Peralihan dari kehidupan kepada kematian merupakan rahasia besar yang mentakjubkan. Kalau memang kematian sadah saatnya tiba, maka ada saja yang menjadi lantaran dan kematian itu tidak dapat ditolak dengan cara bagaimanapun juga. Betapapun pandainya manusia, namun semua harus tunduk terhadap hukum alam ini, ialah kehidupan tentu berakhir dengan kematian dan tidak ada kekuasaan yang dapat mencegahnya atau memperpanjang waktu tibanya kematian.
Kalau sadah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebatpun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput daripada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.
Sudah terlalu banyak contoh-contoh tentang kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka, dan tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.
Ada orang yang sejak mudanya menjadi perajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terlukapun tidak, sampai dia meugundurkan diri dari pekerjaan sebagai perajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan memyeretnya ke lubang kubur!
Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.
Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walaupun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai.
Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkan saudara-saudaranya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang.
Seorang ahli renang yang bagaimana pandaipun takkan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya dalam air terbatas. Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu banyak air laut.
Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sin-kang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.
Bagaimanapun juga, tenaga manusia adalah terbatas dan ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu, di mana dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke manapun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu.
Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.
Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tak pernah melepaskan papan kayu itu.
Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu.
Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.
Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, diapun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas.
Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan diapun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada encinya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Semenjak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong daripada dengan encinya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.
Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perobahan dalam batin Ciang Bun, perobahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong dan Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perobahan.
Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti encinya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi daripada kakaknya.
Kalau sadah tiba saatnya, biar hendak bersembunyi di lubang semut, tetap saja kematian datang menjemput. Sebaliknya, kalau saat kematian belum tiba, biar kita berada di bawah ancaman maut yang bagaimana hebatpun, yang nampaknya tidak mungkin kita dapat keluar dengan selamat, namun ada saja lantarannya yang membuat kita terluput daripada cengkeraman maut dan masih dapat hidup terus.
Sudah terlalu banyak contoh-contoh tentang kematian yang datang tiba-tiba tanpa tersangka-sangka, dan tentang orang-orang yang selamat dan luput dari kematian padahal sudah terkurung maut dan agaknya tak ada harapan untuk lolos lagi.
Ada orang yang sejak mudanya menjadi perajurit sampai tua, puluhan tahun berada dalam kepungan maut, setiap saat mungkin saja maut merenggut nyawanya, namun ternyata dia selamat, terlukapun tidak, sampai dia meugundurkan diri dari pekerjaan sebagai perajurit karena sudah bosan atau lelah. Pulang ke kampung, tergigit seekor nyamuk saja bisa mendatangkan penyakit yang akan memyeretnya ke lubang kubur!
Inikah yang disebut nasib? Terserah. Nasib hanya sebuah kata yang muncul karena kita kehabisan akal untuk dapat mengerti. Dan ada atau tidak adanya yang disebut nasib, yang penting kita harus selalu menjaga diri, bukan karena takut mati melainkan untuk memelihara badan dan batin kita agar tetap sehat dan jauh dari bencana.
Dilihat keadaannya, ketika perahu yang ditumpangi para cucu penghuni Pulau Es itu terguling dan mereka disambut oleh badai yang mengamuk, sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan mati semua. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian.
Ceng Liong yang terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat yang kejam dan jahat, ternyata tidak terbunuh, bahkan dibawa oleh Hek-i Mo-ong sebagai muridnya! Suma Hui dan Cin Liong ternyata juga tidak tewas walaupun Suma Hui telah dilarikan oleh seorang penjahat cabul yang kejam dan Cin Liong diombang-ambingkan ombak yang membadai.
Demikian pula dengan Suma Ciang Bun. Pemuda ini tidak tewas ditelan badai seperti yang dikhawatirkan saudara-saudaranya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, seperti juga Cin Liong, Ciang Bun terlempar keluar perahu dan disambut oleh air laut bergelombang.
Seorang ahli renang yang bagaimana pandaipun takkan mungkin dapat melawan gelombang dahsyat dalam badai itu. Apalagi Ciang Bun yang kepandaiannya dalam air terbatas. Dia mencoba untuk berenang mendekati perahu, akan tetapi tubuhnya terseret makin menjauh dari perahu. Dia berusaha mempertahankan dirinya agar tidak minum terlalu banyak air laut.
Tubuhnya terbawa ombak, diangkat tinggi-tinggi sampai dia merasa diterbangkan ke langit, lalu dihempaskan ke bawah, dalam sekali dan hanya berkat tubuhnya yang terisi tenaga sin-kang kuat saja maka isi perutnya tidak sampai remuk ketika dia berkali-kali dibanting oleh gelombang.
Bagaimanapun juga, tenaga manusia adalah terbatas dan ketika Ciang Bun sudah hampir tidak kuat bertahan lagi, dalam kegelapan tangan kirinya bertemu dengan sepotong papan kayu. Bagaikan bertemu dengan pusaka, tangan kirinya itu mencengkeram kuat-kuat dan dipeluknya papan kayu itu, di mana dia bergantung dalam keadaan setengah pingsan, membiarkan dirinya dibawa ke manapun juga oleh papan kayu yang dipermainkan gelombang membadai itu.
Kalau memang belum tiba saatnya untuk mati, dalam ancaman maut, di tengah lautan bergelora yang sedang dilanda badai itu, tiba-tiba ada saja muncul sepotong papan kayu yang menjadi lantaran sehingga memungkinkan Ciang Bun terlepas dan lolos dari cengkeraman maut.
Untung bagi Ciang Bun bahwa agaknya nalurinya timbul pada saat yang gawat itu. Kalau tidak demikian, agaknya tentu dalam keadaan setengah sadar itu dia sudah melepaskan cengkeramannya pada papan kayu itu. Akan tetapi, entah kekuatan apa yang menggerakkan pemuda ini sehingga tanpa disadarinya, kedua tangannya tak pernah melepaskan papan kayu itu.
Air lautan tidak mengganas lagi, bahkan amat tenang dan kegelapan telah terganti sinar cerah matahari pagi ketika Ciang Bun sadar betul dari keadaan setengah pingsan itu. Dia teringat bahwa dia terapung-apung di tengah lautan, maka rasa gentar menyentuh hatinya dan cepat-cepat dia menarik tubuhnya ke atas dan dengan sudah payah dia duduk di atas papan kayu yang tidak berapa besar itu.
Dia menggigil karena merasa dingin. Cepat-cepat pemuda ini mengerahkan Hwi-yang Sin-kang untuk melawan hawa dingin dan sebentar saja tubuhnya sudah terasa hangat dan nyaman. Akan tetapi berbareng dengan itu, muncul pula rasa lelah, lapar dan mengantuk.
Di samping perasaan yang bercampur aduk ini, diapun teringat kepada Cin Liong, Ceng Liong dan Suma Hui. Pertama-tama dia membayangkan wajah Ceng Liong dan hatinya merasa berduka sekali karena dia khawatir kalau-kalau adik keponakannya itu tewas.
Kemudian, wajah Cin Liong terbayang dan diapun merasa kasihan sekali kepada pemuda perkasa yang telah banyak berjasa terhadap keluarganya itu. Baru kemudian dia teringat kepada encinya, Suma Hui dan kesedihannya bertambah.
Semenjak mereka tinggal bersama di Pulau Es, Ciang Bun merasa lebih dekat dengan Ceng Liong daripada dengan encinya, bahkan dalam setiap percakapan dan perbantahan dia selalu membela kepada Ceng Liong. Kemudian, ketika muncul Cin Liong jenderal muda yang gagah perkasa itu, timbul rasa kagum yang mendalam di hati pemuda itu.
Memang akhir-akhir ini terjadi suatu perobahan dalam batin Ciang Bun, perobahan yang dia sendiri sama sekali tidak menyadarinya. Ketika dia masih kecil, perasaannya biasa saja, akan tetapi semenjak dia menjadi remaja, semenjak dia tinggal di Pulau Es dan hidup bertiga dengan Ceng Liong dan Suma Hui, tanpa disadarinya timbul suatu perobahan.
Dia merasa suka sekali untuk berdekatan dengan Ceng Liong, bahkan ketika Cin Liong muncul, ada daya tarik yang luar biasa pada diri jenderal muda itu baginya, yang membuat dia kadang-kadang merasa malu dan bingung. Selain ini, juga dia ingin selalu kelihatan rapi dan elok seperti encinya. Padahal Suma Hui sendiri termasuk dara yang sederhana sehingga dalam hal berpakaian, Ciang Bun lebih rapi daripada kakaknya.
Apakah gejala ini timbul karena sejak kecil dia hanya berdua saja dengan encinya sebagai saudara kandung yang tunggal? Selalu berdekatan dengan kakak wanita sehingga dia meniru-niru encinya dan mempunyai ciri-ciri seperti seorang wanita? Dia sendiri tidak sadar dan juga tidak tahu, akan tetapi yang diketahuinya hanyalah bahwa setelah menginjak usia lima belas tahun, dia merasa tertarik sekali kepada lelaki dan menyukai wajah dan bentuk tubuh laki-laki yang jantan.
“Aduh, lapar sekali perutku....!”
Ciang Bun mengeluh dan mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, hidup atau mati.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!
Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walaupun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!
“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang.
Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.
“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.
“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”
“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!
Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sin-kang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong.
Dua orang itu kelihatan demikian eloknya! Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah dan Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara itu yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh encinya.
Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui encinya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.
Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun. Kini dia terpesona, ya terpesona, memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu.
Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau. Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona.
Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan. Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya, dan tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
“Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?”
Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak. Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.
“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”
“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.
“Ha-ha-ha-ha....!”
Pemuda itupun tertawa. Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka diapun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.
“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa.
Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.
Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki.
Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan merekapun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.
“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.
Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu.
Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlumba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat bertahan lebih lama daripada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya!
Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan diapun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya. Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir.
Dua orang muda itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu dan kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka?
Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandinakan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk.
“Ke pulau? Pulau manakah?”
“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun terkejut.
“Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk.
“Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yang mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.
“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!”
Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum.
“Kiranya engkau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.
“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!”
Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah.
“Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”
“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.
“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!”
Dara itupun menyebut dengan sikap agak malu-malu namun iapun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.
“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” kata Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.
Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan.
Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu, Bun-hiante?”
Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang pertanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
“Heiii! Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.
Pemuda ini tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.
“Kami bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus berganti-ganti agar tidak bosan.”
“Ikan-ikan yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.
“Ahh, kalian sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku kagum bukan main.”
“Engkau pun hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.
Wajah Ciang Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.
Tak lama kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.
Mereka disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari. Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan senjatanya yang ampuh.
Wajah yang penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu datang bersama seorang pemuda tampan.
Tidak pernah ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?
Begitu tiga orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya,
“Lee Siang dan Lee Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”
Lee Siang memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan kakeknya amat sayang kepadanya.
“Kong-kong jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”
“Ahhh….!”
Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.
“Jadi Kongcu (tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.
“Memang benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan saudara-saudaranya naik perahu menjauhi pulau, akan tetapi di tengah pelayaran mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”
Mendengar ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.
“Ahh, siapa menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”
Lalu kakek itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya.
“Suma-kongcu, mari kita ke pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”
“Aduh, lapar sekali perutku....!”
Ciang Bun mengeluh dan mengusir renungan memedihkan tentang saudara-saudaranya yang tidak diketahuinya bagaimana keadaannya itu, hidup atau mati.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang, teriakan-teriakan gembira. Cepat dia menoleh dan alangkah girangnya ketika dia melihat adanya dua orang muda sebaya dengan dia yang sedang bermain-main di atas air lautan yang tenang. Dan Ciang Bun tertegun, terbelalak, juga mengkirik melihat betapa dua orang muda remaja itu, seorang pria dan seorang lagi wanita, sedang berlari-larian di atas air lautan!
Bukan manusia, pikirnya. Mana mungkin ada manusia pandai berlari-larian di atas air? Walaupun dia pernah menyaksikan mendiang kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, melakukan hal ini untuk beberapa detik lamanya. Akan tetapi dua orang muda-mudi itu bermain-main, berloncatan dan berlarian sambil tertawa-tawa!
“Kalau bukan sebangsa dewa lautan, tentu peri atau siluman....” bisik Ciang Bun dalam hatinya dan tentu saja dia merasa tengkuknya meremang.
Dia mengucek matanya akan tetapi ketika membuka mata dan memandang lagi, pemuda dan dara itu masih ada, bahkan kini mereka mendekat ke arahnya.
“Heii, lihat....! Ada bekas-bekas perahu pecah!” teriak si dara.
“Benar, tentu ada perahu pecah dan tenggelam semalam, dilanda badai. Jangan-jangan para penumpangnya tewas semua.... haiii, lihat, apa itu? Bukankah dia manusia di atas papan itu?”
“Benar, koko! Seorang pemuda dan dia masih hidup!” teriak si dara dan mereka lalu menggerakkan tubuh dan meluncur mendekati Ciang Bun.
Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia tahu bahwa kedua orang itu sama sekali bukan berlari di atas air, melainkan menggunakan alas kaki kayu yang panjang runcing dan mereka itu berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, dan dengan menggerakkan kedua lengan ke belakang dan mengayun tubuh ke depan, alas kaki yang seperti dua perahu kecil itu meluncur ke depan!
Akan tetapi, untuk dapat mengatur keseimbangan tubuh di atas dua perahu kecil itu dan untuk dapat bergerak demikian leluasa, tentu membutuhkan keringanan tubuh dan latihan yang hebat, juga tenaga sin-kang amat diperlukan ketika mengayun tubuh ke depan. Jelaslah bahwa dua orang muda itu bukan orang-orang sembarangan. Hal ini tentu saja menimbulkan kagum dalam hati Ciang Bun. Akan tetapi bukan itu saja yang membuatnya bengong terlongong.
Dua orang itu kelihatan demikian eloknya! Yang perempuan berusia sekitar lima belas tahun, tubuhnya yang ramping dan ranum itu amat indah dan Ciang Bun kagum sekali akan keindahan tubuh dara itu yang mengingatkan dia akan keindahan tubuh encinya.
Akan tetapi wajah dara itu baginya jauh melampaui encinya dalam hal kecantikan. Seraut wajah yang cantik jelita dan manis sekali, dengan sepasang mata yang seperti bintang, hidung mancung dan mulut yang amat manis.
Akan tetapi, hanya sebentar saja sepasang mata Ciang Bun menatap dan mengagumi wajah dan tubuh dara itu, yang hanya mengenakan pakaian pendek dan ringkas dan basah karena air lautan sehingga pakaian itu menempel ketat pada tuhuhnya, mencetak tubuh yang menggairahkan itu. Namun, semua itu hanya lewat tanpa meninggalkan kesan mendalam di hati Ciang Bun. Kini dia terpesona, ya terpesona, memandang ke arah pemuda yang meluncur di samping dara itu.
Pemuda itu berusia dua tiga tahun lebih tua darinya, sekitar tujuh belas atau delapan belas tahun dan pemuda itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek sebatas lutut yang terbuat dari kulit harimau. Wajahnya yang agak kecoklatan karena kulitnya terbakar sinar matahari, nampak amat gagah dan tampan, sepasang matanya juga mencorong seperti bintang, hidungnya mancung dan mulutnya juga manis seperti mulut si dara, hanya dagu pemuda ini membayangkan kejantanan yang membuat Ciang Bun benar-benar terpesona.
Apalagi tubuh yang telanjang bagian atas itu, nampak demikian gagah, tegap, bidang dan mengandung kekuatan yang mentakjubkan. Baru sekarang Ciang Bun melihat bentuk tubuh yang demikian tegap dan gagahnya, dan tanpa disadarinya, jantungnya berdegup aneh, hatinya tertarik sekali dan tiba-tiba saja dia merasa sungkan dan malu-malu.
“Eh, apa yang kau lihat? Apakah engkau belum pernah melihat orang?”
Tiba-tiba gadis remaja itu bertanya sambil terkekeh kocak. Pemuda yang bertelanjang baju hanya memandang sambil tersenyum ramah. Bukan pertanyaan dara itu yang membuat Ciang Bun gugup, melainkan tatapan mata dan senyuman pemuda itu.
“Aku.... aku.... ahh, aku belum pernah melihat orang-orang yang bermain-main di atas lautan seperti kalian ini....”
“Hi-hi-hik....!” Dara itu tertawa terkekeh geli.
“Ha-ha-ha-ha....!”
Pemuda itupun tertawa. Sikap mereka demikian gembira, suara ketawa mereka demikian bebas sehingga Ciang Bun yang biasanya pendiam dan serius, terseret oleh kegembiraan mereka dan dia sama sekali tidak merasa tersinggung karena dua orang itu sama sekali tidak seperti mentertawakannya. Maka diapun ikut pula tertawa ha-ha-he-heh walaupun dia tidak tahu apa sebenarnya yang mereka tertawakan.
“Ha-ha-ha-ha!” Dia tertawa.
Melihat pemuda di atas papan itu tertawa menyeringai dengan muka mengandung keheranan dan tidak mengerti, dua orang muda itu makin geli dan ketawa mereka makin keras.
Ketawa itu seperti tangis. Kalau dibiarkan berlarut-larut semakin keras, akan tetapi akhirnya akan habis tenaganya dan berhenti sendiri. Dua orang muda yang tadinya berdiri di atas alas kaki kayu panjang itu, selalu harus mengatur keseimbangan tubuh mereka, mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan mengerahkan tenaga pada kaki.
Ketika mereka tertawa-tawa, mulailah keseimbangan tubuh mereka goyah dan merekapun maju mundur, meluncur ke kanan kiri dan akhirnya dara itu tidak dapat mempertahankan keseimbangan tubuhnya lagi dan terpelanting.
“Byuurrrr....!” Air muncrat tinggi.
“Heiii....!” Si pemuda berteriak dan diapun terpelanting dan jatuh pula.
Air muncrat semakin tinggi. Melihat betapa dua orang itu terpelanting dan jatuh ke air, Ciang Bun merasa geli sekali dan diapun terkekeh ketawa. Kini dia ketawa ada sebabnya, ada yang ditertawakan, tidak seperti tadi dia tertawa hanya karena terseret oleh suara ketawa dan sikap dua orang muda itu. Kini dia tertawa seorang diri sambil memandang ke air di mana kedua orang itu tadi terjatuh.
Suara ketawanya makin berkurang dan akhirnya terhenti sama sekali, matanya terbelalak dan alisnya berkerut penuh kegelisahan. Dua orang muda yang terpelanting tadi terus tenggelam dan tidak muncul lagi! Tentu saja Ciang Bun menjadi gelisah dan kaget sekali, mengira bahwa mereka itu tentu tenggelam terus! Sungguh aneh sekali! Dua orang yang begitu pandai bermain di atas air, apakah tidak pandai berenang sehingga mati tenggelam? Dia sendiri lemas dan lelah sekali, akan tetapi melihat mereka berdua itu tenggelam dan tidak timbul lagi, tanpa ragu-ragu Ciang Bun lalu meloncat ke air, melupakan kelelahan dan kelemasan tubuhnya, kemudian menyelam dan mencari-cari dengan membuka matanya di dalam air.
Dia merasa matanya perih, akan tetapi karena sinar matahari cerah, dia dapat melihat ke bawah cukup jelas. Dan apa yang dapat ditangkap dengan pandang matanya membuat dia merasa mukanya panas karena malu.
Dua orang muda yang disangkanya tenggelam dan mungkin mati itu sedang berenang di dalam air dengan amat lincahnya, agaknya mengejar ikan-ikan besar seperti berlumba!
Tahulah dia bahwa dia telah salah sangka dan bahwa dua orang muda itu memang benar-benar memiliki ilmu dalam air yang luar biasa seperti setan-setan air saja, maka diapun cepat-cepat naik kembali ke permukaan air. Setelah kepalanya tersembul, dia menarik napas dalam-dalam dan agak terengah karena lama juga dia tadi menahan napas. Dengan mengandalkan sin-kangnya, memang dia dapat bertahan lebih lama daripada orang biasa.
Akan tetapi dia merasa lelah sekali dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat sepotong papan yang telah menyelamatkannya semalam kini sudah terbawa air amat jauh dari situ. Mati-matian dia lalu berenang mengejar, akan tetapi tenaganya semakin lemas dan dia merasa tidak mampu menyusul papan yang hanyut itu.
Tiba-tiba, selagi dia merasa bingung, karena tanpa papan itu dia takkan dapat lama bertahan di permukaan air, apalagi setelah tenaganya makin lemas itu, papan itu seperti hidup dan bergerak membalik dan meluncur ke arahnya!
Tentu saja dia merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang terutama girang sekali. Ditangkapnya papan itu dan diapun naik kembali ke atasnya, duduk terengah-engah dan menyusut air laut dari rambut dan mukanya. Dia memandang ke air dan kekaguman hatinya bercampur heran dan khawatir.
Dua orang muda itu sudah demikian lamanya di dalam air, bagaimana mereka kuat bertahan? Tentu mereka memiliki sin-kang yang luar biasa tinggi dan kuatnya. Siapakah mereka itu dan mengapa berada di tengah lautan? Dia tidak melihat perahu di sekeliling tempat itu dan kembali Ciang Bun bergidik. Manusiakah mereka?
Dia mengingat kembali percakapan antara mereka dan hatinya meragu. Pertanyaan gadis itu menunjukkan bahwa mereka manusia, akan tetapi sikap mereka yang terbuka dan aneh, lalu keadaan mereka yang seolah-olah hidup di lautan, kepandaian mereka yang luar biasa dalam air!
Tiba-tiba air bergerak dan muncullah dua orang yang sedang dijadikan bahan renungan itu. Sepasang sepatu itu berada di punggung masing-masing, terikat dengan belitan tali ke dada, dan kini kedua tangan mereka memegang dua ekor ikan yang sebesar betis, gemuk dan montok, yang masih menggelepar-gelepar.
“Nih, sobat, kau bawakan ikan-ikanku!” kata pemuda itu dan tubuhnya yang berada di air itu meluncur cepat ke arah papan di mana Ciang Bun duduk.
Ciang Bun memandang kagum. Pemuda itu menggunakan kedua tangan memegangi ikan, jadi tentu hanya mempergunakan kedua kakinya untuk berenang, namun tubuhnya dapat meluncur sedemikian cepatnya, jauh lebih cepat dibandinakan dengan dia sendiri kalau berenang, walaupun mempergunakan kaki tangannya. Akan tetapi dia menerima dua ekor ikan itu, memegangnya dengan kuat-kuat karena ikan-ikan itu menggelepar dan meronta.
Pemuda itu lalu mengambil sepotong tali dan memasukkan tali melalui mulut ikan-ikan itu. Si dara juga berenang mendekat dan empat ekor ikan itu kini sudah diuntai pada tali dan dipegang oleh Ciang Bun.
“Kalau begini mereka tidak akan mati dan masih segar dagingnya setelah kita sampai pulau,” kata pemuda itu sambil memandang wajah Ciang Bun. “Engkau tentu sudah lapar sekali, bukan?”
Wajah Ciang Bun menjadi merah dan diapun mengangguk.
“Ke pulau? Pulau manakah?”
“Pulau kami, yaitu Pulau Nelayan.”
Ciang Bun terkejut.
“Pulau Nelayan? Jadi kalian tinggal di Pulau Nelayan?”
“Heii, orang muda aneh, apa yang kau ketahui tentang Pulau Nelayan kami?” gadis itu bertanya, sepasang matanya yang jeli itu menatap penuh keinginan tahu.
Ciang Bun mengangguk.
“Mendiang kakekku pernah bercerita tentang Pulau Nelayan, akan tetapi katanya pulau itu sudah disapu bersih oleh badai dan menjadi pulau kosong tidak ada penghuninya lagi, sudah puluhan tahun....”
Dua orang muda itu kelihatan terkejut mendengar ini dan mereka mendekat, kini mereka memegangi papan di mana Ciang Bun duduk, pandang mata mereka penuh selidik.
“Sobat baik, siapakah mendiang kakekmu yang mengetahui rahasia daerah lautan ini?” tanya pemuda ganteng itu.
“Mendiang kakek adalah Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.”
“Aihhh....!”
Dua orang muda itu melepaskan papan dan mundur, kemudian keduanya menjura ke arah Ciang Bun dengan pandang mata takjub dan penuh hormat dan kagum.
“Kiranya engkau adalah cucu Majikan Pulau Es, Suma-locianpwe....?” kata pemuda itu.
“Dan kami melihat pulau itu terbakar dan lenyap dari jauh....” sambung si dara sambil terbelalak memandang wajah Ciang Bun.
“Benar, pulau kami terbakar, kakek dan dua nenek kami tewas dan kami, yaitu aku dan saudara-saudaraku, naik perahu meninggalkan pulau, di tengah lautan diserbu musuh, perahu kami pecah dan kami cerai-berai.... ahh....!”
Ciang Bun menunduk sedih teringat akan nasib keluarga Pulau Es dan nasib saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana.
“Aihh! Mari cepat ikut bersama kami ke pulau. Kakek tentu akan terkejut mendengar tentang Pulau Es itu. Mari ikut dengan kami ke Pulau Nelayan, Suma-taihiap!” kata pemuda itu.
Ciang Bun memandang dan mukanya berobah merah.
“Harap jangan menyebutku taihiap. Namaku Ciang Bun, usiaku lima belas tahun.”
“Dan namaku Liu Lee Siang berusia tujuh belas tahun, ini adikku Liu Lee Hiang, lima belas tahun.”
“Kalau begitu engkau kusebut twako dan adikmu kusebut siauw-moi,” kata Ciang Bun ramah.
“Bun-hiante....!” Lee Siang menyebut girang.
“Bun-koko....!”
Dara itupun menyebut dengan sikap agak malu-malu namun iapun tersenyum dan wajahnya yang manis itu berseri.
“Kita tidak mempunyai perahu, bagaimana kita dapat berlayar ke Pulau Nelayan kalian?” tanya Ciang Bun.
“Hi-hik!” Lee Hiang tertawa. “Bukankah engkau sudah naik kereta dan tinggal menggunakan dua ekor kuda saja untuk menarikmu?”
“Kereta? Kuda....? Apa maksudmu, siauw-moi?”
Lee Hiang tertawa manis, ketawanya bebas lepas, tidak seperti gadis-gadis kota yang kalau tertawa terkendali dan ditutup-tutupi, seolah-olah tertawa merupakan perbuatan yang memalukan.
“Itu keretamu, dan kami berdua adalah kudanya!”
Kakak beradik itu lalu melepaskan alas kaki kayu berbentuk perahu-perahu kecil itu dari punggung, lalu memasang pada kaki mereka, mengikat dengan tali-temali itu dan mereka berdua lalu meloncat dan sudah berdiri di atas air. Lee Siang menggunakan sehelai tali, agaknya pemuda ini membawa banyak tali di pinggangnya, dan mengikat ujung papan kayu yang diduduki Ciang Bun.
“Bun-hiante, harap suka berpegang kuat-kuat pada keretamu!” kata Lee Siang berkelakar menyebut papan itu kereta.
Ciang Bun mengangguk dan memegangi papan. Dua orang kakak beradik itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangan seperti orang mendayung dari depan ke belakang, tubuh membungkuk rendah ketika kedua tangan mulai digerakkan dan pada saat kedua tangan ditarik ke belakang, tubuh berdiri dan kedua kaki diisi tenaga mendorong ke depan.
Tubuh kedua orang muda itupun meluncur ke depan dan papan kayu yang diduduki Ciang Bun ikut tertarik dan melaju! Ciang Bun kagum bukan main. Memang keadaan mereka seperti dia menunggang kereta ditarik dua ekor kuda saja.
“Siang-twako, kenapa kalian bermain-main demikian jauhnya?” Ciang Bun bertanya.
“Apa katamu, Bun-hiante?”
Lee Siang balas bertanya sambil menoleh tanpa menghentikan gerakan tubuhnya. Ciang Bun maklum bahwa dia bicara melawan angin, maka dia mengulang pertanyaannya, sekali ini mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya dapat menembus tiupan angin dari depan.
“Heiii! Khikang-mu kuat bukan main, hiante!” Lee Siang memuji.
Pemuda ini tidak perlu berteriak keras karena suaranya bahkan terbawa angin dan mudah ditangkap oleh Ciang Bun yang berada di belakangnya.
“Kami bermain jauh dari pulau karena kami ingin menangkap ikan-ikan itu yang hanya terdapat di daerah tadi. Setiap hari kami makan daging ikan, maka harus berganti-ganti agar tidak bosan.”
“Ikan-ikan yang kami tangkap itu adalah ikan sirip emas, selain lezat juga besar khasiatnya untuk memulihkan tenaga dan menghilangkan lelah. Sengaja kami tangkap untukmu, Bun-twako!” berkata pula Lee Hiang.
“Ahh, kalian sungguh baik sekali. Dan ilmu kalian dalam air amat luar biasa, membuat aku kagum bukan main.”
“Engkau pun hebat, Bun-hiante. Engkau mampu melawan badai sampai selamat, dan dalam keadaan lelah engkau masih menyelam dan mencoba untuk mencari kami. Itu saja sudah menunjukkan bahwa engkau pantas menjadi majikan Pulau Es!” kata Lee Siang.
Wajah Ciang Bun menjadi merah. Kiranya mereka tadi melihatku, pikirnya. Kini dia pun tidak merasa heran lagi mengapa papan kayu yang sudah hanyut itu tiba-tiba saja dapat membalik dan meluncur ke arahnya. Kiranya merekalah yang membuatnya.
Tak lama kemudian nampaklah sebuah pulau. Kiranya pulau itu tidak jauh dari situ, hanya di daerah ini keluar kabut yang seolah-olah menyelimuti pulau dan tidak tampak dari jarak agak jauh. Sebuah pulau kecil yang tidak begitu subur, walau pun ada juga tumbuh-tumbuhan di situ. Apa lagi karena tiga penghuninya memang sengaja mengolah tanah di pulau itu dan menanam sayur-sayuran yang berguna bagi mereka.
Mereka disambut oleh seorang kakek yang berdiri di pantai. Kakek ini berpakaian sederhana serba hitam. Usianya sekitar enam puluh lima tahun dan kulit mukanya juga coklat seperti kulit muka Lee Siang karena banyak terbakar sinar matahari. Tangan kirinya membawa sebatang dayung besi yang sesungguhnya merupakan senjatanya yang ampuh.
Wajah yang penuh kerut-merut itu berseri ketika melihat datangnya dua orang cucunya yang tercinta. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia melihat dua orang cucunya itu datang bersama seorang pemuda tampan.
Tidak pernah ada orang luar boleh memasuki pulaunya selama ini dan kedua orang cucunya juga tahu bahwa dia tidak menghendaki ada orang luar berkunjung ke pulau itu. Kenapa sekarang mereka itu lancang pulang membawa seorang tamu?
Begitu tiga orang muda itu mendarat, kakek ini segera menegur cucunya,
“Lee Siang dan Lee Hiang, kenapa kalian pulang bersama seorang asing?”
Lee Siang memandang agak gelisah, akan tetapi Lee Hiang segera berlari menghampiri kakeknya dan memegang lengan kakek itu. Memang Lee Hiang itu agak manja dan kakeknya amat sayang kepadanya.
“Kong-kong jangan marah dulu. Kami berani membawanya ke sini karena pertama, dia terapung-apung di tengah lautan, dan kedua, dia ini adalah Suma Ciang Bun, cucu dalam dari Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es.”
“Ahhh….!”
Seperti juga kedua cucunya tadi, ketika mendengar disebutnya nama itu, kakek ini juga terkejut sekali dan sikap galaknya serta merta lenyap.
“Jadi Kongcu (tuan muda) ini cucu dari Suma-locianpwe? Tapi…. tapi kulihat Pulau Es terbakar kemarin malam….” Dia memandang ke timur dengan sikap termenung.
“Memang benar, kong-kong. Menurut cerita Bun-ko, katanya Suma-locianpwe bersama dua orang isterinya telah tewas dan pulau terbakar. Bun-twako dan saudara-saudaranya naik perahu menjauhi pulau, akan tetapi di tengah pelayaran mereka diserang musuh dan perahunya pecah.”
Mendengar ini tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan menghadap ke arah timur.
“Ahh, siapa menduga bahwa Suma-locianpwe bertiga mengalami nasib seperti itu. Semoga arwah beliau bertiga memperoleh tempat yang penuh damai.”
Lalu kakek itu bangkit dan menghampiri Ciang Bun, merangkulnya.
“Suma-kongcu, mari kita ke pondok dan ceritakanlah semua yang terjadi kepadaku. Kakekmu itu adalah junjunganku pula. Dahulu, sebelum burung-burung rajawali di Pulau Es mati semua, kakekmu kadang-kadang suka datang ke pulau ini menunggang burung rajawali. Akan tetapi semenjak burung-burung itu tidak ada, kabarnya mati semua, Suma-locianpwe tidak pernah datang dan akhirnya pulau ini dilanda badai hebat dan putuslah hubungan antara kakekmu dan pulau ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar