Tek Ciang bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”
Wajah itu semakin pucat dan matanya semakin terbelalak.
“Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!”
Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.
“Suheng, tenang dan duduklah lagi!”
Tek Ciang menoleh kepada sumonya, lalu menjatuhkan diri duduk kembali, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.
“Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula.”
“Aku sudah mendengar akan kematian ayah!”
Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata.
“Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”
“Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong.”
Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoinya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran,
“Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri.”
“Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka.
Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri.
Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?”
Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itupun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biarpun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela!
Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati? Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”
Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!
Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir.
“Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”
“Ahhh....! Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya.
“Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, Kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?”
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Karena akulah orangnya yang kau namakan penjahat tadi.”
Wajah itu semakin pucat dan matanya semakin terbelalak.
“Kau.... kau....? Kau pembunuh ayahku!”
Dan pemuda itu sudah mengepal kedua tinjunya. Dia tentu sudah menyerang Cin Liong kalau saja Suma Hui tidak cepat berteriak menegurnya.
“Suheng, tenang dan duduklah lagi!”
Tek Ciang menoleh kepada sumonya, lalu menjatuhkan diri duduk kembali, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya.
“Maaf, Louw-susiok, kalau aku mengejutkan dan mengguncangkan hatimu. Akan tetapi, engkau sebagai puteranya harus mendengarkan peristiwa yang sesungguhnya terjadi. Akulah orangnya yang diserang oleh ayahmu tanpa sebab. Kemudian ayahmu menggunakan pedangnya membunuh dua orang temannya sebelum dia membunuh diri dengan pedangnya pula.”
“Aku sudah mendengar akan kematian ayah!”
Tek Ciang memotong, menurunkan kedua tangannya dan wajahnya kini merah sekali, kedua pipinya basah air mata.
“Kedua orang itu adalah penjahat atau dikenal sebagai orang jahat. Mungkin saja ayah membunuh mereka, kemudian ayah dibunuh orang yang lebih kuat!”
“Suheng! Cin Liong sudah mengatakan dengan terus terang. Ayahmu membunuh diri sendiri dengan pedangnya setelah membunuh dua orang itu. Keterangan Cin Liong dapat kau percaya sepenuhnya. Akulah yang menanggung bahwa keterangannya itu benar dan tidak bohong.”
Sejenak Tek Ciang menentang pandang mata sumoinya, kemudian menunduk sambil berkata penasaran,
“Akan tetapi ayah adalah seorang yang baik. Sungguh tak masuk di akal kalau dia membunuh dua orang yang dikatakan temannya sendiri kemudian dia membunuh diri.”
“Untuk hal itu ada penjelasannya. Harap kau suka dengarkan semua ceritaku, susiok, kemudian kau coba memberi penafsiran mengapa ayahmu berbuat demikian. Kemarin malam, ketika aku pulang dari sini dan tiba di lorong sunyi dan gelap, tiba-tiba ada tiga orang menyerangku. Dua orang menggunakan golok dan seorang, yaitu ayahmu, menggunakan pedang. Aku mengelak dan berusaha bertanya, mengatakan bahwa mungkin mereka salah mengenal orang. Akan tetapi mereka bertiga terus mendesakku dan mengirim serangan bertubi-tubi yang berbahaya. Terpaksa aku menyerang dan membalas. Aku bermaksud merobohkan dan menangkap mereka hidup-hidup karena aku ingin tahu mengapa mereka menyerangku dan siapa pula adanya mereka.
Akhirnya aku dapat merobohkan dua orang pemegang golok yang rendah ilmu silatnya. Aku dapat mengenal jurus-jurus ilmu silat Siauw-lim-pai yang dimainkan ayahmu sehingga aku menjadi semakin heran karena Siauw-lim-pai adalah perkumpulan para pendekar yang menjadi sahabat-sahabatku. Beberapa kali aku membuat ayahmu tak berdaya dan roboh tanpa melukainya terlalu berat. Tiba-tiba saja ayahmu menusukkan pedangnya, membunuh kedua orang pengeroyok yang telah roboh terluka itu tanpa aku sempat menduganya, dan dia melarikan diri.
Aku mengejarnya dan dia lalu menggorok leher sendiri. Sayang aku tidak sempat mencegahnya. Nah, demikianlah kejadian yang sebenarnya, Louw-susiok. Sekarang, setelah engkau mendengar semua itu, dapatkah engkau mengetahui atau menduga apa yang menyebabkan ayahmu marah dan membenciku, lalu menyerang dan hendak membunuhku?”
Sebetulnya, tanpa mendengarkan cerita itupun Tek Ciang sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Dia merasa berduka sekali akan kematian ayahnya, dan merasa menyesal bahwa ayahnya telah mengorbankan diri dan nyawa untuknya. Biarpun dia suka menjadi murid Suma Kian Lee, dan lebih senang lagi menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi kalau harus mengorbankan nyawa ayahnya, sungguh dia tidak rela!
Dan kini, melihat orang yang menyebabkan kematian ayahnya berada di depannya, bahkan menjadi saingannya dan agaknya akan menjadi penghalang perjodohannya dengan Suma Hui, bagaimana dia tidak akan membencinya setengah mati? Pertanyaan Cin Liong tak dapat dijawabnya dan dia menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu mengapa ayah berbuat demikian, yang kutahu benar adalah bahwa ayah seorang guru silat yang baik dan menjadi sahabat baik dari suhu.”
Dengan ucapan itu dia hendak mengingatkan Suma Hui bahwa ayahnya adalah sahabat ayah gadis itu dan bahwa ayahnya orang baik, maka kenyataan ini dapat dipakai untuk menyudutkan pemuda itu, sebagai peringatan bahwa kalau ayahnya baik sampai terbunuh, kemungkinan besar pemuda itulah yang jahat!
Mendengar jawaban itu, Cin Liong lalu mempergunakan pegangannya yang terakhir.
“Dengarlah, Louw-susiok. Sebelum ayahmu meninggal, dia pernah memaki aku sebagai penjahat cabul perusak anak gadis orang. Nah, apakah ucapan ayahmu itu tidak mengingatkan engkau akan sesuatu? Barangkali ayahmu bermusuhan dengan seseorang? Ataukah engkau mengenal seorang penjahat cabul yang dimusuhi ayahmu, seorang penjahat yang suka merusak wanita dan membuat ayahmu marah dan mendendam kepadanya?”
“Ahhh....! Itukah sebabnya?” Kini Tek Ciang bangkit berdiri lagi dan menggebrak meja di depannya.
“Aku ingat sekarang! Memang dalam pertemuan terakhir, beberapa hari yang lalu, ayah pernah bercerita bahwa di kota ini terdapat seorang penjahat cabul, seorang jai-hwa-cat dan ketika bertemu denganmu.... hemmm, Kau Cin Liong, mengapa ayahku memakimu penjahat cabul? Siapa tahu penjahat cabul yang berkeliaran di kota ini adalah engkau?”
“Suheng, jangan menuduh sembarangan!” Tiba-tiba Suma Hui membentak suhengnya dengan muka merah karena marah.
Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum
“Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka.”
“Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan diapun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?”
Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan kemudian terbuka rahasianya.
“Ahhh....!” keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa akan tetapi agaknya ayah menyangka engkau penjahat itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk.
“Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang ada. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.
“Atau kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.
“Tidak ada lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.
“Bagaimanapun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!” teriak Tek Ciang. “Aku takkan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”
Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya. Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui!
Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka diapun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!
Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil.
Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila!
Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya? Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih namun masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.
“Siapakah engkau....?” Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.
Laki-laki yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang lalu tersenyum.
“Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah aku, lalu engkau mau apa?”
Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat!
Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah Cin Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.
“Hemm, setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu hanya pura-pura saja?”
“Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga mulutmu!”
Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan penjahat palsu. Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga menjadi marah.
“Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku, keparat!”
Pemuda ini lalu menerjang ke depan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya, menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.
Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan dan akibatnya tubuh Tek Ciang terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak! Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat.
Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
“Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan akupun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”
Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
“Siapakah engkau....?”
Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
“Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”
Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri. Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan diapun tidak mau berhenti sampai di situ saja.
Diam-diam dia melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian diapun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya.
Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang amat baik dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong. Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.
Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biarpun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.
“Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya hati-hati, “akan tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”
“Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkaupun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinyapun menggelinding keluar. Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, iapun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon,
“Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku....”
Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, diapun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walaupun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.
“Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
“Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”
Tek Ciang menggeleng kepala.
“Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe.”
“Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang kini mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu.
Pakaiannya masih utuh akan tetapi kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang, merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya.
Tadi, dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali.
Berkali-kali ia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.
Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja diapun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, kemudian mempermainkan wanita itu dan menghinanya.
Sesaat timbul nafsu berahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan. Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya! Tek Ciang menggeleng kepala.
“Tidak, locianpwe. Aku.... aku tidak ingin....”
Siauw-ok menyeringai.
“Siapa bilang tidak ingin? Nafsu berahimu membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”
Setelah berkata demikian, Siauw-ok mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.
“Manis, ke sinilah engkau!”
Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah ia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.
“Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut....” kata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.
“Ahh, jangan lari, manis!”
Siauw-ok berkata, suaranya masih halus, tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
“Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!”
Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
“Uhhh....!”
Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya. Terdengar suara kain robek berkali-kali disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, kemudian diapun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu. Mendengar rintihan yang memelas itu, dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas.
Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh dendam dan kebencian!
Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan orang lain. Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa malapetaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak.
Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan baru ini sudah tidak peka lagi? Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara. Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita.
Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini? Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, pada saat kita mentertawakan orang lain yang menderita.
Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah kesemuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan aku yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan maupun kesukaan orang lain.
Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.
“Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!”
Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan diapun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.
Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perobahan, hanya mukanya agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yang pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam.
Akan tetapi Cin Liong hanya tersenyum
“Maafkan dia, Hui-moi. Dia terdorong oleh perasaan dendam dan duka.”
“Louw-suheng, buang jauh-jauh pikiran yang tidak sehat itu. Engkau belum mengenal siapa adanya Kao Cin Liong. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, panglima muda di kota raja yang menjadi kepercayaan sri baginda kaisar, berkedudukan tinggi dan diapun putera tunggal dari pendekar sakti Si Naga Sakti Gurun Pasir. Nah, apakah engkau masih mempunyai kecurigaan bahwa dia adalah seorang penjahat cabul?”
Pemuda itu duduk bengong, mulutnya ternganga dan matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa dia dan ayahnya telah menghantam batu karang! Siapa yang mengira bahwa pemuda ini adalah seorang panglima kota raja dan bahkan putera pendekar sakti yang amat ditakuti semua orang itu? Ayahnya tentu saja bukan lawan pemuda ini dan tidak heran kalau ayahnya membunuh diri karena khawatir tertawan kemudian terbuka rahasianya.
“Ahhh....!” keluhnya lirih. “Maafkan, aku tidak menuduh siapa-siapa akan tetapi agaknya ayah menyangka engkau penjahat itu.”
Cin Liong mengangguk-angguk.
“Hanya itulah satu-satunya kemungkinan yang ada. Mungkin memang ada penjahat cabul berkeliaran dan ayahmu belum mengenal mukanya, lalu menyangka aku, atau memang ada kemiripan wajah antara penjahat itu dan aku atau....” Cin Liong berhenti.
“Atau kemungkinan apa lagi?” Suma Hui mendesak.
“Tidak ada lagi,” kata Cin Liong menahan diri karena dia tadi teringat akan sikap aneh Tek Ciang yang membayangi kemarin.
“Bagaimanapun juga, penjahat cabul itulah yang menjadi biang keladi kematian ayah!” teriak Tek Ciang. “Aku takkan tinggal diam dan setiap malam aku akan mencoba melanjutkan usaha ayah, mencari jejaknya.”
Suma Hui dan Cin Liong tak dapat mencegah dan pemuda itu memang benar-benar setiap malam keluar rumah dan baru pada pagi harinya pulang dengan wajah pucat dan tubuh lesu. Tek Ciang melakukan hal ini sama sekali bukan karena dia percaya adanya penjahat cabul yang berkeliaran, melainkan hal itu dilakukan karena kecerdikannya. Dia tahu bahwa penjahat cabul itu tidak ada dan bahwa ayahnya memaki Cin Liong saking marahnya melihat Cin Liong sebagai penghalang perjodohannya dengan Suma Hui. Cin Lionglah yang dimaki ayahnya sebagai penjahat cabul yang hendak merusak Suma Hui!
Akan tetapi, untuk mempertebal kesan di hati Suma Hui dan Cin Liong bahwa memang ayahnya tidak punya rahasia lain lagi dan bahwa benar ada penjahat cabul, maka diapun berpura-pura mencari penjahat cabul itu setiap malam!
Sebenarnya, ke manakah perginya pemuda ini setiap malam? Dia pergi ke tempat sunyi di luar kota Thian-cin, di dalam sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan duduk melamun sampai kantuk membuatnya tertidur di tempat itu pula. Pada malam ke tiga, selagi dia duduk melamun, dia mendengar suara orang berdehem di bagian belakang kuil.
Tek Ciang terkejut sekali. Akan tetapi dia bukanlah seorang penakut, apalagi setelah dia merasa menjadi murid pendekar sakti Suma Kian Lee. Dia melompat berdiri dan cepat menuju ke ruangan belakang. Sinar bulan memasuki ruangan itu dari atap yang sebagian besar telah berlubang dan rusak. Dan di bagian belakang kuil itu, di ruangan sembahyang yang lantainya sudah disapu bersih, dia melihat seorang laki-laki duduk bersila!
Diam-diam dia merasa heran bukan main. Kapan datangnya orang ini dan kalau baru saja datang, mengapa dia tidak mendengar kedatangannya? Laki-laki itu berusia lima puluh tahun lebih namun masih nampak ganteng dan pakaiannya juga rapi dan serba baru. Di dekatnya terdapat sebatang dupa yang mengepul dan bau harum aneh kini tercium oleh Tek Ciang. Agaknya angin datang dari arah depan kuil sehingga asap hio wangi itu terbang ke arah belakang. Kalau terjadi sebaliknya, tentu sejak tadi dia mencium bau harum ini karena dupa itu telah terbakar setengahnya lebih. Dan di sebelah kanannya terdapat pula sebuah karung besar terbuat dari sutera yang isinya entah apa akan tetapi besarnya sama dengan tubuh seorang manusia.
“Siapakah engkau....?” Dengan memberanikan diri Tek Ciang menegur.
Laki-laki yang tadinya bersila sambil memejamkan matanya itu kini membuka mata memandang lalu tersenyum.
“Engkau hendak mencari seorang pemetik bunga? Nah, di sinilah aku, lalu engkau mau apa?”
Jawaban dan pertanyaan itu membuat Tek Ciang terheran. Tentu saja dia sama sekali tidak pernah mencari penjahat pemerkosa yang biasanya disebut jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) karena hal itu dikemukakan kepada Cin Liong dan Suma Hui hanya untuk menutupi rahasia ayahnya saja. Dan orang ini begitu saja mengaku dirinya jai-hwa-cat dan bahkan tahu bahwa dia mencari jai-hwa-cat!
Yang mendengar pernyataannya itu hanya Cin Liong dan Suma Hui, bagaimana orang ini dapat mengetahuinya? Tentu orang ini kaki tangan Cin Liong! Benar, bukankah Cin Liong katanya seorang jenderal dan panglima? Tentu banyak anak buah dan kaki tangannya, dan orang ini tentu diutusnya untuk menyelidikinya. Tek Ciang merasa kaget dan juga marah. Dia bukan seorang bodoh yang mudah dipancing begitu saja.
“Hemm, setiap orang bisa saja mengaku sebagai jai-hwa-cat, akan tetapi apa buktinya bahwa engkau seorang jai-hwa-cat tulen ataukah palsu hanya pura-pura saja?”
“Bocah tolol, berani engkau mengatakan aku jai-hwa-cat palsu? Hati-hati menjaga mulutmu!”
Orang itu menegur dengan alis berkerut, jelas merasa tidak senang dikatakan penjahat palsu. Sebaliknya, Tek Ciang yang masih menaruh hati curiga, mendengar ucapan keras itu juga menjadi marah.
“Habis engkau mau apa? Engkau tentu datang untuk memata-mataiku, keparat!”
Pemuda ini lalu menerjang ke depan menyerang orang itu dengan kedua kepalan tangannya, menghantam dua kali berturut-turut ke arah kepala orang itu.
Akan tetapi, sebelum kedua kepalannya menyentuh orang itu, yang diserang mengulur tangan dengan jari tangan terbuka didorongkan ke depan dan akibatnya tubuh Tek Ciang terlempar ke belakang, terjengkang seperti tertolak oleh kekuatan dahsyat yang tidak nampak! Pemuda ini kaget bukan main. Akan tetapi dia bukan seorang penakut dan dengan penasaran dia sudah menubruk maju lagi, mengirim pukulan yang lebih dahsyat.
Kembali orang itu mendorongkan tangannya dan makin keras pukulan Tek Ciang, makin keras pula dia terjengkang dan terbanting ke atas lantai kuil yang berlubang-lubang.
“Ha-ha-ha, sebagai murid Suma Kian Lee, engkau masih kosong! Dan kenapa engkau menyerangku kalau kita mempunyai kepentingan bersama? Engkau kematian ayahmu dan tunanganmu direbut orang. Engkau mendendam kepada Kao Cin Liong, dan akupun juga. Kalau kita bekerja sama, tentu akan lebih mudah membalas dendam!”
Tek Ciang memandang dengan mata terbelalak dan muka berobah. Orang ini agaknya mengetahui segala-galanya! Tidak mungkin dia kaki tangan Cin Liong. Bahkan Cin Liong sendiri, juga Suma Hui, tidak tahu bahwa dia telah diangkat menjadi calon suami Suma Hui, akan tetapi orang ini mengatakan bahwa tunangannya direbut orang!
“Siapakah engkau....?”
Kembali dia bertanya, akan tetapi sekali ini dia sudah kehilangan keberaniannya. Orang itu jelas memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga tanpa menyentuh sudah dapat membuat dia terjengkang dua kali.
“Di dunia kang-ouww, di mana engkau tentu masih asing, aku disebut orang Jai-hwa Siauw-ok. Tentu engkau belum mengenal namaku, akan tetapi kalau engkau mencari pemetik bunga, aku adalah Raja Pemetik Bunga!”
Orang itu memang Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng, seorang di antara sekutu Hek-i Mo-ong ketika para datuk kaum sesat itu melakukan penyerbuan ke Pulau Es. Seperti telah kita ketahui, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng berhasil menawan Suma Hui yang dibawanya lari ke daratan dan kemudian dia hendak mempermainkan dan memperkosa dara cucu Majikan Pulau Es itu. Akan tetapi perbuatan keji ini gagal ketika Cin Liong muncul dan nyaris dia celaka kalau dia tidak segera melarikan diri. Tentu saja hatinya merasa kecewa bukan main dan diapun tidak mau berhenti sampai di situ saja.
Diam-diam dia melakukan penyelidikan ke Thian-cin dan dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, dia dapat membayangi Suma Kian Lee ketika berkunjung ke rumah guru silat Louw Kam, dan kemudian diapun dapat mendengar percakapan rahasia antara guru silat itu dan puteranya.
Setelah dia melihat Loaw Kam tewas dan Louw Tek Ciang yang diangkat menjadi murid dan calon mantu oleh Suma Kian Lee itu mendendam terhadap Cin Liong, dia menjadi girang sekali. Apalagi setelah dia melakukan penyelidikan dan tahu akan isi perut Louw Tek Ciang. Dia melihat seorang pembantu yang amat baik dalam diri Tek Ciang, seorang pembantu yang akan dapat melampiaskan dendam dan kebenciannya terhadap keluarga Pulau Es, terutama Suma Hui dan Cin Liong. Demikianlah, diam-diam dia membayangi Tek Ciang dan malam itu memperoleh kesempatan baik untuk melakukan penjajagan terakhir dengan menjumpai pemuda itu di kuil tua.
Sementara itu, mendengar bahwa orang ini mengaku berjuluk Jai-hwa Siauw-ok (Si Jahat Kecil Pemetik Bunga), hati Tek Ciang menjadi bimbang. Dia tidak mengenal orang ini, bagaimana mungkin dia akan membuka rahasia hatinya yang amat berbahaya? Memang, setelah ayahnya tewas, dalam keadaan seperti itu dia membutuhkan seorang teman dan pembantu yang boleh dipercaya. Akan tetapi dia harus berhati-hati. Biarpun orang ini lihai sekali, akan tetapi dia belum mengenalnya dan untuk itu dia harus yakin dulu sebelum membuka rahasianya.
“Lociapwe adalah seorang yang berilmu tinggi, hal ini aku dapat percaya,” katanya hati-hati, “akan tetapi aku belum mengenal locianpwe, bagaimana mungkin aku dapat percaya begitu saja akan maksud baik locianpwe terhadap diriku?”
“Ha-ha-ha, di dalam dunia kita, tidak dikenal maksud baik. Aku membutuhkan bantuanmu, karena itu aku menghubungimu, dan engkau membutuhkan aku, maka engkaupun sepatutnya menerima uluran tanganku untuk bekerja sama. Dan kalau engkau belum yakin bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga, lihatlah, ini korbanku terakhir malam ini, baru saja kuambil dari dalam kamarnya, ha-ha-ha!”
Jai-hwa Siauw-ok menarik ujung karung dan isinyapun menggelinding keluar. Tek Ciang terkejut melihat bahwa isi karung itu ternyata adalah seorang gadis muda berusia paling banyak lima belas tahun, wajahnya cantik akan tetapi pucat sekali, rambutnya awut-awutan dan sepasang matanya yang indah lebar itu seperti mata kelinci yang berada dalam cengkeraman harimau, penuh rasa ngeri dan takut.
Gadis itu tadinya tidak mampu bergerak atau mengeluarkan suara, ketika Jai-hwa Siauw-ok menggerakkan tangan menotoknya, iapun dapat meronta dan mengeluh lirih, dan melihat Tek Ciang ia lalu merintih memohon,
“Tolonglah aku.... tolonglah aku.... lepaskan aku....”
Tanpa disadarinya sendiri, melihat gadis remaja cantik ini ketakutan setengah mati, Tek Ciang merasa gembira. Dia memang pembenci wanita, dan kalau dia suka mendekati wanita, hanyalah untuk mempermainkannya, bersenang-senang diri dengan menghina wanita yang dibencinya. Kini, melihat gadis itu menderita, diapun merasa gembira dan puas. Seri wajah dan sinar matanya tidak lepas dari pengamatan Jai-hwa Siauw-ok, walaupun cuaca di situ remang-remang saja, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk.
“Ha-ha-ha, memang cocok sekali. Engkau adalah calon seorang jai-hwa-cat yang hebat! Engkau pembenci wanita, dan dalam hal itu, aku kalah olehmu!” kata Jai-hwa Siauw-ok.
“Nah, Louw Tek Ciang, apakah engkau masih sangsi bahwa aku adalah seorang Raja Pemetik Bunga dan apakah engkau masih curiga kepadaku?”
Tek Ciang menggeleng kepala.
“Kesangsian dan kecurigaanku sudah mulai berkurang, locianpwe.”
“Bagus! Nah, kau bersenang-senanglah, baru nanti kita bicara lagi,” katanya sambil menunjuk ke arah gadis yang masih ketakutan dan yang kini mundur-mundur merangkak dan mepet di sudut ruangan itu.
Pakaiannya masih utuh akan tetapi kusut dan kini saking takutnya ia sudah tidak mampu mengeluarkan kata-kata lagi, hanya memandang bergantian kepada Siauw-ok dan Tek Ciang, merasa putus asa karena pemuda itu ternyata agaknya sahabat dari penculiknya.
Tadi, dia masih menyulam di kamarnya dan belum tidur ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat, jendelanya terbuka dan tahu-tahu ada laki-laki itu berdiri di depannya. Ia hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba saja ia tidak mampu bersuara, bahkan tubuhnya seketika menjadi lemas ketika ia dipondong, kemudian dimasukkan karung dan merasa tubuhnya terayun-ayun dan dilarikan cepat sekali.
Berkali-kali ia pingsan dan ketika sadar, ia masih berada di dalam karung, di ruangan itu, akan tetapi baru mampu bergerak dan bersuara setelah dikeluarkan dari dalam karung.
Sepasang mata Tek Ciang berkilat. Dia belum pernah memperkosa wanita, dalam arti kata memperkosa mempergunakan kekerasan. Tentu saja diapun sudah memperkosa banyak wanita dengan uangnya, kemudian mempermainkan wanita itu dan menghinanya.
Sesaat timbul nafsu berahinya, akan tetapi kesadarannya melarangnya. Dia masih dalam kesulitan. Dia masih mempunyai perkara besar yang harus diselesaikan. Di samping itu, dia masih belum yakin sepenuhnya kepada orang ini. Siapa tahu semua ini hanya pancingan belaka dan kalau dia terpancing, orang lihai ini akan turun tangan mencegahnya memperkosa gadis itu, atau malah membunuhnya! Tek Ciang menggeleng kepala.
“Tidak, locianpwe. Aku.... aku tidak ingin....”
Siauw-ok menyeringai.
“Siapa bilang tidak ingin? Nafsu berahimu membakar sampai nampak di pandang matamu, akan tetapi engkau tidak berani, engkau takut dan masih belum percaya kepadaku. Hemm, kalau begitu biarlah kunikmatinya sendiri. Nanti lewat tengah malam baru kita bicara!”
Setelah berkata demikian, Siauw-ok mengangkat muka memandang kepada gadis remaja yang mepet di sudut ruangan itu dan menggapai.
“Manis, ke sinilah engkau!”
Tentu saja gadis itu makin ketakutan, menggeleng-geleng kepalanya dan makin mepet dinding, seolah-olah ia hendak melarikan diri dengan menembuskan tubuhnya pada dinding itu.
“Ke sinilah, jangan malu-malu dan jangan takut-takut....” kata Siauw-ok lagi sambil menggapai dan tersenyum ramah.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri, dan akhirnya ia melihat bagian belakang ruangan itu yang kosong. Jalan ke belakang! Bagaikan memperoleh tenaga dan semangat baru, gadis remaja itu bangkit dan meloncat lalu berlari ke arah pintu belakang itu.
“Ahh, jangan lari, manis!”
Siauw-ok berkata, suaranya masih halus, tangannya bergerak ke depan dan gadis itu menjerit, tubuhnya terguling seolah-olah kakinya ada yang menjegalnya.
“Ha-ha-ha, engkau tidak mungkin bisa lari dariku, manis!”
Siauw-ok berkata dan kembali ia mengggerakkan kedua tangannya ke depan dan.... Tek Ciang memandang kagum dan heran melihat betapa tubuh gadis itu terguling-guling ke arah Siauw-ok seperti ditarik oleh suatu kekuatan yang hebat.
“Uhhh....!”
Gadis itu mengerang ketika tangan Siauw-ok tiba-tiba memegangnya. Terdengar suara kain robek berkali-kali disusul jerit tangis gadis itu. Tek Ciang tersenyum melihat betapa pakaian gadis itu robek-robek, kemudian diapun meninggalkan ruangan belakang itu, menuju ke ruangan depan di mana dia duduk melamun, mendengarkan tangis dan rintihan yang terdengar dari ruangan belakang itu. Mendengar rintihan yang memelas itu, dia tersenyum dan hatinya merasa senang sekali. Rasakan engkau sekarang! Demikian bisik hatinya puas.
Kalau saja dia tidak sedang dalam keadaan penasaran dan sedih, kalau saja dia sudah tidak curiga sama sekali terhadap orang itu, tentu dia ingin sekali melaksanakan sendiri penyiksaan dan penghinaan terhadap gadis itu, atau setidaknya menonton dengan puas. Kini, dia hanya memuaskan hatinya dengan pendengarannya saja. Rintihan dan jerit tangis wanita itu baginya terdengar seperti musik merdu yang mengelus hatinya yang luka penuh dendam dan kebencian!
Kalau kita membuka mata melihat keadaan batin kita sendiri, akan nampaklah hal yang mengerikan ini, yakni bahwa di dasar batin kita terdapat suatu kekejaman yang amat hebat dan mengerikan seperti yang dirasakan oleh Tek Ciang! Ada kecenderungan dalam batin kita untuk merasa serang dan puas melihat penderitaan orang lain. Rasa iba dan haru baru terasa oleh kita kalau yang tertimpa malapetaka, kalau yang menderita itu sanak keluarga atau sedikitnya orang yang masih ada ikatannya dengan kita. Juga baru timbul rasa iba dan haru itu kalau kita terpengaruh oleh orang lain atau orang banyak.
Mengapakah kekejaman makin menonjol dalam batin sedangkan rasa iba dan baru ini sudah tidak peka lagi? Rasa senang dan puas melihat orang atau pihak lain menderita jelas muncul karena adanya api kebencian di dalam hati. Bukan benci kepada orang tertentu, melainkan api kebencian yang membuat kita mengurung diri dalam ke-aku-an yang menebal. Rasa benci ini yang mendatangkan kegembiraan dan kepuasan sewaktu melihat orang lain menderita dan sengsara. Dan kalau kita mau membuka mata mempelajari dan mengenal diri sendiri, secara jujur, kita akan melihat betapa kekejaman dan kesadisan sudah bertahta dalam diri kita.
Kesengsaraan orang lain bahkan menjadi hiburan bagi diri sendiri yang sedang dilanda kesengsaraan pula. Kebahagiaan orang lain kadang-kadang, dan ini sering sekali, mendatangkan rasa iri dan tidak puas. Mengapa begini? Semua itu terjadi karena kita tidak menyadarinya lagi pada saat hati dilanda kebencian, pada saat kita mentertawakan orang lain yang menderita.
Kalau kita waspada, mengamati segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin, akan nampaklah kesemuanya itu dan penglihatan waspada ini akan membasmi semua itu seketika. Dan barulah, kalau hati tidak lagi dihuni kebencian, iri hati, penonjolan aku yang semakin menebal, barulah batin kita terbuka untuk dapat menerima sinar cinta kasih, barulah kita dapat merasakan kesusahan maupun kesukaan orang lain.
Tek Ciang melamun dan tenggelam dalam renungan sampai suara rintihan dan isak tangis itu makin lemah dan akhirnya terhenti sama sekali. Dia terkejut ketika tiba-tiba namanya dipanggil.
“Louw Tek Ciang! Ke sinilah engkau!”
Tek Ciang mengenal suara Siauw-ok. Dia menengadah, memandang ke langit melalui atap yang berlubang besar itu. Bulan telah condong ke barat. Tengah malam telah tiba dan diapun bangkit berdiri, lalu melangkah memasuki ruangan belakang di mana kini sinar bulan masuk agak banyak melalui atap bolong karena lubang atap di bagian ruangan ini menghadap agak ke barat. Tek Ciang menyapu dengan pandang matanya.
Siauw-ok sudah duduk pula seperti tadi, bersila dan seperti tidak nampak perobahan, hanya mukanya agak basah oleh peluh yang diusapnya. Di sebelahnya nampak sesosok tubuh yang putih tak berpakaian itu. Tubuh gadis remaja tadi yang kini rebah terlentang, nampak wajahnya yang pucat seperti mayat, napasnya yang empas-empis dan matanya terpejam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar