Wajah Ceng Ceng menjadi merah saking marahnya mendengar pelaporan anggauta Tiat-ciang-pang yang kurus bermuka pucat itu. Mendengar kematian Si Gendut dan kawan-kawannya di tangan Siluman Kucing, dia hanya menjadi heran dan penasaran. Akan tetapi mendengar akan sikap Tek Hoat yang ternyata melanggar janjinya, tidak mencari jejak pemuda laknat musuh besarnya dan tidak pula memenuhi untuk tidak mencampuri urusan pemberontakan, dia menjadi marah.
“Keparat, manusia itu memang palsu dan licik!” bentaknya sambil mengepal tinju.
“Dia memang seorang kaki tangan pemberontak, Nona,” Si Topeng Setan yang selalu menemaninya itu berkata lirih.
“Itulah yang menjemukan! Dia menjadi wakilku dan dia menjadi kaki tangan pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam lumpur pengkhianatan pula. In-kong, kita kerahkan semua anak buah dan kita membantu pemerintah membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang juga!”
Biarpun Si Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap menyebutnya In-kong (Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih, juga sebetulnya dia menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk mempelajari ilmunya yang tinggi dan tentu saja untuk membantu membalas dendamnya terhadap pemuda laknat yang dia tahu amat lihai itu.
“Akan tetapi, mengapa engkau merepotkan diri mencampuri urusan negara, Nona? Apa artinya kekuatan kita yang terdiri dari beberapa ratus kaum sesat ini menghadapi pemberontakan yang terdiri dari laksaan tentara yang terlatih?”
“In-kong, apa engkau tidak mendengar laporan tadi? Di utara sudah mulai geger, pemberontak mulai bergerak menduduki Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontak. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja? Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak dahulu nenek moyangku adalah kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa bangsa. Kakekku adalah bekas pengawal kaisar yang setia! Apakah aku harus diam saja melihat negara dalam bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?”
Sepasang mata Topeng Setan berkilat-kilat tanda kagum mendengar ucapan dan melihat sikap ini.
“Akan tetapi, engkau mempunyai urusan pribadi yang lebih penting lagi, bukan?”
Ceng Ceng mengepal tinjunya.
“Tentu! Urusan pribadiku adalah urusan mati hidup, selama hidupku aku tidak akan pernah berhenti sebelum musuh besarku itu dapat kubunuh!”
Kini sepasang mata Topeng Setan memandang dengan lesu, seolah-olah dia tidak setuju dengan sikap ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan negara, urusan pribadiku ini tidak ada artinya. Maka, aku harus memimpin semua patriot, biarpun mereka itu dari golongan sesat, untuk membantu pemerintah mengusir pemberontak dan di samping itu, tentu saja aku juga akan mencari musuh besarku di sana!”
Topeng Setan tidak banyak cakap lagi, lalu memanggil para anggauta Tiat-ciang-pang dan memerintahkan agar semua golongan sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil untuk diajak berangkat ke utara membantu pemerintah. Setelah semua orang golongan sesat berkumpul, yaitu mereka yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng Ceng lalu memerintahkan mereka dengan sedikit kata-kata saja.
“Pada saat seperti ini, negara membutuhkan bantuan kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan hanya manusia-manusia tidak berguna saja, melainkan kalau keadaan menghendaki, kalian dapat menjadi patriot yang tidak segan mengorbankan nyawa demi negara. Negara terancam bahaya kaum pemberontak hina-dina, maka berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan diri dengan kesatuan yang anti pemberontak di sana. Contohlah perbuatan anggauta Tiat-ciang-pang yang telah mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka akan selalu dijunjung tinggi sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang dianggap rendah.”
Ceng Ceng memang tidak mau membentuk suatu pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu caranya membentuk pasukan, juga hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan dapat dicurigai kalau mereka berangkat sebagai pasukan. Maka dia hanya menyuruh mereka masing-masing atau merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke utara dan di sana menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia sendiri lalu berangkat bersama Topeng Setan menuju ke utara.
Seperti telah dilakukannya semenjak dia tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di sepanjang perjalanan Topeng Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada Ceng Ceng, dan dilatih prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau melewatkan malam.
Ceng Ceng kagum bukan main karena memang ilmu silat yang diajarkan oleh Topeng Setan kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang sukar baginya untuk menerima atau menguasainya karena memang dasar ilmu silatnya sendiri yang dia pelajari dari kakeknya tidak dapat menandingi tingkat ilmu yang diajarkan oleh Topeng Setan.
Namun, Si Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan kepadanya dan memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang cerdas itu dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng Ceng penasaran dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu sikapnya yang penuh rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya yang pendiam dan jarang sekali bicara kalau tidak ditanya.
Dia tidak memaksa atau membujuk orang itu membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah saling berjanji ketika Topeng Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja menyerahkan diri karena kini Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya, Topeng Setan itu akan dengan mudah mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan semudah itu.
Ketika menjadi tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling berjanji, yaitu Ceng Ceng tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan rahasianya akan tetapi orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng dan akan mengajarkan ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi pembantunya, dan sudah mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji. Bagaimana dia dapat melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat ditutupi itu?
Betapapun juga, ketika mereka habis berlatih dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung dari teriknya matahari, Ceng Ceng tidak dapat menahan keinginan tahunya dan berkata,
“In-kong, aku heran sekali mengapa orang sepandai engkau ini selalu menyembunyikan nama dan rupa, seolah-olah ada sesuatu yang kau rahasiakan sekali. Aku sudah berjanji tidak akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali tahu mengapa engkau melakukan rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian rupa? Agaknya engkau takut akan sesuatu atau seseorang?”
“Keparat, manusia itu memang palsu dan licik!” bentaknya sambil mengepal tinju.
“Dia memang seorang kaki tangan pemberontak, Nona,” Si Topeng Setan yang selalu menemaninya itu berkata lirih.
“Itulah yang menjemukan! Dia menjadi wakilku dan dia menjadi kaki tangan pemberontak, berarti menyeret namaku ke dalam lumpur pengkhianatan pula. In-kong, kita kerahkan semua anak buah dan kita membantu pemerintah membasmi pemberontak di utara, kita berangkat sekarang juga!”
Biarpun Si Topeng Setan telah menjadi wakilnya, namun Ceng Ceng tetap menyebutnya In-kong (Tuan Penolong), karena selain dia masih berterima kasih, juga sebetulnya dia menarik Si Topeng Setan ini dengan maksud untuk mempelajari ilmunya yang tinggi dan tentu saja untuk membantu membalas dendamnya terhadap pemuda laknat yang dia tahu amat lihai itu.
“Akan tetapi, mengapa engkau merepotkan diri mencampuri urusan negara, Nona? Apa artinya kekuatan kita yang terdiri dari beberapa ratus kaum sesat ini menghadapi pemberontakan yang terdiri dari laksaan tentara yang terlatih?”
“In-kong, apa engkau tidak mendengar laporan tadi? Di utara sudah mulai geger, pemberontak mulai bergerak menduduki Koan-bun. Lebih lagi, menurut pelaporan tadi, Jenderal Kao dan Puteri Milana juga sudah mulai menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontak. Bagaimana aku dapat tinggal diam saja? Ketahuilah, aku adalah keturunan patriot, semenjak dahulu nenek moyangku adalah kaum patriot yang mempertaruhkan nyawa untuk nusa bangsa. Kakekku adalah bekas pengawal kaisar yang setia! Apakah aku harus diam saja melihat negara dalam bahaya, terancam oleh kaum pemberontak?”
Sepasang mata Topeng Setan berkilat-kilat tanda kagum mendengar ucapan dan melihat sikap ini.
“Akan tetapi, engkau mempunyai urusan pribadi yang lebih penting lagi, bukan?”
Ceng Ceng mengepal tinjunya.
“Tentu! Urusan pribadiku adalah urusan mati hidup, selama hidupku aku tidak akan pernah berhenti sebelum musuh besarku itu dapat kubunuh!”
Kini sepasang mata Topeng Setan memandang dengan lesu, seolah-olah dia tidak setuju dengan sikap ini.
“Akan tetapi, dibandingkan dengan urusan negara, urusan pribadiku ini tidak ada artinya. Maka, aku harus memimpin semua patriot, biarpun mereka itu dari golongan sesat, untuk membantu pemerintah mengusir pemberontak dan di samping itu, tentu saja aku juga akan mencari musuh besarku di sana!”
Topeng Setan tidak banyak cakap lagi, lalu memanggil para anggauta Tiat-ciang-pang dan memerintahkan agar semua golongan sesat di daerah itu dikumpulkan, dipanggil untuk diajak berangkat ke utara membantu pemerintah. Setelah semua orang golongan sesat berkumpul, yaitu mereka yang memang mempunyai jiwa patriot, Ceng Ceng lalu memerintahkan mereka dengan sedikit kata-kata saja.
“Pada saat seperti ini, negara membutuhkan bantuan kita. Tunjukkanlah bahwa kalian bukan hanya manusia-manusia tidak berguna saja, melainkan kalau keadaan menghendaki, kalian dapat menjadi patriot yang tidak segan mengorbankan nyawa demi negara. Negara terancam bahaya kaum pemberontak hina-dina, maka berangkatlah kalian semua ke utara dan gabungkan diri dengan kesatuan yang anti pemberontak di sana. Contohlah perbuatan anggauta Tiat-ciang-pang yang telah mengorbankan nyawa demi negara. Nama mereka akan selalu dijunjung tinggi sebagai patriot, bukan sebagai manusia sesat yang dianggap rendah.”
Ceng Ceng memang tidak mau membentuk suatu pasukan, karena selain dia sendiri tidak tahu caranya membentuk pasukan, juga hal itu akan lebih sukar diaturnya, bahkan dapat dicurigai kalau mereka berangkat sebagai pasukan. Maka dia hanya menyuruh mereka masing-masing atau merupakan kelompok-kelompok kecil untuk berangkat ke utara dan di sana menggabungkan diri dengan pasukan-pasukan yang ada. Dia sendiri lalu berangkat bersama Topeng Setan menuju ke utara.
Seperti telah dilakukannya semenjak dia tinggal bersama Ceng Ceng sebagai pembantunya, di sepanjang perjalanan Topeng Setan mengajarkan teori-teori silat tinggi kepada Ceng Ceng, dan dilatih prakteknya sewaktu mereka berhenti mengaso atau melewatkan malam.
Ceng Ceng kagum bukan main karena memang ilmu silat yang diajarkan oleh Topeng Setan kepadanya itu amat hebat, bahkan kadang-kadang sukar baginya untuk menerima atau menguasainya karena memang dasar ilmu silatnya sendiri yang dia pelajari dari kakeknya tidak dapat menandingi tingkat ilmu yang diajarkan oleh Topeng Setan.
Namun, Si Topeng Setan dengan amat tekun dan sabar memberi penjelasan kepadanya dan memberi contoh-contoh gerakannya sehingga Ceng Ceng yang memang cerdas itu dapat segera menangkap intinya. Hanya satu hal yang membuat Ceng Ceng penasaran dan tidak puas melakukan perjalanan dengan orang ini, yaitu sikapnya yang penuh rahasia, topeng yang tak pernah dicopotnya, dan orangnya yang pendiam dan jarang sekali bicara kalau tidak ditanya.
Dia tidak memaksa atau membujuk orang itu membuka topengnya. Hal ini adalah karena sudah saling berjanji ketika Topeng Setan itu menjadi tawanan, atau memang sengaja menyerahkan diri karena kini Ceng Ceng maklum bahwa kalau dia menghendakinya, Topeng Setan itu akan dengan mudah mengalahkannya dan tak mungkin dapat tertawan semudah itu.
Ketika menjadi tawanan, Ceng Ceng dan Si Topeng Setan sudah saling berjanji, yaitu Ceng Ceng tidak akan membuka topengnya, tidak akan menanyakan rahasianya akan tetapi orang itu pun berjanji akan menjadi pembantu Ceng Ceng dan akan mengajarkan ilmu kepadanya. Kini, Topeng Setan sudah menjadi pembantunya, dan sudah mengajarkan ilmu silat, berarti sudah memenuhi janji. Bagaimana dia dapat melanggar janji untuk membuka rahasia yang agaknya amat ditutupi itu?
Betapapun juga, ketika mereka habis berlatih dan mengaso di bawah pohon untuk berlindung dari teriknya matahari, Ceng Ceng tidak dapat menahan keinginan tahunya dan berkata,
“In-kong, aku heran sekali mengapa orang sepandai engkau ini selalu menyembunyikan nama dan rupa, seolah-olah ada sesuatu yang kau rahasiakan sekali. Aku sudah berjanji tidak akan membuka topengmu, akan tetapi aku ingin sekali tahu mengapa engkau melakukan rahasia ini, menutupi keadaan dirimu sedemikian rupa? Agaknya engkau takut akan sesuatu atau seseorang?”
Topeng Setan yang duduk di depan Ceng Ceng, seperti tak disadari menggenggam sebuah batu dan batu itu remuk menjadi tepung di dalam genggaman tangannya! Kemudian dia menarik napas panjang dan mengangguk.
“Memang aku takut.”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
“Aku tidak percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, apalagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi! Siapa yang kau takuti itu?”
Sejenak Topeng Setan tidak mau menjawab, dan Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi tak lama kemudian laki-laki itu berkata,
“Aku takut kepada diriku sendiri....”
“Ehhh....?” Ceng Ceng berseru keras, “Mengapa....?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Kemudian dia berkata,
“Nona sudah banyak bertanya, bolehkah aku juga mengajukan sebuah pertanyaan?”
“Hemmm, boleh saja, akan tetapi belum tentu aku dapat menjawabnya pula.”
“Nona mempunyai seorang musuh besar yang menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan mencarinya dan tak akan berhenti sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak tahu siapa namanya dan di mana dia berada, suatu hal yang amat sulit, dan menurut Nona, yang pernah melihat orangnya hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih mementingkan pemberontakan daripada mencari orang itu. Kalau aku boleh bertanya, mengapakah Nona begitu membenci musuh besar itu? Apa yang telah dilakukannya?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya yang terasa panas. Dia menekan perasaannya, kemudian mengangkat muka memandang topeng di depannya itu, menghela napas dan menggeleng kepalanya.
“Itu.... itu adalah rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada orang lain.”
Sejenak sunyi di situ. Keduanya seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya Ceng Ceng yang berkata,
“Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang dirimu, In-kong. Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai rahasianya sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain. Biarlah aku tinggal dalam rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu.”
Topeng Setan mengangguk-angguk setuju. Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika Ceng Ceng perlahan-lahan mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan menundukkan muka, matanya terpejam dan kelihatannya berduka sekali!
Melihat keadaan orang itu, timbul rasa iba di hatinya dan dia pun lupa akan kedukaannya sendiri. Tadi pun dia tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya melayang-layang dan mengingat-ingat akan semua pengalamannya, akan nasibnya yang buruk. Akan tetapi melihat temannya begitu berduka, biarpun tidak kentara akan tetapi melihat pundak yang turun itu, muka yang tunduk dan mata yang terpejam dia dapat menduga bahwa Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu meloncat bangun dan berkata,
“Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat kesukaran memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berlatih!”
Topeng Setan terkejut, mengangkat muka dan sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi bersinar dan dia pun meloncat bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah bertanding, berlatih dengan sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.
Beberapa hari kemudian, di waktu pagi mereka tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tidak jauh lagi letaknya dari Koan-bun dan Teng-bun. Dan dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang amat gaduh. Ketika mereka lari mendekat melihat pertempuran yang dahsyat dan mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang amat kuat.
Hampir rata-rata anggauta pasukan liar itu terdiri dari orang yang tinggi besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam pertandingan satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekalipun, pihak pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian kuatnya sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki dusun Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.
“Ahhh.... mereka itu seperti pasukan dari barat, pasukan Tambolon!”
Ceng Ceng berseru. Dia pernah melihat pasukan liar ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika dia mengawal Puteri Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon.
Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari cepat dan menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki dusun Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah tinggal seperempat jumlahnya itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu gerbang didobrak bobol dari luar, dan membanjirlah pasukan liar itu memasuki dusun Ang-kiok-teng.
Dugaan Ceng Ceng tadi memang tidak keliru. Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang memimpin sendiri pasukan itu menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah “diberikan” oleh Panglima Kim Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas dan dibolehkan untuk diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon beserta pasukannya boleh berbuat apa saja terhadap dusun itu dan seluruh penduduknya!
Panglima Thio Luk Cong yang menjadi komandan pasukan pemerintah di front terdepan itu, memang terkejut sekali ketika menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah mengerahkan kekuatan pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan liar itu hebat bukan main dan biarpun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak mampu bertahan dan terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun Ang-kiok-teng.
Panglima Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar penduduk Ang-kiok-teng tidak menjadi panik melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu pasukan melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma saja karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar. Terjadilah perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu.
Selagi Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya dengan gemas melihat kekalahan anak buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang naik ke menara. Enam orang pengawal panglima itu cepat menerjang dengan pedang mereka, akan tetapi Ceng Ceng berseru,
“Tahan! Kami bukan musuh, kami malah datang untuk melindungi komandan!”
Thio-ciangkun terkejut dan memandang penuh curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.
“Siapa kami bukan hal penting, Ciangkun. Kami adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya pemberontakan dan melihat musuh yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun yang terancam, kami datang hendak membantu dan melindungi.”
Thio Luk Cong memandang penuh selidik, kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
“Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi.”
Pada saat itu, dari bawah menyambar dua batang anak panah yang menuju ke arah tubuh perwira itu.
“Huhhh!”
Si Topeng Setan mengeluarkan suara dari hidungnya dan ketika kedua tangannya bergerak, dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia melontarkan ke bawah, terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar terjengkang roboh. Kiranya pasukan liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk dan kini diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang menyerbu.
Di dalam dusun itu terjadilah peristiwa mengerikan, kekejaman perang yang semenjak ribuan tahun yang lalu terulang terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri manusia di mana terjadi kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan di waktu damai akan dapat dilakukan oleh manusia lain.
Pasukan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah yang lari cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang seperti yang terjadi di mana-mana dan di jaman apa pun.
Semua kaum pria, baik yang masih anak-anak sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan dilakukan dengan cara yang biadab pula. Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan pada saat seperti itu mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang menang seolah-olah perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah perkasa, tanda dari kekuasaan dan kemenangan. Kaum wanita mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi.
Mereka diseret, dikumpulkan di jalan raya, ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari anak-anak mereka, ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan ibunya. Suara jerit tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak tawa. Darah mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung tinggi ke angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya.
Pasukan yang merupakan gerombolan binatang buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh mengherankan dan mengagumkan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa, mereka membunuhi kaum pria, merampoki harta benda, dan menangkapi serta menelanjangi semua wanita, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mengambil harta untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang dipilihnya sendiri!
Seperti biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para pembantunya menentukan pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru setelah ada komando dari raja mereka, gerombolan liar ini akan benar-benar berpesta pora untuk diri mereka sendiri!
Sisa pasukan pemerintah sebagian besar melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu samping dan belakang, cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula sebagian lagi yang lari ke menara dan di sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!
Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi serbuan para pasukan itu, biarpun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan yang lihai dan yang merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya habislah semua perajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa meloncat naik ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama lima orang pengawal pribadinya siap untuk membela diri.
“Jangan khawatir, Ciangkun. Aku masih mempunyai akal untuk menghajar mereka!”
Kata Ceng Ceng dengan gemas, apalagi dari ternpat tinggi itu dia dapat melihat betapa penduduk dibunuhi dan wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di jalan seperti domba-domba yang hendak dijual ke pasar!
Sambil bersorak-sorak pasukan liar itu mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah bungkusan yang terisi bubuk hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya untuk bekal sebagai senjata yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak amat perlu.
Akan tetapi melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama Topeng Setan tidak akan mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya, terpaksa dia akan mempergunakan bubuk racun yang dibawanya dari neraka di bawah tanah itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok Mo-li.
Setelah menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun dan para pengawalnya mundur ke dalam menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun itu di sekeliling menara. Racun yang merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa angin dan tidak tampak. Akan tetapi tak lama kemudian terjadilah geger di bawah menara!
Mula-mula hanya beberapa orang saja yang berteriak-teriak sambil menggaruki leher, muka dan tangan, bagian tubuh yang tidak tertutup, akan tetapi makin digaruk, rasa gatal yang amat hebat, makin memasuki baju dan di lain saat mereka itu sudah bergulingan, merintih-rintih dan menggaruki seluruh tubuh mereka.
Dan hal aneh ini disusul oleh teman-teman yang lain, sehingga menjadi belasan orang, puluhan dan akhirnya tidak kurang dari seratus orang anggauta pasukan liar itu bergulingan, saling tindih, bahkan mulai saling pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal yang menyiksa tubuh mereka!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan sisa pasukan liar cepat mundur menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng melihat munculnya dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan membawa pikulan, yang ke dua berpakaian pelajar. Mereka ini bukan lain adalah Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, keduanya adalah pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggauta pasukan mereka yang mendadak bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara, mereka cepat datang dan memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari menara. Kimonga, komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi terdapat seorang gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya seperti itulah.
“Hemm, dia menggunakan racun yang amat berbahaya!” kata Liauw Kui.
“Kalau tidak ditolong, anak buah kita itu bisa celaka!” kata pula Yu Ci Pok.
“Kita harus melaporkan kepada Sri Baginda!”
Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau harus kehilangan seratus orang lebih, sungguh merupakan hal yang amat merugikan dan hebat.
“Benar, harus lapor,”
Dua orang pengawal Raja Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka pergi untuk mencari Raja Tambolon yang sedang menikmati hasil kemenangan pasukannya itu.
“Kurung menara dari jauh, siapkan barisan anak panah!”
Kimonga lalu mengatur pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat oleh ratusan orang perajurit yang siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan mereka yang menjadi korban racun itu masih bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah di bawah menara.
Raja Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus brewoknya di depan hampir dua ratus orang wanita itu. Dia tersenyum girang, akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja yang memiliki kepandaian tinggi ini bukanlah seorang yang haus wanita, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa dia tidak pernah menikmati wanita-wanita rampasan sebagai hasil menang perang.
Akan tetapi wanita-wanita dusun itu baginya kurang menarik dan akhirnya hanya ada seorang gadis saja yang dipilihnya. Dia menunjuk dan gadis itu lalu didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira.
Gadis itu dipisahkan dari yang lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu. Wanita-wanita bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak mata pria yang bersinar-sinar penuh nafsu berahi, yaitu mata dari para tentara pasukan liar itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggauta badan mereka dengan rambut dan tangan, akan tetapi hal ini justeru menambah gairah mereka yang memandangnya.
Setelah memilih seorang gadis saja, Tambolon lalu memilih di antara barang-barang rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata penduduk dusun itu tidak dapat dibilang kaya-raya. Pada saat itu, datanglah Liauw Kwi dan Yu Ci Pok, melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah menara.
“Keparat! Kiranya ada orang pandai di sini! Kenapa kalian tidak memberi hajaran kepada mereka?”
Bentak Tambolon marah sekali mendengar bahwa seratus lebih orang-orangnya sekarat di bawah menara.
“Kami menanti perintah Paduka, karena yang penting adalah bagaimana caranya menyelamatkan anak buah kita itu,” Yu Ci Pok menjawab.
Dengan langkah lebar Tambolon lalu diantar oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke menara. Dia melihat betapa menara itu telah dikurung ketat, dan melihat pula seorang gadis cantik dan seorang laki-laki bermuka seperti setan di atas menara, melindungi Thio-ciangkun yang berada di dalam menara.
“Gendewaku....!”
Raja Tambolon berseru dan cepat seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang gendewa yang amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil sebatang anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang anak panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan yang berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.
“Reeeettt.... singgg....!”
Bagaikan kilat saja anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon menganggap bahwa laki-laki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya merupakan lawan berat.
Sinar kilat itu menyambar ke arah dada Topeng Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari suara dan kilatan anak panah itu bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya, tidak seperti anak panah lain, akan tetapi dengan tenang dia menggunakan tangannya yang dimiringkan menangkis dari samping.
“Plakk....! Sing....!”
Anak panah itu tertangkis membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan mengerikan disusul robohnya seorang perajurit karena lehernya tertembus anak panah rajanya sendiri itu!
Wajah Tambolon menjadi merah, dan dia mengangguk-angguk.
“Boleh juga,” gerutunya, kemudian dia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling menara.
Setelah itu, dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat sehingga suaranya bergerna di seluruh tempat, dia berseru,
“Haiii.... komandan pasukan kerajaan yang berada di menara! Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini sudah kami kepung dan sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan pengikut-pengikutmu! Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan usul kepadamu! Obati perajurit-perajurit kami yang keracunan dan kami akan memberi kesempatan kepadamu untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami kehilangan seratus orang perajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan kalian di atas akan menjadi bangkai-bangkai hangus!”
Thio-ciangkun lalu berkata kepada Ceng Ceng,
“Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat melarikan diri. Ji-wi (Anda Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos, saya adalah seorang komandan yang pasukannya telah hancur, seperti seorang nahkoda yang kapalnya sedang tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas terakhir.”
“Tidak!” Ceng Ceng membantah. “Engkau masih dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tidak ada gunanya melawan seperti membunuh diri.”
Lalu dia melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada laki-laki yang tinggi besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa dialah rajanya atau pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan suara nyaring,
“Heii, pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang meracuni pasukan itu adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah Thio-ciangkun dan pengawalnya keluar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian aku akan menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!”
Tambolon terkejut dan merasa heran sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda cantik jelita itulah yang lihai.
“Baik!” teriaknya, kemudian menoleh kepada anak buahnya berkata, “Buka jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia pergi!”
Para perajurit itu amat takut dan taat kepada raja mereka yang keras, maka cepat mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah memaksa dan membujuk Thio-ciangkun menuruni menara itu bersama lima orang pengawalnya yang berjalan mengelilingi komandan mereka di kanan kiri, depan dan belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan Topeng Setan mengiringkan di belakang dengan sikap tenang.
“Sediakan enam ekor kuda yang baik untuk mereka!” Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah dan penuh wibawa.
“Memang aku takut.”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya.
“Aku tidak percaya! Sedangkan orang seperti aku saja sudah tidak mempunyai rasa takut lagi, apalagi engkau yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi! Siapa yang kau takuti itu?”
Sejenak Topeng Setan tidak mau menjawab, dan Ceng Ceng tidak berani memaksa akan tetapi tak lama kemudian laki-laki itu berkata,
“Aku takut kepada diriku sendiri....”
“Ehhh....?” Ceng Ceng berseru keras, “Mengapa....?”
Topeng Setan tidak menjawab, hanya menggeleng kepala. Kemudian dia berkata,
“Nona sudah banyak bertanya, bolehkah aku juga mengajukan sebuah pertanyaan?”
“Hemmm, boleh saja, akan tetapi belum tentu aku dapat menjawabnya pula.”
“Nona mempunyai seorang musuh besar yang menurut Nona amat Nona benci dan Nona akan mencarinya dan tak akan berhenti sebelum Nona dapat membunuhnya. Nona tidak tahu siapa namanya dan di mana dia berada, suatu hal yang amat sulit, dan menurut Nona, yang pernah melihat orangnya hanyalah Nona sendiri dan Ang Tek Hoat. Akan tetapi Tek Hoat agaknya lebih mementingkan pemberontakan daripada mencari orang itu. Kalau aku boleh bertanya, mengapakah Nona begitu membenci musuh besar itu? Apa yang telah dilakukannya?”
Ceng Ceng menundukkan mukanya yang terasa panas. Dia menekan perasaannya, kemudian mengangkat muka memandang topeng di depannya itu, menghela napas dan menggeleng kepalanya.
“Itu.... itu adalah rahasiaku, tidak dapat aku memberitahukan kepada orang lain.”
Sejenak sunyi di situ. Keduanya seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akhirnya Ceng Ceng yang berkata,
“Sekarang aku tidak akan bertanya-tanya lagi tentang dirimu, In-kong. Aku tahu bahwa setiap orang mempunyai rahasianya sendiri yang tidak ingin diketahui orang lain. Biarlah aku tinggal dalam rahasiaku dan engkau dalam rahasiamu.”
Topeng Setan mengangguk-angguk setuju. Selanjutnya keduanya diam lagi sampai lama dan ketika Ceng Ceng perlahan-lahan mengangkat muka memandang, dia melihat Topeng Setan menundukkan muka, matanya terpejam dan kelihatannya berduka sekali!
Melihat keadaan orang itu, timbul rasa iba di hatinya dan dia pun lupa akan kedukaannya sendiri. Tadi pun dia tenggelam ke dalam duka ketika pikirannya melayang-layang dan mengingat-ingat akan semua pengalamannya, akan nasibnya yang buruk. Akan tetapi melihat temannya begitu berduka, biarpun tidak kentara akan tetapi melihat pundak yang turun itu, muka yang tunduk dan mata yang terpejam dia dapat menduga bahwa Topeng Setan tenggelam ke dalam duka yang mendalam, dia lalu meloncat bangun dan berkata,
“Heii, mengapa tidur? In-kong, aku masih mendapat kesukaran memainkan jurus yang kemarin itu. Mari kita berlatih!”
Topeng Setan terkejut, mengangkat muka dan sepasang matanya tidak muram lagi, menjadi bersinar dan dia pun meloncat bangun. Tak lama kemudian, kedua orang itu telah bertanding, berlatih dengan sungguh-sungguh di tempat yang sunyi itu.
Beberapa hari kemudian, di waktu pagi mereka tiba di luar dusun Ang-kiok-teng yang tidak jauh lagi letaknya dari Koan-bun dan Teng-bun. Dan dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang amat gaduh. Ketika mereka lari mendekat melihat pertempuran yang dahsyat dan mati-matian antara pasukan pemerintah melawan pasukan liar yang amat kuat.
Hampir rata-rata anggauta pasukan liar itu terdiri dari orang yang tinggi besar dan kuat, ganas dan liar, gerakannya dahsyat sehingga dalam pertandingan satu lawan satu, bahkan satu dilawan dua atau tiga orang sekalipun, pihak pasukan pemerintah selalu kalah. Serbuan pasukan liar itu demikian kuatnya sehingga pihak pemerintah mulai main mundur dan melarikan diri memasuki dusun Ang-kiok-teng dikejar oleh pasukan liar.
“Ahhh.... mereka itu seperti pasukan dari barat, pasukan Tambolon!”
Ceng Ceng berseru. Dia pernah melihat pasukan liar ketika rombongan utusan kota raja diserbu, yaitu ketika dia mengawal Puteri Syanti Dewi, dan dia sudah banyak mendengar tentang pasukan liar yang dipimpin oleh Raja Tambolon.
Dia lalu mengajak Topeng Setan untuk berlari cepat dan menggunakan kepandaian mereka untuk meloncati pagar dan memasuki dusun Ang-kiok-teng untuk membantu pasukan pemerintah yang sudah tinggal seperempat jumlahnya itu. Sorak-sorai gegap gempita terdengar ketika pintu gerbang didobrak bobol dari luar, dan membanjirlah pasukan liar itu memasuki dusun Ang-kiok-teng.
Dugaan Ceng Ceng tadi memang tidak keliru. Pasukan itu adalah pasukan Raja Tambolon yang memimpin sendiri pasukan itu menyerbu dusun Ang-kiok-teng, dusun yang telah “diberikan” oleh Panglima Kim Bouw Sin kepada Tambolon, untuk dijadikan markas dan dibolehkan untuk diduduki, dirampas segala-galanya dan Raja Tambolon beserta pasukannya boleh berbuat apa saja terhadap dusun itu dan seluruh penduduknya!
Panglima Thio Luk Cong yang menjadi komandan pasukan pemerintah di front terdepan itu, memang terkejut sekali ketika menghadapi penyerbuan pasukan liar ini. Dia telah mengerahkan kekuatan pasukannya untuk melawan, akan tetapi ternyata pasukan liar itu hebat bukan main dan biarpun lebih banyak jumlahnya, pasukannya tidak mampu bertahan dan terpaksa dia menarik mundur pasukannya ke dalam dusun Ang-kiok-teng.
Panglima Thio naik ke menara dan mengatur pasukannya dari atas menara, melakukan penjagaan-penjagaan ketat dan menyerukan agar penduduk Ang-kiok-teng tidak menjadi panik melainkan berusaha mengumpulkan kekuatan untuk membantu pasukan melawan para penyerbu liar itu. Akan tetapi, semua usahanya percuma saja karena tak lama kemudian, pintu gerbang dapat dibobolkan dari luar. Terjadilah perang lagi yang kacau-balau, perang di dalam dusun itu.
Selagi Thio-ciangkun mengepal-ngepal tinjunya dengan gemas melihat kekalahan anak buahnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang naik ke menara. Enam orang pengawal panglima itu cepat menerjang dengan pedang mereka, akan tetapi Ceng Ceng berseru,
“Tahan! Kami bukan musuh, kami malah datang untuk melindungi komandan!”
Thio-ciangkun terkejut dan memandang penuh curiga, terutama sekali kepada Si Topeng Setan.
“Siapa kami bukan hal penting, Ciangkun. Kami adalah rakyat yang tidak rela melihat adanya pemberontakan dan melihat musuh yang menyerbu dusun ini dan keadaan Ciangkun yang terancam, kami datang hendak membantu dan melindungi.”
Thio Luk Cong memandang penuh selidik, kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
“Terima kasih banyak atas bantuan dan kebaikan Ji-wi.”
Pada saat itu, dari bawah menyambar dua batang anak panah yang menuju ke arah tubuh perwira itu.
“Huhhh!”
Si Topeng Setan mengeluarkan suara dari hidungnya dan ketika kedua tangannya bergerak, dua batang anak panah itu telah ditangkapnya dan sekali dia melontarkan ke bawah, terdengar pekik nyaring dan dua orang tinggi besar terjengkang roboh. Kiranya pasukan liar itu telah menyerbu sampai di tempat itu! Suara makin hiruk-pikuk dan kini diselingi suara jerit wanita dan teriakan-teriakan mengerikan dari mereka yang menyerbu.
Di dalam dusun itu terjadilah peristiwa mengerikan, kekejaman perang yang semenjak ribuan tahun yang lalu terulang terus, puncak dari kemenangan nafsu atas diri manusia di mana terjadi kekejaman-kekejaman yang sukar dapat dibayangkan di waktu damai akan dapat dilakukan oleh manusia lain.
Pasukan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon sendiri telah menghancurkan pertahanan pasukan pemerintah yang lari cerai-berai dan mulailah pesta kemenangan dalam perang seperti yang terjadi di mana-mana dan di jaman apa pun.
Semua kaum pria, baik yang masih anak-anak sampai yang sudah kakek-kakek, dibunuh di tempat tanpa ampun lagi, dan pembunuhan dilakukan dengan cara yang biadab pula. Penyiksaan-penyiksaan yang mengerikan pada saat seperti itu mendatangkan kegembiraan luar biasa pada pihak yang menang seolah-olah perbuatan mereka itu merupakan suatu perbuatan gagah perkasa, tanda dari kekuasaan dan kemenangan. Kaum wanita mengalami nasib yang lebih mengerikan lagi.
Mereka diseret, dikumpulkan di jalan raya, ditelanjangi sama sekali, dan ibu-ibu muda dipisahkan dari anak-anak mereka, ada yang bayinya dibunuh dan disembelih di dalam pondongan ibunya. Suara jerit tangis, ratap dan rintih, bercampur aduk dengan suara gelak tawa. Darah mengecat jalan raya, pintu-pintu rumah, ratap tangis membubung tinggi ke angkasa tanpa ada yang mendengar dan mempedulikannya.
Pasukan yang merupakan gerombolan binatang buas itu amat kejam, akan tetapi sungguh mengherankan dan mengagumkan ketaatan mereka terhadap pimpinan. Seperti biasa, mereka membunuhi kaum pria, merampoki harta benda, dan menangkapi serta menelanjangi semua wanita, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mengambil harta untuk dirinya sendiri atau memperkosa wanita yang dipilihnya sendiri!
Seperti biasa, mereka menanti sampai Raja Tambolon dan para pembantunya menentukan pilihan masing-masing atas wanita dan harta, dan baru setelah ada komando dari raja mereka, gerombolan liar ini akan benar-benar berpesta pora untuk diri mereka sendiri!
Sisa pasukan pemerintah sebagian besar melarikan diri keluar dari dusun itu melalui pintu samping dan belakang, cerai-berai tanpa pimpinan. Ada pula sebagian lagi yang lari ke menara dan di sini di bawah komando Thio-ciangkun melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!
Dan memang mereka itu tidak kuat menghadapi serbuan para pasukan itu, biarpun di situ terdapat Ceng Ceng dan Topeng Setan yang lihai dan yang merobohkan banyak sekali tentara pasukan liar. Akhirnya habislah semua perajurit pemerintah dan Ceng Ceng bersama Topeng Setan terpaksa meloncat naik ke atas menara di mana Thio-ciangkun bersama lima orang pengawal pribadinya siap untuk membela diri.
“Jangan khawatir, Ciangkun. Aku masih mempunyai akal untuk menghajar mereka!”
Kata Ceng Ceng dengan gemas, apalagi dari ternpat tinggi itu dia dapat melihat betapa penduduk dibunuhi dan wanita-wanita diseret dan ditelanjangi, dikumpulkan di jalan seperti domba-domba yang hendak dijual ke pasar!
Sambil bersorak-sorak pasukan liar itu mengepung menara. Ceng Ceng mengeluarkan sebuah bungkusan yang terisi bubuk hitam. Sebetulnya bubuk racun ini selalu dibawanya untuk bekal sebagai senjata yang ampuh dan tidak akan dipergunakan kalau tidak amat perlu.
Akan tetapi melihat betapa menara itu dikepung dan dia bersama Topeng Setan tidak akan mungkin dapat menang menghadapi pasukan musuh yang begitu banyak jumlahnya, terpaksa dia akan mempergunakan bubuk racun yang dibawanya dari neraka di bawah tanah itu, bubuk racun buatan mendiang Ban-tok Mo-li.
Setelah menyuruh Topeng Setan, Thio-ciangkun dan para pengawalnya mundur ke dalam menara, Ceng Ceng lalu menyebarkan racun itu di sekeliling menara. Racun yang merupakan bubuk hitam lembut itu terbawa angin dan tidak tampak. Akan tetapi tak lama kemudian terjadilah geger di bawah menara!
Mula-mula hanya beberapa orang saja yang berteriak-teriak sambil menggaruki leher, muka dan tangan, bagian tubuh yang tidak tertutup, akan tetapi makin digaruk, rasa gatal yang amat hebat, makin memasuki baju dan di lain saat mereka itu sudah bergulingan, merintih-rintih dan menggaruki seluruh tubuh mereka.
Dan hal aneh ini disusul oleh teman-teman yang lain, sehingga menjadi belasan orang, puluhan dan akhirnya tidak kurang dari seratus orang anggauta pasukan liar itu bergulingan, saling tindih, bahkan mulai saling pukul karena menjadi seperti gila oleh rasa gatal yang menyiksa tubuh mereka!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan sisa pasukan liar cepat mundur menjauhi mereka. Dari atas menara, Ceng Ceng melihat munculnya dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian petani dan membawa pikulan, yang ke dua berpakaian pelajar. Mereka ini bukan lain adalah Si Petani Maut Liauw Kui, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, keduanya adalah pengawal-pengawal pribadi Tambolon yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.
Ketika mereka melihat betapa amat banyak anggauta pasukan mereka yang mendadak bergulingan seperti orang sekarat di bawah menara, mereka cepat datang dan memerintahkan pasukan untuk cepat menjauhkan diri dari menara. Kimonga, komandan pasukan, kini menceritakan kepada mereka bahwa tadi terdapat seorang gadis cantik yang menyebar sesuatu dari menara dan akibatnya seperti itulah.
“Hemm, dia menggunakan racun yang amat berbahaya!” kata Liauw Kui.
“Kalau tidak ditolong, anak buah kita itu bisa celaka!” kata pula Yu Ci Pok.
“Kita harus melaporkan kepada Sri Baginda!”
Kimonga berkata dengan khawatir sekali. Kalau harus kehilangan seratus orang lebih, sungguh merupakan hal yang amat merugikan dan hebat.
“Benar, harus lapor,”
Dua orang pengawal Raja Tambolon itu mengangguk, kemudian mereka pergi untuk mencari Raja Tambolon yang sedang menikmati hasil kemenangan pasukannya itu.
“Kurung menara dari jauh, siapkan barisan anak panah!”
Kimonga lalu mengatur pengepungan sehingga menara itu dikepung ketat oleh ratusan orang perajurit yang siap dengan gendewa dan anak panah. Sedangkan mereka yang menjadi korban racun itu masih bergulingan dan merintih-rintih di atas tanah di bawah menara.
Raja Tambolon sedang berdiri dan mengelus-elus brewoknya di depan hampir dua ratus orang wanita itu. Dia tersenyum girang, akan tetapi hatinya agak kecewa. Raja yang memiliki kepandaian tinggi ini bukanlah seorang yang haus wanita, sungguhpun hal itu bukan berarti bahwa dia tidak pernah menikmati wanita-wanita rampasan sebagai hasil menang perang.
Akan tetapi wanita-wanita dusun itu baginya kurang menarik dan akhirnya hanya ada seorang gadis saja yang dipilihnya. Dia menunjuk dan gadis itu lalu didorong dan dibawa pergi oleh seorang perwira.
Gadis itu dipisahkan dari yang lain. Sungguh mengerikan melihat pemandangan di waktu itu. Wanita-wanita bertelanjang bulat diharuskan berdiri dan ditonton oleh banyak mata pria yang bersinar-sinar penuh nafsu berahi, yaitu mata dari para tentara pasukan liar itu. Mereka berusaha sedapat mungkin untuk menutupi anggauta badan mereka dengan rambut dan tangan, akan tetapi hal ini justeru menambah gairah mereka yang memandangnya.
Setelah memilih seorang gadis saja, Tambolon lalu memilih di antara barang-barang rampasan. Juga dia kecewa karena ternyata penduduk dusun itu tidak dapat dibilang kaya-raya. Pada saat itu, datanglah Liauw Kwi dan Yu Ci Pok, melaporkan tentang keadaan anak buah mereka di bawah menara.
“Keparat! Kiranya ada orang pandai di sini! Kenapa kalian tidak memberi hajaran kepada mereka?”
Bentak Tambolon marah sekali mendengar bahwa seratus lebih orang-orangnya sekarat di bawah menara.
“Kami menanti perintah Paduka, karena yang penting adalah bagaimana caranya menyelamatkan anak buah kita itu,” Yu Ci Pok menjawab.
Dengan langkah lebar Tambolon lalu diantar oleh dua orang pengawalnya itu menuju ke menara. Dia melihat betapa menara itu telah dikurung ketat, dan melihat pula seorang gadis cantik dan seorang laki-laki bermuka seperti setan di atas menara, melindungi Thio-ciangkun yang berada di dalam menara.
“Gendewaku....!”
Raja Tambolon berseru dan cepat seorang perwira pembantunya menyerahkan gendewa raja itu, sebatang gendewa yang amat berat dan kuat. Raja itu menyambar gendewanya, lalu mengambil sebatang anak panahnya yang terbuat dari baja dan berbulu merah, lalu memasang anak panah itu di gendewanya, menarik gendewa dan membidik ke arah Topeng Setan yang berdiri di dekat Ceng Ceng di atas menara.
“Reeeettt.... singgg....!”
Bagaikan kilat saja anak panah itu meluncur ke arah Si Topeng Setan, karena Tambolon menganggap bahwa laki-laki kasar tinggi besar bermuka setan itulah yang agaknya merupakan lawan berat.
Sinar kilat itu menyambar ke arah dada Topeng Setan. Orang ini tentu saja mengerti dari suara dan kilatan anak panah itu bahwa serangan anak panah ini amat berbahaya, tidak seperti anak panah lain, akan tetapi dengan tenang dia menggunakan tangannya yang dimiringkan menangkis dari samping.
“Plakk....! Sing....!”
Anak panah itu tertangkis membalik, menyambar ke bawah dan terdengar teriakan mengerikan disusul robohnya seorang perajurit karena lehernya tertembus anak panah rajanya sendiri itu!
Wajah Tambolon menjadi merah, dan dia mengangguk-angguk.
“Boleh juga,” gerutunya, kemudian dia memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengumpulkan kayu bakar dan menumpuknya di sekeliling menara.
Setelah itu, dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat sehingga suaranya bergerna di seluruh tempat, dia berseru,
“Haiii.... komandan pasukan kerajaan yang berada di menara! Pasukanmu telah kami hancurkan dan menara ini sudah kami kepung dan sewaktu-waktu dapat kami bakar habis berikut engkau dan pengikut-pengikutmu! Akan tetapi melihat kegagahan pengikutmu, kami mengajukan usul kepadamu! Obati perajurit-perajurit kami yang keracunan dan kami akan memberi kesempatan kepadamu untuk melarikan diri! Kalau tidak, biarlah kami kehilangan seratus orang perajurit, akan tetapi menara ini akan kami bakar dan kalian di atas akan menjadi bangkai-bangkai hangus!”
Thio-ciangkun lalu berkata kepada Ceng Ceng,
“Lihiap dan Taihiap, harap kalian suka cepat melarikan diri. Ji-wi (Anda Berdua) memiliki kepandaian, tentu dapat lolos, saya adalah seorang komandan yang pasukannya telah hancur, seperti seorang nahkoda yang kapalnya sedang tenggelam. Biarlah saya melawan sampai napas terakhir.”
“Tidak!” Ceng Ceng membantah. “Engkau masih dibutuhkan oleh negara, Ciangkun, tidak ada gunanya melawan seperti membunuh diri.”
Lalu dia melangkah maju, menjenguk ke bawah dan memandang kepada laki-laki yang tinggi besar brewokan yang dari pakaiannya saja dapat diduga bahwa dialah rajanya atau pemimpin pasukan liar itu, kemudian dia mengeluarkan suara nyaring,
“Heii, pimpinan musuh yang berada di bawah, dengarlah! Yang meracuni pasukan itu adalah aku! Kami setuju dengan pertukaran itu, biarlah Thio-ciangkun dan pengawalnya keluar dari dusun ini tanpa gangguan, kemudian aku akan menyembuhkan semua orangmu yang terkena racun!”
Tambolon terkejut dan merasa heran sekali karena sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda cantik jelita itulah yang lihai.
“Baik!” teriaknya, kemudian menoleh kepada anak buahnya berkata, “Buka jalan untuk Thio-ciangkun, biarkan dia pergi!”
Para perajurit itu amat takut dan taat kepada raja mereka yang keras, maka cepat mereka membuka jalan. Ceng Ceng setengah memaksa dan membujuk Thio-ciangkun menuruni menara itu bersama lima orang pengawalnya yang berjalan mengelilingi komandan mereka di kanan kiri, depan dan belakangnya, sedangkan Ceng Ceng dan Topeng Setan mengiringkan di belakang dengan sikap tenang.
“Sediakan enam ekor kuda yang baik untuk mereka!” Ceng Ceng berkata, sikapnya memerintah dan penuh wibawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar