Kim Hwee Li mengerutkan alisnya, bukan hanya karena khawatir melihat puterinya begitu kurus, akan tetapi juga jarang ia melihat puterinya yang tabah dan keras hati itu dapat terharu sampai menangis ketika bertemu adiknya kembali.
“Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?”
“Engkau kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.
“Dan mukamu agak pucat,” sambung ibunya.
Dihujani pertanyaan oleh ayah ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang,
“Tidak apa-apa, ah, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu.”
Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan subonya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee memandang girang.
“Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sutemu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu.”
“Eh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?” tiba-tiba Hwee Li yang waspada itu bertanya.
Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-tiba membasahi kedua matanya.
“Suhu, subo, teecu dilanda malapetaka besar dan mohon petunjuk suhu berdua....”
“Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?”
“Ayah.... ayah teecu terbunuh....”
“Ehhh....? Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?” Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar ucapan itu.
Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoinya, akan tetapi Suma Hui diam saja dan hanya memandang kepadanya dengan sinar mata kosong.
“Mendiang ayah tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”
“Ihhh....!” Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. “Penjahat cabul mana yang begitu berani mengacau di Thian-cin?”
“Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia berkelahi melawan Kao Cin Liong....”
“Hui-cici, kenapa engkau begini kurus?”
“Engkau kenapakah, Hui-ji?” tanya pula ayahnya.
“Dan mukamu agak pucat,” sambung ibunya.
Dihujani pertanyaan oleh ayah ibu dan adiknya itu, Suma Hui menjawab singkat dan menyimpang,
“Tidak apa-apa, ah, aku girang sekali melihat engkau selamat, Bun-te. Lekas kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita berpisah, sejak engkau terlempar ke lautan itu.”
Suma Hui menggandeng tangan adiknya dan beramai-ramai mereka memasuki rumah. Di pintu depan muncul Tek Ciang yang cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada suhu dan subonya. Melihat penghormatan yang amat sopan ini, Suma Kian Lee memandang girang.
“Bangkitlah, Tek Ciang dan mari berkenalan dengan sutemu. Ciang Bun, inilah murid ayah yang bernama Louw Tek Ciang seperti yang kuceritakan itu.”
“Eh, Tek Ciang, kenapa engkau memakai pakaian berkabung?” tiba-tiba Hwee Li yang waspada itu bertanya.
Ditanya demikian, Tek Ciang yang masih berlutut itu lalu mengusap air matanya yang tiba-tiba membasahi kedua matanya.
“Suhu, subo, teecu dilanda malapetaka besar dan mohon petunjuk suhu berdua....”
“Apakah yang telah terjadi, Tek Ciang?”
“Ayah.... ayah teecu terbunuh....”
“Ehhh....? Terbunuh? Siapa yang membunuh ayahmu?” Suma Kian Lee terkejut sekali mendengar ucapan itu.
Tek Ciang merasa tidak enak kepada Suma Hui dan melirik ke arah sumoinya, akan tetapi Suma Hui diam saja dan hanya memandang kepadanya dengan sinar mata kosong.
“Mendiang ayah tewas ketika bertempur melawan.... melawan jai-hwa-cat yang berkeliaran di kota ini.”
“Ihhh....!” Kim Hwee Li berseru kaget dan penasaran. “Penjahat cabul mana yang begitu berani mengacau di Thian-cin?”
“Suheng, kenapa engkau tidak berterus terang saja? Ayah, Louw-kauwsu tewas ketika dia berkelahi melawan Kao Cin Liong....”
“Heh, bagaimana pula ini?” Hwee Li berteriak. “Kao Cin Liong datang ke sini dan dia berkelahi dengan Louw kauwsu?” Ia memandang tajam kepada Tek Ciang. “Tek Ciang, ceritakan sejujurnya apa yang telah terjadi!”
“Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah,” kata Suma Kian Lee yang dapat menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.
“Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Pada suatu malam, ayah bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tidak dapat menang dan akhirnya ayah tewas....”
Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan iapun tahu mengapa suhengnya tidak menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian berarti pengecut.
Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.
“Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andaikata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat berjumpa kelak!”
“Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela Pulau Es secara mati-matian. Tak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang yang tidak berdosa. Eh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi sehingga Cin Liong sampai berkelahi dan membunuh Louw-kauwsu?” Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.
Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya.
“Aku tidak tahu, ibu,” jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak, “Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang bersama ayah dan ibu.”
Tek Ciang masih berdebar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan subonya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat.
“Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa.”
Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda ini yatim-piatu.
“Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggauta keluarga kami sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan.”
Tentu saja ucapan suhunya ini membesarkan hati Tek Ciang dan diapun duduk kembali namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan.
Ciang Bun lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik dan kakek mereka itu.
“Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan ayah dan ibu.” Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.
“Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun,” sambung Kim Hwee Li. “Padahal kami berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun.”
Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walaupun ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik.
Akan tetapi, biarpun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang rahasia sekalipun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong? Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji,” demikian antara lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. “Ia menderita sesuatu.”
“Sungguh tidak baik hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka.”
“Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberitahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau guncangan batin yang hebat. Aku khawatir ia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang.”
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, akan tetapi diapun tidak dapat membantah isterinya. Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati isterinya.
“Baiklah, dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji.”
“Mari kita semua masuk dulu dan bicara di dalam rumah,” kata Suma Kian Lee yang dapat menguasai perasaannya dan sikapnya lebih tenang.
Mereka lalu masuk ke dalam rumah dan mereka semua duduk di ruangan dalam. Dengan sikap ragu-ragu dan kadang-kadang mengerling ke arah Suma Hui, akan tetapi melihat gadis itu diam saja tidak memberi tanda atau memperlihatkan sikap sesuatu, akhirnya Tek Ciang lalu bercerita.
“Menurut ayah, di kota ini ada jai-hwa-cat berkeliaran. Pada suatu malam, ayah bersama dua orang teman yang melakukan penyelidikan, bertemu dengan Kao-taihiap, dan ayah agaknya menyangka bahwa Kao-taihiap adalah jai-hwa-cat itu, maka lalu diserangnya. Tentu saja ayah dan dua orang temannya tidak dapat menang dan akhirnya ayah tewas....”
Suma Hui hendak membuka mulut, akan tetapi membatalkan niatnya. Apa perlunya ia membela Cin Liong? Biarlah, biar ayah ibunya menyangka Cin Liong yang membunuh Louw-kauwsu, ia tidak perduli! Dan iapun tahu mengapa suhengnya tidak menceritakan bahwa ayahnya membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian itu. Tentu pemuda itu merasa malu karena membunuh diri, bukan tewas dalam perkelahian berarti pengecut.
Suma Kian Lee yang sudah merasa tidak senang kepada Cin Liong karena pemuda itu berani jatuh cinta kepada Suma Hui yang terhitung bibi sendiri, mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.
“Sungguh tidak patut sekali perbuatan Cin Liong itu! Andaikata dia bukan jai-hwa-cat, mengapa dia harus membunuh Louw-kauwsu yang hanya bertindak untuk menentang kejahatan? Aku pasti akan menegurnya kalau sempat berjumpa kelak!”
“Hemm, kurasa ada apa-apanya di balik peristiwa itu. Putera Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah seorang panglima yang terkenal, dan seorang pendekar perkasa yang sudah membela Pulau Es secara mati-matian. Tak mungkin kiranya dia begitu sembrono membunuh orang yang tidak berdosa. Eh, Hui-ji, mustahil kalau engkau tidak tahu apa-apa tentang peristiwa itu. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi sehingga Cin Liong sampai berkelahi dan membunuh Louw-kauwsu?” Dengan sinar mata tajam penuh selidik, nyonya yang cerdik ini bertanya kepada puterinya.
Namun Suma Hui tetap berkeras tidak sudi membela Cin Liong yang dibencinya.
“Aku tidak tahu, ibu,” jawahnya singkat, lalu dipegangnya tangan Ciang Bun sambil berkata mendesak, “Bun-te, hayo ceritakan pengalamanmu sampai engkau dapat selamat dan dapat pulang bersama ayah dan ibu.”
Tek Ciang masih berdebar rasa jantungnya karena khawatir kalau-kalau suhu dan subonya mendesak terus sehingga rahasia ayahnya terancam bahaya terbuka tabirnya, lalu bangkit dan menjura dengan hormat.
“Sebaiknya teecu mohon diri dan mundur agar suhu, subo dan sute dapat beristirahat dan bercakap-cakap dengan leluasa.”
Kian Lee mengangkat tangan dan memandang kepada muridnya itu dengan rasa iba dalam hatinya. Ayah pemuda itu adalah seorang duda, maka sepeninggal ayahnya, berarti pemuda ini yatim-piatu.
“Duduklah saja, Tek Ciang. Engkau dapat dibilang anggauta keluarga kami sendiri, maka boleh engkau duduk dan ikut mendengarkan.”
Tentu saja ucapan suhunya ini membesarkan hati Tek Ciang dan diapun duduk kembali namun masih mengambil sikap sungkan-sungkan.
Ciang Bun lalu menceritakan pengalamannya, betapa dia diselamatkan dari lautan oleh kakak beradik Liu dengan kakek mereka sebagai penghuni Pulau Nelayan. Betapa dia kemudian tinggal di pulau itu bersama mereka bertiga, mempelajari ilmu dalam air. Tentu saja dia tidak menceritakan tentang hubungannya yang aneh dengan Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, hanya menceritakan kebaikan-kebaikan kakak beradik dan kakek mereka itu.
“Setelah merasa bosan tinggal di pulau itu dan sudah mempelajari semua dasar ilmu dalam air, aku lalu meninggalkan pulau itu dan ketika mendarat, aku bertemu dengan ayah dan ibu.” Demikian Ciang Bun menutup ceritanya.
“Kebetulan kami bertemu dengan Ciang Bun,” sambung Kim Hwee Li. “Padahal kami berdua telah berhari-hari mencari-cari di sekitar pantai namun tidak pernah melihat jejaknya atau mendengar berita tentang dirinya. Siang hari itu, selagi kami berjalan-jalan di pantai dan hampir putus asa, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menggunakan perahu melakukan penyeberangan ke Pulau Es untuk menyelidiki di lautan, muncullah perahu yang membawa Ciang Bun.”
Keluarga yang telah berkumpul lagi dengan lengkap itu tentu saja merasa gembira. Akan tetapi Suma Hui seoranglah yang tidak pernah merasakan kegembiraan, walaupun ia berusaha untuk kelihatan gembira. Ibunya telah mendesaknya dan berkali-kali menanyakan sikapnya itu di dalam kamar dengan suara bisik-bisik.
Akan tetapi, biarpun terhadap ibu kandungnya sendiri yang biasanya ia menceritakan segala hal yang rahasia sekalipun, sekali ini ia tidak dapat membuka rahasianya. Bagaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa dirinya telah dinodai, bahwa kehormatannya telah dicemarkan, bahwa ia telah diperkosa oleh Cin Liong? Sikap gadis itu membuat ayah dan ibunya sering kali membicarakannya dalam kamar mereka.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang dirahasiakan oleh Hui-ji,” demikian antara lain Hwee Li berbisik kepada suaminya pada malam hari setelah mereka pergi tidur. “Ia menderita sesuatu.”
“Sungguh tidak baik hal itu dibiarkan saja. Tek Ciang telah kehilangan ayahnya, sebaiknya kalau perjodohan antara mereka itu dipercepat. Aku akan memanggil mereka berdua dan menyatakan terus terang bahwa antara aku dan ayah Tek Ciang telah ada persetujuan untuk menjodohkan mereka.”
“Suamiku, kurasa kita tidak boleh terlalu tergesa-gesa bicara tentang itu dan memberitahu kepada Hui-ji. Aku yakin bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa antara Hui-ji dan Cin Liong. Hui-ji kelihatan demikian menderita tekanan atau guncangan batin yang hebat. Aku khawatir ia akan jatuh sakit. Hanya kekerasan hatinya saja yang masih mampu mencegah ia jatuh sakit. Maka, kuharap engkau suka bersabar dulu dan jangan sampaikan hal yang belum tentu disetujuinya itu dalam waktu sekarang.”
Suma Kian Lee mengerutkan alisnya, akan tetapi diapun tidak dapat membantah isterinya. Dia tahu bahwa Suma Hui memiliki kekerasan hati yang sama dengan kekerasan hati isterinya.
“Baiklah, dan aku akan segera mulai menurunkan ilmu-ilmu silat kepada Tek Ciang agar dia dapat cepat menyusul ketinggalannya dari Hui-ji.”
**** 034 ****
TEMPAT WISATA MANCA NEGARA
Istana Kekaisaran Tokyo | Jembatan Gerbang Emas | Air Terjun Niagara |
---|---|---|
Grand Canyon | Pasar Terbesar di Bangkok | Taman Nasional Yellowstone |
Budj Khalifa - Dubai | Taj Mahal | Taman Nasional Yellowstone |
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar