FB

FB


Ads

Jumat, 03 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 033

“Hemm, kurasa dia itulah mata-mata yang pernah mencuri dalam gedung, Enci Lan! Tentu dia itulah yang dikabarkan orang jenderal dari kota raja Ceng itu!” Ci Sian menyambung dengan bersungut-sungut.

Panglima wanita itu cepat memeriksa luka mereka dan mengobatinya, kemudian mengajak mereka bicara. Dia menanyakan bagaimana keduanya dapat berada di tempat ini dan bertanding dengan jembel yang lihai itu.

Ci Sian dan Ci Liong lalu saling bantu, menceritakan betapa malam tadi mereka berdua melihat bayangan berkelebat di gedung. Karena tidak ingin menggegerkan gedung dan pula karena percaya kepada diri sendiri bahwa mereka berdua akan mampu menangkap penjahat itu, keduanya lalu mengejar.

Akan tetapi ternyata penjahat itu lihai dan mempermainkan mereka, melarikan diri keluar dari kota sampai ke tempat ini, bahkan berlari-larian dan berkejaran sampai pagi, baru penjahat itu menanti mereka dan terjadi perkelahian yang merugikan mereka berdua.

Cin Liong menarik napas panjang mengakhiri ceritanya.
“Li-ciangkun, harap suka berhati-hati. Mata-mata itu sungguh amat lihai. Saya dan Nona Ci Sian sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya dan kalau dia menghendaki, agaknya kami berdua sudah tewas sewaktu kami melawannya tadi. Masih untung bahwa kami hanya menderita luka yang tidak parah.”

“Biarpun dia lihai seperti setan, kalau lain kali bertemu dengan dia, aku akan menantangnya untuk berkelahi sampai seribu jurus!” Ci Sian berseru dan kelihatan amat penasaran.

“Akan tetapi, bagaimana bisa begitu kebetulan bahwa hanya kalian berdua saja yang melihat mata-mata itu pada saat yang sama?” Tiba-tiba Siok Lan bertanya dan dari sikap dan suaranya jelas dapat ditangkap bahwa dara ini merasa cemburu!

“Enci Lan, Engkau menyangka apa?”

Ci Sian membentak dengan wajar, sesuai dengan wataknya yang memang keras dan sikapnya ini banyak menolong dia dan Cin Liong dari pengamatan dua pasang mata yang memandang tajam dari Siok Lan dan ibunya.

“Seperti biasa, malam itu karena gerah aku keluar dari kamar dan aku memang selalu waspada untuk membantumu mengamat-amati gedung kalau-kalau ada tamu tak diundang menyelundup. Dan tiba-tiba aku melihat bayangan penjahat itu, dibayangi oleh Liong Cin. Dia memberi isyarat kepadaku bahwa dia mengejar orang di depan, maka aku pun ikut mengejar. Kami membantumu untuk mengejar mata-mata dan kini engkau hendak mencurigai kami?”

“Memang benar demikian, Nona Siok Lan. Malam itu mendengar orang di luar jendela kamarku. Aku mengintai dari jendela dan melihat bayangan orang itu longak-longok seperti maling. Aku sengaja tidak menegur, melainkan diam-diam aku membayanginya, maka ketika dia lari keluar dari gedung dan aku mengejarnya. Nona Ci Sian melihat kami dan ikut mengejar.”

“Biarlah aku pergi saja dari Lhagat kalau sudah tidak kau percaya lagi, Enci Lan!”

Siok Lan memegang lengan Ci Sian.
“Maaf, Adik Sian. Bukan kami tidak percaya kepadamu atau kepada Saudara Liong Cin, melainkan.... eh, kami harus hati-hati dalam keadaan seperti ini....”

“Sudahlah, kami sungguh berterima kasih kepada kalian berdua, sungguhpun amat sayang bahwa mata-mata itu dapat meloloskan diri.”

“Lain kali, kalau kalian melihat hal-hal yang mencurigakan, harap suka berteriak memberitahu agar kami semua dapat serentak bergerak menangkapnya.”

Puteri Nandini juga berkata, akan tetapi dari sikap panglima ini dan puterinya, mereka berdua agaknya sudah tidak curiga lagi dan tentu saja hal ini membuat Ci Sian dan Cin Liong merasa lega.

Akan tetapi, di samping kelegaan hati itu, ada sesuatu perasaan amat tidak enak dalam hati Ci Sian. Semenjak peristiwa itu, kalau kini dia melihat Cin Liong bersama Siok Lan berdua sedang berjalan-jalan atau bercakap-cakap, melihat betapa mesranya sikap Siok Lan, kepada pemuda itu, diam-diam dia merasa tidak senang!

Kadang-kadang dia melawan perasaannya sendiri ini. Apakah dia cemburu? Ihh, mana mungkin? Perasaan ini timbul ketika dia merasa betapa Siok Lan cemburu terhadapnya. Dia amat sayang kepada Siok Lan dan merasa bahwa di samping semua keadaan mereka yang berlawanan, namun terdapat perasaan suka dan sayang antara mereka, perasaan suka antara dua orang sahabat yang cocok.

Akan tetapi setelah kini dia merasa yakin bahwa Siok Lan jatuh cinta kepada pemuda itu. Dialah yang kini merasa tidak senang atau setidaknya ada perasaan tidak nyaman dalam hatinya. Tentu saja dia mengambil sikap tidak peduli dan selalu dia menekankan di dalam hatinya bahwa sikap manis Cin Liong kepada Siok Lan itu merupakan “alasan” dari jenderal muda itu untuk menjauhkan kecurigaan dan untuk menyembunyikan diri, tentu saja.

Tiga hari semenjak terjadinya peristiwa itu. Pagi hari itu Siok Lan mendekati Cin Liong dan mengajak pemuda ini berjalan-jalan ke atas sebuah bukit kecil di tepi kota Lhagat. Mereka melakukan perjalanan seenaknya, berjalan berdampingan dan Siok Lan yang beberapa kali menengok dan memandang wajah pemuda itu bertanya,

“Liong-ko (Kakak Liong), mengapa kau kelihatan termenung saja sejak tadi?”

Cin Liong terkejut akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu. Dia bukan hanya terkejut karena teguran yang membuktikan ketajaman mata dara ini, akan tetapi juga terkejut mendengar sebutan Liong-ko. Hanya jarang sekali dara ini menyebutnya koko, biasanya hanya menyebut namanya saja, terutama kalau berada di depan ibu dara ini atau di depan Ci Sian.

“Ah, tidak apa-apa, Nona.”

Mereka berjalan terus melalui tempat penjagaan dan tidak mempedulikan pandangan para perajurit Nepal yang menyeringai. Mereka berdua asyik bercakap-cakap dan agaknya sudah bukan rahasia lagi betapa akrabnya hubungan antara puteri panglima itu dengan pemuda “pemburu” itu.

Mereka kini tiba di puncak bukit kecil itu dan mereka duduk berdampingan di atas rumput hijau, memandang ke arah utara di mana nampak bukit yang dikepung tentara Nepal, bukit di mana terdapat lembah di mana tentara Ceng sedang dikepung, sudah hampir sebulan mereka dikepung tak berdaya di tempat itu!






Melihat bukit ini, tak terasa lagi jantung Cin Liong berdebar keras sekali, penuh ketegangan. Malam nanti saat itu tiba, seperti telah diaturnya dengan matang. Dia telah menghubungi semua pembantunya dan semua pembantu itu tentu telah bersiap-siap melaksanakan semua perintah dan siasatnya sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya. Dia sendiri perlu berada di Lhagat, selain untuk mengamati gerakan panglima musuh, juga untuk membantu lancarnya penyerbuan ke Lhagat setelah pasukannya berhasil lolos dari kepungan malam nanti.

Dan dia yakin pasukannya akan berhasil. Semua telah diperhitungkannya masak-masak. Dia dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau bendungan di atas itu dibobol dan air yang dipergunakan sebagai pasukan pelopor untuk menghantam dan menjebol kepungan musuh. Dan pada saat yang sama, pasukan-pasukan Tibet yang sudah dipersiapkannya akan bergerak pula menghantam dari arah lain untuk mengalihkan perhatian lawan.

Dan pada saat air menipis, pasukan yang terkepung akan meloloskan diri, turun dari bukit, keluar dari lembah melalui jalan yang telah dibikin rata dan aman oleh air bah itu! Dan dengan kekuatan disatukan dengan pasukan-pasukan Tibet, pasukannya akan menggempur Lhagat! Untuk semua itu, dia juga mengharapkan bantuan orang-orang pandai yang telah diam-diam diselundupkan ke Lhagat dan sekitarnya!

“Liong-koko....”

Cin Liong terkejut dan sadar dari lamunannya, dengan enggan dia menarik kembali pandang matanya yang sejak tadi ditujukan ke arah bukit itu dan dia menoleh kepada dara yang duduk di sampingnya. Dia melihat betapa sepasang mata yang jeli itu menatapnya dengan sayu, sepasang mata yang nampaknya seperti setengah terpejam, seperti mata yang mengantuk, akan tetapi ada sinar aneh dari sepasang mata di balik bulu-bulu mata yang lentik itu.

Siok Lan memang cantik sekali, kecantikan yang manis dan aneh seperti biasa terdapat pada kecantikan dara-dara yang berdarah campuran. Siok Lan adalah seorang dara berdarah peranakan Han dan Nepal dan agaknya dara ini menerima kurnia yang luar biasa dari alam, dia agaknya telah mewarisi segi-segi baiknya saja dari ayah bundanya yang berbeda bangsa itu. Kulitnya putih kuning halus seperti kulit wanita bangsa ayahnya, demikian pada kehitaman dan kelebatan rambutnya, ramping dan semampainya bentuk tubuhnya. Dan dia memiliki sepasang mata yang lebar dan indah dengan bulu mata lentik, hidung yang agak mancung dan dagu meruncing seperti kemanisan wajah Ibunya.

Cin Liong adalah seorang pemuda yang sejak kecil mengejar ilmu kepandaian dan belum pernah dia melibatkan diri dengan hubungan antara pria dan wanita. Hubungannya dengan Siok Lan hanya merupakan hubungan yang berdasarkan siasat perangnya belaka, maka selama ini dia menganggap dara ini sebagai puteri dari panglima pasukan musuhnya, sungguhpun secara pribadi dia mengagumi dara ini, juga Ibunya yang dianggapnya seorang panglima yang pandai dan dara ini memiliki watak yang amat baik.

Kini, dalam keadaan santai, duduk berdua di tempat sunyi itu, mendengar suara Siok Lan memanggilnya, kemudian setelah menoleh bertemu pandang mata yang demikian indah dan penuh getaran perasaan memandangnya, jantung Cin Liong terasa berdebar aneh. Baru sekarang selama dia hidup dia merasakan suatu getaran aneh dalam hatinya, dan wajah dara itu seolah-olah baru sekarang dilihatnya, baru sekarang dia menemukan keindahan dan kecantikan luar biasa pada mata dan bibir itu!

Sejenak dua pasang mata itu bertemu pandang, bertaut seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka terpesona dan seolah-olah pandang mata saling melekat tak dapat dipisahkan lagi. Akan tetapi akhirnya Cin Liong dapat menguasai debaran jantungnya dan kedua pipinya menjadi merah ketika dia bertanya lirih.

“Ada apakah, Nona?”

Siok Lan juga baru sadar bahwa sejak tadi dia seperti terayun dalam alam mimpi, dan dia menjadi malu sekali, cepat dia menunduk dan mukanya menjadi lebih merah daripada muka pemuda itu.

“Liong-ko, sejak tadi kulihat engkau melamun saja, seperti orang yang berduka, atau seperti orang yang khawatir. Ada apakah?”

Cin Liong tersenyum.
“Tidak apa-apa, Nona.”

Dara itu mengangkat muka memandang dan kini sepasang matanya tidak sayu lagi seperti tadi, melainkan bersinar tajam penuh selidik.

“Sejak kita datang ke tempat ini, engkau duduk melamun dan memandang ke arah bukit di sana itu, Liong-ko. Aku dapat merasakan bagaimana kedukaan dan kekhawatiran menekan hatimu melihat pasukan kerajaan itu terkepung di sana sudah sebulan....”

“Ah, tidak....!”

Cin Liong cepat membantah dan diam-diam dia terkejut sekali. Apakah dara ini mengetahui pula rahasianya? Kalau begitu, amat berbahaya dan dia harus cepat turun tangan. Terbongkar rahasianya akan berbahaya sekali, dapat menggagalkan siasatnya yang akan dilaksanakan malam nanti.

Akan tetapi dara itu nampak tenang saja, bahkan tersenyum pahit.
“Aku mengerti, Liong-ko. Engkau adalah seorang bangsa Han, dan tentu saja tidak senang melihat pasukan bangsamu terkepung dan menghadapi kehancuran....”

Karena masih meragu, Cin Liong belum turun tangan, dan dia memancing,
“Engkau tahu bahwa aku hanyalah seorang pemburu Nona, aku tidak mencampuri urusan perang....”

“Aku mengerti, Liong-ko, akan tetapi aku pun dapat menduga betapa hatimu duka dan khawatir oleh akibat perang yang mengancam pasukan bangsamu. Aku sendiri pun benci perang! Aneh kedengarannya. Ibu seorang panglima perang, tapi aku benci perang. Dan tahukah engkau, Liong-ko, Ibu sendiri pun benci perang!”

“Ehh....?”

Cin Liong benar-benar terkejut mendengar ini, dan dia menatap wajah cantik itu dengan heran. Siok Lan mengangguk lalu menunduk, merenung.

“Ya, Ibuku benci perang. Ibuku adalah seorang puteri Nepal, sejak kecil mempelajari kesenian dan kesusastraan. Akan tetapi dia pun mempelajari ilmu silat dan perang. Biarpun begitu, dia selalu mencela perang!”

“Akan tetapi mengapa dia menjadi panglima?”

“Karena.... patah hati.... gagal dalam asmara.”

“Ahhh....!”

Dara itu menoleh dan menatap wajah Cin Liong, kemudian dia menggeser duduknya sehingga berhadapan dengan pemuda itu. Sejenak dia menatap tajam, kemudian dia berkata,

“Dengarlah, Liong-ko, aku akan menceritakan riwayat kami kepadamu. Akan tetapi harap semua ini dirahasiakan.”

Cin Liong hanya mengangguk-angguk dan merasa heran mengapa dara ini demikian percaya kepadanya.

“Ibuku adalah seorang wanita Nepal, puteri seorang pendeta yang sejak kecil mempelajari seni, sastra, silat dan ilmu perang. Kemudian Ibuku menikah dengan seorang pangeran Nepal, seorang pangeran tua yang menjadi Ayah tiriku.”

“Ayah tirimu....?”

“Ya, aku.... Ayah kandungku adalah seorang pria berbangsa Han, seperti engkau, Liong-ko.”

“Hemmm.... sudah kuduga itu, melihat keadaanmu.”

“Karena Ibu lebih perkasa dan pandai daripada Ayah tiriku, maka Ibu lalu diangkat menjadi perwira tinggi dalam ketentaraan. Ibu menerima pengangkatan itu untuk menghibur hatinya, karena.... karena sesungguhnya Ibu tidak mencinta suaminya yang jauh lebih tua, dan hal itu terjadi sampai Ayah tiriku meninggal dunia. Semenjak itu Ibu menjadi panglima dan biarpun dia membenci perang, terpaksa dia melakukan tugas kewajibannya sebaik mungkin.”

“Dan.... Ayah kadungmu?”

Dara itu menggeleng kepala.
“Ibu merahasiakannya. Aku bahkan tidak tahu siapa she Ayahku itu. Aku tidak tahu di mana dia, masih hidup ataukah sudah mati. Heran sekali, Ibu agaknya amat membenci Ayah kandungku sehingga setiap kali aku bertanya, dia marah-marah dan bahkan pernah menamparku karena bertanya itu. Agaknya.... agaknya dia akan sanggup membunuhku kalau aku bertanya terus.”

Dan sampai di sini, Siok Lan dara yang biasanya lincah gembira itu kelihatan berduka, bahkan ada air mata menitik turun dari kedua matanya. Diam-diam Cin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia diam saja, masih terheran-heran mendengar cerita yang luar biasa itu. Ibu dara ini, panglima yang pandai dan perkasa itu, ternyata menyimpan rahasia kehidupan yang amat menyedihkan! Siok Lan mengusap air matanya, berhenti menangis, kemudian menarik napas panjang berulang-ulang.

“Liong-ko, betapa inginku pertemuan antara kita tidak terjadi di tempat ini, di waktu perang seperti ini. Ah, betapa akan senangnya duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini kalau tidak ada perang di situ, kalau keadaan tenteram dan damai. Akan tetapi.... betapapun juga.... karena adanya perang inilah, maka dia dapat saling bertemu.”

Cin Liong diam saja, tidak tahu harus mengatakan apa dan dia pun tidak tahu mengapa dara itu mengeluarkan ucapan seperti itu.

“Liong-ko, di mana adanya Ayah Bundamu?”

Pertanyaan tiba-tiba ini mengejutkan Cin Liong juga, akan tetapi dengan sikap tenang dia menjawab,

“Mereka tinggal jauh di utara, Nona.”

“Liong-ko, harap kau jangan menyebut Nona padaku, Panggil saja namaku!”

“Akan tetapi, Nona....”

“Apakah engkau tidak mau menganggap aku sebagai seorang.... sahabat baikmu?” bertanya demikian, dara itu mengangkat muka dan menatap wajah Cin Liong dengan sepasang mata yang tajam berseri.

Akhirnya Cin Liong menunduk dan mengangguk.
“Baiklah, Lan-moi (Adik Lan). Engkau sungguh baik sekali.”

“Bukan aku, melainkan engkaulah yang baik sekali, Liong-ko. Aku berhutang budi dan nyawa padamu....”

“Cukuplah itu, harap jangan sebut-sebut lagi soal itu. Engkau dan Ibumu telah menerimaku di sini dengan baik sekali, aku malah yang harus malu....“

Cin Liong teringat betapa kehadirannya itu adalah sebagai mata-mata padahal dara ini demikian baik kepadanya. Nampak makin jelaslah olehnya betapa keji dan kejamnya perang!

“Akan tetapi, peristiwa itu takkan terlupakan olehku selama hidup, Liong-ko. Dan....kalung itu.... apakah masih kau simpan?”

Otomatis tangan kiri Cin Liong meraih ke lehernya dan gerakan ini saja membuat Siok Lan merasa girang sekali dan dia yakin bahwa kalung itu masih dipakai oleh pemuda ini, maka ia melanjutkan kata-katanya.

“Terima kasih kalau masih kau simpan. Liong-ko, ketahuilah aku.... aku memberi kalung itu.... dengan sepenuh hati.... kalung itu pemberian Ibu dan.... mewakili diriku....” Tiba-tiba dia menunduk dan mukanya menjadi merah sekali.

Cin Liong juga dapat merasakan kejanggalan kata-kata ini dan makna mendalam yang dikandungnya, maka dia pun tiba-tiba merasa jengah dan malu. Sejenak mereka berdua yang duduk berhadapan itu tidak mengeluarkan kata-kata, keduanya lebih banyak menunduk dan kalau kebetulan saling pandang, lalu tersenyum canggung!

Hati Cin Liong tergetar dan tertarik. Dara ini memang memiliki daya tarik yang kuat sekali, akan tetapi selama ini, biarpun bergaul dengan akrab, dia tidak merasakan daya tarik ini karena seluruh perhatiannya tercurah kepada tugasnya. Kini baru dia merasakan daya tarik itu yang membuat dia ingin sekali memandang wajah dan menikmati kejelitaannya, ingin sekali bersikap dan berbicara manis, ingin sekali menyentuh dan merangkul mesra. Akan tetapi Cin Liong masih ingat akan kedudukan dan tugasnya, maka dia mengeraskan hatinya dan akhirnya dia bangkit berdiri. Siok Lan juga ikut bangkit dan memandang heran.

“Nona.... eh, Adik Siok Lan, marilah kita pulang. Ibumu tentu akan mencarimu, dan tidak baik bagimu kalau berlama-lama kita duduk berdua saja di tempat ini.”

Dara itu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mengandung kekerasan.
“Liong-ko, mengapa tidak baik bagiku? Aku tidak peduli dengan orang lain, dan Ibu tentu tidak akan melarang kalau aku berdua di sini bersamamu.”

Cin Liong tersenyum. Dalam marahnya, dara itu bahkan nampak semakin cantik!
“Syukurlah kalau begitu, Lan-moi. Akan tetapi, akulah yang merasa tidak enak, karena aku adalah seorang tamu yang diterima dengan ramah dan baik, dan aku hanya seorang pemburu miskin biasa, sedangkan kau.... kau puteri panglima....“

“Hussshh, jangan ucapkan lagi kata-kata seperti itu, Liong-ko! Ingat, Ibuku hanya anak seorang pendeta sederhana yang miskin dan bodoh. Dan aku.... hemm, aku bahkan tidak pernah kenal siapa Ayah kandungku! Engkau yang mempunyai Ayah Bunda yang jelas dan terhormat, engkau lebih terhormat daripada aku.”

Kemball Cin Liong tersenyum. Banyak segi-segi baik pada diri dara ini, pikirnya.
“Baiklah, Lan-moi. Engkau benar, akan tetapi sudah lama kita di sini, mari kita kembali.”

Tanpa disengaja, tangannya menyentuh tangan dara itu. Perbuatan tidak disengaja oleh Cin Liong ini berakibat besar karena dara itu merasa tangannya dipegang dan dia cepat memegang tangan pemuda itu dan jari-jari tangan mereka saling pegang, kemudian sambil bergandeng tangan mereka menuruni bukit itu.

Dua orang muda remaja yang selama hidupnya baru pertama kali ini mendekati lawan jenisnya, merasa betapa ada getaran-getaran halus pada jari tangan mereka, getaran yang timbul dari hati mereka yang berdebar-debar tidak karuan, getaran mesra yang menjalar ke seluruh tubuh, yang membuat mereka kadang-kadang saling pandang, saling senyum tanpa kata-kata. Namun apa artinya lagi kata-kata dalam keadaan seperti itu? Pandang mata dan senyum ini sudah cukup mengeluarkan seluruh apa yang terkandung dalam perasaan masing-masing, yang belum tentu dapat dilukiskan dengan kata-kata yang betapa indah sekalipun.

Tiba-tiba Cin Liong melepaskan tangannya yang saling bergandengan dengan gadis itu dan Siok Lan juga cepat-cepat agak menjauhkan diri dari pemuda itu ketika dia melihat munculnya Ci Sian di tikungan depan.

“Eh, Enci Lan, kucari engkau ke mana-mana tidak tahunya berada di sini. Hemm, maaf ya, aku mengganggu, ya?” kata dara ini sambil tersenyum menggoda, sungguhpun ada perasaan tidak enak di dalam hatinya, perasaan tidak enak yang dia sendiri tidak tahu mengapa.

“Ah, ada-ada saja engkau, Sian-moi. Siapa mengganggu siapa? Aku bercakap-cakap dengan.... eh, Liong-ko....”

Akan tetapi dia berhenti karena teringat bahwa baru sekarang di depan Ci Sian dia menyebut pemuda itu dengan sebutan koko. Mukanya menjadi merah sekali dan melihat ini Ci Sian tersenyum walaupun hatinya terasa semakin tidak enak. Mereka bertiga lalu kembali ke gedung di mana Puteri Nandini sudah menunggu karena memang panglima inilah yang menyuruh Ci Sian untuk pergi mencari Siok Lan dan memanggilnya pulang karena dia perlu untuk bicara.

Setelah tiba di dalam gedung, Siok Lan langsung memasuki kamar ibunya dan di situ dia melihat bahwa ibunya sedang berunding dengan para panglima pembantu ibunya, dan sikap mereka menunjukkan bahwa tentu terjadi sesuatu yang gawat.

“Ibu, ada apakah?” tanyanya.

“Duduklah. Dengar baik-baik, Siok Lan. Menurut para penyelidik, ada sesuatu yang aneh sedang direncanakan oleh fihak musuh, entah apa. Ada pergerakan dari pasukan-pasukan Tibet yang telah kita kalahkan. Kita tidak percaya bahwa pasukan tibet akan berani bergerak menyerang Lhagat tanpa suatu rencana tertentu. Agaknya mereka merahasiakan rencana itu dan keadaan pasukan musuh yang terkepung juga nampak tenang-tenang saja. Ketenangan inilah yang membuat hatiku tidak enak. Maka, siapa pun harus kita curigai. Engkau bertugas selain menjaga keamanan gedung ini, juga untuk memata-matai dua orang tamu kita itu.”

“Apa? Ibu maksudkan Adik Sian dan Liong-koko?”

Mendengar puterinya menyebut koko kepada pemuda itu. Puteri Nandini memandangnya dengan sepasang mata penuh selidik dan mata ibu yang tajam ini melihat betapa ada warna kemerahan pada kedua pipi puterinya.

“Ya, dua orang itu adalah orang-orang asing bagi kita. Biarpun sampai kini tidak ada gerakan-gerakan dan bukti-bukti yang menjadikan kecurigaan kita, namun kita harus tetap waspada. Dan karena mereka adalah teman-temanmu, maka sebaiknya engkau yang menyelidiki dan membayangi keadaan mereka agar tidak terlalu mencolok.”

Siok Lan tidak dapat membantah, apalagi di situ hadir banyak pembantu ibunya, maka dia cepat mengangguk dan menjawab,

“Baiklah, Ibu.”

Mereka lalu berunding dan Sang Panglima Wanita itu lalu membagi-bagi tugas untuk memperketat penjagaan dan bahkan memutuskan bahwa kalau sampai dua hari lagi pasukan yang terkepung tidak menyerah dan tidak ada tanda-tanda kedatangan orang-orang penting dari kota raja, maka lembah itu akan digempur dan pasukan terkurung itu akan dipaksa untuk menyerah!

Malam itu tidak ada bulan nampak di langit. Hanya ada bintang-bintang gemerlapan di langit hitam, seperti ratna mutu manikam di atas kain beludru hitam, berkilauan cemerlang, berkedip-kedip seperti ada selaksa bidadari bermain mata kepada manusia diatas bumi. Bima sakti nampak nyata, dibentuk oleh kelompok bintang-bintang yang berderet memanjang putih, sehingga nampaknya seperti awan putih cemerlang, membentuk bayang-bayang hitam yang tetap dan dalam.

Pada malam hari yang indah dan kelihatan penuh ketenteraman itu, dengan angin malam lembut bersilir, orang-orang di Lhagat dan sekitarnya tiba-tiba dikejutkan oleh sinar yang berluncuran dari bawah. Sinar-sinar yang seperti kembang api meluncur tinggi ke atas, berwarna hijau, kuning dan merah. Mula-mula warna merah yang lebih dulu meluncur dari lembah bukit di mana pasukan Ceng terkepung, lalu disusul oleh luncuran warna-warna lain dari bukit-bukit dan bahkan dari dalam kota Lhagat!

Selagi orang-orang menonton kembang api itu dengan heran, kagum hati bertanya-tanya siapa yang meluncurkan ke atas dan apa artinya itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari atas puncak bukit di mana pasukan musuh terkepung, suara ledakan keras disusul gemuruhnya air membanjir!

Itulah permulaan dari gerakan yang dilakukan oleh Panglima Kao Kok Han bersama pasukannya yang terkepung, sesuai dengan siasat yang telah diatur oleh Panglima Kao Cin Liong! Mula-mula saling diluncurkan anak-anak panah api ke atas oleh para pasukan yang terkepung, yang disambut oleh pasukan-pasukan Tibet, kemudian disambut pula oleh para anggauta gerilya yang telah menyelundup ke dalam kota Lhagat.

Kemudian, Panglima Kao Kok Han, yaitu paman dari Cin Liong, memimpin anak buahnya membobolkan bendungan air yang telah merupakan danau kecil di puncak karena mereka membendung air yang keluar dari sumber sehingga terkumpul amat banyaknya. Jebolnya bendungan ini tentu saja membuat air yang amat banyak itu membanjir ke bawah dengan derasnya, dan langsung menyerbu ke arah pasukan Nepal yang mengepung di bagian barat lembah bukit itu!

Tentu saja pasukan Nepal di sebelah barat bukit ini menjadi kaget, panik dan kacau-balau diserang oleh banjir yang datang dari puncak bukit itu. Mereka tidak tahu apa yang terjadi maka ada air yang tiba-tiba menyerbu mereka dari atas, menyeret perkemahan mereka, membunuh banyak orang dan menyeret orang-orang itu, menghempaskan mereka kepada batu-batu dan pohon-pohon.

Mereka masih belum menyangka bahwa ini adalah perbuatan musuh, dan kepanikan menjadi semakin hebat ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan hujan anak panah datang dari sebelah luar kepungan yang merobohkan lebih banyak orang lagi karena mereka tidak sempat berlindung dan masih panik oleh serangan air bah dari atas bukit.

Kepanikan ini menjadi-jadi ketika pasukan dari atas bukit yang terkepung itu tiba-tiba menyerbu turun, mengikuti air yang makin menipis. Pasukan Nepal yang mengepung segera memusatkan kekuatan di tempat itu, akan tetapi karena mereka sudah kena gempuran air dan pasukan Tibet yang menghujankan anak panah tadi, mereka mengira bahwa tentu pasukan Ceng-tiauw memperoleh bantuan barisan Ceng-tiauw yang besar, dan mereka sudah terlalu panik sehingga mereka melakukan perlawanan dengan hati takut.

Makin banyaklah pasukan-pasukan Tibet muncul dari berbagai jurusan, menghadang bagian pasukan Nepal yang tadinya mengepung dari arah lain dan kini berdatangan ketempat itu untuk membantu kawan-kawan mereka. Pasukan-pasukan gerilya Tibet ini memotong-motong pasukan itu dan terjadilah pertempuran di sana-sini membuat pasukan Nepal yang mengepung itu terpecah-pecah dan kacau-balau.