FB

FB


Ads

Rabu, 29 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 091

Dan wanita itu pun menanggalkan jubah hwesionya yang besar dan nampaklah bahwa di bawah jubah itu ia memakai pakaian dalam wanita yang tipis sehingga nampak bentuk tubuhnya yang padat dan menggairahkan.

Pangeran Kian Liong bukan seorang yang mata keranjang, akan tetapi dia pun seorang jujur, maka dia tidak membuang muka melainkan memandang dengan sinar mata memancarkan kekaguman yang jujur tanpa ada kekurang ajaran, membuat wanita itu menjadi merah kedua pipinya.

Dengan cepat wanita itu lalu membantu temannya menanggalkan pakaian luar Pangeran itu, dan ia pun memakai pakaian Pangeran itu, juga topinya dan dari saku baju dalamnya dikeluarkanlah sebuah kantong terisi bermacam-macam perabot untuk menyamar. Di depan cermin yang terdapat di kamar itu, dengan cekatan sekali wanita itu melakukan sesuatu dengan mukanya, rambutnya dan.... ketika ia kemudian menghadapi Sang Pangeran, Pangeran Kian Liong hampir berseru saking kagetnya melihat wajahnya pada wanita itu. Begitu serupa! Kini mereka berdua memakaikan jubah hwesio itu pada Sang Pangeran dan kini mereka bertukar sepatu dan lengkaplah sudah pertukaran itu!

“Cepat, ada suara di luar....!” tiba-tiba Pangeran palsu itu berbisik. Temannya, hwesio yang tinggi besar bermuka hitam itu mengangguk.

“Jangan mengeluarkan suara, Pangeran,” kata Si Tinggi Besar dan tiba-tiba dia sudah mengempit tubuh Pangeran yang sudah berobah menjadi hwesio itu, dibawa melayang naik melalui genteng dan di lain saat mereka telah tiba di atas wuwungan, mendekam di balik wuwungan.

Memang terdengar suara orang di bagian depan, dan semua hwesio mendengar suara orang bicara itu, tapi mereka, tanpa adanya perintah, tidak ada yang berani keluar, melainkan menanti dengan hati penuh ketegangan.

“Eh, ada suara ribut apa di luar?” terdengar suara “pangeran” itu dari dalam kamar.

Semua orang terkejut, tidak ada yang menjawabnya dan tiba-tiba lilin di dalam kamar itu dipadamkan. Mereka semua berlega hati. Agaknya Sang Pangeran merasa lelah dan hendak tidur, pikir mereka.

Suara orang bicara itu datang dari ruangan tengah kuil. Terdengar suara seorang pria tertawa mengejek, suaranya lantang sekali. Itulah suara Bu Seng Kin, atau Bu-taihiap yang memang telah berjaga-jaga dan begitu muncul bayangan lima orang yang berkelebat cepat, dia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya bersama seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, seorang di antara isteri-isterinya yang terlihai. Memang pendekar ini yang maklum akan kehebatan lima orang Ngo-ok, telah mengajak isterinya yang dapat diandalkan ini, untuk membantunya.

“Ha-ha-ha, sekarang lengkaplah sudah! Kelima orang Ngo-ok sudah berkumpul di sini!” katanya sambil tertawa.

Memang Bu-taihiap ini merupakan musuh lama dari Ngo-ok. Dahulu, ketika dia merantau bersama mendiang Sim Loan Ci, yaitu isterinya atau ibu kandung dari Ci Sian, dia pernah bentrok dan dikeroyok oleh tiga orang di antara Ngo-ok, yaitu Twa-ok, Ji-ok dan Sam-ok.

Tiga orang dari Ngo-ok itu memang lihai bukan main sehingga dalam pertempuran itu, Sim Loan Ci yang tidak sehat badannya terluka dan terpaksa Bu-taihiap membawa lari isterinya, dikejar-kejar oleh tiga orang dari Ngo-ok itu.

Dan kemudian, baru-baru ini ketika Pangeran Kian Liong hendak dilarikan Su-ok dan Ngo-ok, dua orang terakhir dari Im-kan Ngo-ok, Bu-taihiap mempermainkan mereka berdua yang baru di jumpainya pada saat itu. Memang dahulu, ketika pertama kalinya Bu-taihiap bertanding melawan tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, dua orang terakhir ini tidak ada sehingga baru pertama kali itulah mereka saling bertemu, walaupun tentu saja mereka sudah saling mengenal nama.

“Hemm, kiranya orang she Bu masih hidup dan ikut menjaga di sini! Bagus, dengan demikian kami dapat sekali tepuk....”

“He, orang she Bu mata keranjang, engkau berganti isteri lagi?” Su-ok mengejek, “Ini isteri barumu, ya? Eh, engkau memang pandai pilih perempuan, hemm, cantik juga isteri barumu ini....”

“Tutup mulutmu yang busuk!” wanita itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tangannya menampar ke arah muka Su-ok. Si Gendut Pendek ini tertawa dan menangkis, memandang rendah.

“Duk! Plakk....“

Tubuhnya terpelanting dan mukanya bengkak terkena tamparan itu. Si Gendut mengaduh-aduh dan merasa terkejut bukan main.

“Hi-hi-hik, matamu sudah buta barangkali, Sute? Lihat baik-baik siapa wanita itu! Lupakah kau kepada Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dari Lembah Suling Emas?” Ji-ok mengejek adik angkatnya yang ke empat.

Tadinya Su-ok merasa penasaran dan malu sekali bahwa sekali gebrakan saja dia telah kena ditampar oleh isteri baru Bu-taihiap itu. Kini dia memandang lebih jelas dan dia pun mengenal wanita ini yang pernah dijumpainya, maka rasa penasaran di hatinya agak berkurang, terganti oleh perasaan marah.

Kalau tadi dia sampai kena ditampar adalah karena dia tidak mengenal wanita itu dalam cahaya penerangan yang tidak begitu terang dalam ruangan itu sehingga dia memandang rendah dan tidak menjaga diri baik-baik. Dia tahu bahwa ilmu kepandaian Bu-taihiap memang hebat dan dia bukan lawan pendekar itu, akan tetapi kalau hanya melawan Cui-beng Sian li ini, kiranya dia tidak akan kalah atau selisih antara tingkat mareka tidak jauh.

“Su-ko, mari kubantu engkau menangkap perempuan ini!”

Kata Ngo-ok dan Si Jangkung ini secara tiba-tiba saja sudah berkelebat di depan wanita itu. Demikian cepat gerakannya sehingga wanita dari Lembah Suling Emas itu merasa terkejut juga.

“Heh-heh, Ngo-te, kau membantuku ataukah aku yang harus membantu engkau menangkap wanita ini untuk kemudian kau perkosa?, Ha-ha!” kata Su-ok.

Mendengar ucapan ini, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Su-ok dengan pukulan tangan yang mengandung sin-kang kuat sekali sehingga tangan itu mengeluarkan suara bercuitan dan menjadi kuat tidak kalah dengan senjata baja. Su-ok maklum akan kelihaian nyonya ini maka dia pun segera mengelak dan balas menyerang.






Ngo-ok yang merasa yakin bahwa sekali ini dia akan memperoleh korban baru yang istimewa karena nyonya ini bukan wanita sembarangan, sudah membantu temannya. Tang Cun Ciu tidak menjadi gentar dan wanita ini sudah memainkan ilmu silat yang amat diandalkannya yaitu Pat-hong Sin-kun. Melihat betapa dua orang adik angkat mereka menyerang wanita itu, Sam-ok tertawa dan berkata dengan nada suara mengejek,

“Bu Seng Kin, sekali ini engkau tidak akan dapat lolos lagi dari tangan kami!”

“Begitukah? Boleh coba!” jawab Bu Seng Kin sambil tersenyum.

Dia sudah sering berhadapan dengan tiga orang datuk sesat ini dan dia tahu benar betapa lihainya mereka. Bahkan belasan tahun yang lalu, dia selalu terdesak oleh mereka bertiga ini. Akan tetapi selama belasan tahun itu dia telah meningkatkan kepandaiannya dan kini dia ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa sekarang dia tidak akan kalah lagi. Hanya keadaan isterinya yang membuat dia khawatir. Dia tahu bahwa kalau hanya menghadapi seorang lawan, isterinya masih cukup kuat, akan tetapi dikeroyok dua, berbahaya sekali.

Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok memang amat membenci Bu Seng Kin yang merupakan musuh lama. Kini melihat bahwa pendekar ini menghalangi niat mereka untuk membunuh pangeran mahkota, yang kepada mereka diperintahkan oleh seorang pembesar bekas kaki tangan Sam-thai-houw, mereka menjadi marah sekali.

Mereka sudah mengambil keputusan untuk sekali ini membunuh Bu Seng Kin dan mereka merasa yakin akan sanggup melakukannya. Biarpun tingkat kepandaian pendekar ini sejak dahulu sudah lebih tinggi daripada seorang di antara mereka. Hal ini sudah seringkali terjadi belasan tahun yang lalu ketika mereka bertiga mengejar-ngejar pendekar ini. Tentu pendekar yang mereka benci ini sama sekali tidak tahu bahwa mereka bertiga pun sudah meningkatkan ilmu kepandaian mereka, bahkan jauh lebih hebat dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu.

Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu membuka serangan. Mata di balik tengkorak itu yang seperti mata setan, berkilat-kilat menakutkan, dan tiba-tiba dari balik tengkorak itu terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang aneh karena lengking ini seperti suara orang tertawa akan tetapi juga seperti suara orang menangis, dan tiba-tiba ia sudah meloncat ke depan, kedua tangannya yang bergerak dengan aneh karena kedua jari telunjuknya menuding sedangkan jari-jari lain digenggam. Akan tetapi dari gerakan jari-jari telunjuk ini menyambar hawa dingin yang kuat dan mengandung ketajaman seperti pedang.

“Srattt....! Srattt....!”

Bu-taihiap terkejut bukan main dan dia mengenal serangan maut, maka cepat dia mengelak dan balas menendang untuk menahan desakan wanita itu. Dia tidak tahu bahwa orang ke dua dari Im-kang Ngo-ok itu ternyata telah memperoleh ilmu yang dahsyat, yang baru saja dipergunakan untuk menyerangnya, yaitu ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) yang mengeluarkan hawa dingin dan amat berbahaya itu.

Akan tetapi, karena tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi daripada wanita itu, dia tidak merasa gentar dan balas menyerang dengan hebatnya, sungguhpun pukulan-pukulan berat yang mengandung sin-kang kuat sekali sehingga ketika berusaha menangkis pukulan ini, Ji-ok terdorong mundur dan terhuyung.

Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok akan tetapi yang paling cerdik itu, sudah cepat maju membantu temannya. Karena maklum akan kehebatan ilmu kepandaian lawan, begitu maju dia pun sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), semacam ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh berpusing.

Bu Seng Kin cepat meloncat untuk menghindar dan balas menyerang dengan cepat melayani dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi kini Toa-ok sudah terjun ke dalam arena perkelahian pula, kedua tangannya bergerak sembarangan, akan tetapi lengannya dapat mulur panjang dan cengkeraman-cengkeramannya yang dilakukan seperti serangan gorila itu amat berbahaya karena lengan itu mengandung tenaga yang dahsyat. Maka Bu-taihiap sudah dikeroyok tiga dan terjadilah perkelahian yang amat seru di ruangan itu.

Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok merasa penasaran sekali ketika sampai belasan jurus mereka berdua belum juga mampu menangkap wanita itu, maka Su-ok lalu mengeluarkan ilmunya yang diandalkan yaitu ilmu pukulan Katak Buduk. Dengan tubuh merendah sampai hampir berjongkok, ia mendorongkan kedua tangannya dan dari tenggorokannya keluar suara berkokok aneh.

Hawa yang dahsyat dan amis menyambar, membuat Tang Cun Ciu terkejut dan meloncat ke belakang, namun tetap saja ia masih terhuyung. Untuk menyelamatkan diri, wanita ini sudah mencabut pedangnya dan begitu pedang diputar dan tubuhnya menerjang ke depan, nampak gulungan sinar yang amat menyilaukan mata mengurung tubuh Su-ok.

Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dia pun sudah berjungkir-balik, lalu menyerang dengan kedua kakinya yang panjang, menendang-nendang ke arah lengan kanan lawan untuk merampas pedang. Dihadapi oleh dua orang yang mengeluarkan ilmu-ilmu aneh ini, kembali Tang Cun Ciu terdesak hebat.

Keadaan Bun Seng Kin sendiri tidak lebih baik daripada wanita itu. Dia pun terdesak setelah tiga orang pengeroyoknya mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang hebat itu. Teringatlah dia akan tugasnya memancing para lawan ini menjauhi kuil dan memberi kesempatan kepada teman-temannya untuk melakukan siasat mereka, yaitu menggunakan kesempatan ribut-ribut itu untuk menculik Pangeran sehingga kelak akan mudah menimpakan kesalahan kepada para penyerbu ini.

“Ciu-moi, mari ke tempat yang lebih luas!” teriaknya dan tiba-tiba Bu-taihiap mengeluarkan seruan nyaring, kedua tangannya menyambar-nyambar dan dia mengeluarkan ilmu pukulan aneh yang hebat.

Tiga orang lawannya terkejut dan untuk menjaga diri, mereka mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendekar itu untuk menerjang ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang juga mundur untuk menghindarkan serangan dahsyat itu. Dan mereka berdua, Bu-taihiap dan isterinya lalu meloncat cepat keluar, dari ruangan itu.

“Im-kan Ngo-ok, mari kita lanjutkan pertandingan di luar yang lebih luas, di mana sekali ini aku akan membasmi kalian!” teriak Bu Seng Kin.

Im-kan Ngo-ok, yang merasa sudah hampir memperoleh kemenangan itu, tentu saja menjadi penasaran. Kalau orang she Bu ini tidak ditewaskan lebih dulu, tentu akan sukar bagi mereka untuk melaksanakan perintah untuk membunuh Pangeran. Maka dengan marah mereka pun mengejar ke depan, yaitu ke pekarangan kuil yang cukup luas, di tempat terbuka dan cuacanya remang-remang karena penerangan yang ada hanya sinar bulan ditambah lampu gantung yang berada di depan kuil itu. Namun cukuplah bagi ahli-ahli silat itu yang dalam perkelahian tidak hanya mengandalkan pada mata melainkan juga kepada ketajaman pendengaran mereka.

Setelah Im-kan Ngo-ok tiba di pekarangan luar dari kuil itu, ternyata Bu Seng Kin sudah berdiri saling membelakangi dengan isterinya. Hal ini berarti bahwa mereka bermaksud untuk bekerja sama menghadapi lima orang lawan itu, karena dengan kedudukan saling membelakangi, berarti mereka dapat saling melindungi dan menghindarkan diri dikepung lawan.

Dan selain itu, juga tempat itu sudah dikurung oleh tujuh orang hwesio yang dipimpin oleh Ciong-hwesio ketua kuil itu sendiri, dan mereka bertujuh itu sudah memegang senjata masing-masing berupa toya atau tongkat panjang. Melihat ini, Im-kan Ngo-ok tertawa semua. Bagi mereka, lebih banyak lawan yang maju berarti dapat lebih puas membabat dan membunuh lawan. Dan tentu saja, selain Bu-taihiap, mereka memandang rendah kepada yang lain-lain, apalagi hwesio-hwesio itu.

“Heh-heh-heh, biarlah aku yang membasmi kerbau-kerbau gundul itu!” Su-ok terkekeh dan meloncat maju.

“Ihh, lupakah engkau bahwa kepalamu sendiri pun gundul dan engkau pun seorang hwesio gagal?”

Ji-ok mengejek orang ke empat dari Im-kan Ngo-ok itu. Akan tetapi Su-ok tidak peduli dan dia sudah bergerak mengamuk kalang-kabut, memukul sana-sini ke arah para hwesio itu. Ciong-hwesio yang tahu diri, tahu bahwa dia dan teman-temannya, sungguhpun telah memiliki ilmu silat yang lumayan, namun sama sekali bukanlah lawan Im-kan Ngo-ok, segera memberi isyarat dan mereka bertujuh sudah mengeroyok Su-ok. Lumayan dapat menahan seorang di antara mereka sehingga Bu-taihiap tidak terlalu berat, pikirnya.

Memang ada benarnya pendapat Ciong Hwesio itu. Akan tetapi, biarpun kini mereka dapat saling bantu, dikeroyok empat orang dari Im-kan Ngo-ok merupakan hal yang amat berat dan berbahaya.

Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu tetap saja sibuk sekali menghadapi serangan mereka yang bertubi-tubi dan setiap serangan amat berbahaya itu. Cun Ciu sudah berusaha agar ia menghadapi Ngo-ok saja, dan ia selalu memutar tubuh menghadapi lawan ini yang merupakan lawan yang paling ringan di antara tiga orang yang lain. Dan Bu-taihiap juga diam-diam harus mengakui bahwa kalau dia selama ini meningkatkan kepandaiannya, ternyata musuh-musuhnya juga demikian, bahkan kini mereka memiliki ilmu-ilmu yang aneh sekali.

Cara Ngo-ok bersilat dengan jungkir balik itu membingungkan Cun Ciu sehingga ketika dia mengelak, lalu membabat dengan pedangnya ke arah kedua kaki lawan, hampir saja sebelah kaki lawan yang bergerak aneh dapat menendang pergelangan tangan. Memang pergelangan tangannya sudah kena tendang, akan tetapi pedang itu sudah dipindahkannya ke tangan kiri dan pedangnya membacok ke arah kaki. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja serangan jari tangan Kiam-ci dari Ji-ok sengaja diselewengkan ke arahnya.

Cun Ciu yang sedang sibuk menghadapi kedua kaki Ngo-ok yang lihai itu, terkejut dan mengelak, lehernya dapat diselamatkan dari sambaran tajam tangan pedang itu, akan tetapi pundaknya kena diserempet hawa yang dingin dan tajam. Dicobanya untuk menangkis dengan tangan kanan yang tidak memegang pedang, akan tetapi ia kalah cepat dan ia mengeluarkan seruan kaget, pundaknya terasa perih dan berdarah seperti terkena sambaran pedang tajam!

Selagi ia terhuyung, tiba-tiba saja tangan Ngo-ok dari bawah menyambar dan hendak mencengkeram kakinya. Serangan yang amat berbahaya! Akan tetapi, Cun Ciu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan ia pernah melakukan kegemparan besar di dunia kang-ouw dengan mencuri pedang dari istana. Maka, biarpun pundaknya terluka dan kini tiba-tiba saja tangan Ngo-ok yang berada di bawah itu menyambar untuk menangkap pergelangan kakinya, ia masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menarik kakinya itu, lalu langsung kakinya menendang ke arah muka Ngo-ok yang berjungkir balik itu!

Ngo-ok terkejut bukan main, dengan lengannya dia menangkis, akan tetapi dari atas pedang di tangan kiri Cun Ciu menyambar dan membabat ke arah kakinya! Ngo-ok mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke belakang dan mukanya berobah agak pucat karena nyaris kakinya terbacok!

Dia maju lagi dengan lebih hati-hati, sedangkan Bu-taihiap sendiri lega hatinya melihat isterinya, akan tetapi dari kanan kiri, Toa-ok dan Sam-ok menyambutnya. Sementara itu, Su-ok yang dikeroyok tujuh orang hwesio sambil tertawa-tawa mempermainkan tujuh orang hwesio itu.

“Heh-heh-heh, omitohud.... bagaimana kalian berani melawan sucouw kalian? Hayo berlutut dan minta ampun, ha-haha!”

Dan memang orang cebol ini telah membagi-bagi pukulan kepada tujuh orang itu tanpa mereka dapat membalas, sungguhpun mereka telah menyerang dengan toya mereka. Semua pukulan toya luput, dan kalaupun ada yang mengenai tubuh Si Cebol, toya-toya itu membalik dan setiap kali Si Cebol berhasil menampar, tentu hwesio-hwesio itu terpelanting dan babak bundas. Tentu saja Su-ok sengaja mempermainkan mereka, karena kalau dia mempergunakan tenaga sin-kangnya ketika menampar atau memukul, tentu mereka telah tewas sejak tadi.

“Sute, kau ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak saja. Hayo cepat bereskan mereka dan bantu kami!”

Ji-ok menegurnya ketika melihat sikap Su-ok, karena mereka berempat memang belum juga mampu merobohkan Bu-taihiap dan Cun Ciu walaupun mereka berempat sudah dapat mendesak. Pertahanan kedua orang itu cukup kuat dan sukar ditembus.

“Heh-heh-heh, bukankah katamu sendiri bahwa mereka ini adalah rekan-rekanku? Bagaimana aku dapat membunuh mereka? Aku takut dosa dan tidak dapat masuk Nirwana.... ha-ha-ha!”

“Sute, cepat bantu kami!”

Terdengar Toa-ok membentak dan barulah Su-ok tidak berani main-main lagi, maklum bahwa kalau toakonya sudah bicara, maka tentu serius dan tentu akan marah kalau dia berkelakar terus.

“Baik, Toako!” katanya dan tiba-tiba dia berjongkok, mengeluarkan pukulan Katak Buduknya, memukul ke arah Ciong-hwesio.

“Wuuuuttt.... dessss....!”

Dan tubuh Su-ok terpental dan terguling-guling seperti sebuah bola ditendang! Apa yang terjadi? Su-ok meloncat bangun dan matanya terbelalak memandang kepada seorang hwesio tinggi besar bermuka hitam yang tadi telah menangkisnya. Bukan main! Tangkisan itu tidak hanya mampu membuyarkan tenaga ilmu pukulan Katak Buduk, bahkan membuat dia terdorong dan terpelanting keras!

Hwesio muka hitam itu lalu berkata kepada Ciong-hwesio dan yang lain-lain,
“Harap Ciong-suhu dan saudara-saudara lain mundur,” Ciong-hwesio girang sekali dengan munculnya Lim Kun Hosiang,

Hwesio tinggi besar muka hitam yang mengaku murid Siauw-lim-pai dan yang datang bersama Tan Tek Hosiang yang bertubuh kecil itu. Tak disangkanya bahwa hwesio ini sedemikian lihainya sehingga mampu menandingi Su-ok. Maka dia pun mundur bersama teman-temannya.

Su-ok yang merasa penasaran sekali menjadi marah. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau kelaparan, Si Pendek ini lalu menjatuhkan dirinya dan menggelundung ke arah hwesio muka hitam itu dan tiba-tiba dia menyerang dengan pukulan yang ampuh.

Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mengelak, melainkan menangkis dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangannya mendorong ke arah lawan yang memukulnya dengan ilmu pukulan Katak Buduk itu.

“Desss....!”

Akibatnya hebat sekali. Su-ok kembali terpental dan bergulingan, dan ketika dia mencoba bangun, dia roboh kembali dan dari mulutnya mengalir darah segar. Si Pendek ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan karena dia telah terluka dalam!

Dan hwesio muka hitam itu kini cepat melangkah ke medan pertempuran. Sejenak dia memandang kepada Bu-taihiap dan mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya, akan tetapi ketika dia melihat Cun Ciu yang didesak oleh Ngo-ok dan kadang-kadang menerima serangan Ji-ok dengan Kiam-ci yang berbahaya itu, Si Hwesio Muka Hitam ini maju dan ketika Ji-ok menyerang lagi ke arah Cun Ciu, dia pun maju dan menangkis.

“Plakkk!”

Dan Ji-ok terpental dengan kaget sekali. Tangkisan itu kuat bukan main, bahkan jauh lebih kuat daripada tangkisan Cun Ciu dan setingkat dengan tenaga Bu-taihiap! Pada saat itu Si Hwesio Muka Hitam sudah menendang ke arah muka Ngo-ok yang masih berjungkir balik. Ngo-ok cepat menangkis dengan lengannya dan kakinya menendang ke arah tengkuk lawan baru ini. Akan tetapi, hwesio muka hitam itu tidak mempedulikan tengkuknya ditendang.

Ketika tendangannya ditangkis, Ngo-ok terkejut karena merasa lengannya nyeri dan ketika tendangannya tiba mengenai tengkuk lawan, kakinya terpental seperti membentur besi. Pada saat itu tangan hwesio tinggi besar muka hitam itu sudah menonjok ke depan, ke arah perutnya. Tentu saja Ngo-ok menjadi terkejut dan tak tahu bagaimana harus menyelamatkan diri. Untung pada saat yang amat berbahaya sudah menggerakkan kakinya menendang dan tepat mengenai punggung adiknya yang ke lima ini.

“Desss....!”

Tubuh Ngo-ok terlempar dan terbanting, akan tetapi, dia terbebas dari ancaman maut pukulan hwesio muka hitam itu.

Toa-ok maklum bahwa lawan yang baru datang ini lihai sekali, maka dia pun cepat menggunakan tangan kanannya untuk memukul dengan tangan terbuka. Di antara suadara-saudaranya, Toa-ok ini memiliki kepandaian yang paling hebat, atau setidaknya setingkat dengan kepandaian Ji-ok.

Biarpun gerakan-gerakannya sederhana saja, namun dia memiliki tenaga dahsyat yang sukar untuk dapat ditandingi lawan. Maka pukulannya dengan tangan terbuka ke arah hwesio muka hitam itu pun dahsyat bukan main, sampai mengeluarkan angin bercuitan suaranya. Namun, diserang seperti itu, Si Muka Hitam tidak mengelak, melainkan menangkis dengan tangan terbuka pula.

Jelasnya, Si Muka Hitam ini tidak takut untuk mengadu tenaga dengan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu dengan amat dahsyatnya dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan agak terhuyung. Terkejutlah Toa-ok. Hwesio yang tak terkenal ini memiliki tenaga yang seimbang dengan dia! Berarti setingkat pula dengan Bu-taihiap.

Sementara itu, mendapat bantuan hwesio yang kosen itu, bangkitlah semangat Bu-taihiap dan dia sudah mendesak Sam-ok dan Ji-ok dengan pukulan-pukulan sakti. Kedua orang itu menghindarkan diri mundur. Pada saat itu, nampak gulungan sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berdesing-desing dan ternyata hwesio muka hitam itu telah memutar sebatang cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya di balik jubah hwesio.

Bukan main hebatnya senjata ini dan amat berbahaya, maka melihat ini, Toa-ok yang melihat bahwa dengan bantuan setangguh ini maka pihaknya akan mengalami banyak kerugian, lalu berteriak memberi tanda kepada adik-adiknya untuk melarikan diri. Mereka berlima pun berloncatan dan Ji-ok sudah menyambar lengan Su-ok yang terluka tadi, dibawanya lari dengan cepat sekali.

Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu tadinya tidak tahu siapa adanya hwesio tinggi besar muka hitam yang amat lihai ini, akan tetapi begitu melihat gerakan silatnya dan melihat cambuk baja itu, ia berseru kaget,

“Sam-te....!”

Hwesio muka hitam itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan kata-kata. Mendengar seruan ini, Bu-taihiap yang tadinya merasa ragu-ragu siapa adanya orang tinggi besar yang amat lihai itu terkejut pula,

“Ah, kiranya Ban-kin-sian Cu Kang Bu....“

Orang tinggi besar itu membuang muka tidak mau melayani Bu Seng Kin, bahkan lalu meloncat dan lari dari tempat itu, menghilang ke dalam gelap, meninggalkan Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu yang memandang bengong ke arah lenyapnya pendekar itu. Juga Ciong-hwesio menjadi terkejut dan terheran, apalagi ketika mendengar betapa Bu-taihiap dan isterinya sudah mengenal hwesio tinggi besar itu.

“Apa yang terjadi? Siapakah dia itu sebenarnya? Pinceng mengira benar-benar hwesio Siauw-lim-pai.... dan mana Tan Tek Hosiang, yang seorang lagi?”

Karena khawatir akan kegagalan siasat yang sudah mereka rencanakan, maka Ciong-hwesio lalu lari ke dalam, diikuti oleh Bu-taihiap dan Tang Cun Ciu. Akan tetapi hati mereka lega ketika mendengar betapa Sang Pangeran telah berhasil dilarikan oleh para hwesio anak buah Ciong-hwesio, melalui pintu belakang dan menunggang kuda, sesuai dengan rencana, dengan dalih menyelamatkan Pangeran itu.

“Bagus....!” kata Ciong-hwesio, “Kalau begitu sekarang harus cepat-cepat menyiarkan berita bahwa Pangeran yang bermalam di kuil ini telah diculik penjahat-penjahat yang datang bersama Im-kan Ngo-ok!”

Akan tetapi, Bu Seng Kin dan Tang Cun Ciu merasa tidak enak sekali melihat munculnya Cu Kang Bu yang menyamar sebagai hwesio,

“Ciong-suhu, biar kami berdua mengejar mereka dan ikut mengawal Pangeran, sedangkan urusan penyebaran berita tentang penculikan Pangeran oleh orang-orang golongan hitam terserah kepada Ciong-suhu.”

Pendekar bersama isterinya ini cepat meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam, sedangkan Ciong-hwesio bersama para hwesio yang menjadi penghuni kuil itu segera menyiarkan bahwa pemuda yang menjadi tamu kuil itu telah diculik penjahat yang datang menyerbu kuil pada malam itu.

Dan dugaan Ciong-hwesio memang tepat sekali. Begitu berita itu disiarkan, malam itu juga, menjelang pagi, banyak bayangan berkelebat memasuki kuilnya. Bayangan beberapa orang yang jelas merupakan orang-orang kang-ouw, yang bertanya tentang peristiwa terculiknya pemuda itu. Mereka ini adalah para pendekar yang diam-diam melindungi Pangeran Kian Liong. Karena Pangeran itu bermalam di dalam kuil dan mereka semua mengira bahwa keadaan Pangeran itu aman, maka mereka menjadi lengah.

Apalagi karena mereka tidak mungkin ikut-ikutan bermalam di dalam kuil. Justeru pada malam itulah, di waktu mereka lengah, penjahat datang dan Pangeran itu diculik orang!

Ciong-hwesio menyambut mereka semua dengan hormat dan memperlihatkan keheranannya,
“Memang, tamu muda pinceng itu dilarikan penjahat yang malam tadi menyerbu ke kuil kami. Akan tetapi.... mengapa Cu-wi-enghiong kelihatan begini gugup? Siapakah Kongcu itu....? Pinceng hanya tahu bahwa dia menyumbang besar dan dia pandai sekali membaca sajak....“

Seorang di antara para pendekar itu memandang tajam lalu berkata, suaranya penuh peringatan,
“Losuhu, ingatlah baik-baik, pemuda itu adalah Sang Pangeran Mahkota sendiri yang menyamar!”