FB

FB


Ads

Senin, 03 Agustus 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 111

Ketika Sim Hong Bu melarikan diri dari Cin-an, dari sarang para patriot karena dia panik dan berduka melihat betapa Ci Sian menyerangnya kalang-kabut, diam-diam Cu Pek In juga melakukan pengejaran.

Akan tetapi kalau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cin Liong saja tidak mudah dapat menyusul Sim Hong Bu, apalagi Pek In yang ilmunya kalah jauh dibandingkan dengan suhengnya yang dicintanya itu. Akan tetapi, ia tidak pernah berhenti mencari jejak Hong Bu dan telah mengambil keputusan bahwa baginya hanya ada dua pilihan, yaitu mencari sampai jumpa atau mati dalam usahanya itu!

Berpekan-pekan lamanya Cu Pek In mencari dan mengikuti jejak suhengnya itu. Akan tetapi ia pun dibikin bingung ketika ia melihat jejak suhengnya itu setelah menuju ke timur lalu kembali lagi ke barat, ke kota Cin-an dan menurut penyelidikannya, suhengnya itu pergi ke Cin-an bersama seorang laki-laki setengah tua. Dan setelah pergi mengejar dan mencari Hong Bu selama hampir dua bulan, akhirnya Pek In kembali ke Cin-an dan bertemu dengan keluarga Bu. Dari Bu-taihiap ia mendengar banyak.

Bu Seng Kin yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu dapat memaklumi bahwa gadis ini amat mencinta Hong Bu akan tetapi dia tahu pula bahwa Pek In bertepuk sebelah tangan dalam hal ini. Karena, baru beberapa hali yang lalu, Sim Hong Bu datang bersama seorang pamannya dan mengajukan pinangan atas diri Ci Sian! Dan hal ini terjadi baru beberapa hari setelah dia dan keluarganya menerima kunjungan dan pinangan dari keluarga Kao!

Bu-taihiap dan keluarganya menceritakan bahwa kini keadaan telah banyak berubah setelah Kaisar tua meninggal dan setelah Pangeran Kian Liong memegang kendali pemerintahan. Dia bercerita banyak tentang keadaan para pendekar patriot sekarang, yang sudah tidak dikejar sebagai musuh dan bagaimanapun juga harus mengakui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh kaisar baru.

Semua itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cu Pek In, akan tetapi sesungguhnya di dalam hatinya, gadis ini tidak begitu tertarik. Kalau ia tadinya ikut pula dalam kelompok para pendekar patriot, hal itu hanya dilakukan karena ia mengikuti Hong Bu dan karena suhengnya itu dianggap buronan dan di dalam pengejaran orang-orangnya Kaisar.

“Bu-locianpwe, saya mencari Sim-suheng sampai jauh, akan tetapi jejaknya malah menuju kembali ke Cin-an. Apakah dia datang ke sini?” akhirnya dia bertanya dan Bu Seng Kin yang memberi isyarat kepada isteri-isterinya itu segera menjawab.

“Dia memang pernah datang ke sini bersama seorang pamannya, akan tetapi tidak bermalam dan hari itu juga telah pergi lagi. Kurang lebih seminggu yang lalu dia datang. Ada hal yang amat menggembirakan, yaitu bahwa katanya, kaisar baru juga membebaskan dia, dan dia menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam oleh Kaisar telah dinyatakan sebagai pedang milik keluargamu. Jadi sekarang dia tidak lagi dikejar-kejar.”

Berita ini memang menggembirakan hati Cu Pek In.
“Akan tetapi, Locianpwe, setelah meninggalkan Cin-an, dia pergi ke manakah?”

Pendekar itu menarik napas panjang. Tentu saja dia tidak tega untuk menceritakan bahwa Hong Bu telah datang melamar Ci Sian. Akan tetapi dia dapat menduga ke mana perginya Hong Bu. Ke mana lagi kalau tidak mencari Ci Sian? Untuk mengatakan bahwa Hong Bu kini mencari-cari Ci Sian, apalagi kalau dijelaskan bahwa pemuda itu mencarinya untuk melamarnya, berarti tentu menghancurkan perasaan gadis ini. Maka dia pun lalu berkata,

“Setelah dia dibebaskan oleh Kaisar, tentu dia akan memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya. Apakah engkau tidak dapat menduganya?”

“Tugas itu adalah mengalahkan Kim-Siauw Kiam-sut.”

Bu Seng Kin mengangguk.
“Tentu saja. Dia tentu mencari Pendekar Suling Emas Kam Hong, untuk melaksanakan tugas yang dipikulnya, yaitu mengadu ilmu dengan pendekar itu atau.... sumoinya.”

Cu Pek In mengepal tinju.
“Aku harus membantunya!” Kemudian dipandangnya pendekar itu dan ia bertanya, “Kemanakah dia mencari mereka?”

“Kami tidak tahu, Nona, hanya kami mendengar bahwa pamannya itu masih mempunyai keluarga di Lok-yang. Mungkin saja mereka itu pergi ke Lok-yang.”

Keterangan ini memang benar, dan pula, menurut beberapa orang pendekar patriot yang melihatnya, memang paman dan keponakan itu meninggalkan Cin-an menuju ke barat.

“Kalau begitu, saya akan segera menyusul dan mencarinya, Locianpwe.” Cu Pek In berpamit.

Setelah gadis yang selalu berpakaian pria itu pergi, Bu Seng Kin menarik napas panjang dan berkata kepada tiga orang isterinya yang masih duduk di situ bersamanya.

“Ahh, betapa cinta telah mengombang-ambingkan kehidupan para muda seperti gelombang samudera mempermainkan perahu-perahu kecil! Betapa cinta menciptakan sorga atau neraka di dunia ini.”

“Cinta memang selalu mendatangkan sorga dan sekaligus juga neraka dalam hidup!” tiba-tiba Nandini berkata. Dan anehnya, dua orang madunya mengangguk-angguk membenarkan. Melihat ini, Bu Seng Kin membelalakkan matanya.

“Eh, agaknya kalian bertiga sudah sepakat begitu. Apa maksud kalian?”

“Lihat saja kehidupan kami! Kami mencari sorga bersamamu akan tetapi yang kami dapat neraka!” kata pula Nandini cemberut, dan dua orang madunya juga cemberut.

Mau tidak mau Bu-taihiap tertawa.
“Akan tetapi mengakulah, bukankah di samping neraka kalian juga mendapatkan sorga? Bukankah kalau satu di antara kita saling berpisah kita merasa rindu dan menderita?”

Tiga orang isterinya diam saja karena memang mereka harus mengakui bahwa mereka baru merasa berbahagia kalau di samping suami ini, walaupun kadang-kadang mereka harus menahan panas hati karena cemburu.






“Memang demikianlah hidup,” pendekar itu menyambung. “Di mana ada senang tentu ada susah, kalau ada sorga tentu ada neraka. Akan tetapi, jangan dikira bahwa yang pahit-pahit dalam hidup itu tidak perlu. Coba saja bayangkan, tanpa kita merasakan pahit, bagaimana mungkin kita dapat menikmati manis? Tanpa kita merasakan bagaimana yang dinamakan susah itu, bagaimana kita bisa mengenal senang? Demikian pula, kalau kita tidak pernah mengenal neraka, mana mungkin kita dapat menikmati sorga. Ha-ha-ha, selama kita berada dalam cengkeraman Im Yang, tentu saja keduanya itu kait-mengait dan tidak mungkin kita dapat terbebas dari kekuasaan dan roda perputarannya.”

Apa yang diucapkan oleh Bu Seng Kin itu memang merupakan kenyataan. Sayang dia tidak menyelami lebih mendalam lagi sehingga dia hanya menerima hal itu sebagai sesuatu yang seharusnya demikian, sehingga dia sendiri masih terseret ke dalam lingkaran setan dari baik dan buruk, senang dan susah dan sebagainya itu.

Senang dan susah adalah dua permukaan dari sesuatu yang sama. Keduanya tak dapat dipisahkan karena memang keduanya itu merupakan dua saudara kembar yang tak terpisahkan. Ada yang satu pasti ada yang lain. Karena itu, setiap pengejaran akan kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan karena kesenangan dan kesusahan itu berbadan satu tapi bermuka dua. Apa yang nampak pada muka itu, baik nampak sebagai senang maupun sebagai susah, hanya merupakan akibat daripada pilihan pikiran sendiri belaka. Apa yang hari ini dianggap sebagai menyenangkan, mungkin saja pada hari esok akan dianggap sebagai menyusahkan, dan demikian sebaliknya.

Senang dan susah muncul sebagai akibat daripada penilaian. Dan penilaian ini selalu bersumber kepada kepentingan si aku. Si aku adalah pikiran, si aku adalah nafsu. Wajarlah bagi seorang manusia untuk dimasuki perasaan-perasaan itu. Senang, susah, takut, malu, marah, dan sebagainya. Namun, dengan pengamatan terhadap diri sendiri secara penuh kewaspadaan dan perhatian, di waktu perasaan-perasaan itu memasuki hati dan pikiran, maka kita tidak akan terseret. Mengamati semua itu, menghadapi semua itu, tanpa menilai-nilai sebagai baik atau buruk. Mengamati saja penuh kewaspadaan tanpa ada si aku yang mengamati. Jadi hanya pengamatan saja yang ada, kewaspadaan saja yang ada.

Menerima semua itu sebagai suatu hal yang sudah semestinya begitu, seperti yang dilakukan oleh Bu Seng Kin, maka tidak akan timbul perobahan dan untuk selama hidup, kita akan selalu terombang-ambing antara suka dan duka, dan biasanya, lebih banyak dukanya daripada sukanya. Dan selama kita menjadi permainan si kembar ini, kita takkan pernah bahagia. Yang kita anggap kebahagiaan bukan lain hanyalah kesenangan belaka yang pada lain saat sudah akan berubah lagi menjadi kesusahan.

Cu Pek In melakukan perjalanan ke barat dalam usahanya mencari Sim Hong Bu. Ia pergi menuju ke Lok-yang, sebuah kota yang besar ramai dan juga kuno di Propinsi Ho-nan.

Gadis bagi yang tidak tahu dianggap sebagai seorang pemuda remaja yang amat tampan ini, melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya dan menyelidik kalau-kalau ada yang melihat Sim Hong Bu lewat di situ. Akan tetapi, agaknya sampai di Lok-yang, tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan tentang suhengnya itu. Tidak ada yang melihat adanya seorang pemuda seperti Sim Hong Bu lewat di jalan yang dilaluinya.

Dengan hati yang gelisah dan berduka, kedua kaki yang lemas karena melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya lelah sekali. Hari telah menjelang senja ketika terpaksa untuk hari itu ia menunda dulu pencariannya dan mencari kamar di sebuah losmen.

Karena ia merasa amat lelah dan ingin beristirahat sebaiknya, maka dipilihlah hotel yang paling besar di kota itu. Hotel itu nampak besar dan cukup megah, dengan huruf-huruf besar dengan tinta emas di depannya berbunyi
.
“Thian Hok Li Koan”.

Ketika Pek In memasuki ruangan depan hotel itu dan menuju ke kantor di sudut, ia melihat enam orang laki-laki duduk menghadapi meja bercakap-cakap di ruangan depan. Seorang pelayan segera menyambutnya dan sesaat alis pelayan ini berkerut melihat pakaian dan sepatu Pek In yang kotor dan berdebu, akan tetapi ketika dia memandang wajah yang tampan itu, dia segera bertanya dengan suara yang cukup ramah,

“Selamat sore, Tuan Muda. Kalau anda mencari kamar, sungguh sayang sekali karena semua kamar telah penuh.”

Cu Pek In memandang pelayan itu dan hatinya menjadi kesal sekali. Ia sudah lelah dan juga jengkel dan berduka karena kehilangan jejak suhengnya. Dan begitu tiba di hotel, di mana ia ingin cepat-cepat merebahkan diri, pelayan itu mengatakan bahwa semua kamar telah penuh! Ia merasa curiga, karena pelayan itu tadi memandang pakaian dan sepatunya yang berdebu. Karena sedang duka dan jengkel, maka Pek In menjadi mudah berprasangka dan marah-marah. Ia menyangka bahwa tentu pelayan ini tidak percaya kepadanya, pakaiannya berdebu, jangan-jangan ia dianggap tidak punya uang untuk membayar kamar! Hotel ini begitu besar, tentu mempunyai banyak kamar, masa sudah penuh?

“Benarkah tidak ada kamar kosong sama sekali? Aku sanggup membayar sewanya, berapapun juga!” tanyanya dengan suara yang mengandung kejengkelan.

Ia tidak tahu bahwa enam orang pria yang tadi bercakap-cakap kini berhenti bicara dan semua melirik ke arahnya. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, memandang kepada Pek In dengan sepasang matanya melotot lebar dan mulutnya mengandung senyum penuh arti, tangannya meraba-raba kumisnya yang melintang ketika sepasang matanya itu menatap ke arah wajah dan tubuh Pek In dari pinggir.

“Sungguh, Kongcu, semua kamar telah penuh. Hari ini memang ramai sekali sehingga tidak ada lagi kamar di hotel kami yang kosong. Harap Anda memaafkan kami,” kata pengurus hotel yang sudah menjenguk keluar dari dalam kantornya.

Cu Pek In menarik napas panjang. Memang dia sedang sial, pikirnya, segala-galanya tidak pernah berhasil. Ingin ia menangis.

“Bung pengurus, biarlah kami mengosongkan sebuah di antara kamar-kamar yang kami sewa dan berikanlah kepada Tuan Muda ini!” Tiba-tiba terdengar suara parau dan kasar, suara dari pria tinggi besar berkulit hitam itu.

“Tapi.... tapi Kao-kauwsu telah membayar semua kamar itu,” Si Pengurus berkata.

“Tidak mengapa, seorang temanku dapat tidur bersama temannya dan mengosongkan kamar itu untuk Kongcu ini. Atau kalau Kongcu ini mau, tempat tidurku cukup lebar dan boleh saja aku membagi tempat tidur dengan dia.”

Wajah Cu Pek In menjadi merah. Kalau didengarnya kata-kata itu sebagai seorang wanita, tentu saja kata-kata itu amat kurang ajar. Hampir saja ia marah sekali kalau tidak diingatnya bahwa ia kini sedang menyamar sebagai seorang pria. Maka ia pun berkata kepada pengurus hotel itu,

“Kalau memang sudah penuh, sudahlah, aku bisa mencari kamar di hotel lain.”

Cu Pek In membalikkan tubuh dan tanpa menoleh kepada enam orang pria itu, ia hendak meninggalkan ruangan hotel. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara parau itu,

“Nanti dulu, Siauwte, aku hendak bicara denganmu!”

Cu Pek In menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar itu sudah berdiri dan menjura kepadanya, demi kesopanan ia pun lalu balas menjura.

“Ada urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Ia bertanya sambil memandang tajam.

Laki-laki itu bersikap cukup sopan dan ramah, dan sepasang matanya yang lebar memandangnya dengan kekaguman yang tak disembunyikannya. Bukan pandang mata orang jahat, pikirnya, melainkan pandang mata seorang yang mata keranjang. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia berpakaian pria dan biasanya jarang ada orang yang dapat mengetahui penyamarannya, maka ia membantah penilaiannya sendiri, karena tidak mungkin pria tinggi besar itu tertarik kepada seorang pemuda!

“Siauwte, maafkan kalau aku mencampuri urusanmu. Akan tetapi melihat bahwa engkau nampak lelah, pakaian dan sepatumu penuh debu menunjukkan bahwa engkau telah melakukan perjalanan jauh, dan agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mencari kamar di hotel-hotel lain yang tentu juga penuh, maka aku menawarkan sebuah kamar kami kepadamu. Kami berenam menyewa lima kamar, kalau dikurangi satu kamar kami masih dapat tidur. Sebuah kamar untuk berdua pun tidak mengapa.”

Cu Pek In tersenyum dan tidak tahu betapa senyumnya yang membuat wajahnya nampak semakin tampan itu membuat Si Tinggi Besar semakin kagum.

“Ah, aku tidak ingin merepotkan Paman yang belum kukenal.”

“Sama sekali tidak merepotkan. Atau Adik boleh pilih, memakai sebuah kamar sendirian atau berdua denganku. Tempat tidur di kamar kami cukup besar....”

“Tidak, terima kasih! Aku tidak biasa tidur berdua....” jawab Pek In cepat-cepat memotong perkataan orang.

“Kalau begitu, pakailah sebuah kamar sendirian saja. Temanku dapat mengalah,” kata pula Si Tinggi Besar.

Melihat kebaikan orang, Cu Pek In merasa ragu-ragu untuk menolak. Dan pengurus hotel itu pun cepat berkata kepadanya,

“Kongcu, apa yang dikatakan oleh Koa-kauwsu ini memang benar. Sekarang sedang ramainya orang berdagang hasil bumi. Banyak tamu pedagang dari luar kota ini dan setiap hari semua hotel di kota ini penuh. Agaknya akan sukar bagi Kongcu untuk memperoleh kamar di hotel yang baik, kecuali di hotel-hotel kecil yang kotor.”

Ucapan pengurus hotel ini menghilangkan keraguan Cu Pek In dan ia pun lalu menghaturkan terima kasih kepada Si Tinggi Besar.

“Ah, tidak perlu sungkan, Adik yang baik. Kita manusia di mana-mana memang harus saling bantu, bukan? Dengan begini, kita menjadi kenalan baru. Aku senang sekali berkenalan denganmu, Siauwte. Perkenalkanlah, aku Koa Cin Gu dari Lo-Couw sebelah selatan kota ini.”

“Koa-kauwsu adalah guru silat yang terkenal di Lo-couw, bahkan di kota Lok-yang ini, Tuan Muda,” kata Si Pelayan memuji.

“Koa-kauwsu,” kata Pek In sambil menjura, “Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah lelah sekali dan ingin beristirahat.”

Sambil berkata demikian, Pek In lalu meninggalkan orang tinggi besar itu dan mengikuti pelayan dan seorang teman Si Tinggi Besar yang hendak mengambil barang-barangnya dari kamar yang diberikan kepada Pek In.

Setelah kamar itu bersih, Cu Pek In membersihkan tubuhnya, berganti pakaian dan memesan makan minum dalam kamarnya. Ia sudah lelah dan agak turun semangat, maka ia tidak keluar lagi dan memesan makan di kamarnya saja. Setelah makan dan istirahat sebentar, duduk termenung memikirkan nasibnya, ia pun merebahkan dirinya dan tidur.

Ia sendiri tidak tahu berapa lama ia tertidur, akan tetapi tiba-tiba ia terbangun oleh ketukan di pintu. Cu Pek In membuka matanya dan tanpa turun dari pembaringan ia bertanya,

“Siapa di luar?”

Suara parau di luar segera dikenalnya sebagai suara Koa-kauwsu.
“Aku Koa Cin Gu, Cu-siauwte!”

“Koa-kauwsu, ada keperluan apakah mengetuk pintu kamarku?”

Tanya Pek In sambil duduk di tepi pembaringan. Saking lelahnya, tadi ia telah tertidur dengan pakaian lengkap, hanya sepatunya saja yang dilepaskan.

“Harap buka pintunya, Adik Cu! Aku mempunyai hal yang amat penting untuk dibicarakan denganmu.”

Cu Pek In adalah seorang gadis gagah yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi setelah banyak merantau seorang diri meninggalkan lembah, ia sudah mempunyai banyak pengalaman dan bersikap hati-hati. Betapapun juga, ia harus mencurigai orang yang telah bersikap terlalu baik kepadanya itu. Dipakainya sepatunya dan diselipkan sulingnya di pinggang, tertutup baju, kemudian ia pun melangkah ke pintu dan membukanya.

Koa Cin Gu masuk sambil tersenyum ramah.
“Sudah tidurkah, Siauwte? Maafkan kalau aku mengganggu, ya?”

Ketika dia bicara itu, Pek In mencium bau arak dan biarpun sikap guru silat itu masih biasa saja, namun melihat muka hitam itu kemerahan, juga matanya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentu terlalu banyak minum arak dan agak mabok. Tanpa mempersilakan duduk, ia pun bertanya,

“Koa-kauwsu, ada keperluan apakah yang hendak kau bicarakan?”

“Banyak, banyak sekali. Cu-siauwte,” kata guru silat Koa itu dan dia pun menutupkan kembali daun pintu.

Karena mengira bahwa orang itu menutupkan pintu karena memang mempunyai urusan yang penting, maka Pek In juga diam saja, hanya memandang dengan penuh perhatian.

Akan tetapi, orang she Koa itu tanpa dipersilakan lagi kini sudah duduk, bukan duduk di atas kursi, melainkan di tepi pembaringan! Dan Si Muka Hitam itu kini tersenyum menyeringai sambil berkata,

“Aku ingin berkenalan lebih baik denganmu, Adik Cu Pek In. Sini duduklah di dekatku sini, agar kita lebih enak bicara. Sejak melihatmu tadi, aku sudah suka sekali kepadamu, Adik yang baik.”

Muka Pek In menjadi merah sekali. Akan tetapi ia masih teringat bahwa orang itu bicara kepadanya sebagai seorang pemuda, bukan seorang gadis!

“Ah, Paman Koa, mengapa begitu? Katakanlah apa yang perlu kau bicarakan sehingga malam-malam engkau datang ke sini. Aku mengantuk sekali.”

“Ha-ha, mengantuk? Tidurlah, tidurlah biar kita bicara sambil merebahkan diri. Ataukah engkau lelah dan perlu kupijati? Ke sinilah, sayang.”

Pek In mulai mengerutkan alisnya. Apakah orang ini sudah tahu akan penyamarannya dan bersikap kurang ajar karena tahu bahwa ia adalah seorang wanita? Akan tetapi hatinya belum yakin benar dan ia masih berpura-pura menegur,

“Koa-kauwsu, apa artinya sikapmu ini? Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang pria?”

“Ha-ha-ha, lupa? Tentu saja tidak, Adik tampan! Kalau engkau seorang wanita, apa kau kira aku sudi mendekatimu? Aku membenci wanita, dan aku sayang kepada pemuda-pemuda tampan seperti engkau ini. Ke sinilah, Adik tampan, akan kupijiti engkau agar lelahmu lenyap dan engkau temani aku tidur. Marilah....!” Dan guru silat bermuka hitam itu sudah mengembangkan kedua lengannya ke arah Pek In!

Pek In memandang dengan mata terbelalak. Betapapun banyaknya pengalaman yang dihadapinya selama ini, baru sekarang melihat keganjilan ini. Seorang pria yang hendak mencumbu pria lain! Inikah yang dinamakan orang banci? Tubuh guru silat itu demikian tinggi besar, kulitnya kasar hitam dan kumisnya melintang, tubuhnya jelas menunjukkan laki-laki seratus prosen.

Akan tetapi mengapa dia menyukai pria muda tampan? Teringat akan hal ini, Pek In dapat menduga betapa banyaknya pemuda-pemuda tampan yang menjadi korban orang aneh ini, tentu di antara murid-muridnya yang belajar ilmu silat banyak terdapat pemuda-pemuda remaja yang tampan. Entah dipermainkan secara bagaimana. Tak dapat ia membayangkannya dan ia sudah merasa jijik dan geli, seperti melihat seekor ular.

“Manusia keparat! Keluarlah engkau dari sini!” Pek In membentak marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah pintu.

Koa-kauwsu memandang bengis, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang.
“Ah.... kiranya engkau hanya seorang pemuda yang tidak mengenal budi. Beginikah balasannya ditolong orang?”

“Hemm, kalau memberikan kamar kosong kepadaku kau anggap sebagai budi besar yang harus dibalas dengan kemesuman dan kecabulanmu, engkau mimpi, orang berhati binatang. Sudahlah, kau cepat keluar dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu!” Pek In sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.

Guru silat itu membelalakkan kedua matanya, dan dia tersenyum. Baru sekarang nampak oleh Pek In betapa senyum pria ini mengandung sifat kegenit-genitan seperti wanita!

Koa Cin Gu sebetulnya bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang guru silat yang cukup kenamaan. Akan tetapi, dia mempunyai kelainan dengan orang-orang biasa, yaitu, dia suka bermain cinta dengan pria-pria muda yang tampan. Dia sungguh tidak suka menyukai wanita, karena kalau tubuhnya tinggi besar dan kasar seperti pria tulen, adalah hatinya seperti seorang wanita, terutama mengenai selera dan berahi.

Dia tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pria-pria muda, karena dengan pengaruhnya sebagai guru silat, banyaklah murid-muridnya sendiri yang mau melayaninya dengan harapan memperoleh pelajaran silat yang lebih tinggi daripada murid-murid lain. Maka, terhadap Pek In yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang tampan sekali ini pun Koa-kauwsu tidak bermaksud menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia telah dihina dan dimaki, maka bangkitlah kemarahannya.

“Bocah kurang ajar! Engkau ditolong baik-baik, diperlakukan dengan sikap ramah dan manis, malah menghina orang. Bocah sombong, benarkah engkau hendak menghancurkan kepalaku? Coba saja kalau engkau mampu!”

“Mampu? Apa sukarnya? Akan tetapi aku tidak ingin membikin kacau dengan pembunuhan, maka bukan kepalamu yang akan kuhancurkan, melainkan lengan tanganmu saja!”

Berkata demikian, Pek In sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan kirinya. Pukulannya mantap dan cepat sekali, sehingga guru silat itu yang mengenal serangan berbahaya, mengeluarkan seruan dan cepat menangkis dengan lengan kanannya, dan berbareng dengan itu langsung membalas dengan sodokan tangan kirinya ke arah dada Pek In. Biarpun hal ini bukan dimaksudkan untuk kurang ajar, akan tetapi sebagai seorang gadis, Pek In menganggapnya demikian, maka ia pun sudah mengerahkan tenaga sin-kang pada lengan kanannya dan dia menghantam ke bawah, ke arah lengan kiri lawan.

“Krakkk....!”

Tulang lengan kiri Koa-kauwsu, dekat pergelangan, patah-patah dan di lain saat Pek In telah menendang tubuhnya sehingga guru silat terpelanting. Pek In cepat membuka pintu dan sekali lagi menendang. Tubuh guru silat itu terlempar keluar pintu kamar!