Mereka lalu pergi membawa empat ekor ikan itu ke sebuah pondok di tengah pulau itu. Pondok itu terbuat dari kayu dan batu karang, namun cukup kokoh kuat dan cukup besar, dengan tiga buah kamar dan di sebelah dalamnya sangat bersih dan terawat sehingga menyenangkan untuk ditempati.
Setelah tiba di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian. Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan makan.
Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap. Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam ruangan sebelah dalam.
Setelah makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.
Setelah makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya Pulau Es.
Ciang Bun sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga orang muda lainnya.
Kakek dan dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata,
“Suma-kongcu….”
Akan tetapi Ciang Bun cepat memotong,
“Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”
Kakek itu tersenyum sedih.
“Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi, dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku menyebutmu kongcu.”
Ciang Bun termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan akan percuma sajalah kalau dibantahnya.
“Terserah padamu, locianpwe,” katanya.
“Suma-kongcu, apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”
“Jenderal muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”
Kakek itu meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak.
“Ahh…. pantas saja kalau begitu!”
“Apa maksudmu, locianpwe?”
“Tadinya aku sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”
“Kalau saja Bun-ko sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.
“Suma-kongcu, namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menggeleng kepala.
“Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”
Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk.
“Mungkin begitu dan memang aku sendiripun masih merasa heran mengapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”
Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.
Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah merekapun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walaupun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan. Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun!
Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong. Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit.
Setelah tiba di pondok, Ciang Bun diberi pakaian oleh Lee Siang dan segera berganti pakaian. Biar pun agak kebesaran, namun kering dan enak dipakai. Setelah berganti pakaian, tiga orang itu sibuk di dapur untuk masak ikan dan mempersiapkan makan.
Lee Siang dan Lee Hiang tadinya mencegah, akan tetapi Ciang Bun memaksa untuk membantu hingga akhirnya mereka masak-masak sambil bercakap-cakap. Sementara itu, kakek itu masih termenung memikirkan nasib Pulau Es di dalam ruangan sebelah dalam.
Setelah makanan siap, mereka pun makan minum. Hidangannya sederhana saja, hanya nasi dengan masakan daging ikan sirip emas dan beberapa macam sayur sederhana. Akan tetapi karena perutnya lapar sekali, Ciang Bun makan dengan lahapnya. Sikap tuan rumah yang baik dan ramah membuat dia tidak malu-malu lagi dan memang benar ucapan Lee Hiang tadi, daging ikan sirip emas itu lezat sekali.
Setelah makan, barulah mereka bercakap-cakap di ruangan depan sambil melepaskan pandangan mata ke arah pantai, ke sebelah timur yang menjadi arah letaknya Pulau Es.
Ciang Bun sudah percaya benar kepada mereka ini, terutama percaya kepada Lee Siang dan Lee Hiang, maka dia pun menceritakan segala yang terjadi di Pulau Es, sejak penyerbuan datuk-datuk kaum sesat, sampai munculnya Kao Cin Liong, jenderal muda yang banyak berjasa membantu keluarga kakeknya, kemudian tentang tewasnya kedua neneknya dan kematian kakeknya yang penuh rahasia itu. Kemudian diceritakan pula ketika perahu mereka diserang oleh gerombolan datuk jahat sehingga dia terlempar ke lautan yang sedang diamuk badai, terpisah dari tiga orang muda lainnya.
Kakek dan dua cucunya itu mendengarkan dengan amat tertarik dan mereka ikut merasa marah dan penasaran kepada datuk jahat yang kejam itu. Kakek itu mendengar tanpa pernah mengganggu dan setelah Ciang Bun selesai bercerita, barulah dia menarik napas panjang penuh penyesalan, lalu berkata,
“Suma-kongcu….”
Akan tetapi Ciang Bun cepat memotong,
“Harap locianpwe jangan menyebut kongcu kepadaku….”
Kakek itu tersenyum sedih.
“Kakekmu adalah seorang pendekar sakti yang kujunjung tinggi, dan dua orang nenekmu itu, yang seorang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, dan yang seorang lagi masih berdarah keluarga kaisar! Sudah semestinya kalau aku menyebutmu kongcu.”
Ciang Bun termenung. Kakek ini biar pun sederhana, namun memiliki kemauan yang teguh dan akan percuma sajalah kalau dibantahnya.
“Terserah padamu, locianpwe,” katanya.
“Suma-kongcu, apakah engkau mengenal datuk-datuk kaum sesat yang menyerbu Pulau Es itu?”
“Jenderal muda Kao Cin Liong yang terhitung keponakanku itu mengenal seorang di antara mereka, yaitu pemimpin yang berjuluk Hek-I Mo-ong Phang Kui….”
Kakek itu meloncat berdiri dari bangkunya dan wajahnya berubah, matanya terbelalak.
“Ahh…. pantas saja kalau begitu!”
“Apa maksudmu, locianpwe?”
“Tadinya aku sudah merasa terheran-heran dan hampir tidak percaya mendengar ceritamu bahwa keluarga Pulau Es dapat dikalahkan dan ditewaskan oleh musuh, walau pun Suma-locianpwe sendiri tidak turun tangan. Kiranya yang memimpin gerombolan itu adalah Hek-I Mo-ong! Aku mengenal nama itu! Seorang datuk yang kabarnya memiliki kesaktian yang amat tinggi, juga memiliki sihir kuat. Aku tidak merasa penasaran lagi, apa lagi mendengar bahwa di antara mereka banyak yang roboh oleh kedua orang nenekmu yang sakti.”
“Kalau saja Bun-ko sudah lebih dewasa, tentu semua penjahat itu akan mati sebelum mereka berhasil membasmi Pulau Es!” kata Liu Lee Hiang sambil mengepal tinju.
“Suma-kongcu, namaku adalah Liu Ek Soan. Apakah kakekmu sewaktu masih hidup tidak pernah menyebut namaku?” kakek itu bertanya kepada Ciang Bun.
Ciang Bun menggeleng kepala.
“Kong-kong pernah bercerita tentang Pulau Neraka, Pulau Nelayan dan lain-lain, dan menurut kong-kong, Pulau Nelayan telah dilanda dan disapu bersih oleh badai yang dahsyat. Agaknya kong-kong menganggap bahwa semua penghuninya telah habis.”
Kakek yang bernama Liu Ek Soan itu mengangguk-angguk.
“Mungkin begitu dan memang aku sendiripun masih merasa heran mengapa di antara seratus lebih penghuni pulau ini, hanya aku dan dua orang cucuku ini yang selamat secara aneh.”
Kakek Liu Ek Soan lalu bercerita. Belasan tahun yang lalu, pada suatu malam, tanpa diduga-duga badai yang amat dahsyat mengamuk di daerah itu. Belum pernah ada badai sehebat itu dan Pulau Nelayan yang datar itu dilanda badai. Air laut naik tinggi ke pulau, menyapu seluruh pulau dan menyeret apa saja yang berada di pulau itu.
Habis binasalah seluruh penghuni pulau itu. Rumah-rumah merekapun terseret bersih dan pulau itu menjadi gundul dan kosong sama sekali. Akan tetapi, Liu Ek Soan yang menjadi ketua pulau itu, orang yang terpandai di antara semua penghuni Pulau Nelayan, berhasil menyelamatkan diri walaupun dia sendiri terseret sampai jauh sekali ke tengah lautan. Dalam keadaan setengah mati, Liu Ek Soan berhasil kembali ke pulau itu, berduka dan ngeri menyaksikan keadaan pulau. Seluruh keluarga dan tetangganya habis musnah.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan juga girang hatinya ketika pada keesokan harinya muncul sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh dua orang cucunya, yaitu Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang, yang pada waktu itu baru berusia enam tahun dan empat tahun!
Kiranya dua orang kakak beradik ini, pada sore harinya sebelum badai datang, telah berperahu dan mencari ikan, akhirnya tertahan di sebuah pulau kosong kecil dan tidak berani pulang karena ombak mulai bergelora. Malam itu, sambil menangis keduanya berangkulan di tengah pulau kosong. Badai mengamuk hebat, akan tetapi pulau kosong itu merupakan bukit dan air laut tidak sampai menyapu permukaan bukit.
Baru pada keesokan harinya ketika laut tenang kembali, keduanya turun dari atas bukit menuju pantai di mana mereka tidak melihat lagi perahu mereka. Dua orang anak-anak itu sudah biasa dengan lautan, bahkan sebelum mereka mampu berjalan kaki, mereka sudah pandai berenang!
Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam.
Didayungnya perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.
“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorangpun yang tahu akan hal ini. Aku merawat dan mendidik dua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”
Ciang Bun memandang kagum.
“Berkat pendidikan locianpwe, Siang-twako dan Hiang-siauwmoi ini menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”
“Ah, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”
“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”
“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
“Benar, kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!”
Lee Siang menyambung. Pemuda inipun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang amat menggembirakan hati mereka.
Lain lagi yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pcndekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini! Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat!
Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?
“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”
Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan diapun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.
“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara dan mempelajari ilmu itu.”
“Tapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”
“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”
Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat!
“Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkaupun menyebut kakek kepadaku?”
Ciang Bun menjadi girang sekali
“Baik, Liu-kong-koug, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”
“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal
“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air sudah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya.
Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk.
“Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Pula, tubuhnya amat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”
“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiripun tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan baru dia dapat ditangkap karena kalau bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”
“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.
Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.
“Ada apakah, Hiang-moi?”
“Engkau lupa penutup telingamu,”
Kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berobah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.
“Ah, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun dan diapun memasang alat pelindung telinganya.
Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam.
Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air. Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu.
Kini, dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sin-kang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sin-kangnya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal inipun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan. Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan.
Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti. Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan!
Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.
Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan.
Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan berhasil menangkap belut itu pada perutnya. Belut itu meronta, dan membelit hendak menggigit. Akan tetapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya.
Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali. Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.
“Ihhh....!”
Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan diapun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan merekapun terlepas.
Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil daripada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.
“Pratttt!”
Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun. Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri.
Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah ia menyembulkan kepalanya di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, ia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.
“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”
Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.
“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!”
Ia menangis sesenggukan. Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang keren.
“Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”
Lee Hiang melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang lalu memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walaupun lemah sekali.
Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akan berhenti berdetak pula. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun. Dada Ciang Bun bergerak mekar dan ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan “ciumannya”, dada itu mengempis lagi.
Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”
Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Dia sudah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi.
Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun membuka matanya, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya,
“Apakah yang terjadi? Di mana.... eh, belut itu....?”
Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.
“Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”
Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata.
“Apa yang terjadi?”
“Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ah, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”
Lee Siang juga menyambung.
“Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sin-kang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sin-kangmu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”
“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.
“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sin-kangmu.”
Ciang Bun memandang dengan kagum.
“Ah, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”
Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah
“Aih, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”
“Akupun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”
“Tidak, melainkan dengan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.
“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”
Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.
“Hei, kalian kenapa?”
“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....” dara itu berkata jenaka.
“Ehh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini”.
“Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.
Lee Siang menghela napas.
“Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.” Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan, pernapasanmu terhenti sama sekali akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walaupun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya agar lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini.”
Biarpun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan diapun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuatnya ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena dia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya. Lee Hiang memandang sambil tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja.
“Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk menghimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kemhali.”
Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.
“Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum nakal.
“Eh, bocah nakal! Kenapa engkau ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.
“Aku lebih senang dicium oleh Bun-ko daripada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.
Kakak dara itu tertawa.
“Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan sedangkan kakaknya tidak menegurnya bahkan membantunya dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.
Maka ketika mereka melihat ada perahu kosong lain terapung-apung agak jauh dari pantai, Lee Siang lalu meloncat ke air, berenang dan menuju ke perahu itu. Dia tidak tahu bahwa itu adalah satu di antara perahu-perahu dari Pulau Nelayan yang tersapu air laut dalam amukan badai semalam.
Didayungnya perahu ke pantai dan bersama adiknya dia lalu pulang ke Pulau Nelayan. Dan di pulau ini mereka mendapatkan sisa bencana itu, seluruh permukaan pulau menjadi gundul dan hanya ada seorang manusia di situ yang menyambut mereka, yaitu kakek mereka, Liu Ek Soan yang merangkul mereka sambil menangis sesenggukan. Ayah bunda mereka, paman-paman dan bibi mereka, saudara-saudara misan mereka, para tetangga, semua habis lenyap ditelan gelombang samudera mengganas.
“Demikianlah, kongcu. Kami bertiga selamat dan agaknya tidak ada seorangpun yang tahu akan hal ini. Aku merawat dan mendidik dua orang cucuku ini, kami hidup sederhana dan cukup bahagia di pulau kami.”
Ciang Bun memandang kagum.
“Berkat pendidikan locianpwe, Siang-twako dan Hiang-siauwmoi ini menjadi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.”
“Ah, Suma-kongcu terlalu memuji. Dalam hal ilmu silat, mana mungkin kami dapat dibandingkan dengan kongcu sebagai cucu Suma-locianpwe di Pulau Es? Kami hanya mempelajari sedikit ilmu dalam air.”
“Itulah yang amat mengagumkan hatiku. Mereka berdua ini dapat bergerak di air seperti ikan saja, begitu kuat menyelam lama dan dapat bergerak di permukaan air sedemikian gesit dan ringannya. Sungguh mengagumkan dan aku ingin sekali mempelajari ilmu itu.”
“Bun-ko, kenapa engkau tidak tinggal di sini bersama kami dan belajar bersama kami?” tiba-tiba Lee Hiang berkata dengan sinar mata berseri.
“Benar, kong-kong tentu akan suka sekali mengajarkan ilmu dalam air kepadamu, Bun-hiante!”
Lee Siang menyambung. Pemuda inipun suka sekali kepada Ciang Bun yang tampan gagah dan pendiam itu, apalagi mengingat bahwa selama mereka hidup di pulau itu, jarang mereka bertemu dengan manusia lain, apalagi bersahabat. Dua orang muda itu rindu akan persahabatan dan munculnya Ciang Bun merupakan suatu hal yang amat menggembirakan hati mereka.
Lain lagi yang dipikirkan kakek Liu Ek Soan. Tadi Ciang Bun menuturkan keadaannya dan kakek ini amat tertarik. Pemuda gagah ini adalah cucu Pendekar Super Sakti, putera Suma Kian Lee keturunan Pendekar Super Sakti dan Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka. Pemuda ini adalah keturunan pcndekar besar dan alangkah baiknya, alangkah akan bangga dan puas rasa hatinya kalau cucunya yang terkasih, Liu Lee Hiang, dapat berjodoh dengan pemuda ini! Dia akan berbesan dengan keluarga Pulau Es. Hebat!
Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau pemuda ini belajar di Pulau Nelayan. Cucunya itu cukup cantik manis dan usia mereka sebaya, hubungan mereka yang baru sehari itu sudah nampak demikian akrab. Mengapa tidak?
“Tentu saja aku akan merasa gembira sekali dapat membimbing Suma-kongcu dalam ilmu bergerak di air,” katanya dengan wajah berseri. “Dan untuk itu sebaiknya kalau Suma-kongcu sementara waktu tinggal di sini bersama kami. Bagaimana pendapatmu, kongcu?”
Suma Ciang Bun memandang kepada Lee Siang. Dia merasa suka sekali kepada pemuda ini dan rasanya dia akan merasa kehilangan sekali kalau sampai berpisah dari pemuda hebat itu. Dan diapun suka kepada Lee Hiang, sedangkan kakek itu pun amat baik dan mengenal keluarga Pulau Es. Kalau dia memiliki ilmu dalam air seperti mereka, agaknya dia tidak perlu takut lagi menghadapi amukan badai seperti semalam.
“Baiklah, locianpwe. Aku akan senang sekali tinggal di sini untuk sementara dan mempelajari ilmu itu.”
“Tapi, harap kongcu jangan menyebut locianpwe atau suhu kepadaku, sungguh aku merasa malu kalau kau sebut begitu, terlalu tinggi bagiku....”
“Lalu aku harus menyebut bagaimana?”
Kakek itu tertawa dan sekali menggerakkan tangan kanan, dayungnya menancap di atas tanah batu karang itu sampai seperempatnya lebih. Ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang kuat!
“Ha-ha-ha, engkau sebaya dengan dua orang cucuku, bagaimana kalau engkaupun menyebut kakek kepadaku?”
Ciang Bun menjadi girang sekali
“Baik, Liu-kong-koug, akan tetapi karena kong-kong menyebut nama mereka begitu saja, maka kepadaku juga sebaiknya kalau kong-kong menyebut namaku tanpa pakai embel-embel kongcu segala macam.”
“Ha-ha-ha, baik sekali, baik sekali, Ciang Bun, engkau sungguh seorang anak yang baik dan pantas menjadi cucu Majikan Pulau Es.”
Demikianlah, mulai hari itu, Ciang Bun tinggal
“Bun-koko, mari kita latihan menyelam dan mencoba untuk menangkap belut laut yang lincah itu. Dasar-dasar ilmu bergerak dalam air sudah kau pelajari dari kong-kong, hanya tinggal mematangkan latihan saja,” kata Lee Hiang yang berdiri di atas perahu kecil itu bersama Ciang Bun, sedangkan Lee Siang melatih diri dengan alas kaki kayunya.
Dia berlatih membuat lompatan-lompatan jauh dan nampaknya pemuda ini sudah mahir sekali. Sejak tadi Ciang Bun yang sudah agak letih berlatih itu duduk di atas perahu memandang ke arah Lee Siang penuh kagum.
Mendengar ajakan dara itu, dia mengangguk.
“Baiklah, siauw-moi. Akan tetapi belut itu terlalu cepat dan gesit untukku. Pula, tubuhnya amat licin sehingga sukar untuk ditangkap.”
“Aku akan membantumu, koko. Memang belut itu sukar ditangkap dan aku sendiripun tanpa dibantu takkan dapat menangkapnya. Dia harus dihadang dari depan belakang, dan dalam kebingungan baru dia dapat ditangkap karena kalau bingung dia menyusupkan kepalanya ke dalam lumpur sehingga kita tinggal menangkap ekornya saja. Tapi dia merupakan bahan latihan bergerak dalam air yang baik sekali.”
“Baiklah, mari!” kata Ciang Bun yang sudah bergerak hendak meloncat ke air.
Akan tetapi lengannya dipegang oleh jari-jari tangan halus itu. Dia menoleh dan dua pasang mata saling bertemu. Sepasang mata Lee Hiang penuh kemesraan, akan tetapi mata Ciang Bun memandang biasa saja, agak heran.
“Ada apakah, Hiang-moi?”
“Engkau lupa penutup telingamu,”
Kata dara itu yang tiba-tiba wajahnya berobah merah karena pertemuan pandang mata itu amat berkesan di hatinya yang menjadi berdebar penuh ketegangan aneh.
“Ah, engkau benar. Pelupa sekali aku!” kata Ciang Bun dan diapun memasang alat pelindung telinganya.
Untuk melakukan penyelaman sampai lama di dalam lautan, telinga perlu dilindungi dan ditutup agar tidak rusak oleh tekanan air. Setelah itu, kedua orang itu lalu meloncat ke air dan menyelam.
Bagaikan dua ekor ikan saja, mereka menyelam dan berenang di dalam air. Ciang Bun hanya mengenakan sebuah celana pendek yang ringkas dan tubuh bagian atasnya telanjang. Kulitnya putih halus mengkilat ketika tubuhnya meluncur di dalam air itu.
Kini, dia telah pandai menyelam dan berenang dalam air, melawan tekanan air dan gerakan ombak. Memang pada dasarnya dia memiliki sin-kang yang amat kuat, maka setelah diberi petunjuk oleh kakek Liu, sebentar saja dia telah menguasai ilmu itu dan berkat sin-kangnya, dia malah lebih kuat menahan napas dibandingkan dengan kakak beradik Liu itu! Hanya dia belum dapat memiliki kelincahan seperti mereka karena kalah biasa dan kalah latihan.
Juga pandang mata Lee Hiang di dalam air lebih tajam dan awas dibandingkan Ciang Bun. Hal inipun karena kebiasaan dan latihan. Mereka berdua mencari-cari dan Lee Hiang menjadi penunjuk jalan. Tiba-tiba dara itu memberi isyarat dan menuding ke depan. Nampak seekor belut merah berenang perlahan di depan.
Dari isyarat tangannya, Lee Hiang menyatakan bahwa dara itu hendak menghadang dari depan dan ia menyuruh Ciang Bun menghadang dari belakang. Ciang Bun memberi isyarat bahwa dia telah mengerti. Dara itu lalu mempercepat gerakannya, meluncur dan mengambil jalan memutar untuk mendahului belut itu, kemudian membalik dan menghadang di depan!
Belut itu panjang, ada satu meter panjangnya dan sebesar lengan dara itu. Melihat ada mahluk aneh menghadang, belut itu cepat membalikkan tubuhnya. Akan tetapi Ciang Bun mendatangi dan mengembangkan kedua lengannya, jari-jari tangannya terbuka dan siap untuk menangkap kalau belut itu lewat di dekatnya.
Melihat ini, belut itu kembali membalik dan paniklah dia ketika melihat di depan dan belakangnya ada mahluk besar yang hendak menangkapnya. Dia meluncur ke kiri, akan tetapi Lee Hiang sudah mendahuluinya dan menyambar dengan tangan kanan.
Belut itu mengelak dan membalik, akan tetapi sudah ada Ciang Bun yang menyergapnya. Secepat kilat, Ciang Bun mencengkeram dan berhasil menangkap belut itu pada perutnya. Belut itu meronta, dan membelit hendak menggigit. Akan tetapi Lee Hiang sudah menangkapnya pula, tepat pada lehernya.
Karena belut itu kuat dan tubuhnya mengeluarkan lendir yang licin, dua orang muda itu dengan susah payah mempertahankan agar belut itu tidak terlepas kembali. Dalam pergumulan ini, tanpa disengaja tubuh mereka saling merapat dan tahu-tahu lengan Ciang Bun sudah melingkari pinggang Lee Hiang dan lengan dara itu merangkul lehernya. Kemudian tiba-tiba saja mulut Lee Hiang sudah bertemu dengan mulut Ciang Bun.
“Ihhh....!”
Pemuda itu terkejut bukan main, seluruh tubuhnya menggigil dan diapun melepaskan tubuh belut itu dan mendorong tubuh Lee Hiang! Belut itu terlepas dan melarikan diri, sedangkan pelukan merekapun terlepas.
Ciang Bun berenang ke atas dengan jantung berdebar, sedangkan Lee Hiang juga berenang menyusulnya. Tiba-tiba Lee Hiang terkejut sekali melihat sinar putih meluncur dari arah kiri. Sekali pandang saja tahulah apa benda itu, akan tetapi Ciang Bun yang masih belum mengenal benar keadaan di lautan itu, melihat adanya seekor belut putih yang panjangnya ada satu meter akan tetapi lebih kecil daripada yang tadi, timbul kegembiraannya dan cepat dia menyambar dan menangkap belut itu.
“Pratttt!”
Belut itu mengelak dan tiba-tiba mencambukkan dirinya ke lengan Ciang Bun. Pemuda itu tersentak kaget dan tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya seperti dibakar dari dalam dan pandang matanya gelap, dia lunglai tak sadarkan diri.
Melihat ini, Lee Hiang cepat menyambarnya, menarik tangannya dan dibawanya berenang naik. Setelah ia menyembulkan kepalanya di permukaan air dan menarik kepala Ciang Bun yang pingsan itu dengan menjambak rambutnya, ia melihat kakaknya duduk di dalam perahu dan beristirahat.
“Siang-ko....! Cepat.... Bun-ko dilecut belut petir! Tolongggg....!”
Mendengar ini dan melihat Ciang Bun yang pingsan, Lee Siang cepat meloncat dan berenang menghampiri, membantu adiknya membawa Ciang Bun naik ke dalam perahu kecil mereka. Melihat Ciang Bun rebah terlentang dengan muka pucat kebiruan dan napas nampaknya berhenti sama sekali, matanya terbelalak dan tidak bersinar lagi, Lee Hiang menjerit dan menubruk tubuh itu dan menangis.
“Bun-ko....! Bun-ko.... ah, Bun-ko, jangan mati.... jangan tinggalkan aku, Bun-ko....!”
Ia menangis sesenggukan. Tangan Lee Siang yang kuat menariknya dan terdengar suara pemuda itu yang keren.
“Hiang-moi, kong-kong tentu akan memukulmu kalau melihat sikapmu yang cengeng ini! Tenanglah dan aku akan mencoba menolongnya seperti yang pernah diajarkan oleh kong-kong.”
Lee Hiang melepaskan rangkulannya, dan duduk agak menjauh, akan tetapi ia belum berhenti menangis sesenggukan dan memanggil-manggil nama Ciang Bun. Sementara itu, Lee Siang lalu memeriksa nadi lengan Ciang Bun dan dengan lega mendapat kenyataan bahwa urat nadi itu masih berdetak, walaupun lemah sekali.
Kalau tidak cepat ditolong, tentu urat nadi itu akan berhenti berdetak pula. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu mengangkat kepala Ciang Bun dengan menaruh tangan kiri pada bawah tengkuk, membuka mulut Ciang Bun, menggunakan tangan kanan menutup lubang hidung pemuda itu dan merapatkan mulutnya ke mulut Ciang Bun yang terbuka. Maka ditiupnyalah sekuat tenaga ke dalam mulut Ciang Bun. Dada Ciang Bun bergerak mekar dan ketika tiupan dihentikan dan Lee Siang melepaskan “ciumannya”, dada itu mengempis lagi.
Akan tetapi pernapasan Ciang Bun belum juga berjalan. Lee Siang mengulangi tiupannya itu sampai berkali-kali. Akhirnya pernapasan Ciang Bun mulai berjalan, mula-mula amat lemah akan tetapi sudah berjalan kembali, melegakan hati Lee Siang yang menghentikan usahanya.
“Bun-koko.... sadarlah, jangan mati.... aku.... aku cinta padamu, Bun-ko!”
Suara inilah yang pertama-tama terdengar oleh Ciang Bun. Dia sudah sadar kembali akan tetapi belum membuka matanya, bahkan kini hampir tidak berani membuka matanya ketika mendengar suara Lee Hiang itu. Lee Hiang menangis! Dan bilang cinta padanya! Hatinya merasa tegang dan tidak enak sekali. Lalu dia teringat akan pengalamannya tadi.
Dia berhasil menangkap belut bersama Lee Hiang, akan tetapi dara itu menciumnya! Mencium mulutnya! Dan ketika dia berenang hendak naik, dia melihat seekor belut putih yang hendak ditangkapnya lalu tiba-tiba dia merasa dirinya seperti dibakar dan tidak ingat apa-apa lagi.
Ciang Bun membuka matanya, melihat Lee Hiang masih menangis dan melihat Lee Siang merangkulnya. Jantungnya berdebar senang. Begitu senang dia karena rangkulan Lee Siang ini! Akan tetapi dia juga merasa malu dan sungkan, lalu bangkit duduk dan bertanya,
“Apakah yang terjadi? Di mana.... eh, belut itu....?”
Lee Hiang memegang tangan kirinya dengan kedua tangan meremas-remas tangan itu. Ciang Bun merasa semakin tidak enak dan ingin menarik tangannya, akan tetapi takut kalau-kalau menyinggung perasaan Lee Hiang, maka didiamkannya saja.
“Bun-ko, tahukah engkau bahwa engkau nyaris tewas sehingga aku menjadi amat khawatir?”
Ciang Bun memandang wajah yang manis itu, yang kini sudah tersenyum akan tetapi pipinya masih basah, bukan hanya basah air laut melainkan juga air mata.
“Apa yang terjadi?”
“Belut putih yang kau tangkap itu adalah belut beracun yang amat jahat, namanya belut petir. Belut itu tidak menggigit, melainkan melecut dengan ekor dan tubuhnya yang mengandung kekuatan membakar seperti petir. Biasanya, orang yang terkena lecutan belut itu tentu akan mati. Dia tidak pernah menyerang kalau tidak diserang lebih dulu dan karena engkau hendak menangkapnya, maka dia menyerangmu. Ah, kukira tadi engkau sudah.... sudah.... mati, koko. Untung ada Siang-ko yang pernah belajar cara menyembuhkan orang yang belum mati dilecut binatang itu.”
Lee Siang juga menyambung.
“Dan untung sekali bahwa engkau memiliki sin-kang yang amat kuat, hiante. Lecutan belut itu mengandung kekuatan membakar yang amat hebat, seperti orang kalau disambar petir. Karena jantungmu amat kuat berkat sin-kangmu, maka hanya pernapasanmu saja yang terhenti, akan tetapi jantungmu masih berdetak lemah. Aku hanya tinggal membantu pernapasanmu saja.”
“Membantu pernapasan?” Ciang Bun bertanya heran.
“Ya, membantu agar pernapasanmu pulih dan bekerja kembali karena tadinya terhenti oleh guncangan hebat akibat lecutan belut petir itu. Kalau jantungmu berhenti, baru aku akan membantu gerakan jantungmu dengan totokan dan pijatan yang kuat. Hal itu amat berbahaya karena mungkin saja dapat mematahkan beberapa ujung tulang igamu! Syukur engkau selamat berkat kekuatan sin-kangmu.”
Ciang Bun memandang dengan kagum.
“Ah, kalau begitu aku berhutang nyawa kepadamu, twako.”
Lee Siang menggerakkan tangan dengan jengah
“Aih, mengapa engkau begitu sungkan? Sudah sepatutnya kalau aku yang tahu sedikit akan cara pengobatan itu menolongmu.”
“Akupun ingin belajar ilmu itu, twako. Siapa tahu, lain kali aku perlu menolong seorang di antara kalian, atau orang lain.” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Bagaimana sih cara pengobatan itu? Menggunakan obat? Bagaimana engkau bisa membantu pernapasan orang lain bekerja kembali setelah napas itu berhenti? Apakah dengan totokan-totokan tertentu?”
“Tidak, melainkan dengan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu melalui mulut,” jawab Lee Siang.
“Ehhh....? Bagaimana caranya? Coba kau beri contoh, twako, bagaimana cara engkau menolongku tadi?”
Mendadak saja Lee Siang kelihatan jengah dan malu-malu, sedangkan Lee Hiang tersenyum-senyum aneh.
“Hei, kalian kenapa?”
“Pengobatan itu dilakukan dengan cara mencium....” dara itu berkata jenaka.
“Ehh? Jangan main-main, siauw-moi, aku sungguh ingin belajar dan ingin tahu cara pengobatan yang aneh akan tetapi dapat menyelamatkan nyawa manusia ini”.
“Siang-koko, kenapa tidak kau beri contoh saja dia ini. Biar puas hatinya,” Lee Hiang menggoda.
Lee Siang menghela napas.
“Baiklah, hiante. Kau rebahlah seperti tadi ketika engkau pingsan.” Setelah Ciang Bun merebahkan diri terlentang, pemuda itu berkata. “Mula-mula engkau periksa pernapasan dan detik nadinya. Engkau tadi dalam keadaan pingsan, pernapasanmu terhenti sama sekali akan tetapi detik nadimu masih berdenyut walaupun lemah. Itu berarti bahwa paru-parumu berhenti bekerja akan tetapi jantungmu masih bekerja. Lalu aku mengangkat lehermu begini, maksudnya agar lubang kerongkonganmu terbuka lebar. Lalu aku menutupi kedua lubang hidungmu dan meniupkan hawa ke dalam paru-parumu begini.”
Biarpun sungkan untuk mengajari pemuda itu, Lee Siang lalu menutup mulut Ciang Bun yang dibukanya itu dengan mulutnya sendiri dan diapun meniup keras-keras!
Ciang Bun terbelalak, akan tetapi jantungnya berdebar dan suatu perasaan yang amat mesra merayapi seluruh tubuhnya. Tidak seperti ketika Lee Hiang menciumnya di dalam air tadi, kini dia merasa senang sekali beradu mulut dengan Lee Siang! Akan tetapi dia terbatuk-batuk ketika pemuda itu meniupkan hawa dengan kuatnya ke dalam paru-parunya. Hal ini terjadi karena dia terkejut dan tentu saja timbul perlawanan dari kerongkongannya. Lee Hiang memandang sambil tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Lee Siang tersenyum saja.
“Nah, usaha itu kau ulangi terus sampai si korban dapat bernapas sendiri, atau sampai paru-paru itu bekerja kembali, hiante. Sedangkan kalau nadinya sudah tidak berdenyut lagi yang berarti jantungnya terhenti karena guncangan hebat itu, engkau totok dia di sini.” Dia meraba dua jalan darah di pungung dan atas lambung dan menambahkan, “Kemudian engkau tekan dan pijit arah jantung dari dada depan, dan ini mungkin saja akan mematahkan ujung tulang iga, akan tetapi hal itu tidak berbahaya. Usaha ini adalah untuk menghimpit dan mendorong jantung agar jantung yang bekerja seperti pompa itu dapat bergerak dan bekerja kemhali.”
Akan tetapi perhatian Ciang Bun sudah kurang dapat dipusatkan. Jantungnya berdebar keras ketika dia memandang Lee Siang, terutama memandang ke arah mulut itu, ke arah bibir yang baru saja menempel pada bibirnya. Mukanya menjadi merah sekali dan kakak beradik itu tentu saja mengira bahwa merahnya muka itu karena tersedak ketika ditiup tadi.
“Bun-ko, kau belajarlah yang baik agar lain kali kalau aku yang menjadi korban belut petir, engkau dapat menolongku,” kata Lee Hiang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum nakal.
“Eh, bocah nakal! Kenapa engkau ingin benar ditolong Bun-hiante?” kakaknya menggoda.
“Aku lebih senang dicium oleh Bun-ko daripada oleh orang lain!” jawab Lee Hiang dengan polos dan jujur.
Kakak dara itu tertawa.
“Ha-ha-ha, agaknya engkau sungguh jatuh cinta mati-matian kepada Bun-hiante. Bagaimana dengan engkau, Bun-te?”
Ciang Bun menundukkan mukanya yang berubah merah sekali dan dia mengerutkan alisnya. Kakak beradik ini sungguh terlalu terbuka dan polos, bicara soal cinta begitu saja dan dara ini menyatakan keinginan diciumnya, menyatakan cintanya begitu terang-terangan sedangkan kakaknya tidak menegurnya bahkan membantunya dan mendorongnya bicara tentang cinta. Dia sendiri tentu saja merasa malu dan jengah, dan tidak dapat menjawab sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar