Dusun itu cukup besar dan ramai, menjadi tempat perhentian mereka yang melakukan perjalanan di perbatasan utara itu. Hari telah senja ketika Kian Bu dan Siang In tiba di dusun ini.
“Perutku lapar....” Siang In berkata sambil menekan perutnya.
“Sama....” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”
Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu.
Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.
Ternyata mereka berdua “lolos” dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.
“Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.”
Demikian kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba mereka itu kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.
“Aahhhh....” Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.
Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas, sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.
“Itu dia....!”
Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.
“Brussss....!”
Tanpa dapat dicegah lagi, Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap.
Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.
Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya,
“Maafkan saya, Nona. Untung tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit....?”
Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah,
“Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?”
Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata,
“Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati, berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah....”
Kian Bu setengah menarik tangan Siang In dan dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, dia lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang buta mana?”
“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu tersenyum. Biarpun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!”
Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.
“Eh.... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi.... dua bakmi kuah dan....”
“Kau makan saja sendiri!”
Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.
“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.
“In-moi (Adik In), jangan marah ah....”
“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.
“Perutku lapar....” Siang In berkata sambil menekan perutnya.
“Sama....” Kian Bu menjawab. “Mari kita cari kedai makanan.”
Sambil menuntun Pek-liong, Kian Bu berjalan bersama Siang In memasuki dusun dan mencari-cari. Akhirnya mereka melihat sebuah kedai makanan dan Kian Bu segera mencancang keledai itu di luar kedai, kemudian mereka berdua masuk ke dalam kedai makanan yang penuh dengan orang makan minum itu.
Di antara para tamu, Kian Bu mengenal dua orang penunggang kuda yang dilihatnya dari atas pohon di hutan tadi, maka dia lalu mengajak Siang In duduk di meja tak jauh dari mereka. Kian Bu memasang telinga dan mendengar percakapan bisik-bisik dua orang itu.
Ternyata mereka berdua “lolos” dari kejaran mata-mata musuh dan menurut percakapan itu, kiranya mereka menduga adanya banyak mata-mata musuh yang berkeliaran di daerah itu dan yang agaknya menyelidiki keadaan.
“Kita harus cepat lapor kepada pimpinan.”
Demikian kata Si Cambang Tebal yang segera menghentikan percakapan setelah melihat masuknya beberapa orang tamu lagi dan duduk di dekat mereka.
Tiba-tiba mereka itu kelihatan terkejut, bergegas bangkit, memanggil pelayan membayar makanan yang belum habis mereka makan dan mereka berdua dengan sikap tergesa-gesa menyelinap keluar melalui pintu samping. Melihat sikap mereka, Kian Bu menjadi terheran-heran. Dia maklum bahwa pasti dua orang itu melihat sesuatu yang membuat mereka seperti ketakutan, maka otomatis dia lalu menengok ke arah pintu depan.
“Aahhhh....” Dia menahan seruannya dan bengong memandang ke luar.
Melihat sikap Kian Bu dan mendengar seruan kagum ini, Siang In juga cepat menengok dan memandang ke luar. Di luar warung, di seberang jalan, tampaklah seorang wanita cantik sekali, berpakaian menyala, rambutnya digelung tinggi ke atas, sedang memandang dan longak-longok mengulur leher, agaknya ada yang sedang dicari-carinya.
“Itu dia....!”
Tiba-tiba Siang In menjerit, membuat Kian Bu tersentak kaget. Siang In meloncat dan lari ke pintu kedai itu.
“Brussss....!”
Tanpa dapat dicegah lagi, Siang In bertumbukan dengan seorang laki-laki setengah baya yang secara tiba-tiba masuk pintu kedai itu dan diiringkan oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan tegap.
Karena Siang In tidak mengira ada orang masuk pada saat perhatiannya tercurah kepada wanita cantik yang berada di seberang jalan, dan pria itu pun agaknya tidak mengira akan ada orang lari ke luar, maka tumbukan antara mereka tak dapat dihindarkan lagi. Siang In terpelanting dan hampir roboh. Untung laki-laki setengah tua itu dengan gerakan cepat telah menyambar dan memegang lengan Siang In sehingga dara ini tidak sampai terbanting jatuh.
Laki-laki setengah tua itu tersenyum dan bertanya dengan sikap sopan dan suara halus sambil melepaskan pegangannya,
“Maafkan saya, Nona. Untung tidak sampai jatuh. Apakah ada yang sakit....?”
Siang In membelalakkan matanya dan membentak marah,
“Orang kurang ajar dari mana jalan nabrak-nabrak saja?”
Kian Bu sudah tiba di samping gadis itu, memegang lengannya dan berkata,
“Sudahlah, engkau sendiri yang kurang hati-hati, berlari ke luar. Paman ini tidak bersalah....”
Kian Bu setengah menarik tangan Siang In dan dara ini bersungut-sungut dan setelah mengirim lirikan marah kepada laki-laki setengah tua yang dengan tenang dan sabar tersenyum memandang, dia lalu melanjutkan langkahnya keluar dari kedai, pandang matanya mencari. Akan tetapi, wanita cantik tadi sudah tidak kelihatan lagi.
“Sialan! Orang buta tadi yang jadi gara-gara sampai dia hilang lagi!”
“Eh, orang buta mana?”
“Yang menabrak aku tadi, kalau matanya tidak buta, masa nabrak-nabrak?”
Kian Bu tersenyum. Biarpun sedang muring-muring, gadis ini makin cantik saja!
“Sudahlah, aku sendiri juga tidak tahu siapa yang menabrak tadi, dia atau engkau.”
“Dia! Si Buta itu! Aku harus menghajarnya!”
Dia kembali memasuki pintu dan hampir saja menabrak seorang pelayan yang membawa baki dan sedang keluar. Untung Kian Bu sudah menarik lengannya, kalau tidak tentu terjadi tabrakan untuk kedua kalinya dan sekali ini berbahaya karena di atas baki terdapat bakmi kuah yang masih panas.
“Eh.... Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona), mau ke mana? Ini pesanan kalian tadi.... dua bakmi kuah dan....”
“Kau makan saja sendiri!”
Siang In membentak dan membalikkan tubuhnya keluar dari kedai itu. Kian Bu melemparkan mata uang ke atas baki.
“Kami tidak jadi makan, ini uangnya,” katanya dan terus menyusul Siang In yang sudah pergi menuntun keledainya sambil cemberut.
“In-moi (Adik In), jangan marah ah....”
“Aku harus mencari dia! Si Tolol buta itu menghalangiku!” Siang In cemberut dan melihat ke sana-sini mencari-cari.
“Dia siapa?”
“Si Genit!”
“Ohh....”
“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itu yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.
Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali.
Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!
Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi.
Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu.
Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang.
Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas.
Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.
“Bagaimana dengan Pek-liong?”
“Kita tinggal saja.”
“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong....!”
“Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!”
Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata,
“Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”
Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali dan binatang itu meringkik, terus lari congklang pergi dari tempat dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja merugikan dia, karena biasanya, perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih....
“Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.
Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!
Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir.
“Tidak usah kembali, terus saja!” Siang In membentak.
“Aih, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”
Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!
Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura.
“Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi.”
Mau tidak mau Siang In harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat.
“Celaka....” bisiknya.
Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka.
“Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.
“Mereka.... mereka.... bajak sungai....” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu.”
“Jangan takut!”
Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw....” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang yang tinggi besar dan kelihatan bersikap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa,
“Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”
Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi,
“Celaka....!”
Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.
“Ah, bagaimana ini, Bu-twako?”
Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.
Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!
“Bu-twako.!”
Siang In memeluk Kian Bu erat-erat, membuat pemuda itu makin gelagapan. Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan daripada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.
Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Rugi besar-besaran di hari itu, sungguhpun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.
Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biarpun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang terbelenggu dan sudah mulai siuman.
Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.
“Aihh.... di mana kita?”
Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.
“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.
Dia sudah memeriksa tali belenggunya dan kalau dia mau, tentu dia akan dapat mematahkan belenggunya itu biarpun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia.
Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sin-kang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biarpun mungkin tinggi namun sin-kang mereka belumlah begitu kuat.
“Tenang....!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apalagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan.”
Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, akan tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri.
“Aih, Twako, bagaimana ini....?” keluhnya.
“Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In cemberut.
“Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar.
Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu. Dan semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan.
Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan maupun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang suku Nomad, yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.
Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi.
Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu. Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui!
Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak salah penglihatan Kian Bu orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Akan tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara.
Biarpun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja, Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas!
Adapun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu memandang penuh perhatian, lalu membentak kepada lima orang itu.
“Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.
Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan memandang rendah,
“Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak,
“Keparat! Kiranya engkau Panglima Jayin dari Bhutan?”
“Matamu masih awas, Yu-siucai!”
Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira,
“Ha-ha-ha, siapa kira kita dapat menawan tokoh ke dua dari Bhutan! Ah, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang itu.
“Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”
Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka girang karena mereka telah membuat jasa besar. Kemudian Yu-siucai memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian siapa?” bentaknya.
“Maaf, Taijin (Pembesar)....” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In.... kami berdua sedang menumpang perahu.... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini....”
Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng shenya (nama keturunan).
“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa.”
“Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”
Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.
“Plak-plak!”
Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, akan tetapi dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.
“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”
“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah daripada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!”
Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata,
“Si Genit!”
“Ohh....”
“Si Pemikat! Kau tidak lihat dia tadi?”
Kian Bu mengangguk. Kiranya wanita itu yang dicari? Memang cantik, cantik sekali, akan tetapi dia belum melihat jelas benar. Agaknya wanita yang sudah matang, tidak seperti dara ini yang masih mentah, atau baru setengah matang, setengah dewasa setengah kanak-kanak, akan tetapi malah amat menarik hati.
Mereka lalu mencari sampai ke setiap sudut dusun itu akan tetapi sia-sia belaka dan akhirnya Siang In berhenti di tepi jalan yang sunyi, duduk di atas rumput dan kelihatan marah dan kecewa sekali.
Kian Bu lalu pergi membeli sepuluh butir kue bakpauw dan mereka makan bakpauw di tepi jalan. Lima butir bakpauw sudah cukup mengenyangkan perut, akan tetapi mencekik tenggorokan!
Karena malam tiba, mereka lalu mencari pondokan dan bermalam di dalam dua buah kamar sederhana di pondok dusun itu, setelah memesan mi-bakso dan minum teh hangat kemudian mandi.
Pada keesokan harinya, agaknya Siang In sudah tidak cemberut lagi, akan tetapi pagi-pagi sekali dia sudah menggedor pintu kamar Kian Bu dan mengajak pemuda itu cepat-cepat berangkat melanjutkan perjalanan mencari pencuri kitab itu.
Kian Bu gelagapan, terpaksa hanya sempat mencuci muka, kemudian sarapan dan berangkatlah mereka lagi keluar dari dusun itu sambil bertanya-tanya tentang wanita cantik yang rambutnya digelung tinggi.
Akhirnya, jejak yang mereka temukan dan ikuti membawa mereka ke sebuah dusun kecil di tepi sungai yang besar dan yang menjadi tapal batas dengan daerah liar di utara. Di seberang sungai itu sudah merupakan daerah liar yang tidak memperoleh penjagaan dari pasukan-pasukan pemerintah. Karena itu dusun ini cukup ramai karena menjadi tempat penyeberangan para pedagang.
Banyak orang-orang suku Nomad dan liar yang menyeberang ke selatan untuk menjual rempah-rempah dan hasil sungai dan laut, sebaliknya para pedagang dari selatan banyak yang mengeduk keuntungan besar dengan membawa dagangan dan menyeberang ke utara, menjual atau menukar dagangan mereka dengan suku-suku asing di luar tapal batas.
Ketika Kian Bu dan Siang In tiba di tepi sungai, di situ sudah sunyi. Waktu penyeberangan yang ramai adalah pagi dan sore, dan siang hari yang panas itu di tempat itu sudah sunyi dan hanya terdapat seorang penjaga perahu kosong yang duduk melenggut ngantuk.
“Dia tentu menyeberang. Kita menyeberang saja,” kata Siang In.
“Bagaimana dengan Pek-liong?”
“Kita tinggal saja.”
“Aih! Ditinggalkan? Sayang dong....!”
“Bu-twako, engkau masih belum mengenal kehebatan Pek-liong. Dia kutinggalkan akan tetapi dia bisa pulang sendiri. Itulah satu di antara kelihaiannya. Kau lihat!”
Siang In lalu melepaskan kendali keledai itu, lalu berkata,
“Pek-liong, kau pulanglah dan jaga rumah baik-baik! Hayo!”
Dia menepuk pantat kuda keledai itu tiga kali dan binatang itu meringkik, terus lari congklang pergi dari tempat dengan cepat. Kian Bu melongo. Benar-benar hebat binatang itu. Kelihatannya saja seekor keledai bodoh, kiranya seekor binatang yang jinak dan cerdik!
Mereka lalu membangunkan tukang perahu yang mengantuk. Tukang perahu kelihatan ogah-ogahan menyambut mereka. Menyeberangkan dua orang saja merugikan dia, karena biasanya, perahunya itu menyeberangkan sedikitnya lima belas orang penumpang. Kalau dua orang itu mau membayar lebih....
“Sudahlah jangan khawatir, kami bayar dobel!” kata Kian Bu tak sabar.
Akan tetapi, dibayar dobel pun masih rugi dan dengan malas-malasan tukang perahu itu mendayung perahunya ke tengah. Belum jauh perahu meluncur, terdengar orang-orang berteriak memanggil dan ternyata di tepi sungai itu sudah berdiri lima orang laki-laki yang dikenal oleh Siang In dan Kian Bu sebagai laki-laki gagah yang ditabraknya di kedai bersama empat orang pengikutnya!
Tentu saja tukang perahu menjadi girang dan cepat mendayung kembali perahunya ke pinggir.
“Tidak usah kembali, terus saja!” Siang In membentak.
“Aih, Nona, kasihan mereka dan saya pun ingin penghasilan lebih,” bantah tukang perahu.
“Biarlah, In-moi. Mereka itu kelihatan orang-orang yang baik dan sopan. Masa urusan kecil begitu saja membuat engkau masih marah-marah terus? Kata Nenek, orang marah lekas tua!”
Siang In membanting-banting kaki, akan tetapi tidak berani marah lagi karena tidak mau menjadi lekas tua, hal yang amat dibuat ngeri oleh seluruh wanita di permukaan bumi ini!
Ketika lima orang itu naik ke perahu, laki-laki setengah tua yang bertubuh tegap dan bersikap gagah itu segera tersenyum dan menjura.
“Aih, kiranya Ji-wi yang telah berada di perahu. Terima kasih atas kerelaan Ji-wi membiarkan perahu kembali lagi untuk membawa kami, dan harap Nona sudi memaafkan peristiwa di kedai tadi.”
Mau tidak mau Siang In harus mengakui bahwa pria setengah tua itu benar-benar sopan dan halus budi. Maka dia pun meniru perbuatan Kian Bu untuk membalas penghormatan mereka, dan perahu meluncur terus ke tengah sungai karena layar telah dibentangkan dan angin bertiup keras.
Tiba-tiba tukang perahu kelihatan gugup dan wajahnya menjadi pucat.
“Celaka....” bisiknya.
Lima orang yang bersikap gagah itu bangkit berdiri, memandang ke arah dua buah perahu kecil yang meluncur cepat mendekati perahu mereka.
“Siapa mereka?” tanya pria setengah tua yang usianya kira-kira empat puluh tahun dan berjenggot pendek itu.
“Mereka.... mereka.... bajak sungai....” tukang perahu berbisik. “Biasanya tidak pernah mengganggu.”
“Jangan takut!”
Laki-laki berjenggot pendek berkata tenang, kemudian bersama empat orang temannya dia berdiri di kepala perahu, mencabut golok dan dengan golok terhunus mereka menanti dua buah perahu yang meluncur datang itu. Sikap mereka gagah sehingga Siang In menjadi kagum.
“Kiranya mereka itu pendekar-pendekar kang-ouw....” bisiknya kepada Kian Bu yang hanya tersenyum saja dan sudah tentu dia pun diam-diam bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah dua buah perahu yang membawa sepuluh orang yang tinggi besar dan kelihatan bersikap ganas itu mendekat, orang setengah tua yang berjenggot pendek itu berseru dengan suara nyaring dan berwibawa,
“Kami bukanlah pedagang yang membawa banyak uang atau barang berharga, harap Cu-wi tidak mengganggu kami!”
Sepuluh orang itu memandang, kemudian dua perahu itu melempar jangkar dan mereka semua lalu terjun ke air dan menyelam! Tentu saja lima orang gagah itu memandang dengan heran, akan tetapi tukang perahu berseru lagi,
“Celaka....!”
Sebelum semua penumpang tahu mengapa tukang perahu begitu ketakutan, tiba-tiba perahu itu bergerak dan miring, bergoncang keras. Maka tahulah Kian Bu bahwa sepuluh orang bajak sungai itu menyelam dan dari bawah kini berusaha menggulingkan perahu.
“Ah, bagaimana ini, Bu-twako?”
Siang In sudah memeluk Kian Bu dengan ketakutan dan menjerit setiap kali perahu miring. Gadis ini memiliki kepandaian silat lumayan dan seorang yang pemberani, akan tetapi karena dia tidak pandai renang, menghadapi air sungai yang bergelombang itu dia ngeri.
Para penumpang sama sekali tidak berdaya dan akhirnya perahu terbalik dan mereka semua terlempar ke air!
“Bu-twako.!”
Siang In memeluk Kian Bu erat-erat, membuat pemuda itu makin gelagapan. Kian Bu yang sejak kecil tinggal di Pulau Es dan dekat dengan lautan, tentu saja pandai berenang akan tetapi dia bukan ahli dan berenang di air laut lebih ringan daripada berenang di air sungai, maka ketika Siang In yang gelagapan itu saking takutnya memeluknya dengan ganas, Kian Bu juga menjadi repot sekali dan beberapa kali dia terpaksa minum air sungai.
Ternyata bahwa lima orang gagah itu pun tidak pandai berenang sehingga dalam waktu belasan menit saja, semua penumpang termasuk Kian Bu ditawan dalam keadaan pingsan dan dinaikkan ke dalam dua buah perahu kecil, terus dibawa pergi setelah kedua tangan mereka dibelenggu. Tukang perahu menangis sambil memegangi pinggiran perahunya yang terguling. Rugi besar-besaran di hari itu, sungguhpun untung bahwa dia tidak dibunuh para bajak.
Ketika Kian Bu membuka matanya dan siuman, dia telah berada di dalam sebuah kamar tahanan yang kuat dan dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya. Cepat dia menoleh ke kanan-kiri dan hatinya lega ketika dia melihat Siang In masih rebah di dekatnya, juga tangan dara ini terbelenggu dan biarpun Siang In masih pingsan, namun dara ini tidak mati. Demikian pula dengan lima orang gagah yang terbelenggu dan sudah mulai siuman.
Kian Bu menggerakkan kedua tangannya dan dengan jari-jari tangan dia mengurut perlahan tengkuk Siang In. Gadis itu mengeluh lalu membuka matanya. Dia teringat dan cepat bangkit duduk, memandang kedua lengannya yang terbelenggu di depan tubuhnya.
“Aihh.... di mana kita?”
Siang In bertanya dan memandang Kian Bu, lalu menoleh kepada lima orang lain yang juga sudah mulai siuman.
“Kita agaknya menjadi tawanan bajak-bajak itu,” kata Kian Bu.
Dia sudah memeriksa tali belenggunya dan kalau dia mau, tentu dia akan dapat mematahkan belenggunya itu biarpun tali itu terbuat dari otot binatang yang amat kuat. Dia melihat lima orang itu mulai merenggut-renggut tangan mereka, namun hasilnya sia-sia.
Kian Bu maklum bahwa tidak sembarangan orang akan dapat mematahkan belenggu ini, harus menggunakan sin-kang tingkat tinggi. Maka dia pun dapat mengukur bahwa kepandaian lima orang itu, terutama pemimpin mereka yang berjenggot pendek, biarpun mungkin tinggi namun sin-kang mereka belumlah begitu kuat.
“Tenang....!” Tiba-tiba Si Jenggot Pendek berkata. “Mereka menawan kita, berarti mereka tidak akan membunuh kita. Menggunakan kekerasan tidak ada gunanya, apalagi belenggu ini amat kuat. Kita harus tenang dan menanti keadaan.”
Siang In juga mencoba-coba untuk mematahkan belenggu, akan tetapi malah kulit lengannya yang menjadi nyeri.
“Aih, Twako, bagaimana ini....?” keluhnya.
“Nona, harap jangan khawatir, kami akan melindungimu,” Si Jenggot Pendek berkata menghibur.
Siang In cemberut.
“Huh, melindungi bagaimana? Kalian sendiri pun tidak berdaya.”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang ke luar dari terali besi di atas pintu, lalu dia memberi isyarat kepada mereka semua untuk ikut melihat. Mereka kini bangkit semua dan memandang ke luar.
Kiranya tempat itu merupakan sebuah perkampungan kecil yang dikurung pagar tembok kuat, tampak dari tempat tahanan yang berada di tengah kampung itu. Dan semua penduduk perkampungan itu agaknya sedang bersuka ria, sedang menghadapi suatu pesta yang sedang mereka rayakan.
Ada yang membawa kertas-kertas berwarna, pajangan-pajangan dan orang-orang itu hilir-mudik sambil tersenyum-senyum, akan tetapi rata-rata mereka itu mempunyai wajah bengis, dan melihat dari pakaian mereka, baik yang perempuan maupun yang laki-laki, mereka adalah orang-orang suku Nomad, yang berkeliaran di daerah utara, terdiri dari campuran bermacam suku bangsa, akan tetapi sebagian besar adalah keturunan suku bangsa Mongol.
Sepasukan orang terdiri dari dua belas orang bersenjata golok besar datang ke tempat tahanan itu dan pintu besi dibuka dari luar. Kemudian tujuh orang tawanan itu digiring memasuki sebuah rumah besar dan terus ke ruangan samping rumah gedung besar itu. Di dalam sebuah ruangan telah menanti seorang laki-laki tua yang duduk di atas kursi.
Tujuh orang tawanan itu mengira bahwa tentu mereka akan dihadapkan kepada kepala bajak yang kejam dan bengis, dan Kian Bu yang sengaja tidak mematahkan belenggu untuk melihat perkembangan sebelum turun tangan, sudah siap untuk mengambil tindakan.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia memandang dan mengenal orang yang duduk di atas kursi itu. Pernah dia bertemu dengan orang ini di Koan-bun. Orang itu berpakaian sastrawan dan dia tahu bahwa orang itu adalah pengawal lihai dari Raja Tambolon, yaitu Yu Ci Pok yang berpakaian pelajar (siucai) di samping pengawal lain yang berpakaian petani dan bernama Liauw Kui!
Akan tetapi perjumpaannya dengan Tambolon dan dua orang pengikutnya itu hanya sepintas saja maka kini Yu Ci Pok Si Siucai Maut itu tidak mengenalnya dan Kian Bu juga hanya menundukkan mukanya.
Memang tidak salah penglihatan Kian Bu orang itu adalah Yu Ci Pok, pengawal Raja Tambolon, dan tempat itu adalah tempat yang dijadikan sarang oleh Raja Tambolon pada saat itu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Raja Tambolon gagal dalam merebut Koan-bun dan di kota itu pasukannya yang terdiri dari seribu orang malah hancur-lebur dan terbasmi, hampir tidak ada lagi sisanya. Akan tetapi, berkat kelihaiannya, dia dan dua orang pengawalnya berhasil menyelamatkan diri dan dia lalu lari ke utara.
Biarpun dia telah kehilangan pasukan, namun nama Raja Tambolon telah dikenal oleh para suku Nomad, maka tentu saja kemunculannya disambut dengan penuh penghormatan dan sebentar saja, Raja Tambolon sudah dapat mengumpulkan kekuatan dan dia bahkan menjadi raja kecil di daerah perbatasan di seberang sungai dan kekuasaannya meliputi daerah yang cukup luas!
Adapun kedua orang pengawalnya itu kini diangkatnya menjadi menteri-menterinya karena dia sendiri menjadi raja kecil di situ. Para bajak sungai yang beroperasi di sepanjang sungai itu semua ditundukkannya dan menjadi anak buahnya!
Kian Bu melirik ke depan dan melihat bahwa sastrawan itu ditemui oleh dua orang laki-laki yang dikenalnya sebagai dua orang penunggang kuda yang dilihatnya di hutan itu. Kiranya dua orang itu adalah kaki tangan sastrawan pengawal Tambolon ini, pikirnya. Dia menduga bahwa pengawal Raja Tambolon ini telah berdikari dan menjadi kepala bajak. Tidak heran, karena memang orang itu lihai, pikirnya.
“Mereka berlima itulah!” Terdengar Si Kumis Tebal menerangkan kepada sastrawan itu. “Jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang dari Bhutan!”
Siucai itu memandang penuh perhatian, lalu membentak kepada lima orang itu.
“Benarkah kalian adalah keparat-keparat dari Bhutan?” Kerajaan Bhutan telah menjadi musuh-musuh dari Tambolon dan kaki tangannya.
Orang setengah tua itu mengangkat dadanya dan berkata, suaranya tabah dan memandang rendah,
“Hemm, kiranya di sini pun terdapat kaki tangan Tambolon yang merajalela! Aku tahu bahwa engkau adalah Yu-siucai, pengawal Tambolon. Di manakah rajamu yang liar itu sekarang? Ha-ha, aku mendengar akan kehancurannya di Koan-bun!”
Siucai itu terbelalak, memandang penuh perhatian dan bangkit dari kursinya, mendekati orang setengah tua itu, mengamat-amati, lalu membentak,
“Keparat! Kiranya engkau Panglima Jayin dari Bhutan?”
“Matamu masih awas, Yu-siucai!”
Siucai itu kembali duduk dan tertawa gembira,
“Ha-ha-ha, siapa kira kita dapat menawan tokoh ke dua dari Bhutan! Ah, tentu Tai-ong akan gembira sekali melihat mukamu, Jayin!” Dia lalu menoleh kepada dua orang itu.
“Lekas kalian laporkan kepada Ong-ya bahwa lima orang tawanan dari Bhutan itu adalah Jayin dan empat orang pembantunya! Akan tetapi hati-hati, jangan ganggu Ong-ya yang sedang bergembira.”
Dua orang itu mengangguk dan pergi, wajah mereka girang karena mereka telah membuat jasa besar. Kemudian Yu-siucai memandang Kian Bu dan Siang In. Gadis ini menundukkan mukanya, pakaiannya masih basah dan menempel ketat di tubuhnya sehingga lekuk-lengkung tubuhnya yang ranum itu nampak nyata.
“Kalian siapa?” bentaknya.
“Maaf, Taijin (Pembesar)....” Kian Bu menjawab cepat, mendahului Siang In. “Saya bernama Teng Bu dan ini adik saya, Teng Siang In.... kami berdua sedang menumpang perahu.... tidak ada hubungan kami dengan mereka ini....”
Kian Bu memperlihatkan sikap ketakutan, dan diam-diam Siang In melirik kepadanya, agak geli juga mendengar Kian Bu merubah namanya dan mengaku sebagai kakaknya dan membonceng shenya (nama keturunan).
“Yu-siucai, dua orang ini memang hanya kebetulan saja menumpang perahu. Harap bebaskan mereka yang tidak bersalah apa-apa.”
“Hemm, keputusannya berada di tangan raja kami. Dan untung bahwa kini kami sedang mengadakan pesta pernikahan raja kami, kalau tidak, tentu kalian sudah menerima hukuman langsung.”
Panglima Jayin, tokoh Bhutan itu tertawa. Seperti telah kita kenal, panglima ini adalah murid dari Kakek Lu Kiong, kakek dari Ceng Ceng dan menjadi orang terkenal di Bhutan. Dia bersama empat orang pembantunya itu bertugas untuk mencari Puteri Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, entah sudah berapa puluh kali aku mendengar Tambolon menikah!”
Siucai itu melompat ke depan, tangannya menampar.
“Plak-plak!”
Bibir Panglima Jayin pecah dan berdarah, akan tetapi dia masih berdiri tegak, memandang dengan mata menghina.
“Kalau bukan hari baik raja kami, aku tentu sudah membunuhmu!”
“Pengecut!” Tiba-tiba Siang In memaki dan matanya terbelalak memandang siucai itu. “Laki-laki macam apa engkau ini? Beraninya menghina orang yang terbelenggu. Hih, tak tahu malu! Buang saja pakaian pelajar itu, ganti pakaian penjahat!”
Siucai itu terkejut dan memandang kepada dara itu dengan muka merah, dan Panglima Jayin tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, Yu-siucai, dengarkan suara seorang dara sederhana yang jauh lebih gagah daripada engkau. Ha-ha-ha! Terima kasih, Nona. Engkau sungguh patut dikagumi, dan aku akan mati gembira mengenangkan seorang dara yang gagah seperti engkau!”
Siang In tersenyum dan dia tidak takut lagi kini. Pada saat itu, dua orang tadi datang lagi dan berkata,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar