yang kuat.
“Wuutttt....!” Dan tenaga yang menahannya dari belakang itupun terlepas.
Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang ahli gin-kang, melainkan juga mampu menangkis sin-kangnya yang dipergunakan untuk menahan larinya yang cepat itu.
“Ahhh.... nona....” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali, nona....”
Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa takkan senang mendengar pujian? Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi iapun teringat bahwa pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penakluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.
“Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?”
Biarpun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan dengan sendirinya iapun mengurangi lagi kecepatan larinya. Ia sudah menduga apa yang terjadi antara pendekar ini dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.
“Aku membutuhkan obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.
“Aha, jadi ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan kau kira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Ia seorang yang keras hati dan licik sekali, dan kalau ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”
“Aku.... aku sudah menduga begitu.”
“Nona, biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat menguasainya.”
Gangga hanya mempergunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini daripada nenek Gan Cui yang curang.
“Silahkan.” katanya dan iapun memperlambat larinya.
Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga ginkangnya dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya.
Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!
Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkan lawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat daripada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh. Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat.
“Bocah tolol, lari ke sini.!”
Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga. Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan tetapi, gin-kangnya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.
“Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”
“Tidak.... tidak....!”
Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk menyambar botol di tangannya itu.
“Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!”
Kembali Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat dia mengelak dan membalas dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itupun memiliki gerakan cepat dan ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itupun disodokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!
“Hemm, engkau sungguh keras hati, adik manis!”
Kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar ini mengerahkan tenaga sin-kangnya menerima tendangan di perutnya, mengelak dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.
“Bukk!”
Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak anggauta rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggauta kelaminnya telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.
Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal gin-kang saja. Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat.
Kini, setelah melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya mencabut saputangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan dari lawan.
Menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debu hitam kehijauan ini, Bu-taihiap terkejut dan cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga!
Kiranya Gangga mempergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan gin-kangnya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya. Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan marah.
“Bocah tolol! Kembalikan botol itu.!”
Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan merangkulnya, memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
“Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku masih cinta padamu.” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.
Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini, lenyaplah seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan menangis lirih!
Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi tiga butir pel, memandang dengan muka merah.
“Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?”
Kembali Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk. Bu-tahiap maklum bahwa dia telah menalukkan hati nenek itu, maka diapun melepaskan kedua tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra.
Gan Cui mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah Gangga. Biarpun sikapnya tidak galak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia berkata kepada Gangga.
“Engkau telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”
“Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal gin-kang, aku Bu Seng Kin harus mengakui keunggulan gadis ini.”
Sepasang mata Gan Cui terbelalak.
“Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis? Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”
“Mengapa mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh luar biasa sekali ilmu gin-kangnya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”
“Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Gangga terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena diapun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar biasa, juga di samping itu memiliki gin-kang yang hebat.
“Benarkah, nona?”
Gangga mengangguk.
“Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Ang Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”
“Ahhh....!” Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Kalau begitu, aku semakin tidak merasa malu lagi kalah dalam gin-kang olehmu, nona!”
“Siapakah namamu?” tanya Nandini.
“Gangga Dewi.”
“Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari silahkan duduk dalam pondok kami dan kita bercakap-cakap.”
Bu-taihiap berkata dan tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
“Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis muda?”
Bentak Gan Cui, dan tiga orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mereka. Rasakan kau sekarang, pikir mereka, mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak!
Tentu saja Bu-taihiap tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai niat sedikitpun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilahkan ke rumah untuk beramah tamah karena diapun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.
“Terima kasih atas kebaikan kalian semua.” Kata Gangga Dewi sambil menjura. “Sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”
“Pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada Gangga.
“Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini? Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah satu-satu?”
Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah.
“Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu apa aku memberitahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”
Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya,
“Nona Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-mo-kang itu?”
“Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja.”
“Suma....?” Bu-taihiap terbelalak.
“Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara bangga.
“Ah....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”
“Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya sembuh,”
Jawab nenek itu singkat dan dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
“Terima kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka.
Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala kagum.
“Bukan main.!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan pada keesokan harinya, pada hari ke tiga tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang mengobati Ciang Bun.
Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti kembalinya. Bagaimanapun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja, menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.
“Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu.
“Kini belum musimnya telur katak menetas, tak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari.”
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk.
“Omitohud.... racun katak buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat disembuhkan.”
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai tiga hari tiga malam lamanya! Dara ini tidak pernah mau meninggalkan pembaringan Ciang Bun dan bahkan makan atau tidurpun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat.
Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berobah, dan setiap hari berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.
“Di manakah aku.?” tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum girang sekali.
“Ah, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh, bahaya telah lewat!”
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk. Akan tetapi tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali. Ganggananda cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus,
“Jangan engkau bangun dulu. Sudah empat hari engkau tak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, diapun bangkit dan cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
“Omitohud, engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”
Ciang Bun menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari? Sambil terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada.
“Ji-wi locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga daripada pemberian benda berharga apapun juga.
“Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami karena yang menyelamatkan nyawa si-cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,”
Kata kakek tabib yang segera menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
Sementara itu, Gangga merasa puas bahwa ternyata gin-kangnya tidak kalah oleh Bu-taihiap. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa sebenarnya ia membantu orang yang tidak benar, dan diam-diam ia merasa malu kepada dirinya sendiri. Kalau sampai nanti ia menang, seperti yang sudah jelas dapat diduga, lalu nenek itu minta yang bukan-bukan, bukankah berarti ia telah membantu kesewenang-wenangan? Akan tetapi ia membutuhkan obat itu!
Tiba-tiba nenek Gan Cui lari menuju ke selatan, menjauhi dua orang yang sedang berlari cepat ke arahnya itu. Hal ini mengingatkan lagi kepada Gangga bahwa nenek yang dibantunya itu adalah seorang yang penuh tipu muslihat dan sudah beberapa kali memperlihatkan kecurangannya. Bagaimana kalau nanti melanggar janji dan tidak mau memberikan obat itu kepadanya?
Mereka kini terpaksa juga merobah arah mengejar nenek itu yang sudah berada di ujung selatan. Dan dengan sengaja Gangga memperlambat larinya sehingga Bu-taihiap dapat berlari di sampingnya. Kakek itu sudah agak terengah dan mandi peluh. Gangga menoleh kepadanya, tersenyum dan menambah lagi tenaganya sehingga tubuhnya kembali melesat ke depan dalam jarak satu tombak. Ia masih ingin meyakinkan hatinya bahwa ia memang lebih menang dalam adu gin-kang ini.
“Nona, perlahan dulu.!”
Tiba-tiba ia mendengar suara Bu-taihiap dan ada tenaga aneh yang menahannya dari belakang. Pendekar tua itu agaknya telah mempergunakan ilmu kepandaiannya untuk menahannya dari belakang, dengan tenaga sin-kang! Dan pendekar tua itupun telah mengetahui penyamarannya, tahu bahwa ia adalah seorang wanita. Gangga cepat mengerahkan sin-kangnya pula dan tangan kanannya ditepiskan dengan pengerahan sin-kang yang kuat.
“Wuutttt....!” Dan tenaga yang menahannya dari belakang itupun terlepas.
Kembali Bu-taihiap terkejut bukan main. Kiranya gadis ini bukan hanya tukang lari yang ahli gin-kang, melainkan juga mampu menangkis sin-kangnya yang dipergunakan untuk menahan larinya yang cepat itu.
“Ahhh.... nona....” katanya agak terengah-engah. “Engkau sungguh.... seorang dara yang luar biasa! Masih begini muda, begini cantik, dan memiliki kepandian tinggi.... aku kagum sekali, nona....”
Berdebar rasa jantung dalam dada Gangga. Hati siapa takkan senang mendengar pujian? Apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut orang penting, dan Bu-taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi iapun teringat bahwa pendekar tua ini adalah seorang perayu, seorang penakluk wanita, maka sikapnya menjadi keras lagi.
“Nona, sehebat engkau ini.... mengapa membantu orang yang sesat? Gan Cui bertindak salah dalam urusan kami.... aku membujuknya untuk hidup rukun.... tapi ia menghendaki agar aku menceraikan semua isteriku dan harus melayani ia seorang saja.... apakah itu adil namanya?”
Biarpun ia bersikap tak acuh, namun diam-diam Gangga mendengarkan semua kata-kata itu dan dengan sendirinya iapun mengurangi lagi kecepatan larinya. Ia sudah menduga apa yang terjadi antara pendekar ini dan nenek itulah yang mau menang sendiri dalam urusan itu.
“Aku membutuhkan obatnya itu untuk menolong seorang sahabatku yang keracunan,” katanya.
“Aha, jadi ia memaksamu membantu dan mengalahkan aku karena obat itu? Sudah kuduga. Dan kau kira ia akan menyerahkan obat itu padamu? Ia seorang yang keras hati dan licik sekali, dan kalau ia tidak mau memberikan kepadamu, jangan harap dengan mudah engkau akan bisa memperolehnya. Ia curang dan lihai!”
“Aku.... aku sudah menduga begitu.”
“Nona, biarkan aku yang merampasnya untukmu. Kalau engkau tidak mendahuluiku, dan aku lebih dahulu mencapainya, tentu ia akan berusaha menghindariku, akan tetapi, aku dapat menguasainya.”
Gangga hanya mempergunakan waktu sejenak untuk berpikir dan mengambil keputusan. Entah bagaimana, ia merasa jauh lebih percaya kepada pendekar ini daripada nenek Gan Cui yang curang.
“Silahkan.” katanya dan iapun memperlambat larinya.
Tubuh Bu-taihiap melesat ke depan dan berlari di depannya, seolah-olah pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga ginkangnya dan dapat menyusul dara itu. Melihat ini, tiga orang isterinya yang tertinggal jauh di belakang merasa lega. Mereka bertiga memang tidak dapat dibilang suka kalau melihat suami mereka menambah seorang isteri lagi, akan tetapi urusan seperti itu bagi mereka kecil saja artinya.
Mereka sudah terbiasa oleh ulah suaminya yang suka perempuan itu dan agaknya baru akan sembuh kalau sudah mati. Bagi mereka, lebih penting lagi kalau suaminya tidak sampai kalah, karena wanita itu tentu akan berbuat yang bukan-bukan, menuntut yang tidak-tidak dan juga, suaminya akan terpukul perasaannya dan akan merasa malu kalau sampai kalah oleh seorang muda!
Sebaliknya, ketika melihat betapa kini jagonya tertinggal, nenek Gan Cui terkejut sekali. Tadi ia sudah merasa girang melihat betapa Gangga dapat berada di depan dan ia sengaja lari menjauh untuk memberi kesempatan kepada Gangga untuk meninggalkan lawannya jauh di belakang. Ia sudah merasa yakin bahwa jagonya tentu akan menang karena selain sudah berada di depan, tentu daya tahan Gangga lebih kuat daripada lawannya yang sudah tua, napasnya juga lebih panjang. Akan tetapi kenyataannya, kini Gangga tersusul dan tertinggal, makin lama makin jauh. Gan Cui segera menjauhkan diri lagi, lari ke arah barat.
“Bocah tolol, lari ke sini.!”
Ia berteriak-teriak dan berusaha mendekati Gangga. Akan tetapi Bu-taihiap selalu menghadang antara ia dan Gangga, dan pendekar itu kini makin dekat dengannya. Terpaksa nenek itu membalikkan tubuh dan melarikan diri. Akan tetapi, gin-kangnya memang kalah dibandingkan Bu-taihiap sehingga pendekar itu sebentar saja dapat mengejarnya.
“Adik Cui, jangan curang. Aku yang lebih dulu mencapaimu, serahkan botol obat itu!”
“Tidak.... tidak....!”
Gan Cui menghindarkan diri ketika Bu-taihiap mengulur tangan untuk menyambar botol di tangannya itu.
“Adik Cui, jagomu sudah kalah, kau jangan main curang! Serahkan botol itu!”
Kembali Bu-taihiap menubruk, akan tetapi sekali ini Gan Cui menyambutnya dengan pukulan yang dilakukan dengan cepat dan kuat sekali, pukulan maut karena pukulan itu adalah jurus dari Ilmu Coa-tok-ciang (Tangan Racun Ular) yang dahsyat sekali!
Bu-taihiap tentu saja mengenal pukulan ganas itu dan cepat dia mengelak dan membalas dengan totokan jari tangannya ke arah leher Gan Cui. Namun, nenek itupun memiliki gerakan cepat dan ia sudah mengelak sambil melayangkan kakinya menendang ke arah perut lawan disusul dengan cengkeraman tangan kanan ke arah mata, sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol itupun disodokkan ke arah ulu hati. Sekali bergerak wanita itu telah mengirim tiga serangan yang kesemuanya mematikan!
“Hemm, engkau sungguh keras hati, adik manis!”
Kata Bu-taihiap mengejek dan pendekar ini mengerahkan tenaga sin-kangnya menerima tendangan di perutnya, mengelak dari cengkeraman ke arah mata dan tangan kiri yang menggenggam botol itu disambutnya dengan cengkeraman untuk merampas botol.
“Bukk!”
Tendangan itu tepat mengenai perut dan sebagian mengenai bawah perut di mana terletak anggauta rahasia. Akan tetapi Bu-taihiap adalah seorang pendekar sakti yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Bukan saja seluruh bagian perut telah dilindungi oleh hawa sakti sehingga menjadi kebal, akan tetapi juga anggauta kelaminnya telah tersedot memasuki perut dan terlindung sehingga ketika tertendang, yang terkena tendangan hanyalah kulit yang keras dan licin saja.
Gan Cui terkejut. Ia memang membual ketika menceritakan kepada Gangga bahwa dalam hal ilmu silat ia dapat menandingi Bu-taihiap, hanya kalah dalam hal gin-kang saja. Sebetulnya, mana ia mampu mengalahkan tingkat kepandaian Bu-taihiap? Biar ia belajar sampai selama hidupnya, agaknya ia tidak akan mampu menyusul tingkat pendekar itu karena selain kalah dasar, juga kalah bakat.
Kini, setelah melakukan tiga serangan sekaligus, ia berbalik malah terancam akan dirampas botol obat di tangannya. Gan Cui mengeluarkan teriakan nyaring, tangan kanannya mencabut saputangan hitam yang dikebutkannya ke arah muka Bu-taihiap sedangkan tangan kiri yang menggenggam botol diangkatnya tinggi-tinggi untuk dijauhkan dari lawan.
Menghadapi kebutan kain hitam yang mengeluarkan debu hitam kehijauan ini, Bu-taihiap terkejut dan cepat dia meniup dan mengebutkan ujung lengan bajunya untuk mengusir debu beracun, dan pada saat itu, Gan Cui menjerit karena tiba-tiba saja botol di tangan kirinya terlepas dan terampas dari tangannya. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa yang merampas botol itu adalah Gangga!
Kiranya Gangga mempergunakan kesempatan itu untuk mengerahkan gin-kangnya, melompat ke atas tinggi sekali lalu menukik turun dan merampas botol itu tanpa Gan Cui mengetahuinya. Tentu saja nenek itu menjadi terkejut dan marah.
“Bocah tolol! Kembalikan botol itu.!”
Akan tetapi ia tidak dapat bergerak lagi karena pada saat itu Bu-taihiap telah menubruk dan merangkulnya, memegangi kedua pergelangan tangannya. Nenek itu hendak meronta, akan tetapi Bu-taihiap memeluknya dan berbisik di telinganya.
“Adik Cui yang manis, apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan selalu memusuhiku? Aku masih cinta padamu.” Dan pendekar itu mengusap leher Gan Cui dengan hidungnya.
Seketika lemaslah seluruh tubuh Gan Cui. Merasa betapa kulit lehernya dicium oleh laki-laki yang sebenarnya masih amat dicinta dan dirindukannya ini, lenyaplah seluruh daya lawannya dan ia seperti lumpuh, menyandarkan diri ke atas dada yang bidang itu dan menangis lirih!
Tiga orang isteri Bu-taihiap yang telah tiba di situ membuang muka dan mencibirkan bibir, akan tetapi tidak merasa cemburu lagi karena memang sejak dahulu mereka tahu bahwa Gan Cui adalah seorang di antara wanita-wanita yang jatuh oleh rayuan suami mereka. Sementara itu, Gangga yang telah berhasil merampas botol terisi tiga butir pel, memandang dengan muka merah.
“Adik Cui, mulai saat ini, engkau mau bukan hidup bersama kami dengan damai?”
Kembali Bu-taihiap berbisik dan Gan Cui mengangguk. Bu-tahiap maklum bahwa dia telah menalukkan hati nenek itu, maka diapun melepaskan kedua tangannya dan masih tetap menggandeng lengannya dengan sikap mesra.
Gan Cui mengusap air mata dengan ujung lengan bajunya, kemudian memandang ke arah Gangga. Biarpun sikapnya tidak galak lagi seperti tadi, seolah-olah seekor kucing liar yang sudah dijinakkan, namun suaranya masih tidak senang ketika ia berkata kepada Gangga.
“Engkau telah kalah, engkau tidak berhak mengambil obat itu. Kembalikan!”
“Adik Cui, engkau salah paham. Sesungguhnya, dalam hal gin-kang, aku Bu Seng Kin harus mengakui keunggulan gadis ini.”
Sepasang mata Gan Cui terbelalak.
“Engkau.... kalah? Dan engkau tahu ia seorang gadis? Engkau tidak malu kalah oleh seorang gadis muda?”
“Mengapa mesti malu? Ia memang memiliki ilmu Jouw-sang Hui-teng yang langka. Sungguh luar biasa sekali ilmu gin-kangnya itu. Nona, kulihat engkau bukan gadis Han. Dari manakah engkau dan siapa gurumu?”
“Tak salah lagi, ia tentu puteri atau murid Syanti Dewi!” Tiba-tiba nenek Nandini berkata.
Gangga terkejut dan memandang wanita Nepal itu, juga Bu-taihiap terkejut karena diapun sudah pernah mendengar nama puteri Bhutan yang kabarnya memiliki kecantikan amat luar biasa, juga di samping itu memiliki gin-kang yang hebat.
“Benarkah, nona?”
Gangga mengangguk.
“Benar, ibuku adalah Puteri Syanti Dewi dan ayahku bernama Ang Tek Hoat yang pernah berjuluk Si Jari Maut.”
“Ahhh....!” Bu-taihiap berseru kaget dan kagum. “Kalau begitu, aku semakin tidak merasa malu lagi kalah dalam gin-kang olehmu, nona!”
“Siapakah namamu?” tanya Nandini.
“Gangga Dewi.”
“Nama yang indah sekali. Mari, nona, mari silahkan duduk dalam pondok kami dan kita bercakap-cakap.”
Bu-taihiap berkata dan tiba-tiba dia berteriak kesakitan ketika lengannya dicubit keras sekali oleh Gan Cui.
“Lelaki mata keranjang! Baru saja berkumpul denganku, sudah berani berlagak memikat gadis muda?”
Bentak Gan Cui, dan tiga orang isteri pendekar itu menahan tawa, kelihatan geli dan juga mengejek dan menyukurkan keadaan suami mereka. Rasakan kau sekarang, pikir mereka, mendapatkan isteri lagi yang amat cemburu dan galak!
Tentu saja Bu-taihiap tersipu-sipu mendengar teguran ini karena sesungguhnya dia sama sekali tidak mempunyai niat sedikitpun untuk merayu Gangga Dewi, hanya mempersilahkan ke rumah untuk beramah tamah karena diapun kagum sekali mendengar bahwa gadis muda ini ternyata puteri orang-orang terkenal.
“Terima kasih atas kebaikan kalian semua.” Kata Gangga Dewi sambil menjura. “Sahabatku itu terancam nyawanya oleh pukulan Hoa-mo-kang dan obatnya hanya racun katak buduk inilah. Maka, aku mohon diri, tak dapat berlama-lama di sini. Aku harus cepat ke kota raja untuk memberikan obat ini kepadanya.”
“Pukulan beracun Hoa-mo-kang?” tanya Bu-taihiap kaget. “Bukankah Su-ok Siauw Siang-cu sudah mati?” Pertanyaan yang sama seperti pernah diajukan oleh nenek Gan Cui kepada Gangga.
“Bukan Su-ok yang memukulnya, mungkin murid atau keturunannya. Menurut kata ahli yang mengobatinya, hanya tinggal waktu tiga hari. Kalau dia tidak mendapatkan obat racun katak buduk hitam, dia akan mati. Sejak kemarin pagi aku melakukan perjalanan, kini sudah lewat dua hari, tinggal sehari lagi. Maka aku harus pergi sekarang juga.” Lalu ia menoleh kepada Gan Cui. “Sudah benarkah obat ini? Dan bagaimana cara menelan pil ini? Sehari berapa kali, sekaligus ataukah satu-satu?”
Akan tetapi nenek Gan Cui mendengus marah.
“Engkau merampasnya dariku dengan curang, perlu apa aku memberitahu? Cari saja sendiri bagaimana caranya!”
Akan tetapi Bu-taihiap yang sudah amat tertarik mendengar cerita tadi bertanya,
“Nona Gangga, bolehkah aku bertanya siapa pendekar atau sahabatmu yang terkena pukulan Hoa-mo-kang itu?”
“Namanya Suma Ciang Bun dan dia berada di kota raja.”
“Suma....?” Bu-taihiap terbelalak.
“Ya, dia cucu Pendekar Super Sakti Suma Han dari Pulau Es!” kata Gangga dengan suara bangga.
“Ah....! Adik Cui, kalau begitu kita tidak boleh sembarangan. Hayo katakan bagaimana caranya mempergunakan pelmu itu untuk mengobatinya.”
“Sehari makan satu pel, dalam waktu tiga hari tentu penyakit itu lenyap dan orangnya sembuh,”
Jawab nenek itu singkat dan dengan muka masih cemberut. Agaknya kegalakan wanita ini sudah benar-benar dapat ditundukkan dan dijinakkan oleh Bu-taihiap.
“Terima kasih!” kata Gangga dan sekali berkelebat gadis itu lenyap dari depan mereka.
Bu-taihiap menggeleng-geleng kepala kagum.
“Bukan main.!” katanya dan sambil menggandeng isterinya yang baru, pendekar ini lalu kembali ke pondoknya, diikuti oleh ketiga isterinya yang lain.
Kembali Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee menggunakan seluruh kepandaiannya untuk berlari secepat mungkin, kembali ke kota raja. Ia melakukan perjalanan secepatnya dan pada keesokan harinya, pada hari ke tiga tibalah ia kembali ke tempat tinggal tabib yang mengobati Ciang Bun.
Tabib dan hwesio ahli racun yang menjadi sahabatnya itu sudah hampir putus asa menanti kembalinya. Bagaimanapun, bagi mereka agaknya tidak mungkin bisa mendapatkan obat yang amat langka itu dalam waktu tiga hari. Baru perjalanannya saja, menggunakan kuda umpamanya, baru akan sampai dalam waktu tiga hari pulang pergi! Maka, kemunculan Gangga yang tiba-tiba itu selain mengejutkan hati mereka, juga mendatangkan harapan yang menggembirakan.
“Bagaimana hasilnya, siauw-si-cu (tuan muda yang gagah)?” tanya mereka.
Gangga mengangguk dan mengeluarkan botol berisi tiga butir pel itu.
“Kini belum musimnya telur katak menetas, tak mungkin mencari anak-anak katak buduk hitam. Akan tetapi aku mendapatkan pel racun katak buduk hitam itu dari seorang sakti yang harus diberikan kepada Ciang Bun sehari sebutir, berturut-turut sampai tiga hari.”
Tabib dan hwesio itu membuka tutup botol dan memeriksa tiga butir pel itu. Hwesio itu begitu mencium baunya, segera mengangguk-angguk.
“Omitohud.... racun katak buduk hitam yang amat keras! Memang inilah obatnya, dan pinceng yakin pemuda gagah itu akan dapat disembuhkan.”
Dengan girang Gangga lalu membantu si tabib memberi pel itu kepada Ciang Bun yang masih belum sadar. Dan dengan teliti dan telaten, Gangga mendampingi Ciang Bun sampai tiga hari tiga malam lamanya! Dara ini tidak pernah mau meninggalkan pembaringan Ciang Bun dan bahkan makan atau tidurpun ia lakukan di dekat pembaringan Ciang Bun. Ia tidur sambil duduk dan selama tiga hari itu, wajahnya menjadi agak pucat karena kurang tidur dan kurang beristirahat.
Akan tetapi hatinya girang bukan main karena baru pada hari pertama saja, wajah Ciang Bun yang tadinya biru kehijauan itu sudah mulai berobah, dan setiap hari berangsur baik sampai pada hari ke tiga, sinar biru kehijauan pada wajahnya sudah lenyap sama sekali. Dan pada hari ke empat, pagi-pagi sekali, pemuda itu mengeluh dan siuman! Akan tetapi karena dia kurang makan, hanya menelan bubur encer saja selama tiga hari lebih, tubuhnya masih lemah dan dia hanya dapat bergerak membuka mata dan menoleh ke kanan kiri.
“Di manakah aku.?” tanyanya lemah.
Gangga yang duduk di dekatnya dan mengantuk, segera bangun dan mendekatinya. Ia tersenyum girang sekali.
“Ah, engkau sudah siuman? Bagus sekali! Engkau telah sembuh, bahaya telah lewat!”
Melihat pemuda ini, Ciang Bun teringat dan dia segera bangkit hendak duduk. Akan tetapi tubuhnya terasa lemas dan dia terpaksa merebahkan dirinya kembali. Ganggananda cepat membantunya rebah kembali dan berkata dengan halus,
“Jangan engkau bangun dulu. Sudah empat hari engkau tak sadarkan diri. Tunggu, biar aku buatkan bubur untukmu.” Setelah berkata demikian, diapun bangkit dan cepat meninggalkan kamar menuju ke dapur.
“Omitohud, engkau beruntung sekali mempunyai sahabat sebaik itu, orang muda.”
Ciang Bun menoleh dan memandang heran kepada dua orang kakek yang duduk tak jauh dari situ. Dia tidak pernah mengenal hwesio dan kakek berpakaian sasterawan itu, yang duduk di sudut kamar dan memandang kepadanya sambil tersenyum girang. Akan tetapi dia cerdik dan dapat menduga bahwa tentu pemuda yang menjadi sahabatnya itulah yang membawanya ke sini dan agaknya dua orang kakek ini menjadi tuan rumah, bahkan mungkin sekali yang menolongnya dan mengobatinya. Bukankah menurut Gangga tadi dia pingsan selama empat hari? Sambil terus rebahan Ciang Bun mengangkat kedua tangan di depan dada.
“Ji-wi locianpwe, maafkan kalau saya belum mampu memberi hormat sepantasnya untuk menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan kebaikan ji-wi.”
Dua orang kakek itu nampak semakin gembira. Sikap Ciang Bun itu menyenangkan hati mereka. Kadang-kadang sikap jauh lebih berharga daripada pemberian benda berharga apapun juga.
“Si-cu tidak perlu berterima kasih kepada kami karena yang menyelamatkan nyawa si-cu sesungguhnya adalah sahabat si-cu itu,”
Kata kakek tabib yang segera menceritakan kepada Ciang Bun bahwa pemuda ini pingsan dan terancam bahaya maut oleh pukulan Hoa-mo-kang dan betapa Ganggananda dengan kecepatan yang sukar dapat dipercaya telah pergi mencarikan obat penawarnya sampai berhasil menyembuhkan Ciang Bun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar