Tentu saja para pemberontak yang sudah berkumpul di markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan terkejut sekali ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur dan nampak obor mengepung markas itu. Ternyata tempat mereka itu telah dikepung oleh pasukan kerajaan yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Wan Tek Hoat!
Melalui seorang penantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat memerintahkan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan.
“Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!”
Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung.
“Ah, tentu ada yang membocorkan rahasia kita,” kata Phang-sinshe. “Tentu ada pengkhianat di antara kita!”
“Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!” bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.
“Siapa? Siapa pangkhianatnya?” tanya semua orang yang berada di situ.
“Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?” kata Brahmani. “Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?”
“Jangan menuduh sembarangan!” bentak Phang-sinshe. “Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?”
“Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!” bentak Brahmani marah.
“Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!”
Kini Phang-sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiripun mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.
“Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,” kata Panglima Ram Rohan. “Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.”
Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidak berbantahan lagi dan merekapun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti.
Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pernerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak.
Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti inipun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah. Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk.
Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali perajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya.
Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.
Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu.
Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
“Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.
“Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!” sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan Tek Hoat menyerang dengan pedangnya.
Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
“Cring! Cring! Tranggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong memeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali.
Melalui seorang penantang yang berteriak lantang melalui corong, Wan Tek Hoat memerintahkan para pemberontak untuk menyerahkan diri tanpa melawan.
“Ram Rohan! Brahmani! Persekutuan kalian telah diketahui! Tempat ini telah terkepung! Menyerahlah tanpa perlawanan atau tempat ini akan dihancurkan!”
Tentu saja mereka yang berada di dalam markas itu menjadi kaget dan bingung.
“Ah, tentu ada yang membocorkan rahasia kita,” kata Phang-sinshe. “Tentu ada pengkhianat di antara kita!”
“Dan aku tahu siapa pengkhianatnya!” bentak Brahmani dengan penuh geram, matanya menatap tajam wajah Phang-sinshe.
“Siapa? Siapa pangkhianatnya?” tanya semua orang yang berada di situ.
“Siapa lagi kalau bukan setan kecil Ceng Liong itu?” kata Brahmani. “Hanya dia seorang yang tahu secara terperinci. Dan hanya dia yang pada saat ini berkeliaran di luar markas untuk menjaga tawanan itu. Siapa lagi kalau bukan dia yang mengkhianati kita?”
“Jangan menuduh sembarangan!” bentak Phang-sinshe. “Apa buktinya bahwa muridku yang berkhianat?”
“Buktinya memang belum ada, akan tetapi dengan sedikit akal dapat kita ketahui! Siapa lagi yang dekat dengan Pangeran Wan kalau bukan muridmu? Dan dia seoranglah yang tahu akan semua rencana kita. Aku berani bertaruh potong leher bahwa setan kecil itulah yang mengkhianati kita!” bentak Brahmani marah.
“Awas, jaga mulutmu atau aku sendiri yang akan mematahkan batang lehermu!”
Kini Phang-sinshe berobah sikap, sikap Hek-i Mo-ong yang marah mendengar muridnya dituduh sebagai pengkhianat dan kemarahannya ini bangkit karena dia sendiripun mulai menaruh curiga kepada Ceng Liong, suatu hal yang benar-benar menyakitkan hatinya.
“Sudahlah, tidak perlu dalam keadaan seperti ini kita ribut dan bertengkar sendiri,” kata Panglima Ram Rohan. “Lebih baik mari cepat membantuku mengatur pasukan untuk menerjang keluar dan mencoba untuk melanjutkan siasat kita, menghantam pasukan kerajaan untuk membikin kacau dari dalam.”
Karena keadaan sudah mendesak, mereka semua tidak berbantahan lagi dan merekapun memimpin pasukan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena pasukan di bawah pimpinan Panglima Ram Rohan itu hanya melawan setengah hati saja setelah melihat bahwa mereka terkepung, apalagi mendengar bahwa yang memimpin pasukan musuh adalah Pangeran Wan Tek Hoat yang mereka takuti.
Memang terjadi pertempuran sengit antara pasukan pernerintah dengan pasukan pilihan yang memang sudah dipersiapkan oleh Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani selama ini, pasukan yang memang sudah bertekad untuk memberontak.
Akan tetapi setelah berkelahi setengah malam, pada saat matahari mulai mengusir kegelapan malam, pasukan inti inipun sudah sebagian besar roboh dan pasukan lainnya menjadi semakin jerih. Ada yang melarikan diri, banyak pula yang melempar senjata menyerah. Hanya di sana-sini, di sekitar markas itu masih terjadi perkelahian, di antara para perwira kerajaan yang mengepung Hek-i Mo-ong yang mengamuk.
Tidak ada seorangpun yang kuat menghadapi Raja Iblis ini yang sudah mengamuk dan merobohkan banyak sekali perajurit dan perwira Bhutan. Kini, iblis ini memperlihatkan diri yang sebenarnya.
Dengan tangan kanan memegang sebatang tombak Long-ge-pang dan tangan kiri memegang kipas merahnya, sepak terjangnya menggiriskan sekali sehingga tidak ada perajurit Bhutan berani mendekatinya lagi. Padahal, Panglima Ram Rohan dan perwira Brahmani sudah sejak tadi tertawan dan luka-luka oleh pengeroyokan para perwira Bhutan.
Ketika Wan Tek Hoat mendengar laporan bahwa Phang-sinshe mengamuk hebat dan tidak ada orang berani mendekatinya, dia sendiri lalu mendatangi tempat itu diikuti oleh isterinya dan terkejutlah pendekar ini ketika menyaksikan kehebatan sepak terjang iblis itu.
Melihat sepasang senjata itu, teringatlah Tek Hoat akan tokoh besar kaum sesat Hek-i Mo-ong dan sadarlah dia bahwa Phang-sinshe yang lemah lembut itu ternyata adalah penyamaran seorang tokoh besar kaum sesat yang amat keji dan terkenal, yaitu Hek-i Mo-ong!
“Hek-i Mo-ong, kiranya engkaukah ini?” bentaknya sambil meloncat dekat, diikuti oleh Puteri Syanti Dewi yang kini bersenjatakan sebatang pedang.
Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Si Jari Maut, katakanlah bahwa usahaku di Bhutan gagal, akan tetapi jangan harap akan dapat merobohkan aku dengan mudah!”
Marahlah Tek Hoat. Sudah lama pedang Cui-beng-kiam tidak pernah dipergunakannya dalam perkelahian. Pedang Cui-beng-kiam (Pencabut Nyawa) yang kini dilolos dari sarungnya mengeluarkan hawa yang menyeramkan dan sinarnya membuat orang banyak terpaksa melangkah mundur dengan gentar. Pedang ini merupakan pedang peninggalan Cui-beng Koai-ong, Raja Iblis dari Pulau Neraka yang diwarisi oleh Tek Hoat.
“Hek-i Mo-ong, engkau berani mengacau Bhutan, berarti engkau sudah bosan hidup!” sambil mengeluarkan lengkingan panjang yang menyeramkan Tek Hoat menyerang dengan pedangnya.
Pedang Cui-beng-kiam menyambar dahsyat dan nampak sinar berkilauan ketika pedang itu menyambar dengan amat cepat dan kuatnya.
“Cring! Cring! Tranggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua pihak cepat memeriksa senjata mereka masing-masing. Ketika pedang Cui-beng-kiam bertemu dengan tombak Long-ge-pang, Tek Hoat merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, akan tetapi pedangnya tidak rusak dan sebaliknya, ketika Hek-i Mo-ong memeriksa tombaknya, ujungnya patah dan dia menjadi marah sekali.
Kakek iblis ini maklum bahwa dalam hal tenaga sin-kang, dia masih menang sedikit, akan tetapi senjatanya tidak akan mampu menandingi pedang pusaka itu, maka kini sambil mengeluarkan bentakan hebat diapun menerjang dengan dahsyat, menggerakkan tombaknya dan juga kipasnya. Kipas itu mengeluarkan angin dingin, akan tetapi ketika menyambar dekat, berobah menjadi totokan berbahaya yang dilakukan oleh ujung kipas yang runcing.
Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.
Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang seperti terbang saja itu!
Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
“Tranggg....!”
Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biarpun sang puteri itu memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung. Kakek itupun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka diapun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walaupun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah. Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan marah.
“Haiiiiiitttt!”
Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.
Terdengar jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.
Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas!
Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak,
“Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?”
Tiba-tiba kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”
“Siapkan anak panah!”
Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
“Tahan! Jangan bunuh dia!”
Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali membentak,
“Tahan semua senjata!”
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.
“Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?”
Tek Hoat bertanya dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya. Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman maut.
“Tidak mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.
“Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”
Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Jangan ganggu anakku!”
“Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng Liong tenang.
Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
“Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?”
“Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.”
Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak perajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?
“Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!” katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga.
“Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”
“Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, engkau akan dikutuk!” Tek Hoat masih membantah.
“Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi nyaring,
“Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi.
“Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.”
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang,
“Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!”
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu.
“Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”
Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,
“Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”
Ceng Liong mengangguk.
“Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.”
“Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”
Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata agak ketus,
“Pergilah cepat!”
Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata,
“Mo-ong, mari kita pergi.”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!”
Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani menghalanginya, pertama karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya, dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.
Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.
Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.
Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biarpun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keingginannya memperoleh sesuatu.
Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampaklah dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanya merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi daripada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan bahagia kepada mereka!
Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, biarpun yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biarpun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas daripada segala keinginan memperoleh apapun juga.
Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir maupun batin.
Dan bentuk pencarian, betapapun agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita menghalalkan segala cara. Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan untuk atau demi cita-cita!
Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu.
Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat seridiri di seluruh penjuru dunia dan di negara manapun juga. Sebaliknya, walaupun tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!
Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan “hal-hal baik” yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik! Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu dan amat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya daripada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik atau buruk. Perbuatan apapun di dunia ini yang didasari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!
Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu mulailah dia menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.
Tek Hoat cepat mengelak, mengenal serangan yang amat berbahaya itu. Pedangnya juga membalas dengan bacokan yang dapat dielakkan oleh lawan. Saling serang terjadi dan ketika pedang Cui-beng-kiam kembali berkelebat, tiba-tiba pedang itu tertahan oleh tombak yang menggunakan tenaga menempel dari samping, tidak berani beradu tajam. Tek Hoat terkejut ketika merasa betapa kuatnya tenaga sedot yang keluar dari senjata lawan, membuat pedangnya seperti menempel pada besi sembrani.
Selagi dia mengerahkan tenaga untuk membetot dan menarik kembali pedangnya, tiba-tiba terdengar suara mencicit dan dari mulut kakek itu tersembur uap panas seperti api! Itulah Ilmu Tok-hwe-ji (Hawa Api Beracun), ilmu baru yang sedang dilatih oleh kakek iblis itu. Bukan main hebatnya serangan ini. Wan Tek Hoat terpaksa menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, lalu menggulingkan tubuhnya menjauh karena dia maklum betapa hebatnya uap yang amat panas itu.
Melihat suaminya didesak, Syanti Dewi mengeluarkan suara melengking nyaring dan tuhuhnya mencelat ke depan. Tahu-tahu pedangnya menusuk ke arah leher Hek-i Mo-ong dari samping. Kakek itu terkejut sekali, tidak pernah mengira bahwa puteri itu dapat bergerak secepat itu, bahkan harus diakuinya bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi kecepatan yang seperti terbang saja itu!
Sukarlah mengikuti gerakan puteri itu dengan pandang matanya, maka diapun hanya mengandalkan ketajaman telinganya saja, menggerakkan gagang tombak Long-ge-pang untuk menangkis sambil miringkan leher karena tusukan itu benar-benar amat cepat.
“Tranggg....!”
Tubuh Syanti Dewi terlempar dan hanya dengan ilmu gin-kangnya yang hebat puteri ini dapat menghindarkan diri tidak sampai terbanting, yakni dengan berjungkir balik membuat poksai (salto) sampai tiga kali. Puteri itu terkejut, dan Hek-i Mo-ong merasa lega. Biarpun sang puteri itu memiliki gin-kang yang luar biasa hebatnya, namun dalam hal tenaga sin-kang, tidaklah sekuat Si Jari Maut, sehingga tidaklah terlalu membahayakan baginya.
Akan tetapi, pada saat itu perlawanan pasukan pemberontak telah hancur sama sekali dan tinggal Hek-i Mo-ong seorang yang melakukan perlawanan. Tentu saja para tokoh Bhutan kini berdatangan membantu Tek Hoat, juga pasukan pilihan Bhutan mengepung kakek itu dengan busur terpentang.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong takkan dapat meloloskan diri dari tempat itu, kecuali kalau dia pandai melenyapkan diri atau terbang seperti burung. Kakek itupun maklum akan hal ini. Akan tetapi dia adalah seorang datuk kaum sesat, maka diapun tidak mengenal takut. Hanya dia sudah putus asa untuk dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan hidup, maka diapun mengamuk dengan senjatanya, menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Diam-diam Tek Hoat kagum bukan main. Memang, lawannya ini adalah seorang datuk sesat yang jahat seperti iblis. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang dia bertemu dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian hebatnya, juga memiliki kegigihan yang luar biasa. Kalau orang dengan watak dan kepandaian seperti ini disertai pula kesetiaan dan kejujuran, tentu akan dapat menjadi tulang punggung sebuah negara yang boleh diandalkan.
Bagaimanapun juga, Hek-i Mo-ong yang sakti itupun hanyalah seorang manusia, sudah tua pula, usianya sudah tujuh puluh lima tahun, maka daya tahannya tentu saja sudah banyak menurun walaupun kepandaiannya semakin matang. Dan dia dikeroyok oleh banyak sekali orang. Terutama sekali desakan-desakan Tek Hoat dan kecepatan Syanti Dewi membuatnya lelah dan gerakan-gerakannya menjadi semakin lemah. Akan tetapi, hal ini bukan membuatnya gentar, bahkan sebaliknya dia menjadi penasaran dan marah.
“Haiiiiiitttt!”
Teriakannya disusul gerengan seperti seekor harimau terluka dan tubuhnya membalik, tombak Long-ge-pang dan kipas merahnya bergerak cepat.
Terdengar jeritan mengerikan dan dua orang perwira Bhutan roboh tewas seketika. Akan tetapi pada detik itu juga, pedang Cui-beng-kiam di tangan Tek Hoat menyambar dan nyaris membabat putus leher kakek itu kalau saja dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sambil membabatkan tombaknya ke seputar dirinya, membuat para pengeroyok terpaksa mundur.
Ketika meloncat bangun lagi, kakek itu mengusap pundaknya yang berdarah. Kiranya pedang Cui-beng-kiam masih sempat menyerempet pundaknya, membabat baju dan sebagian kulit dan daging pundaknya ikut terkupas!
Marahlah kakek itu, akan tetapi diam-diam diapun maklum bahwa saat akhirnya sudah dekat. Kedua tangannya sudah mulai gemetar dan napasnya sudah mulai memburu, apalagi pundak yang terkena pedang Cui-beng-kiam itu terasa panas dan perih, tanda bahwa racun pada pedang itu amatlah ampuhnya.
Melihat ini, Tek Hoat yang merasa kagum itu membentak,
“Hek-i Mo-ong, apakah engkau masih belum mau menyerah?”
Tiba-tiba kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha! Sekiranya Giam-lo-ong (Malaikat Maut) sendiri datang, akan kulawan dan aku tidak sudi menyerah, apalagi menghadapi kalian!”
“Siapkan anak panah!”
Tek Hoat memberi aba-aba dan sepasukan pemanah yang sudah siap dengan anak panah di busur kini menujukan ujung anak panah ke arah tubuh Hek-i Mo-ong! Akan tetapi, sebelum Tek Hoat mengeluarkan aba-aba terakhir untuk menghujankan anak panah dari jarak dekat kepada kakek itu tiba-tiba terdengar bentakan suara nyaring.
“Tahan! Jangan bunuh dia!”
Semua orang terkejut. Tek Hoat menoleh dan melihat betapa Ceng Liong datang sambil memegang lengan kiri Hong Bwee, wajahnya berobah pucat dan diapun cepat sekali membentak,
“Tahan semua senjata!”
Syanti Dewi juga melihat bahwa puterinya telah dipegang oleh Ceng Liong dan tahu apa artinya. Ia menjadi marah dan hendak bergerak meloncat untuk menyelamatkan puterinya, akan tetapi lengannya dipegang oleh suaminya yang berbisik agar ia tenang.
“Ceng Liong, apa maksudmu mencegah kami membunuh pengkhianat?”
Tek Hoat bertanya dengan suara lantang dan dia mencari kesempatan bagaimana untuk dapat menolong puterinya. Akan tetapi, puterinya berdiri mepet dengan Ceng Liong dan tangan anak laki-laki itu sudah siap untuk mengirim serangan maut, hal ini diketahuinya dari cara anak itu memegang tangannya. Yang amat mengherankan hatinya adalah melihat betapa wajah puterinya itu cerah saja, bahkan agak tersenyum seolah-olah tidak sedang dalam ancaman maut.
“Tidak mungkin....!” Tek Hoat berseru marah.
“Kutukar nyawa guruku dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”
Ceng Liong berkata lagi, suaranya lantang, sedikitpun dia tidak kelihatan gentar, matanya penuh kewaspadaan mengerling ke kanan kiri dan kepalanya kadang-kadang menoleh ke belakang, agaknya dia sudah mempersiapkan diri kalau-kalau dibokong dari belakang atau samping.
Mendengar ini, Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Jangan ganggu anakku!”
“Aku tidak akan mengganggunya, selembar rambutnyapun tidak, asal guruku dibebaskan dan kami berdua dibiarkan pergi meninggalkan tempat ini dengan aman,” jawab Ceng Liong tenang.
Tek Hoat saling bertukar pandang dengan isterinya. Mereka berdua merasa bingung sekali melihat sikap Ceng Liong. Bukankah anak itu yang mengkhianati gurunya dan yang melaporkan akan semua pengkhianatan dan rencana pemberontakan sehingga pemberontakan itu dapat digagalkan? Bukankah Ceng Liong pula yang telah menyelamatkan Hong Bwee, membebaskannya dari tahanan pihak musuh? Kenapa sekarang Ceng Liong berbalik menolong gurunya dan menjadikan Hong Bwee sebagai sandera?
“Ceng Liong, apa artinya ini? Engkau adalah seorang anak yang amat baik dan berbudi, mengapa engkau hendak membela gurumu yang jahat ini? Tidak tahukah engkau bahwa gurumu ini sama sekali bukanlah seorang ahli pengobatan, melainkan seorang datuk kaum sesat yang tersohor dan berjuluk Hek-i Mo-ong? Dosanya terhadap Bhutan sudah bertumpuk, dan engkau masih ada muka untuk berusaha menyelamatkannya dengan mengancam puteri kami?”
“Aku berhutang budi kepadanya dan aku adalah muridnya. Budi adalah budi yang harus dibalas karena aku tidak mau menjadi manusia yang tidak mengenal budi. Aku berhutang nyawa kepadanya, maka aku akan membalas budinya, tidak perduli dia jahat ataukah tidak. Andaikata dia jahat, kalau dia sudah melepas budi kebaikan kepadaku, apakah harus kubalas dengan kejahatan? Aku menentang perbuatannya, bukan orangnya. Dan aku berguru ilmu kepadanya, bukan berguru kejahatan.”
Jawaban yang keluar dari mulut seorang anak kecil seperti itu mengejutkan hati Tek Hoat dan dia menduga bahwa anak ini pasti bukan anak sembarangan. Akan tetapi, hatinya tetap saja masih merasa tidak rela untuk membebaskan Hek-i Mo-ong begitu saja. Bukankah kakek iblis ini sudah menimbulkan bencana hebat yang mengorbankan nyawa banyak perajurit Bhutan? Dan bukankah kakek ini tetap akan merupakan bahaya besar kalau dibiarkan berkeliaran di kolong langit dan menimbulkan bencana-bencana baru di antara manusia?
“Ceng Liong, aku tidak percaya bahwa kalau kami membunuh Hek-i Mo-ong, engkau akan tega mencelakai Hong Bwee. Hatimu terlalu baik untuk melakukan kejahatan keji itu!” katanya untuk mencoba hati anak itu dan menundukkannya.
Akan tetapi, terkejutlah dia ketika melihat sepasang mata anak itu mencorong seperti mata seekor naga.
“Ucapan seorang laki-laki tidak akan ditarik mundur kembali! Apapun yang akan terjadi, aku harus menyelamatkan guruku. Sekali lagi, aku minta agar nyawa guruku ditukar dengan nyawa Puteri Gangga Dewi!”
“Ceng Liong, engkau akan ditentang oleh pendapat banyak orang, engkau akan dikutuk!” Tek Hoat masih membantah.
“Aku tidak menyandarkan hidupku pada pendapat atau kutukan orang. Orang boleh membenarkan atau menyalahkan aku, akan tetapi semua tindakanku adalah urusanku sendiri, semua akibatnya adalah urusanku sendiri, orang lain tidak turut campur!”
Kembali jawaban ini mengejutkan hati Tek Hoat. Syanti Dewi yang sejak tadi memandang khawatir, tiba-tiba saja berkata dengan suara tinggi nyaring,
“Bebaskan Hek-i Mo-ong! Aku menukar nyawanya dengan nyawa anakku!”
Wajah Ceng Liong yang tadinya tegang dan serius itu, kini menjadi cerah dan dia tersenyum lalu menjura ke arah Syanti Dewi.
“Aku percaya bahwa ucapan seorang puteri seperti paduka akan ditaati oleh seluruh rakyat Bhutan. Aku minta agar paduka suka menjanjikan kepada kami berdua guru dan murid untuk dapat meninggalkan Bhutan dengan aman.”
Syanti Dewi mengangguk dan berkata lagi dengan lantang,
“Biarkan Hek-i Mo-ong dan muridnya pergi meninggalkan Bhutan dengan aman. Siapapun juga dilarang untuk mengganggu atau menghalangi kepergian mereka!”
Ceng Liong melepaskan tangannya dari lengan Hong Bwee, lalu tersenyum kepada anak itu.
“Adik yang baik, terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga.”
Kini anak perempuan itu yang memegang lengan Ceng Liong dan suaranya terdengar sedih,
“Ceng Liong, benarkah engkau mau pergi meninggalkan Bhutan? Meninggalkan aku?”
Ceng Liong mengangguk.
“Engkau melihat sendiri bahwa aku terpaksa pergi. Kelak kita akan dapat bertemu lagi.”
“Benarkah? Engkau takkan lupa kepadaku? Engkau kelak akan mengunjungiku?”
Ceng Liong mengangguk. Syanti Dewi sekali lompat telah berada di dekat anaknya yang segera dipeluknya dan ia memandang kepada Ceng Liong dengan alis berkerut lalu berkata agak ketus,
“Pergilah cepat!”
Ceng Liong lalu menghampiri gurunya, sejenak mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan Ceng Liong lalu berkata,
“Mo-ong, mari kita pergi.”
Tiba-tiba Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara menggeram dan menubruk Ceng Liong. Semua orang terkejut dan khawatir sekali, mengira bahwa kakek iblis itu akan membunuh murid yang telah mengkhianatinya itu. Akan tetapi Ceng Liong tenang-tenang saja dan ternyata kakek itu malah memondongnya, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepalanya sambil tertawa bergelak! Suara ketawanya menyeramkan hati semua orang, seperti ketawa setan yang menakutkan.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Sungguh aneh! Sebentar engkau jadi musuhku, kemudian tiba-tiba menjadi penolongku. Sebentar aku ingin membunuhmu, di lain saat aku ingin memondong dan merangkulmu! Ha-ha-ha, engkau anak luar biasa, engkau tepat menjadi muridku. Ha-ha-ha-ha!”
Dan kakek itu lalu pergi sambil memondong Ceng Liong, menyeret tombak Long-ge-pang sambil tertawa-tawa. Tidak seorangpun berani menghalanginya, pertama karena Sang Puteri Syanti Dewi telah mengeluarkan perintahnya dan kedua kalinya karena memang mereka semua gentar menghadapi kakek iblis yang amat sakti itu.
Tek Hoat menggeleng kepalanya, kagum sekali. Seorang kakek yang amat hebat, pikirnya, dan muridnya itu lebih hebat lagi. Peristiwa pemberontakan di Bhutan itu mengguncangkan sendi pertahanan negara kecil itu, maka Bhutanpun tidak mau banyak ribut ketika bala tentara Nepal menyerbu ke Tibet melalui perbatasan antara kedua negara. Asal Nepal tidak melanggar wilayah Bhutan, negara kecil ini lebih baik tinggal diam karena maklum bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menandingi Nepal yang jauh lebih besar.
Himalaya merupakan pegunungan yang bukan saja paling besar di dunia, mempunyai puncak-puncak yang paling tinggi di dunia sehingga memperoleh sebutan Atap Dunia, akan tetapi juga sejak jaman dahulu terkenal sebagai tempat keramat dan di sanalah banyak pendeta dan pertapa tinggal mengasingkan diri dari dunia ramai.
Karena tempatnya sunyi terasing, maka bukan hanya mereka yang mencari sesuatu yang lebih luhur daripada hal-hal duniawi yang membanjiri Pegunungan Himalaya, akan tetapi juga para buronan penting banyak yang mengasingkan diri ke tempat ini, karena di tempat yang amat luas dan sukar didatangi manusia ini mereka dapat bersembunyi tanpa khawatir akan dapat ditemukan orang.
Banyak pula orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi tinggal di situ, dan ada pula yang tinggal karena memang dapat menikmati keheningan yang luar biasa itu. Akan tetapi sebagian besar dari mereka itu, biarpun dipandang suci dan luhur oleh orang-orang awam, sebagai pertapa-pertapa dan pendeta-pendeta, sesungguhnya mereka itu hanyalah orang-orang yang masih mencari sesuatu, orang yang masih didorong oleh keingginannya memperoleh sesuatu.
Pada lahirnya mereka mengatakan, juga kepada diri sendiri, bahwa mereka mengasingkan diri dari dunia ramai, bertapa dan bersepi di tempat sunyi, menyendiri, nampaknya secara lahiriah seperti menjauhi urusan duniawi. Akan tetapi, kalau mereka mau menjenguk ke dalam, mengamati batin sendiri, akan nampaklah dengan jelas bahwa kepergian mereka bertapa ke tempat sunyi itu tiada lain hanya merupakan suatu pelarian dan suatu usaha untuk mencari sesuatu yang mereka nilai lebih tinggi daripada hal-hal biasa, sesuatu yang mereka harapkan akan dapat mendatangkan bahagia kepada mereka!
Batin yang mengejar-ngejar sesuatu yang menyenangkan, biarpun yang menyenangkan itu sudah disulap menjadi sesuatu yang suci murni dan membahagiakan, berarti bahwa batin itu masih sibuk. Maka, kalau batin sibuk mengejar-ngejar, biarpun kita tinggal di tempat hening, mana mungkin dapat menyelami keheningan sejati? Untuk dapat menikmati dan menyelami keheningan, maka batin haruslah hening lebih dulu, dalam arti kata batin yang bebas daripada segala keinginan memperoleh apapun juga.
Seorang pertapa boleh mengatakan dengan tegas bahwa dia tidak mencari apa-apa. Akan tetapi, menolak atau menjauhi sesuatu itu sama artinya dengan mencari sesuatu, kecuali kalau kita benar-benar melihatnya bahwa yang kita jauhi itu adalah tidak baik bagi kita lahir maupun batin.
Dan bentuk pencarian, betapapun agungnya yang dicari-cari itu, berarti suatu pengejaran, suatu keinginan, suatu cita-cita. Dan di mana ada cita-cita, tentu timbul dalil bahwa cita-cita menghalalkan segala cara. Dan dalam cara inilah letak persoalannya, karena cara inilah yang menentukan bersih dan kotornya. Bukan cita-cita yang hanya merupakan khayal dan keinginan yang belum tercapai saja. Yang penting bukan cita-citanya, melainkan caranya itulah. Dan cara-cara yang curang dan kotor timbul dengan ditutupi pakaian berupa alasan untuk atau demi cita-cita!
Seorang yang bercita-cita menjadi raja, tentu akan mempergunakan segala macam cara untuk melaksanakan cita-citanya agar terkabul. Kalau perlu, dia akan menyingkirkan semua rintangan dan saingannya, baik dengan cara jujur atau curang, bisa saja dia mencelakakan atau membunuh saingan-saingan yang menjadi penghalang cita-citanya, berjuang mati-matian demi mencapai cita-citanya itu.
Hal ini bukan dongeng kosong belaka melainkan dapat kita lihat seridiri di seluruh penjuru dunia dan di negara manapun juga. Sebaliknya, walaupun tanpa cita-cita menjadi raja, seorang yang benar-benar cakap dan berbakat dan tepat untuk kedudukan itu, bisa saja dipilih atau diangkat menjadi raja!
Seorang yang bercita-cita menjadi orang baik, akan berusaha sedapatnya untuk melakukan “hal-hal baik” yang sesuai dengan penilaian umum, dan berbuatlah dia hal-hal yang sebenarnya palsu, mungkin berlawanan dengan hati nuraninya, hanya untuk memenuhi cita-citanya agar menjadi orang baik! Kebaikan yang dilakukan adalah kebaikan palsu dan amat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Kemunafikan adalah ibarat harimau bertopeng domba, dan ini lebih berbahaya daripada harimau dengan mukanya sendiri sehingga kita dapat menghindar atau berjaga diri. Orang yang hidupnya disinari cahaya cinta kasih, berbuat tanpa pamrih, wajar dan apa adanya, tidak menilai perbuatannya sebagai baik atau buruk. Perbuatan apapun di dunia ini yang didasari cinta kasih, sudah jelas baik adanya!
Hek-i Mo-ong keluar dari Bhutan dan langsung saja memasuki daerah Himalaya untuk melaksanakan tugasnya yang ke dua, yaitu memecah-belah para penghuni atau para pendeta di sekitar Himalaya. Hek-i Mo-ong yang pernah menjadi pertapa di Himalaya ketika dia sedang mematangkan ilmu-ilmunya, mempunyai banyak kenalan dan sahabat baik di daerah ini. Dia mengunjungi mereka satu demi satu, bicara soal ilmu dan secara sambil lalu mulailah dia menghasut dan mengadu domba antara pertapa yang dikenalnya, memanaskan hati mereka dengan membanding-bandingkan ilmu mereka, mencela yang satu memuji yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar