FB

FB


Ads

Selasa, 03 Maret 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 104

“Tambolon, kau bebaskan bocah itu.”

“Kenapa?” Tambolon bertanya. “Dan siapakah kau?”

“Hi-hik, kalau kau tidak keburu melarikan diri ketika pasukanmu dihancurkan di Koan-bun, tentu engkau telah bertemu dengan aku. Suheng Hek-tiauw Lo-mo dan aku Mauw Siauw Mo-li yang memimpin pasukan pemberontak menghancurkan pasukan itu!”

“Ahhhh....!”

Tambolon terkejut dan cepat melemparkan tubuh Siang In yang lumpuh itu ke atas pembaringan sambil berkata,

“Manis, kau tunggu sebentar di situ!”

Kemudiah dia menghadapi wanita itu dan memandang dengan penuh perhatian. Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Hek-tiauw Lo-mo yang hebat dan kiranya wanita ini adalah adik seperguruan tokoh itu.

“Jadi begitukah? Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya menentang Tambolon?”

“Tambolon, semua itu adalah salahmu sendiri. Mula-mula engkau membantu Pangeran Liong, seperti juga kami, akan tetapi siapa suruh engkau berkhianat dan malah menyerang pasukan Pangeran Liong? Sehingga terjadi saling serang dan akhirnya kita semua dihancurkan oleh pasukan pemerintah! Sekarang kita semua telah gagal, dan kedatanganku bukan karena urusan kegagalan itu, melainkan untuk minta Nona ini.”

Tambolon mengangguk-angguk. Memang dia telah sadar bahwa dia telah dipancing oleh Lu Ceng dan Topeng Setan! Juga tidak baik kalau dia harus memusuhi Hek-tiauw Lo-mo dan sumoinya ini. Dengan orang-orang seperti itu jauh lebih baik bersekutu daripada bermusuhan, dan dia sedang membutuhkan banyak tenaga bantuan untuk menghimpun kekuatan baru. Maka dia lalu tertawa.

“Ha-ha-ha, Mauw Siauw Mo-li sungguh enak saja bicara. Engkau tahu bahwa nona ini telah menjadi isteriku, bagaimana mungkin akan kau minta begitu saja?” Dia lalu melanjutkan setelah menjelajahi tubuh wanita cantik itu dengan pandang matanya.

“Kalau kau hendak mengambil dia, apakah engkau akan menggantikan dia menemaniku malam ini? Ha-ha-ha!”

Mauw Siauw Mo-li tersenyum.
“Menemanimu saja bukan merupakan keberatan bagiku, Tambolon. Akan tetapi aku perlu nona ini sekarang, dan kalau kau memberikannya baik-baik, kelak masih belum terlambat bagiku untuk berkunjung dan menemanimu beberapa malam. Akan tetapi sekarang aku tidak ada waktu lagi, dan biarkan aku pergi membawa nona itu.”

“Kalau aku menolak?”

“Hi-hik, engkau tentu tahu bahwa kami kakak beradik seperguruan tidak biasa dibantah!”

Tambolon tersenyum. Baginya, mendapatkan Siang In atau tidak bukanlah merupakan hal yang amat penting. Masih banyak perawan yang bisa didapatkan pada malam itu juga dan berapa banyak pun. Dan sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo ini amat cantik, pula kalau dia dapat bersekutu dengan Hek-tiauw Lo-mo melalui wanita ini, hal itu akan memperkuat kedudukannya.

Akan tetapi dia adalah seorang raja, selain amat merendahkan kalau dia harus menurut perintah wanita itu begitu saja, juga sebagai seorang yang berilmu tinggi dia ingin sekali mencoba kepandaian wanita yang mengaku sebagai sumoi dari Hek-tiauw Lo-mo.

“Bagus, Mauw Siauw Mo-li, aku pun ingin sekali mencoba apakah kepandaianmu juga sehebat kecantikanmu. Sambutlah!”

Tambolon lalu meloncat ke depan mengirim serangan dengan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak wanita cantik itu.

“Hemm, bagus....!”

Wanita itu dengan gerakan yang amat lincahnya sudah mengelak ke kiri. Mauw Siauw Mo-li bukan tidak tahu bahwa raja orang liar ini memiliki kepandaian yang amat tinggi, dan dia pun tahu pula bahwa Tambolon mempunyai pembantu-pembantu yang lihai dan dia telah memasuki sarang naga yang berbahaya.

Maka sambil meloncat, dia terus mencelat ke arah pembaringan dan di lain saat dia telah berhasil menyambar tubuh Siang In yang dikempit oleh lengan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebuah benda kecil.

Benda itu berbentuk dos kecil tempat yanci (alat pemerah pipi). Melihat wanita memegang yanci, Tambolon tertawa dan tentu saja tidak menduga apa-apa, terus menubruk ke depan. Akan tetapi wanita itu membawa Siang In meloncat keluar kamar melalui jendela sambil menyambitkan dos kecil itu ke arah Tambolon. Raja yang liar ini cukup cerdik. Biarpun benda itu hanya dos kecil, namun dia menjadi curiga dan cepat melompat jauh menghindari sambil bertiarap.

“Darrr....!”

Seperti yang telah dikhawatirkan oleh Tambolon, benda kecil yang kelihatan tidak berarti itu kiranya adalah sebuah senjata rahasia peledak yang amat hebat kekuatannya. Meja kursi dan pembaringan di dalam kamar itu hancur berantakan dan kalau saja Tambolon tidak bertiarap, tentu dia dapat terluka pula.

Dia menjadi kagum akan tetapi juga marah. Wanita itu memang patut dijadikan sekutu, akan tetapi telah terlalu menghinanya, maka dia segera berteriak memanggil anak buahnya dan minta bantuan gurunya untuk melakukan pengejaran. Karena Mouw Siauw Mo-li sudah berlari jauh dan berlindung di kegelapan malam bersama Siang In, maka dengan hati mendongkol Tambolon lalu mengirim pasukan untuk mengejar terus.

Siang In tadinya marah sekali ketika melihat Mauw Siauw Mo-li, karena wanita pesolek itulah yang telah mencuri kitab catatan peninggalan ayahnya. Akan tetapi ketika melihat wanita itu menolongnya dan melarikannya dari kamar Tambolon, dia merasa heran dan juga bersyukur sekali, sungguhpun dia menduga bahwa perbuatan wanita itu tentu mengandung pamrih sesuatu.






Seorang yang berwatak palsu seperti wanita ini, yang diterimanya sebagai tamu dengan ramah kemudian malah mencuri kitab seperti maling, tidak mungkin mengenal perbuatan baik. Di balik pertolongannya melarikan dia dari tangan Tambolon pasti bersembunyi keinginan lain demi kepentingan dirinya sendiri.

Mauw Siauw Mo-li membebaskan totokannya dan Siang In kini berjalan di sampingnya di dalam kegelapan malam, melalui pegunungan yang hanya disinari cahaya bulan muda dan bintang-bintang di langit.

“Setelah mencuri kitab, engkau ini pura-pura menolongku ada keperluan apa?”

Siang In menegur, akan tetapi tidak menghentikan kakinya yang berjalan mengikuti wanita itu karena dia maklum bahwa Tambolon dan anak buahnya tentu melakukan pengejaran.

“Kitab itu? Nih, kau boleh terima kembali!”

Mauw Siauw Mo-li menyerahkan kitab kuno kecil kepada Siang In. Dara ini makin heran akan tetapi menerima kitab itu dan disimpannya di saku baju dalamnya. Kitab itu sebetulnya tidak lagi berguna bagi dia atau kakaknya karena mereka telah hafal akan isinya, dan mereka menyimpannya hanya sebagai barang pusaka peninggalan ayah mereka.

“Engkau seorang yang aneh sekali. Engkau tadi menyebutkan nama julukanmu Mauw Siauw Mo-li? Apakah artinya semua perbuatanmu ini? Mula-mula engkau mengunjungi aku, mencuri kitab ini, sekarang engkau bersusah payah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon lalu mengembalikan kitab. Sebetulnya, apakah kehendakmu?”

Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, lalu berkata,
“Engkau puteri mendiang Yok-sian, sayang kalau sampai menjadi makanan Tambolon yang rakus! Dan, eh adik kecil yang baik, siapa namamu?”

“Aku Teng Siang In.”

“Adik Siang In, sebagai keturunan orang pandai, engkau tentu mengutamakan balas budi. Engkau tentu tahu bahwa tanpa aku yang melarikanmu dari tangan Tambolon, saat ini engkau sudah mengalami hal yang amat menyenangkan hati Tambolon akan tetapi yang bagi dirimu merupakan penghinaan yang akan terasa seumur hidupmu. Engkau akan sudah diperkosa, menderita penghinaan berkali-kali sampai kau tidak kuat menahan dan mati, dalam keadaan hina dan mengerikan. Nah, kau mengakui adanya pertolonganku ataukah tidak?”

Mendengar ucapan itu, Siang In membayangkan apa yang dapat menimpa dirinya itu dan dia bergidik ngeri. Akan tetapi dia seorang dara yang cerdik, dan setelah terbebas dari ancaman bahaya maut di tangan Tambolon, kini dia pun tidak takut lagi menghadapi bahaya baru dan dia menjawab,

“Mo-li, lebih baik katakan saja terus terang, apa yang kau kehendaki dari aku setelah kitab yang kau curi ini agaknya tidak ada gunanya bagimu.”

“Hi-hik, engkau lumayan juga, engkau cerdik! Nah, lebih baik aku berterus terang saja.” Dia berhenti di bawah pohon kecil dan duduk di atas batu, Siang In berdiri di depannya. “Terus terang saja, aku menderita keracunan di sebelah dalam darahku. Hal ini terjadi ketika aku mencuri mempelajari ilmu pukulan beracun dari kitab milik suhengku. Sebelum sempurna aku mempelajarinya, suhengku tahu akan hal itu dan dia merampas kembali kitab itu sehingga aku tidak dapat melanjutkan latihanku.

Karena tidak ada lagi petunjuknya, hawa beracun yang sudah terkumpul itu tidak dapat kusalurkan dan mulai meracuni diriku sendiri. Aku telah minta tolong Suheng, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi suhengku itu memang orang kejam! Dia malah menyukurkan, bilang bahwa itu hukumannya seorang yang mencuri pelajaran orang lain. Huh, seperti aku tidak tahu saja bahwa dia pun mencuri kitab itu dari Dewa Bongkok!

Akan tetapi untuk memaksanya, aku tidak berani karena dia lihai sekali. Nah, aku mendengar bahwa tokoh pengobatan yang paling pandai adalah Yok-sian, ayahmu. Sayang dia telah meninggal dunia, maka aku lalu mencuri kitab itu. Kiranya kitab itu hanya terisi catatan tentang nama-nama dan macamnya tetumbuhan obat, sama sekali tidak ada gunanya bagiku. Karena itu, Adik Siang In, aku menolongmu dan ingin minta bantuanmu agar engkau suka menerangkan, obat apa yang kiranya akan dapat menyembuhkan aku, karena engkau tentu telah mewarisi kepandaian itu dari ayahmu.”

Siang In mengerutkan alisnya.
“Sayang sekali, kepandaian pengobatan itu diwarisi enciku, dan aku hanya mengenal bahan-bahan obat saja. Akan tetapi, biar enciku sendiri kiranya tidak akan dapat menyembuhkan akibat racun yang menyerang dari dalam karena latihan yang salah. Ada suatu rahasia besar yang diketahui oleh enciku dan aku, dan karena engkau telah menyelamatkan aku, biarlah aku membuka rahasia itu kepadamu dan mungkin saja rahasia itu akan menjadi jalan penyembuhanmu.”

Mauw Siauw Mo-li gembira sekali mendengar ini.
“Rahasia apa itu yang akan mampu menyembuhkan aku? Lekas katakan!”

“Mendiang Ayah pernah bercerita kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah sendiri pernah mencoba untuk mendapatkan anak naga itu....”

“Anak naga? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!”

Karena merasa telah dihindarkan dari bahaya yang mengerikan di tangan Tambolon, Siang In lalu membuka rahasia seperti yang pernah dituturkan oleh mendiang ayahnya itu. Di sebuah telaga yang amat luas, yaitu Telaga Sungari yang jarang didatangi manusia, di sebelah barat Pegunungan Jang-kwan-cai, hidup seekor naga yang mungkin merupakan naga terakhir di dunia ini.

Naga itu tidak pernah keluar dari dasar telaga yang amat dalam itu, dan hanya setiap sepuluh tahun sekali, pada permulaan musim semi, naga itu keluar dari dalam telaga, membawa anaknya yang baru menetas untuk menerima sinar matahari.

Setiap sepuluh tahun sekali naga itu bertelur dan jarang sekali ada telurnya yang menetas, akan tetapi kalau ada yang menetas, anaknya lalu dibawa ke permukaan telaga untuk menghisap tenaga yang dari matahari. Nah, anak naga yang baru menetas itu merupakan mustika yang tak ternilai harganya, karena dapat dipergunakan untuk obat yang menyembuhkan segala macam penyakit, terutama keracunan. Juga bagi yang tidak menderita sakit, anak naga itu merupakan obat yang dapat membikin tubuh menjadi kuat dan kebal, dapat pula memperkuat tenaga sin-kang.

“Sekarang aku telah berusia lima belas tahun berarti sepuluh tahun telah lewat sejak naga itu muncul di permukaan air Telaga Sungari. Bulan depan adalah permulaan musim semi, maka kalau engkau mau pergi ke telaga itu dan dengan kepandaianmu engkau dapat merampas anak naga, jangankan baru keracunan di dalam darahmu, biar engkau sudah tiga perempat mati pun akan dapat disembuhkan.”

Mauw Siauw Mo-li tertarik sekali.
“Permulaan musim semi? Hanya kurang beberapa hari lagi....” Dia berhenti dan menatap wajah dara itu, menajamkan pandangan untuk menembus kegelapan remang-remang itu menyelidiki wajah Siang In. “Siang In, benarkah apa yang kau ceritakan semua itu?”

Siang In cemberut.
“Mo-li, engkau tadi menyebut-nyebut nama ayahku yang telah meninggal dunia. Apa kau kira aku sudi untuk mencemarkan nama baik ayahku dengan cara membohongimu? Betapapun juga, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan Tambolon, dan sudah sepatutnya kalau kau kuberi tahu tentang anak naga itu agar engkau dapat mencari penyembuhan untuk darahmu yang keracunan.”

“Bagus! Kalau ceritamu benar dan aku berhasil, kelak aku akan menghaturkan terima kasih ke lembah Pek-thouw-san di mana engkau tinggal. Akan tetapi kalau engkau membohong, aku pun akan datang ke sana dan engkau akan menerima hukuman yang lebih mengerikan daripada kalau engkau terjatuh ke tangan Tambolon.”

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan lenyap. Siang In hanya mendengar suara lengking aneh seperti seekor kucing terinjak ekornya dari jauh. Dia bergidik. Pantas julukannya Siluman Kucing, pikirnya. Kemudian dia teringat bahwa dia ditinggalkan sendirian saja, sedangkan mungkin sekali pasukan Tambolon masih melakukan pengejaran, maka dia lalu melanjutkan perjalanan melarikan diri.

Siang In adalah seorang dara remaja yang sejak kecil hidup tenteram di lereng Gunung Pek-thouw-san, sebuah puncak di Pegunungan Jang-pai. Dia hidup bersama encinya, Siang Hwa dan biasanya dia hanya pergi ke hutan-hutan di sekitar pegunungan itu mencari bahan-bahan obat atau rempah-rempah yang banyak tumbuh di daerah itu.

Kini, dia melakukan perjalanan mencari encinya, tentu saja dia kurang pengalaman dan dia sama sekali asing dengan daerah yang dilaluinya sekarang ini. Apalagi perjalanan pelarian itu dilakukan di malam hari, hanya diterangi bulan muda dan bintang-bintang, dalam keadaan gelisah karena dikejar pula, maka dia lalu melarikan diri secara ngawur.

Sebaliknya, yang melakukan pengejaran dua rombongan. Rombongan pertama adalah pasukan yang melakukan pengejaran terhadap lima orang Bhutan, Kian Bu, dan Siang Hwa yang dapat melarikan diri lebih dulu ketika terjadi kebakaran. Rombongan ke dua adalah pasukan yang mengejar Mauw Siauw Mo-li dan Siang In.

Yang pertama dipimpin oleh Si Petani Maut, sedangkan pasukan ke dua dipimpin oleh Yu Ci Pok Si Siucai Maut. Pasukan-pasukan pengejar ini terdiri dari orang-orang Nomad yang sejak kecil hidup di daerah itu secara berpindah-pindah, tentu saja mereka mengenal baik daerah itu dan mereka dapat melakukan pengejaran dengan terarah dan mengepung serta memotong jalan-jalan di daerah itu.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada keesokan harinya, Siang In terkejut sekali mendengar derap kaki kuda jauh dari belakangnya. Dia sudah keluar dari daerah hutan dan berada di tanah datar tanpa pohon, maka tidak sempat lagi baginya untuk bersembunyi, maka larilah dara ini ke depan, secepat mungkin!

Tak lama kemudian terdengar suara hiruk-pikuk dan para pengejar itu membalapkan kuda mereka karena mereka telah melihat gadis yang berlari cepat itu, dan mendengar betapa derap kaki kuda makin dekat, Siang In mempercepat larinya dan mengeluh,

“Ahh.... kalau saja Pek-liong berada di sini....”

Kalau dia menunggang keledai itu, dia tidak takut biar dikejar oleh siapapun juga karena keledainya dapat berlari lebih cepat dari kuda yang bagaimanapun.

Para pengejar makin dekat dan napas Siang In sudah terengah-engah ketika tiba-tiba dia membelalakkan matanya dan menghentikan larinya karena di depannya membentang luas sebatang sungai yang amat lebar. Sungai ini adalah Sungai Yi-tung.

“Celaka....!”

Siang In berseru kaget dan cepat dia memutar tubuhnya. Belasan orang penunggang kuda mendatangi dengan cepat dipimpin oleh Si Sastrawan!

“Biar aku melawan sampai mati!”

Siang In yang maklum bahwa dia tidak dapat lari terus karena ada sungai lebar menghalang di depannya, kini sudah berdiri tegak, kedua tangan dikepal dan dia menggigit bibir bawah dan matanya berkilat penuh kemarahan!

Akan tetapi, terdengar teriakan-teriakan dari kiri dan ketika Siang In menoleh, dia melihat belasan orang lagi datang berlarian di tepi sungai, dan mereka itu bukan lain adalah orang-orang liar yang dipimpin oleh Si Petani Maut, yaitu para pengejar pertama yang dalam usahanya mengejar para tawanan yang lolos telah tiba pula di tempat itu!

Tentu saja hati Siang In menjadi makin gelisah, akan tetapi dara itu telah kehilangan rasa takut karena dia tahu bahwa melawan atau tidak, dia akan celaka di tangan mereka, dan dia memilih mati sambil melawan daripada hidup menjadi tawanan dan permainan dari Raja Tambolon!

“In-moi....!”

Siang In terkejut dan jantungnya berdebar keras. Itulah suara encinya Siang Hwa!
“Cici....!”

Dia cepat menoleh dan makin girang hatinya ketika dia melihat Kian Bu bersama encinya, seorang kakek tua berambut putih, dan lima orang tawanan itu berada di atas rakit bambu yang didayung oleh mereka ke tepi sungai.

“Bu-koko.... kau tolonglah aku....”

Siang In berteriak girang melihat munculnya pemuda itu. Dia telah salah mengira bahwa pemuda yang pandai mengenal sajak kuno itu hanyalah seorang kutu buku yang lemah. Dia mengerti sekarang bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka begitu bertemu dia berteriak minta tolong.

“Siauw-moi, (Adik Kecil), kau tenanglah!”

Kian Bu berkata sambil meloncat ke darat dengan gerakan yang amat lincah, diikuti oleh kakek berambut putih yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

Pada saat itu, hampir berbareng Si Petani Maut Liauw Kui dan Si Sastrawan Yu Ci Pok telah tiba di situ.

“Nona, ke mana engkau hendak lari?” Yu Ci Pok yang bertugas menawan kembali “pengantin ke dua” ini menubruk sambil meloncat dari atas kudanya.

Siang In mencoba untuk mengelak ke kiri sambil mengirim pukulan dengan tangan kanannya ke arah dada sastrawan itu.

“Plakk!”

Pukulan dara itu yang dilakukan dengan sekuatnya diterima oleh Si Sastrawan sambil tertawa dan sebaliknya sastrawan itu menangkap pergelangan tangan Siang In.

“Lepaskan aku....!” Siang In meronta namun percuma karena pegangan Yu Ci Pok itu kuat sekali.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Keparat, Lepaskan dia!”

Yu Ci Pok cepat menengok dan melihat tubuh pemuda tampan bekas tawanan itu melayang dengan cepat ke arahnya. Dia terkejut, melepaskan Siang In dan menyambut Kian Bu dengan tamparan dahsyat, mengambil kesempatan selagi pemuda itu masih melayang.

“Desss....!”

Kian Bu sudah mendorong dan mengerahkan sin-kangnya. Dua tenaga dahsyat bertemu dan akibatnya tubuh sastrawan itu hampir roboh terjengkang kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang sambil memandang heran dan mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit.

Sementara itu, Si Petani Maut juga sudah tiba di situ, akan tetapi sebelum dia sempat turun tangan, terdengar suara ketawa dan ketika dia menoleh ada tangan menampar mukanya. Untung Liauw Kui adalah seorang berkepandaian tinggi dan merupakan pembantu utama dari Tambolon, maka begitu mendengar ada angin menyambar, dia sudah mengelak dan cepat menengok. Kiranya yang menamparnya tadi adalah seorang kakek berambut putih yang menamparnya sambil tertawa-tawa!

Liauw Kui teringat bahwa kakek ini yang muncul di dalam kekacauan pesta, maka dia dapat menduga bahwa kakek ini tentu lihai sekali. Seperti juga Tambolon sendiri, dua orang pembantu utamanya ini belum mengenal See-thian Hoat-su bekas suami Durganini guru Tambolon. Liauw Kui sudah cepat mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu batang pikulannya lalu menyerang kakek itu sambil menyerukan perintah mengepung dan mengeroyok kepada semua anak buah kedua pasukan yang jumlahnya ada tiga puluh orang lebih itu!

Siang Hwa, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya sudah cepat mendayung perahu getek atau rakit bambu itu ke tengah setelah Siang Hwa yang tadi meloncat ke darat, berhasil menarik adiknya dan membawanya lari ke atas rakit.

Sedangkan Kian Bu dan See-thian Hoat-su mengamuk dikeroyok oleh dua orang pembantu Tambolon yang lihai dan tiga puluh orang lebih itu. See-thian Hoat-su tidak mengeluarkan ilmu sihirnya karena kakek ini mengira bahwa bekas isterinya, Durganini ikut pula mengejar dan mengeluarkan ilmu sihir berarti mencari penyakit kalau nenek bekas isterinya yang merupakan tokoh sihir itu berada di situ. Malah dia pun sudah merasa gentar, maka cepat dia berkata,

“Orang muda, mau tunggu apa lagi? Hayo lekas kembali ke rakit!”

Kakek itu sudah menyambar beberapa buah batu, lalu dia melemparkan sebuah batu melayang lurus ke depan, tepat di permukaan air sungai, disusul tubuhnya meloncat, menginjak batu itu sambil melempar lagi batu ke dua ke depan, meloncat lagi dan dengan cara mengagumkan ini dia telah tiba di atas rakit.

Akan tetapi, ternyata Kian Bu juga telah berada di atas rakit itu. Kiranya pemuda ini tadi melayang tinggi ke atas, lalu di atas membuat jungkir balik sembilan kali sehingga tubuhnya meluncur terdorong gerakan poksai susul-menyusul ini dan hinggap di atas rakit dengan ringan.

Siang Hwa, Siang In, Panglima Jayin dan empat orang pembantunya melongo melihat demonstrasi gin-kang istimewa yang dilakukan oleh kakek berambut putih dan pemuda tampan itu.

Siang Hwa dan Siang In berpelukan dan mencucurkan air mata saking girang dan terharu bahwa mereka berdua telah lolos dari bahaya mengerikan yang mengancam diri mereka di sarang Raja Tambolon. Akan tetapi mereka tidak memperoleh banyak kesempatan untuk bertangisan dan saling menceritakan pengalaman lebih lama lagi karena Kakek See-thian Hoat-su berseru,

“Hayo kalian hentikan tangis-menangis itu, lihat mereka telah mengejar kita!”

Semua orang menengok dan memang benar. Kiranya tiga puluh lebih anak buah Tambolon itu telah mempergunakan rakit-rakit yang banyak terdapat di tepi sungai dan melakukan pengejaran di atas enam buah rakit yang mulai mengepung dan mencegat dari empat jurusan.

“Awas anak panah!”

Kian Bu berseru sambil meloncat berdiri. Bersama Kakek See-thian Hoat-su, pemuda Pulau Es ini dengan tangkas menyambut anak-anak panah yang datang menyambar, menangkis dengan kaki tangannya. Melihat ini, See-thian Hoat-su tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, orang muda perkasa. Engkau memang hebat!”

Dan seperti berlomba dan tidak mau kalah, dia pun menangkis dan menendang setiap anak panah yang meluncur dan menyambar di dekatnya. Kakek tua renta itu tertawa-tawa, gembira sekali seperti seorang anak kecil bermain perang-perangan. Akan tetapi selagi kedua orang ini sibuk menghadapi serangan anak panah dengan menangkis, enam buah rakit itu telah mengepung dekat dan mereka telah menyerang dengan tombak-tombak panjang.

Si kakek berambut putih menjadi makin girang. Dia dapat menangkap sebatang tombak musuh dan sambil bersorak girang dia meloncat ke atas sebuah rakit musuh dan mengamuk di situ. Susahnya bagi para pelarian itu, kakek ini seperti anak kecil, tidak segera merobohkan enam orang di atas rakit itu melainkan mempermainkan mereka dan hanya menampar dan menendang perlahan saja untuk mempermainkan, membuat mereka berjatuhan akan tetapi mereka masih dapat bangkit kembali dan mengeroyok lagi.

Hal ini agaknya menyenangkan hati kakek itu, seperti seekor kucing mempermainkan enam ekor tikus, melayani mereka, membagi-bagikan tamparan sambil tertawa-tawa.

“Heiittt, wuuhh, tidak kena.... heh-heh-heh, nah, berlututlah engkau, dan engkau rebahlah!”

Demikianlah kakek itu bermain-main, membuat gemas juga hati Kian Bu. Kalau kakek itu bersungguh-sungguh, agaknya bersama dia akan dapat melawan dan menahan semua musuh ini. Akan tetapi kakek itu main-main dan kini dia sibuk seorang diri menahan pengeroyokan para pengepung. Untung bahwa Panglima Jayin dan empat orang pembantunya juga melawan dengan gagah berani, juga Siang Hwa dan Siang In membantu sekuat tenaga mereka, sungguhpun keadaan mereka amat repot karena dikepung dan dikeroyok.

“Awas pinggir rakit!”

Kian Bu berteriak dan cepat kakinya menendang kepala seorang musuh yang tahu-tahu muncul di pinggir rakit. Kiranya mereka itu kini telah mengirim beberapa orang untuk menyelam dan agaknya ingin menggulingkan rakit! Akan tetapi Panglima Jayin dan para pembantunya juga sudah siap menjaga keselamatan rakit mereka yang mulai bergoyang-goyang.

“Auuhhh....!”

Seorang di antara pembantu Panglima Jayin mengeluh dan tubuhnya terjungkal ke dalam air sungai karena perutnya telah terkena sebatang senjata rahasia paku beracun yang dilepas oleh Si Petani Maut.

“Awas senjata rahasia!” Kian Bu berteriak lagi dan dia sudah menghadapi serangan paling dahsyat di pinggir rakit.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar