Sebelum kedua lengan itu menyerang, dari gerakan pundak lawan saja Ciang Bun sudah mengetahui terlebih dahulu dan pemuda ini bukannya mengelak, menangkis atau mundur, bahkan dia menggerakkan kakinya maju mendekat. Secepat kilat kedua tangannya bergerak ke depan dan tahu-tahu jari tangannya yang dibandingkan dengan lawan amatlah kecilnya itu telah menotok kedua pundak lawan sebelum kedua tangan lawan mengenai tubuhnya.
“Tuk! Tukk!”
Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
“Desss....!”
Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja maka diapun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
“Bun-te, kau pakailah pedangku ini!”
Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi. Kini diapun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapapun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,”
Jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang.
Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya merekapun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan suatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang kini memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam dan dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun.
Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali.
Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut, dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
“Plak-plak-plak! Desss....!”
Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh karena lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya,
“Tringgg.... wuuutt, crottt....!”
Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri. Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan merekapun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang.
Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es.
Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan diapun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti encinya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.
Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mujijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.
“Plakk!”
Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu dan isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.
Melihat ini si muka hitam berobah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yang lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.
“Tranggg....!”
Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim, akan tetapi Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.
“Dukk!”
“Tuk! Tukk!”
Pada saat itu, kedua tangan yang besar itu masih menerkam dari atas dan tiba-tiba saja kedua tangan itu berhenti di tengah jalan dan si muka hitam nampak lucu sekali, seperti patung dengan gaya seperti burung hendak terbang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan matanya terbelalak.
“Desss....!”
Kaki Ciang Bun menendang dan si muka hitam itu terjengkang sampai terbanting ke atas tanah. Akan tetapi totokan itu hanya melumpuhkannya selama dua tiga detik saja maka diapun bangkit lagi dengan muka sebentar merah sebentar pucat, dan sekali tangannya bergerak, golok di punggungnya telah dicabutnya! Empat orang temannya juga sudah menghunus golok dan kini Lima Harimau Golok Terbang itu maju dengan golok di tangan dan sikap mereka beringas penuh ancaman.
“Bun-te, kau pakailah pedangku ini!”
Tan Hok Sim berteriak setelah dapat menenangkan hatinya yang berdebar tegang sejak tadi. Kini diapun tahu bahwa pemuda yang menjadi sahabat barunya itu ternyata adalah seorang ahli silat yang pandai! Betapapun juga, melihat pemuda itu dihadapi lima orang yang memegang golok, hatinya menjadi gelisah dan dia menawarkan pedangnya.
“Tidak usah, twako, hanya akan mengotorkan pedangmu saja,”
Jawab Ciang Bun dan mendengar ini, Hok Sim hanya berdiri seperti patung sambil memegang pedangnya dan memandang dengan jantung berdebar tegang.
Kini lima orang itu sudah mengurung Ciang Bun dengan golok di tangan. Agaknya merekapun ingin melihat senjata apa yang hendak dipergunakan oleh pemuda itu. Akan tetapi karena Ciang Bun hanya berdiri seenaknya dengan tangan kosong, dan di tubuhnya tidak nampak dia menyembunyikan suatu senjata, lima orang itu merasa semakin penasaran. Mereka berlima yang kini memegang senjata golok andalan mereka, yang mengangkat nama mereka menjadi Hui-to Ngo-houw, kini dilawan oleh seorang pemuda remaja yang bertangan kosong! Betapa akan memalukan kalau hal ini diketahui atau didengar oleh dunia kang-ouw.
“Bunuh setan cilik ini dan pelajar itu!” teriak si muka hitam dan dia mendahului teman-temannya, goloknya berkelebat ke arah leher Ciang Bun.
Akan tetapi golok itu hanya menyambar tempat kosong saja karena lebih cepat lagi Ciang Bun sudah menggerakkan tubuh mengelak. Dia disambut bacokan-bacokan dari empat orang teman si muka hitam yang merasa penasaran sekali.
Ciang Bun mengeluarkan suara melengking dan ketika kedua tangannya menyambut, dengan gerakan-gerakan aneh, terasa oleh semua lawannya ada hawa panas luar biasa menyambar ke tubuh mereka.
“Plak-plak-plak! Desss....!”
Tiga orang meloncat ke belakang sambil mengaduh karena lengan mereka yang bertemu dengan tangan pemuda itu seperti terbakar rasanya dan ada tapak hangus pada kulit lengan mereka, sedangkan orang ke empat terpukul tangannya yang memegang golok. Golok itu terlepas dan Ciang Bun cepat mengibasnya dengan jari-jari tangan kirinya,
“Tringgg.... wuuutt, crottt....!”
Pemilik golok itu menjerit ketika tiba-tiba goloknya yang terlepas tadi menyambar dan menancap di dadanya sampai tembus ke punggung. Dia roboh dan tak dapat bangun kembali, tewas oleh goloknya sendiri. Bukan main kaget dan marahnya si muka hitam dan tiga orang kawannya. Mereka mengeluarkan suara menggereng seperti harimau-harimau kelaparan dan merekapun berloncatan menerjang dari berbagai jurusan, mengeluarkan ilmu mereka yang membuat mereka disebut dengan julukan Lima Harimau Golok Terbang.
Namun, Ciang Bun yang kini menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, menghadapi mereka dengan tenang. Selama ini, Ciang Bun tidak pernah malas untuk melatih Hwi-yang Sin-ciang sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Ilmu pukulan yang mengandalkan tenaga sin-kang yang panas ini memang hebat sekali dan menjadi satu di antara ilmu-ilmu yang paling hebat dari keluarga Pulau Es.
Kebalikan dari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) ini, yaitu Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) lebih sukar dilatih dan diapun sudah menguasai teorinya, namun belum dapat melatihnya secara sungguh-sungguh, tidak seperti encinya, Suma Hui yang sudah menguasai ilmu itu cukup kuat.
Namun, dengan Hwi-yang Sin-ciang, sebuah ilmu yang ampuh dari Pulau Es, mana mungkin penjahat-penjahat kasar macam Hui-to Ngo-houw itu mampu menandinginya? Sebuah pukulan tangan kiri yang mengandung tenaga mujijat itu, dengan tangan terbuka, mengenai dada seorang di antara mereka.
“Plakk!”
Orang itu tidak sempat mengaduh, melainkan roboh terjengkang dan bajunya di bagian dada hangus sedangkan pada kulit dadanya terdapat telapak tangan pemuda itu dan isi dadanya sudah hancur oleh hawa pukulan panas itu, dan tewaslah dia.
Melihat ini si muka hitam berobah pucat dan gentar. Dia meloncat ke arah Hok Sim yang berdiri di pinggir dengan pedang di tangan. Maksudnya jelas. Dia hendak menaklukkan dan menangkap pemuda sasterawan ini untuk dijadikan sandera, untuk membuat Ciang Bun yang lihai itu tidak berdaya. Akan tetapi, Hok Sim bukan seorang penakut dan diapun sudah menggerakkan pedangnya menyambut penjahat itu dengan tusukan pedangnya.
“Tranggg....!”
Golok si muka hitam menangkis amat kuatnya sehingga pedang itu terpental dari tangan Hok Sim! Si muka hitam menyeringai dan menggerakkan tangan kirinya untuk mencengkeram dan menangkap Hok Sim, akan tetapi Hok Sim memukulkan tangan kanannya ke arah muka orang itu.
“Dukk!”
Tangkisan si muka hitam membuat Hok Sinm terpelanting roboh. Si muka hitam menyeringai dan menubruk, akan tetapi pada saat itu, nampak sinar putih berkelebat.
“Crottt.... aughhh....!” Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam.
Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguling, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.
“Orang muda, siapakah namamu....?”
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab.
“Namaku Suma Ciang Bun.”
Mata yang sudah sayu itu terbelalak.
“Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?”
Dan diapun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Hok Sim bergidik. Biarpun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, akan tetapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
“Kenapa.... kenapa mereka.... harus dibunuh....?” Dia bertanya dengan suara membayangkan kengerian.
Dengan sikap tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu dan berkata.
“Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat dan mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.
“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya.
“Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”
Mereka lalu tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirobah. Tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”
Ciang Bun hanya tersenyum.
“Hal itu terjadi karena kesadarannya....”
Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi semakin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim amatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walaupun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.
Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali.
Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan berputar kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Akan tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.
“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”
“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya,
“Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya selama ini.”
Wajah Hok Sim berobah menjadi merah dan diapun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya.
“Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggauta keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....”
Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-tao dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun. Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali.
Ketika Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
“Ah, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, akan tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,”
Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang. Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan inipun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi diapun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat berjodoh dengan adikmu....” kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum.
“Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupannya untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pekan, baru dia akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak encinya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.
Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, encinya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapapun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim daripada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yaug beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan diapun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biarpun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling matanya dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya!
Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami “kemajuan” seperti yang diharapkan keluarga itu.
“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiripun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.
“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.
Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Akan tetapi, Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.
Tentu saja dia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar karena maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang. Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
“Benar sekali! Suma-taihiap, akupun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.
Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka diapun berkata,
“Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”
“Aih, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!”
Seng Nio berkata. Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan diapun mulai bersajak bebas :
“Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembus celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!
Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!”
“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”
“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?”
Seng Nio yang tidak begitu mengerti akan sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
“Suma-taihiap merobah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!” sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka diapun menjura kepada dua orang gadis itu.
“Ah, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata.
“Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.”
Tanpa menanti jawaban Ci Loan lalu meninggalkan mereka. Karena memang sebelumnya sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.
Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, menginginkan sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula meninggalkan ia berduaan saja dengan pemuda itu.
Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu ia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!
“Crottt.... aughhh....!” Sebatang golok terbang dan menancap di lambung si muka hitam.
Dia melepaskan goloknya, menoleh dan melihat betapa dua orang temannya sudah roboh tewas dan betapa golok yang menancap di lambungnya itu dilemparkan oleh pemuda lihai itu setelah merampasnya dari tangan seorang temannya. Si muka hitam roboh terguling, dan memegangi lambung yang tertusuk golok.
Hok Sim meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Lima orang itu kini telah roboh semua dan tempat itu menjadi mengerikan oleh darah yang keluar dari luka di tubuh mereka. Ciang Bun menghampiri Hok Sim dan pada saat itu, si muka hitam masih dapat merintih dan mengangkat muka memandang kepada wajah pemuda remaja yang telah merobohkan dia dan empat orang kawannya itu.
“Orang muda, siapakah namamu....?”
Ciang Bun maklum bahwa orang ini sebentar lagi akan mati, maka dengan suara dingin dia menjawab.
“Namaku Suma Ciang Bun.”
Mata yang sudah sayu itu terbelalak.
“Suma....? Pendekar.... Pulau.... Es....?”
Dan diapun mengeluh panjang, lehernya terkulai dan tewaslah kepala Hui-to Ngo-houw itu.
Hok Sim bergidik. Biarpun ayahnya seorang guru silat dan dia pernah belajar silat, akan tetapi belum pernah dia melihat pembunuhan terjadi di depan matanya, apalagi sekaligus ada lima orang tewas dalam keadaan terluka mengerikan seperti itu.
“Kenapa.... kenapa mereka.... harus dibunuh....?” Dia bertanya dengan suara membayangkan kengerian.
Dengan sikap tenang dan dingin Ciang Bun melirik ke arah mayat-mayat itu dan berkata.
“Ada dua hal yang menyebabkan aku terpaksa membunuh mereka. Pertama, mereka adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang amat kejam dan jahat dan mereka tadi jelas sekali hendak membunuh kita berdua maka sudah sepatutnya mereka dienyahkan dari permukaan bumi. Ke dua, mereka tentu diutus oleh seseorang dan kalau mereka itu dibiarkan kembali ke atasan mereka, tentu atasan mereka takkan tinggal diam dan akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi untuk mengejar dan membunuh kita.”
Hok Sim memandang dengan sinar mata penuh kagum. Baru dia tahu sekarang bahwa sahabatnya ini adalah seorang pendekar besar, seperti yang pernah didengarnya dari dongeng dan cerita ayahnya.
“Ah, kiranya engkau.... engkau adalah seorang pendekar, seorang taihiap.... maafkanlah bahwa selama ini aku kurang hormat....” Hok Sim lalu menjura dengan hormat.
Ciang Bun tersenyum dan memegang kedua lengan sahabatnya.
“Aih, twako, aku tidak mau engkau bersikap seperti itu! Kita adalah sahabat, bukan? Dan bagimu aku tetap Bun-te, tidak ada taihiap-taihiapan segala!”
Mereka lalu tertawa dan melanjutkan perjalanan menuju ke Pao-ting. Di tengah perjalanan, Hok Sim tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.
“Bun-te, sekarang aku tahu mengapa sistim ujian itu dirobah. Tentu engkau telah mempergunakan ilmu kepandaianmu untuk memaksa menteri itu, bukan?”
Ciang Bun hanya tersenyum.
“Hal itu terjadi karena kesadarannya....”
Hanya demikian dia menjawab, akan tetapi hatinya masih bertanya-tanya, siapa biang keladi penghadangan oleh Hui-to Ngo-houw tadi. Menteri Ciong itukah? Ataukah para pengawas lama?
Semenjak terjadi peristiwa itu, hubungan antara Hok Sim dan Ciang Bun menjadi semakin akrab. Apalagi perjalanan menuju ke kampung halaman Hok Sim amatlah jauhnya, memakan waktu berbulan-bulan dan melalui perjalanan yang amat sukar. Hok Sim menganggap Ciang Bun sebagai penolongnya dan juga sebagai seorang pendekar gagah perkasa yang mengagumkan hatinya.
“Bun-te, aku ingin sekali engkau berkenalan dengan seorang adikku. Kami hanya dua orang saudara kakak beradik. Adikku itu sebaya denganmu, ia seorang gadis yang.... hemm, amat cantik manis dan juga ilmu silatnya tidak kalah olehku. Namanya Tan Seng Nio dan aku sayang sekali padanya.”
Akan tetapi, Ciang Bun menyambut penawaran berkenalan ini dengan sikap dingin saja, tidak menjawab dan hanya tersenyum tak acuh. Akan tetapi, selama dalam perjalanan, sikapnya semakin manis terhadap Hok Sim yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang amat baik, halus budi akan tetapi juga gagah berani walaupun ilmu silatnya tidak seberapa tinggi.
Mulailah Hok Sim merasa heran dan kadang-kadang terkejut juga menyaksikan sikap pemuda pendekar yang dikaguminya itu. Dia melihat betapa Ciang Bun selalu berpakaian rapi dan pesolek, menjaga kebersihan dan wataknya halus sekali.
Bahkan kadang-kadang dia merasa betapa sikap Ciang Bun terlalu lunak dan halus perasa, bahkan kadang-kadang terlalu lemah-lembut seperti wanita, juga sikapnya terhadap dirinya kadang-kadang nampak kemesraannya dan kewanitaan!
Ciang Bun tidak sadar akan sikapnya sendiri. Dia sudah lupa lagi akan pengalamannya dengan Lee Siang dan Lee Hiang, kakak beradik yang tinggal di Pulau Nelayan itu, kakak beradik yang mula-mula membuat dia membuka mata melihat kelainan yang ada pada dirinya.
Tanpa disadarinya, dia merasa suka sekali kepada Hok Sim. Bukan, sama sekali bukan jatuh cinta seperti yang pernah dirasakannya ketika dia berdekatan dengan Lee Siang, melainkan suka sebagai seorang sahabat saja. Dia tidak sadar sama sekali betapa sikapnya amat mesra dan kadang-kadang terlalu kewanitaan terhadap Hok Sim, dan dia menganggap sikapnya itu wajar.
Pada suatu hari tibalah mereka di kota Wang-sian, sebuah kota di tepi Sungai Yang-cee-kiang. Mereka bermalam di sebuah penginapan setelah memilih-milih dan berputar kota itu. Telah hampir dua bulan mereka melakukan perjalanan dan mereka merasa lelah sekali. Akan tetapi, kota Wang-sian sudah termasuk dalam Propinsi Se-cuan dan kota Ceng-to tinggal tak berapa jauh lagi, dapat tercapai dalam beberapa hari saja.
“Aku ingin besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan. Aku sudah ingin segera sampai di rumah, Bun-te,” kata Hok Sim setelah mereka berdua merebahkan diri di dalam kamar itu.
“Engkau agaknya sudah amat rindu kepada adikmu dan ayah bundamu, twako.”
“Kepada mereka juga, akan tetapi terutama sekali kepada Loan-moi....” Dan suara pemuda itu terdengar penuh kemesraan.
Ciang Bun mengangkat muka lalu bangkit duduk, memandang kepada sahabatnya itu sambil bertanya,
“Loan-moi....? Siapa itu....? Engkau belum pernah menyebutnya selama ini.”
Wajah Hok Sim berobah menjadi merah dan diapun bangkit duduk lalu memandang sahabatnya.
“Maaf, Bun-te, sesungguhnya aku merasa malu untuk menyebutnya, akan tetapi karena engkau sudah kuanggap sebagai saudaraku dan anggauta keluarga, biarlah kuceritakan juga. Ia bernama Su Ci Loan dan gadis itu adalah.... tunanganku, calon isteriku. Sesungguhnya kami hanya menanti sampai aku lulus ujian, baru kami akan melangsungkan pernikahan. Dan sekarang ia tentu sudah menanti-nanti di rumah kami pula karena rumahnya berada di sebelah rumah kami. Kami tetangga....”
Pemuda itu kelihatan girang sekali mengenangkan tunangannya sehingga dia tidak melihat betapa wajah sahabatnya itu tidaklah nampak segembira wajahnya.
Mengapa Ciang Bun tidak merasa gembira mendengar akan kebahagiaan sahabat yang disukainya itu? Iri hati? Cemburu? Sama sekali tidak. Dia menganggap Hok Sim sebagai seorang sahabat yang amat disukanya dan dia tentu akan merasa girang melihat sahabatnya itu berbahagia. Akan tetapi, cerita Hok Sim tentang tunangannya itu, secara tiba-tiba telah mengingatkan dia kembali akan keadaannya sendiri yang berbeda dengan keadaan Hok Sim, berbeda dengan keadaan para pemuda lainnya, dan tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram dan hatinya menjadi getir.
Setelah melakukan perjalanan yang cepat, sepekan kemudian tibalah mereka di kota Ceng-tao dan seperti telah digambarkan lebih dulu oleh Hok Sim, kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh ayah bunda Hok Sim dan juga adiknya yang bernama Tan Seng Nio, akan tetapi terutama sekali disambut dengan malu-malu dan juga dengan rasa bahagia oleh Su Ci Loan, tunangan Hok Sim.
Ketika Hok Sim menceritakan kepada keluarganya, juga kepada tunangannya tentang kehebatan Ciang Bun menaklukkan dan merobohkan lima orang penjahat besar dan juga betapa pemuda itu telah memaksa menteri untuk menghentikan korupsi di tempat ujian, tentu saja mereka semua merasa kagum bukan main kepada Ciang Bun. Ayah Hok Sim adalah seorang guru silat, seorang murid Kun-lun-pai, maka dia merasa kagum sekali.
Ketika Hok Sim tanpa dapat dicegah oleh Ciang Bun, menceritakan ucapan terakhir dari si muka hitam, kepala dari Hui-to Ngo-houw yang menyebut Suma Ciang Bun sebagai pendekar Pulau Es, ayahnya terkejut bukan main dan cepat bangkit berdiri lalu menjura kepada Ciang Bun.
“Ah, kiranya taihiap adalah keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?”
Dia hanya mendengar nama itu dalam dongeng dunia kang-ouw saja, belum pernah berjumpa sendiri dengan para pendekar keluarga Pulau Es, akan tetapi dia sudah merasa amat kagum dan hormat terhadap nama keluarga pendekar besar itu.
“Sudahlah, paman, harap jangan memakai terlalu banyak peraturan sehingga akan membuat saya merasa sungkan saja,”
Ciang Bun berkata dan guru silat itu menarik napas panjang. Semakin kagumlah hatinya terhadap pemuda ini. Seorang pemuda yang demikian halus dan rendah hati akan tetapi mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi keturunan penghuni Pulau Es. Ingin sekali dia bertanya banyak tentang keluarga itu, akan tetapi khawatir membuat hati pemuda yang pendiam itu menjadi tidak enak, guru silat Tan inipun tidak berani mendesak. Malamnya, diam-diam dia bicara dengan puteranya, akan tetapi diapun kecewa karena puteranya juga tidak tahu banyak tentang Ciang Bun.
“Ah, betapa akan bahagia hatiku kalau dia dapat berjodoh dengan adikmu....” kata ayah ini.
Hok Sim tersenyum.
“Kita akan merasa seperti kejatuhan bulan, ayah. Akan tetapi biarlah akan kuatur agar mereka dapat bersahabat karib.”
Akan tetapi, dalam hal ini Hok Sim tidak perlu bekerja keras. Begitu diperkenalkan olehnya, Seng Nio, adiknya, bahkan Ci Loan, tunangannya, merasa suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa namun amat halus budi itu. Ketika Hok Sim menemui tunangannya dan membisikkan kehendak ayahnya, Ci Loan menyatakan kesanggupannya untuk membantu agar Seng Nio dapat bergaul erat dengan Ciang Bun.
Demikianlah, atas permintaan Hok Sim, Ciang Bun menyatakan tidak keberatan untuk tinggal di rumah keluarga Tan selama dua pekan, baru dia akan melanjutkan perjalanannya mencari jejak encinya. Apalagi karena dia mendengar bahwa pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong kini melanjutkan gerakannya menyerbu ke Negara Nepal.
Dia merasa yakin bahwa dengan adanya peristiwa itu, encinya tentu belum mungkin dapat menyusul Cin Liong dan sebaiknya kalau dia menanti di tempat ini, karena betapapun juga, untuk pergi ke Tibet dari timur tentu akan melewati daerah ini. Karena dia memperoleh kesempatan yang banyak, yang telah diatur oleh pihak keluarga itu di luar tahunya, dia banyak bergaul dengan Seng Nio dan Ci Loan.
Di lubuk hatinya, Ciang Bun tidak mempunyai perasaan benci terhadap wanita. Sama sekali tidak, bahkan dia dapat pula menaruh rasa sayang kepada wanita. Akan tetapi perasaan ini hanya terbatas sebagai perasaan persahabatan belaka, sama sekali tidak mendalam, bahkan tidak terasa kemesraan dalam hatinya seperti kalau dia bergaul dengan pemuda yang menarik hatinya. Dia jauh lebih senang bergaul dengan Hok Sim daripada dengan Seng Nio atau dengan Ci Loan yang cantik.
Dan dalam pergaulan yaug beberapa hari ini dia mendapatkan sesuatu yang membuat perasaannya terganggu dan hatinya menjadi tidak senang. Dia melihat betapa sikap Seng Nio kepadanya tidak wajar, seperti orang yang mencari muka dan memikat-mikat. Dan diapun melihat betapa sinar mata Ci Loan kepadanya juga tidak wajar, dan biarpun tunangan Hok Sim ini terhadap dirinya selalu bersikap sopan, namun kerling matanya dan senyumnya itu menyembunyikan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dia dapat merasakan betapa dua orang gadis itu seperti orang yang jatuh hati kepadanya!
Hatinya merasa tidak senang sekali. Harus diakuinya bahwa Seng Nio adalah seorang gadis yang cantik, dan Ci Loan lebih manis lagi. Akan tetapi, sikap mereka terhadapnya mendatangkan rasa tak senang dan melenyapkan rasa sukanya sebagai sahabat. Apalagi terhadap diri Ci Loan, dia merasa tak senang dan dia diam-diam merasa marah. Dara itu sudah menjadi tunangan Hok Sim, calon isterinya, mengapa sinar matanya dan senyumnya jelas membayangkan hal yang serong, hati yang tertarik kepadanya sebagai seorang pria lain?
Dari Ci Loan, Hok Sim mendengar bahwa perkembangan antara hubungan Ciang Bun dengan Seng Nio masih juga belum mengalami “kemajuan” seperti yang diharapkan keluarga itu.
“Loan-moi, Seng-moi suka ilmu silat, bahkan engkau sendiripun banyak belajar ilmu silat. Bagaimana kalau besok pagi engkau dan Seng Nio mengajak Bun-te pergi berpesiar ke gunung Omei-san? Kalian boleh minta petunjuknya dalam ilmu silat, dan tempat itu amat romantis, amat indah. Berilah kesempatan mereka agar dapat berdua saja dan mudah-mudahan akan ada kemajuan di antara mereka,” kata Hok Sim kepada tunangannya.
“Baiklah, Sim-koko,” jawab tunangannya dengan gembira.
Hok Sim tidak tahu bahwa kegembiraan wajah tunangannya itu bukan hanya karena ingin memberi kesempatan kepada adik iparnya dan pemuda itu, melainkan karena diam-diam Ci Loan sendiri merasa suka sekali kepada pemuda pendekar yang menjadi tamu mereka. Ada sesuatu pada diri Ciang Bun yang tidak dimiliki tunangannya. Bukan hanya kepandaian silat tinggi sebagai seorang pendekar, dan bukan hanya sebagai keturunan keluarga Pulau Es, akan tetapi juga suatu sifat yang amat menarik hatinya. Ia sendiri tidak tahu persis sifat baik apakah yang amat menarik hatinya itu. Mungkin kelembutan Ciang Bun, sikapnya yang halus, gerak-geriknya yang lemah lembut.
Akan tetapi, Ciang Bun baru mau diajak pesiar ke Omei-san ketika Hok Sim menyatakan pergi juga. Pagi-pagi benar mereka berempat sudah berangkat ke pegunungan yang indah itu. Karena hari masih amat pagi, tempat pesiar itu masih kosong dan belum ada tamu lain. Dengan cerdik, Hok Sim pura-pura kelupaan sesuatu.
“Aku harus kembali dulu ke rumah. Biarlah kalian bertiga mendaki puncak lebih dulu. Aku nanti menyusul!” katanya sambil cepat-cepat meninggalkan mereka.
Tentu saja dia tidak terus pulang melainkan mengambil jalan memutar karena maksudnya hanya untuk membiarkan mereka bertiga saja dan dia ingin mengintai sendiri dari kejauhan, melihat sampai di mana hasil rencananya yang dijalankan oleh tunangannya itu. Kalau dia tadi mengajak tunangannya untuk kembali dan membiarkan Ciang Bun berdua saja dengan Seng Nio, maka kesengajaan itu terlalu kasar dan tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Ciang Bun.
Ciang Bun bersama dua orang gadis itu mendaki puncak dan pendekar muda ini merasa gembira sekali. Tempat itu memang indah bukan main, apalagi di waktu pagi ketika sinar matahari yang keemasan memulas semua yang ada di permukaan bumi dengan cahayanya yang indah cemerlang. Ketika tiba di puncak dan melihat di situ terdapat sebuah dataran yang penuh dengan pohon-pohon bunga, Ciang Bun mengucap pujian.
“Hebat.... indah.... mempesona, seperti untaian sajak....!” Dia berkata seperti kepada diri sendiri, lupa bahwa di dekatnya terdapat dua orang gadis cantik.
“Suma-taihiap, kakakku bilang bahwa engkau pandai bersajak. Tempat ini begini indah, suasananya begini tenang dan damai, kuharap engkau suka membuatkan sajak untuk kami,” kata Seng Nio dengan suara halus dan sikap manis.
“Benar sekali! Suma-taihiap, akupun ingin sekali mendengar sajak buatanmu mengenai keindahan Omei-san!” kata Ci Loan dengan gembira.
Suma Ciang Bun memang sedang bergembira dan terpesona oleh keindahan alam di tempat itu, maka diapun berkata,
“Baiklah, akan kucoba. Akan tetapi tentu saja tidak mungkin sebaik kalau Tan-twako yang membuatnya.”
“Aih, janganlah taihiap terlalu merendahkan diri!”
Seng Nio berkata. Ciang Bun lalu berdiri memandang ke bawah puncak. Pemandangan sungguh indah dan diapun mulai bersajak bebas :
“Segalanya nampak indah di Omei-san,
tirai-tirai cahaya putih
menembus celah-celah daun
awan menjadi penghias matahari
daun kering berserakan
menyuburkan bumi
Bunga gugur
membawa keindahan mengharukan
berbahagialah mata
memandang semua ini!
Harum bunga semerbak dihembus angin lalu
sedapnya rumput dan tanah
menyentuh kalbu
berbahagialah hidung
mencium semua ini!
Kicau burung dan dendang air terjun
desir angin pagi
mempermainkan daun-daunan
berbahagialah telinga
mendengar semua ini!”
“Bagus sekali!” Ci Loan yang mengerti tentang sajak memuji. “Sajakmu sederhana namun berhasil menggambarkan keindahan yang mendalam, taihiap.”
“Wah, enci Loan. Aku hanya tahu sajak itu indah dan sedap didengar, akan tetapi aku tidak begitu mengerti apa artinya pujianmu tadi. Di manakah letak keindahannya?”
Seng Nio yang tidak begitu mengerti akan sajak bertanya sedangkan Ciang Bun hanya tersenyum saja.
“Suma-taihiap merobah benda-benda yang biasanya mendatangkan kesan buruk berbalik menjadi indah. Awan yang biasanya menjadi pengganggu sinar matahari malah menjadi penghiasnya. Daun kering lambang kematian malah menyuburkan bumi dan bunga gugur juga dilukiskan sebagai hal yang indah mengharukan. Harumnya bunga, sedapnya rumput dan tanah, bunyi-bunyian seperti kicau burung, dendang air terjun dan desir angin pagi. Sungguh melukiskan keindahan alamiah yang asli!” sambung Ci Loan.
Gembira juga hati Ciang Bun mendengar ucapan gadis itu, bukan karena pujiannya, melainkan karena ucapan itu membuktikan bahwa Ci Loan mampu mengerti isi sajak. Maka diapun menjura kepada dua orang gadis itu.
“Ah, kiranya nona adalah seorang ahli tentang sajak,” katanya.
Ci Loan tersenyum manis lalu berkata.
“Aku ingin mengambil bunga-bunga mawar yang kusukai. Banyak mawar tumbuh di bagian sana. Harap kalian menunggu di sini saja.”
Tanpa menanti jawaban Ci Loan lalu meninggalkan mereka. Karena memang sebelumnya sudah ada permufakatan antara kedua orang gadis itu, maka Seng Nio juga tidak menahan kepergian calon kakak iparnya itu.
Ditinggalkan berdua saja dengan Seng Nio di tempat sunyi dan romantis itu, Ciang Bun tidak merasa canggung, hanya merasa kurang enak. Dia lalu duduk di atas batu hitam yang besar. Ketika Seng Nio melangkah mendekatinya, dia pura-pura tidak tahu dan memandang ke bawah puncak yang kini menjadi semakin terang oleh sinar matahari yang makin meninggi.
Sejak tadi Seng Nio memandang kepada pemuda itu dengan jantung berdebar tegang. Dari calon kakak iparnya ia sudah mendengar bahwa kakaknya, juga ayahnya, menginginkan sekali agar ia dapat berjodoh dengan Suma Ciang Bun! Dan bahwa pagi hari ini, atas anjuran kakaknya, Ci Loan sengaja mengajaknya ke tempat itu dan sengaja pula meninggalkan ia berduaan saja dengan pemuda itu.
Tentu saja ia tidak perlu ditanya dua kali untuk menjadi jodoh Suma Ciang Bun! Begitu bertemu ia sudah merasa kagum dan tertarik sekali. Pemuda ini adalah seorang pendekar keturunan keluarga Pulau Es, seorang pemuda yang menurut kakaknya memiliki ilmu kepandaian sangat hebat! Selain itu, juga cukup pandai dalam hal kesusasteraan, ditambah lagi wajahnya yang tampan dan wataknya yang budiman dan lemah lembut!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar