“Memang hanya kaum pengecut saja yang mau menjadi pengkhianat,” katanya dengan pandang mata mengejek. “Kalau golongan kita dipimpin oleh seorang pengecut dan pengkhianat, hancurlah kita semua!”
Muka Lauw Sek menjadi merah sekali karena ucapan itu biarpun tidak langsung ditujukan kepadanya, namun jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.
“Hem, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi beng-cu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!”
Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang hergerak cepat sekali sehingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka diapun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua pihak yang agaknya memiliki kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir.
Sebaliknya, Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang, gerakannya kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan setiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi.
Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.
Biarpun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya.
Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi!
Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya.
Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, karena dia tidak mau memakainya, akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu sarung tangan itu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.
“Hemm, apakah lenganmu telah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?” dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum.
“Tanganmu memang keras seperti besi, akan tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!”
Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.
“Plak-plak! Dukkk....!”
Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!
“Kau curang....!” serunya.
“Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut....?” Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
“Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!”
Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggauta Tiat-ciang-pang melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya. Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya.
Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
“Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?”
Dia membentak dan menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, akan tetapi kini lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, karena memang dia kalah kuat tenaganya, dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit.
Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru. Akan tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main.
Muka Lauw Sek menjadi merah sekali karena ucapan itu biarpun tidak langsung ditujukan kepadanya, namun jelas bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini menghinanya di depan banyak orang.
“Hem, pangcu dari Tiat-ciang-pang, agaknya menurut pandanganmu, tidak ada orang lain yang lebih pantas menjadi beng-cu selain engkau, ya? Hendak kulihat sampai di mana tingginya kepandaianmu dan apakah tangan besimu itu benar-benar keras seperti besi!”
Setelah berkata demikian Lauw Sek sudah maju menerjang dengan dahsyat, menggunakan kedua tangannya yang hergerak cepat sekali sehingga tampaknya seolah-olah dia memiliki enam buah lengan!
Tong Hoat maklum bahwa kepandaian orang ini tidak boleh disamakan dengan dua orang saudara Ma tadi, maka diapun cepat menggerakkan tubuh dan kedua tangannya menangkis sambil membalas dengan pukulan yang tidak kalah dahsyatnya.
Cepat sekali gerakan dua orang itu, yang kelihatan hanyalah bayangan banyak tangan, kadang-kadang dikepal, kadang-kadang terbuka, saling pukul dan saling tangkis dan terdengar suara bersiutnya hawa pukulan kedua pihak yang agaknya memiliki kecepatan yang berimbang. Lauw Sek yang berhati besar karena merasa mempunyai dukungan amat kuat, bernafsu sekali untuk mengalahkan lawan, maka gerakannya cepat dan serangannya bertubi-tubi seperti air membanjir.
Sebaliknya, Tong Hoat bersikap hati-hati dan tenang, gerakannya kokoh kuat membendung banjir serangan itu dan setiap kali menangkis, dia mengerahkan ilmu yang diandalkannya, yaitu Tangan Besi.
Berkali-kali dua pasang lengan itu bertemu dengan dahsyat, kadang-kadang mengeluarkan bunyi berdetak seolah-olah dua tulang yang kuat saling beradu, namun keduanya tidak kelihatan terdorong dan agaknya sama kuatnya.
Biarpun Lauw Sek kelihatan juga kuat dan pantas berjuluk Tangan Malaikat, karena kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh benturan tangan yang amat kuat dari Tong Hoat, akan tetapi sebetulnya dia merasa betapa kedua lengannya nyeri dan makin lama makin hampir tak tertahankan olehnya.
Setiap kali bertemu dengan lengan lawan, dia merasa seolah-olah tulang lengannya retak dan maklumlah dia bahwa biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah jauh oleh lawan, namun harus dia akui bahwa Tong Hoat benar-benar memiliki lengan yang kuat dan keras seperti besi!
Diam-diam dia mengeluh dan teringatlah dia akan pesan pemuda sakti utusan Pangeran Liong Bin Ong yang berpesan agar dia berhati-hati menghadapi tangan besi lawan, dan pemuda yang dia tahu amat sakti itu telah meminjamkan sebuah sarung tangan kepadanya.
Sarung tangan itu dia simpan di dalam saku bajunya, karena dia tidak mau memakainya, akan tetapi setelah sekarang memperoleh kenyataan betapa lihainya Ketua Tiat-ciang-pang, teringatlah dia akan pesan pemuda itu dan segera dia melompat mundur sambil tertawa. Dikeluarkannya sarung tangan berwarna hitam itu dan dipakainya di tangan kanan. Tercium bau yang wangi-wangi aneh memabokkan.
Tong Hoat tidak mengenal sarung tangan itu. Dia dapat menduga bahwa tentu sarung tangan itu merupakan senjata yang ampuh, akan tetapi karena bukan merupakan senjata tajam, dia memandang rendah.
“Hemm, apakah lenganmu telah terasa nyeri maka engkau menggunakan sarung tangan itu?” dia mengejek.
Lauw Sek tersenyum.
“Tanganmu memang keras seperti besi, akan tetapi jangan mengira aku takut. Tangan besimu akan mencair kalau bertemu dengan sarung tangan ini!”
Tek Hoat tentu saja tidak percaya dan dia sudah menerjang lagi. Dia tadi sudah hampir memperoleh kemenangan karena pihak lawan sudah terus didesaknya. Dengan pengerahan tenaga pada kedua lengannya, dia menyerang tanpa mempedulikan sarung tangan hitam yang melindungi tangan kanan dan sebagian dari lengan kanan Lauw Sek.
“Plak-plak! Dukkk....!”
Tong Hoat meloncat ke belakang dengan kaget sekali, lalu menggosok-gosok lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan bersarung tangan dari lawannya. Lengan kirinya terasa gatal-gatal dan panas sekali! Wajahnya berubah. Tahulah dia bahwa sarung tangan itu ternyata ampuh sekali dan tentu mengandung racun yang amat jahat!
“Kau curang....!” serunya.
“Ha-ha-ha, Pangcu. Kau takut....?” Lauw Sek tertawa mengejek dan siap menyerangnya kembali.
“Pangcu harap mempergunakan obat dari Lihiap ini, dilumurkan pada kedua tangan!”
Tiba-tiba terdengar seruan ini dan seorang anggauta Tiat-ciang-pang melemparkan sebuah bungkusan ke arah ketuanya. Mendengar ini Tong Hoat menerima dengan girang dan tahulah dia bahwa nona Lu Ceng diam-diam telah membantunya.
Mengingat betapa nona itu dapat menghabiskan beberapa cawan arak bercampur racun tanpa akibat apa-apa, dia maklum bahwa pendekar wanita itu adalah seorang ahli racun, maka dia cepat membuka bungkusan itu. Di dalamnya terdapat cairan kental seperti lumpur, berwarna kuning. Cepat dia membalurkan semua obat itu pada tangan dan lengannya. Rasa gatal dan panas pada tangan kanannya lenyap seketika, dan kedua lengannya terasa dingin.
“Majulah, siapa takut sarung tangan beracunmu?”
Dia membentak dan menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang mati-matian. Lauw Sek selalu menggunakan tangan kanannya yang memakai sarung tangan, akan tetapi kini lawannya menangkis dan menerima tanpa ragu-ragu lagi dan setiap kali mereka bertemu lengan dan tangan, karena memang dia kalah kuat tenaganya, dia yang merasa kedua lengannya sakit-sakit.
Seratus jurus telah lewat dan pertandingan itu makin seru. Akan tetapi kini Lauw Sek main mundur dan selalu menghindarkan pertemuan kedua lengan karena kedua lengannya sudah bengkak-bengkak dan nyeri bukan main.
Kesempatan baik dipergunakan oleh Tong Hoat ketika Lauw Sek yang sudah tidak berani menangkis itu berusaha mengelak dari pukulan lawan. Tong Hoat menggerakkan kedua kakinya, mainkan ilmu tendangan berantai dan akhirnya Lauw Sek terkena sebuah tendangan kaki kiri yang membuat tubuhnya terlempar ke bawah panggung!
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma.
Akan tetapi di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai beng-cu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai. Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih.
Biarpun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, akan tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Akan tetapi rambutnya yang hitam panjang itu merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya, kulit mukanya putih dan ketampanan wajahnya makin mencolok dan sinar matanya yang tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul mengejek.
Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Tiat-ciang-pangcu, apakah syaratnya bagi seorang beng-cu yang dipilih dalam pertemuan ini?” Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. “Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?”
Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda ini seorang anggauta biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.
“Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?”
Tek Hoat tersenyum.
“Aku she Ang dan aku ingin memasuki pemilihan beng-cu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi beng-cu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
“Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi beng-cu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang beng-cu harus pula dapat melindungi semua anggautanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biarpun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi penghianat bangsa dan negara!”
Tek Hoat tersenyum lebar.
“Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada beng-cu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi beng-cu?”
Tong Hoat menggeleng kepalanya.
“Belum tentu, selama masih ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon.”
“Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tidak memandang mata kepadanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya biarpun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!
“Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!”
“Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini.”
Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para angauta Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan beng-cu.
Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi beng-cu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak!
Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Dia harus biarpun sedikit memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian melakukan pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini. Pemuda ini jelas bukan anggauta golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal yang terlalu besar.
Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jerih calon lain.
Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat sudah mengeluarkan jurus yang paling hebat, bagaikan halilintar, kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.
“Bukk! Desss!”
Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar.
Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!
Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja.
Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguhpun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.
“Ilmu setan!”
“Bunuh siluman itu!”
Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggauta Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung.
Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan kedua tangannya bergantian dan.... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma, menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat, sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng melihat sambil tersenyum simpul. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah.
Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka.
Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.
“Apakah masih ada lagi orang yang tidak mau menerima aku sebagai beng-cu?” Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. “Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silahkan naik.”
Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung.
Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggauta Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan dan terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!
“Si Jari Maut....!”
Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang sungguhpun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, berseru keras,
“Hidup beng-cu kita yang baru!”
“Hidup Si Jari Maut....!”
Tek Hoat tersenyum dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring,
“Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai beng-cu?”
“Setuju....!” Semua orang berteriak.
Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu,
“Tidak setuju....!”
Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung. Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu.
Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai saputangan yang memang sudah dipersiapkan, lalu berkata,
“Hemm, saputanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!”
“Aku.... tidak akan memandangmu....” berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi beng-cu, tentu saja Tek Hoat akan menjaga namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Akan tetapi, dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lalu berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,
“Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Saputangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai.... Ang Tek Hoat?”
Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya.
“Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!”
Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi beng-cu!
“Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan beng-cu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!”
“Apa....? Ah, untuk apa kedudukan beng-cu bagimu?”
“Tidak perlu kau tahu. Pendeknya, kedudukan beng-cu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?”
Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja saputangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini!
“Baiklah, sesukamulah,” jawabnya.
“Harus kau umumkan kepada mereka bahwa aku adalah beng-cu, dan engkau adalah pembantuku!” kata pula Ceng Ceng.
Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan ke dua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai beng-cu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!
Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!
“Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi beng-cu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Nona....” Tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan bertanya,
“Ehh....!” Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, “Aku lupa lagi.... siapakah namamu?”
“Bodoh! Namaku Lu Ceng.”
Tek Hoat kembali berseru nyaring,
“Kedudukan beng-cu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi beng-cu, sedangkan aku menjadi wakilnya....”
“Bukan wakil melainkan hanya pembantu!” Ceng Ceng menghardik.
“Bukan wakilnya, hanya pembantunya....!”
Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang demikian mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, mengapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?
Akan tetapi ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
“Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!”
Teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
“Kalian sudah bosan hidup? Mampuslah!” bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.
Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihatnya. Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali, tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju.
Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu diantara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis inipun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
“Engkau hebat....!” katanya memuji tanpa memandang.
“Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang,” kata Ceng Ceng. “Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!”
Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, akan tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biarpun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, akan tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian!
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kemenangan Tong Hoat, tidak saja dari para anggauta Tiat-ciang-pang, akan tetapi juga dari mereka yang tadi dikalahkan oleh dua orang saudara Ma.
Akan tetapi di bawah sorak-sorai yang diselingi oleh teriakan-teriakan yang menyatakan mengangkat Tong Hoat sebagai beng-cu itu, tampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depan Ketua Tiat-ciang-pang itu telah berdiri seorang pemuda tampan yang bertubuh sedang saja dan kelihatannya tidak seperti seorang yang lihai. Pakaian pemuda ini sederhana saja, dengan jubah atau baju luar yang berwarna biru tua, celana kuning dan baju dalam putih.
Biarpun pakaiannya terbuat dari kain yang mahal dan baru, akan tetapi potongannya biasa dan sederhana saja sehingga dia kelihatan hanya seperti seorang pemuda pekerja yang sederhana dari kota. Akan tetapi rambutnya yang hitam panjang itu merupakan kuncir yang besar mengkilap, bergantung di punggungnya, kulit mukanya putih dan ketampanan wajahnya makin mencolok dan sinar matanya yang tajam berapi dan bibirnya yang tersenyum simpul mengejek.
Melihat pemuda ini, Ceng Ceng cepat mendekati panggung dan memandang dengan penuh perhatian dan ketegangan karena dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
“Tiat-ciang-pangcu, apakah syaratnya bagi seorang beng-cu yang dipilih dalam pertemuan ini?” Ang Tek Hoat bertanya, suaranya lantang namun halus dan tenang. “Bukankah syaratnya adalah orang yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita semua?”
Tong Hoat memandang pemuda itu penuh selidik, akan tetapi dia merasa belum pernah melihat pemuda ini. Kalau pemuda ini merupakan seorang tokoh kaum sesat di sekitar kota raja, tentu dia mengenalnya. Maka tentu pemuda ini seorang anggauta biasa saja, atau kalau dia seorang pandai, tentu datang dari daerah lain.
“Benar demikian, orang muda. Engkau siapakah dan datang dari mana?”
Tek Hoat tersenyum.
“Aku she Ang dan aku ingin memasuki pemilihan beng-cu ini. Jika aku dapat mengalahkan engkau, apakah aku dipilih menjadi beng-cu dan semua golongan hitam di daerah ini lalu tunduk kepada semua perintahku?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal pemuda ini dan siapa tahu pemuda ini adalah kaki tangan pemberontak. Akan tetapi tentu saja dia tidak berhak melarang, dan teringat kepada Nona Lu yang sanggup untuk menentang kaki tangan pemberontak kalau mereka hendak menguasai golongan hitam untuk bersekutu.
“Orang muda she Ang, tentu saja siapa pun boleh mencoba kepandaian untuk menjadi beng-cu. Akan tetapi, sekarang keadaan negara sedang kacau, dikacau oleh usaha orang-orang yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah. Oleh karena itu, seorang beng-cu harus pula dapat melindungi semua anggautanya agar jangan sampai terseret ke dalam pemberontakan, karena pekerjaan itu adalah amat hina. Biarpun kita disebut golongan hitam atau kaum sesat, namun kita masih mempunyai kehormatan untuk tidak menjadi penghianat bangsa dan negara!”
Tek Hoat tersenyum lebar.
“Pangcu, saya kira urusan itu terserah kepada beng-cu yang telah dipilih, bukan? Dialah yang akan memutuskan tentang segala persoalan dan peraturan, dan hal itu merupakan urusan belakang. Sekali lagi, kalau saya mampu mengalahkan pangcu, berarti saya menjadi beng-cu?”
Tong Hoat menggeleng kepalanya.
“Belum tentu, selama masih ada calon lain engkau harus dapat mengalahkan semua calon.”
“Itu adalah hal yang mudah. Bagaimana kalau lawan saya sampai tewas?”
Tong Hoat mengerutkan alisnya dan timbullah kemarahannya. Sikap pemuda ini sama sekali tidak memandang mata kepadanya, seolah-olah sudah yakin akan kemenangannya biarpun sikap pemuda itu tenang saja, namun kata-katanya amat memandang rendah dan membayangkan kesombongan hebat!
“Terluka atau mati adalah resiko dalam pertandingan silat!”
“Bagus, kalau begitu biarlah aku merobohkan Pangcu dulu, baru merobohkan lain orang yang berani naik ke sini.”
Tentu saja ucapan ini membuat Tong Hoat marah sekali, akan tetapi di antara para angauta Tiat-ciang-pang ada yang tertawa geli dan menganggap pemuda itu seorang yang sudah miring otaknya karena bicara sedemikian mudahnya hendak merobohkan pangcu mereka dan merampas kedudukan beng-cu.
Akan tetapi Ceng Ceng memandang dengan penuh kekhawatiran. Dia maklum bahwa nyawa Ketua Tiat-ciang-pang itu terancam bahaya hebat, akan tetapi tentu saja dia tidak hendak mencampurinya. Yang membuat dia khawatir adalah melihat betapa Tek Hoat kini sudah turun tangan sendiri dan kalau sampai pemuda ini yang menjadi beng-cu, tentu saja semua kaum sesat di daerah itu akan diseretnya menjadi kaki tangan pemberontak!
Dan dia harus menghalangi usaha pemuda ini! Dia harus biarpun sedikit memperlihatkan kesetiaannya kepada kerajaan sebagai keturunan kakeknya, seorang bekas pengawal yang setia! Dia harus menentang para pemberontak!
Sementara itu, Tiat-ciang-pangcu Tong Hoat sudah menerjang pemuda yang membakar hatinya itu. Serangannya dahsyat sekali, kedua tangannya bergantian melakukan pukulan dengan disertai pengerahan tenaga sin-kang sekuatnya, mengerahkan Ilmu Tiat-ciang yang paling kuat. Karena marahnya, ketua ini ingin sekali pukul merobohkan pemuda sombong ini. Pemuda ini jelas bukan anggauta golongan daerah situ, maka membunuhnya pun bukan merupakan hal yang terlalu besar.
Terhadap rekan sedaerah, dia masih sungkan membunuh, akan tetapi pemuda yang sombong itu boleh jadi adalah kaki tangan pemberontak, maka membunuhnya bahkan amat baik, tentu akan membikin jerih calon lain.
Dengan pikiran demikian, maka begitu menerjang maju, Tong Hoat sudah mengeluarkan jurus yang paling hebat, bagaikan halilintar, kedua tangannya menyambar susul-menyusul, yang kanan memukul ke arah lambung lawan, yang kiri dengan jari terbuka mendorong ke arah dada disertai tenaga Tiat-ciang yang dahsyat.
“Bukk! Desss!”
Dua pukulan itu dengan tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh pemuda itu sama sekali tidak bergoyang. Bahkan Tong Hoat seketika menjadi pucat mukanya ketika merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan tubuh yang kerasnya melebihi baja, yang membuat kedua pukulannya membalik dan lengan tangannya seperti dibakar.
Pada saat itu, Tek Hoat menggerakkan tangan kirinya dan ujung jari-jari tangannya menyentuh dada Ketua Tiat-ciang-pang itu. Tanpa mengeluarkan suara apa pun Tong Hoat terjengkang, kedua tangannya dikembangkan, matanya melotot dan dia roboh seperti sebatang balok, roboh di atas papan panggung dan tidak dapat bergerak lagi!
Sejenak semua orang menahan napas. Keadaan menjadi sunyi. Semua mata melotot terbelalak penuh kekagetan dan keheranan melihat kepada pemuda itu. Sukar bagi mereka untuk dapat percaya betapa seorang lihai seperti Ketua Tiat-ciang-pang itu roboh oleh seorang pemuda tak terkenal dalam hanya satu gebrakan saja.
Lebih aneh lagi karena mereka melihat betapa pukulan kedua tangan Tiat-ciang-pangcu itu, yang terkenal memiliki Ilmu Tangan Besi, dengan tepat mengenai dada dan lambung pemuda itu, namun bukan pemuda itu yang roboh, melainkan Si Ketua yang lihai itu! Hanya Ceng Ceng yang sudah mengenal kelihaian Tek Hoat, tidak menjadi heran sungguhpun dia menjadi makin kagum dan yakin akan kehebatan ilmu kepandaian Tek Hoat.
“Ilmu setan!”
“Bunuh siluman itu!”
Teriakan-teriakan ini terdengar dari mulut para anggauta Tiat-ciang-pang dan enam orang tokoh Tiat-ciang-pang yang merupakan pembantu-pembantu utama dari pangcu, sudah naik ke atas panggung.
Akan tetapi, orang-orang yang berdiri di sekitar panggung itu hanya melihat pemuda itu tersenyum dan menggerakkan kedua tangannya bergantian dan.... berturut-turut enam orang itu roboh pula terjengkang di atas papan panggung tanpa dapat bergerak lagi!
Keadaan menjadi geger. Dua orang penjudi yang tadi dikalahkan dua orang saudara Ma, menjadi penasaran dan marah. Mereka bersama belasan orang anggauta Tiat-ciang-pang dan sahabat-sahabat baik Tong Hoat, sudah meloncat naik ke atas panggung dengan senjata-senjata tajam di tangan, langsung menerjang dan mengeroyok pemuda itu.
Ceng Ceng melihat sambil tersenyum simpul. Dia tahu bahwa semua orang itu mengantar nyawa secara percuma saja. Dan apa yang terjadi di atas panggung memang amat mengerikan dan mengherankan semua orang yang menonton di bawah.
Pemuda itu dengan sikap tenang-tenang saja menghadapi semua serangan orang yang menyerbu dengan senjata tajam seperti hujan menyambar ke arah tubuhnya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan para pengeroyok itu terkejut dan bingung karena tubuh pemuda itu telah lenyap dari tengah mereka.
Tiba-tiba, seperti halilintar cepatnya Tek Hoat membagi-bagi tamparan dengan jari-jari tangannya dan dalam waktu singkat saja lebih dari lima belas orang sudah roboh. Tubuh mereka bergelimpangan malang-melintang memenuhi papan panggung.
“Apakah masih ada lagi orang yang tidak mau menerima aku sebagai beng-cu?” Pemuda itu berseru, suaranya lantang sekali, terdengar sampai jauh di bawah panggung. “Kalau ada yang masih penasaran dan ingin menguji kepandaian, silahkan naik.”
Tentu saja semua orang kini telah yakin akan kesaktian pemuda itu dan tidak ada yang begitu bodoh untuk mengantarkan nyawa, bahkan suasana menjadi sunyi sekali sampai beberapa lamanya. Pemuda itu lalu menggunakan kaki tangannya, menendangi dan melempar-lemparkan tubuh para korbannya ke bawah panggung.
Melihat orang-orang yang jumlahnya lebih dari dua puluh itu terlempar ke atas tanah dan tidak bergerak lagi, para anggauta Tiat-ciang-pang cepat mengadakan pemeriksaan dan terdengarlah teriakan-teriakan tertahan ketika mereka melihat bahwa semua tubuh itu telah tidak bernyawa lagi dan di dahi semua mayat itu tampak bekas jari tangan yang menghitam!
“Si Jari Maut....!”
Terkejutlah semua orang yang berada di situ. Bahkan dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat sendiri juga terkejut, tidak mengira bahwa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu adalah Si Jari Maut yang namanya sudah dikenal lama dan ditakuti semua orang sungguhpun jarang yang pernah melihat mukanya. Kiranya inilah orangnya! Rasa kagum dan girang bahwa mereka kini akan dipimpin oleh seorang penjahat yang terkenal amat lihai, membuat semua orang, bahkan termasuk anggauta-anggauta Tiat-ciang-pang, berseru keras,
“Hidup beng-cu kita yang baru!”
“Hidup Si Jari Maut....!”
Tek Hoat tersenyum dan mengangkat kedua lengannya ke atas. Suasana menjadi hening dan tidak ada seorangpun yang berani mengeluarkan suara. Setelah memandang ke empat penjuru, Tek Hoat lalu berkata dengan suara nyaring,
“Kalian telah melihat sendiri bahwa aku adalah satu-satunya orang yang menang dalam semua pertandingan di atas panggung ini. Oleh karena itu, apakah kalian setuju mengangkat aku sebagai beng-cu?”
“Setuju....!” Semua orang berteriak.
Akan tetapi di antara gemuruh suara yang menyatakan setuju ini, terdengar suara melengking yang mengatasi semua suara itu,
“Tidak setuju....!”
Tentu saja suara melengking ini mengejutkan sekali membuat semua orang terdiam dan menoleh ke kanan kiri untuk mencari suara wanita melengking itu. Tek Hoat juga berdiri di tengah panggung dan matanya bergerak liar ketika dia melihat sesosok bayangan orang melayang naik ke atas panggung. Dia sudah marah sekali dan sudah siap menghadapi orang yang hendak menentangnya itu.
Akan tetapi ketika secara tiba-tiba itu dia melihat bahwa yang meloncat naik dan kini berdiri di depannya adalah seorang gadis cantik dan yang bukan lain adalah Ceng Ceng, wajahnya berubah dan dia cepat-cepat memutar tubuhnya, membalik dan tidak mau berhadapan muka dengan Ceng Ceng! Hal ini adalah karena secara otomatis dia teringat akan janji dan sumpahnya, dan tanpa disadarinya sendiri tahu-tahu dia sudah memutar tubuh dengan jantung berdebar tegang.
Gerakan Tek Hoat ini tentu saja melegakan dan menyenangkan hati Ceng Ceng dan dia cepat mengeluarkan sehelai saputangan yang memang sudah dipersiapkan, lalu berkata,
“Hemm, saputanganmu telah berada di tanganku, jangan sekali-kali kau berani memandangku!”
“Aku.... tidak akan memandangmu....” berkata Tek Hoat yang masih dipengaruhi oleh kekagetan dan masih gugup.
Ceng Ceng adalah seorang yang amat cerdik. Dia maklum bahwa sekarang setelah menjadi beng-cu, tentu saja Tek Hoat akan menjaga namanya sebagai seorang gagah, bukan orang yang suka melanggar sumpah dan janji! Akan tetapi, dia tidak boleh percaya kepada seorang seperti pemuda ini yang tidak segan-segan merendahkan diri menjadi kaki tangan pemberontak. Maka dia lalu berkata dengan lantang, ditujukan kepada semua orang yang berada di bawah,
“Haiii, Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Laki-laki ini yang bernama Ang Tek Hoat, dia telah bersumpah bahwa setiap kali bertemu dengan aku, dia akan memejamkan mata atau tidak akan memandangku. Saputangannya ini yang menjadi saksi mati! Tidakkah benar kata-kataku, hai.... Ang Tek Hoat?”
Tek Hoat tak dapat menyangkal dan terpaksa dia menganggukkan kepalanya.
“Benar dan aku sudah memenuhi janji. Nah, pergilah!”
Ceng Ceng tertawa akan tetapi menutupi mulutnya. Dia gembira sekali karena dia memperoleh pikiran yang amat baik, yang dianggapnya akan membuat dia mampu mencari musuh besarnya. Dia ingin menjadi beng-cu!
“Nanti dulu, Tek Hoat! Engkau harus menyerahkan kedudukan beng-cu kepadaku, dan kau tidak boleh membangkang!”
“Apa....? Ah, untuk apa kedudukan beng-cu bagimu?”
“Tidak perlu kau tahu. Pendeknya, kedudukan beng-cu harus diserahkan kepadaku. Bagaimana? Apakah kau berani tidak taat kepadaku dan melanggar sumpahmu sebagai seorang pengecut yang menjilat ludah sendiri?”
Diam-diam hati Tek Hoat mendongkol sekali. Hemmm, kau tunggu saja, pikirnya. Bocah nakal. Akan tiba saatnya aku membalas semua ini! Kalau saja saputangan itu dapat dirampasnya. Kalau saja dia bisa melupakan janji dan sumpah itu. Dia sendiri merasa heran dan tidak mengerti mengapa dia begitu lemah kalau menghadapi gadis ini!
“Baiklah, sesukamulah,” jawabnya.
“Harus kau umumkan kepada mereka bahwa aku adalah beng-cu, dan engkau adalah pembantuku!” kata pula Ceng Ceng.
Dia sengaja hendak menggunakan pengaruhnya untuk dua tujuan. Pertama, dia mencegah kaum sesat dipengaruhi pemberontak, dan ke dua, dia hendak menggunakan kedudukan sebagai beng-cu itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari pemuda laknat, musuh besarnya!
Tek Hoat menghela napas panjang. Sementara ini, dia terpaksa harus tunduk kepada gadis ini. Memang, kalau dia menghendaki tentu saja dia dapat menyerang dan merobohkan gadis ini, tidak mentaati perintahnya. Akan tetapi, kalau hal itu dia lakukan, dan dia sangsi apakah dia bisa melakukannya karena dia selalu merasa lemah terhadap gadis ini, dia tentu akan dianggap sebagai seorang laki-laki pengecut yang melanggar sumpahnya sendiri terhadap seorang gadis. Dan dalam kedudukannya sebagai seorang ketua, hal itu tentu akan mencemarkan namanya!
“Cu-wi sekalian, dengarlah baik-baik! Aku yang telah mengalahkan semua calon dan yang telah kalian angkat menjadi beng-cu, mulai saat ini menyerahkan kedudukan beng-cu kepada Nona....” Tiba-tiba dia menoleh kepada Ceng Ceng dan bertanya,
“Ehh....!” Akan tetapi teringat bahwa dia tidak boleh memandang, dia cepat membuang muka lagi sambil bersungut-sungut dan bertanya, “Aku lupa lagi.... siapakah namamu?”
“Bodoh! Namaku Lu Ceng.”
Tek Hoat kembali berseru nyaring,
“Kedudukan beng-cu kuserahkan kepada Nona Lu Ceng dan mulai saat ini dialah yang menjadi beng-cu, sedangkan aku menjadi wakilnya....”
“Bukan wakil melainkan hanya pembantu!” Ceng Ceng menghardik.
“Bukan wakilnya, hanya pembantunya....!”
Tentu saja semua orang terheran-heran menyaksikan semua ini. Seorang yang memiliki kesaktian seperti itu, yang memiliki jari maut yang demikian mengerikan dan kepandaian yang demikian tinggi, mengapa berubah menjadi seekor domba saja berhadapan dengan gadis ini?
Akan tetapi ada beberapa orang yang tidak hanya terheran saja, melainkan juga penasaran sekali. Tentu ada rahasia yang mereka tidak mengerti, yang memaksa pemuda utusan Pangeran Liong Bin Ong itu menjadi takut dan taat kepada gadis muda dan cantik itu. Tidak mungkin karena kalah pandai, dan tentu karena sumpah dan janji yang tidak berani dilanggarnya. Mereka itu adalah dua orang saudara Ma dan Si Tangan Malaikat. Mereka berunding sebentar, kemudian mereka mengambil keputusan untuk membantu Tek Hoat dan menyerang gadis yang mengacaukan semua rencana itu.
“Perempuan setan, jangan banyak lagak engkau di sini!”
Teriak Si Tangan Malaikat dan bersama dua orang saudara Ma, dia meloncat ke atas panggung, langsung menghadapi Ceng Ceng yang menyambut kedatangan tiga orang ini dengan senyum mengejek dan diam-diam gadis murid Ban-tok Mo-li mengerahkan ilmunya.
“Kalian sudah bosan hidup? Mampuslah!” bentaknya dan tiga orang itu tentu saja menjadi marah, masing-masing telah mencabut senjatanya dan hendak menyerbu.
Melihat ini, Tek Hoat hanya melirik akan tetapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkan hatinya, dan tentu saja juga amat mengejutkan semua orang yang melihatnya. Ketika tiga orang itu menyerbu, tiba-tiba Ceng Ceng meludah tiga kali ke arah mereka. Serangan aneh ini cepat dan tidak tersangka-sangka sama sekali, tiga orang kasar itu tentu saja tidak takut menghadapi serangan ludah seorang gadis cantik seperti Ceng Ceng, maka mereka pun tidak menunda serangan mereka dan terus maju.
Akan tetapi, tiba-tiba tiga orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan ketiganya melepaskan senjata roboh ke atas papan dan bergulingan lalu berkelojotan dan tak lama kemudian tewas tanpa dapat mengeluarkan suara lagi! Mereka telah menjadi korban ludah beracun dari Ceng Ceng, satu diantara ilmu-ilmu luar biasa yang diperolehnya dari Ban-tok Mo-li!
Melihat ini, tahulah Tek Hoat bahwa gadis ini benar-benar seorang yang amat ahli dalam soal racun. Dahulu ketika Ceng Ceng muncul, gadis inipun telah memperlihatkan kelihaiannya dengan menyebar racun untuk menghalangi pengejaran, dan sekarang kembali telah membuktikan kelihaiannya dalam hal racun.
Lumayan juga mempunyai teman selihai ini, pikirnya. Pula, selain dia tidak ada niat sama sekali untuk mengganggu Ceng Ceng, hal yang amat aneh baginya, juga dia mengharapkan untuk kelak dapat menguasai hati Syanti Dewi melalui gadis ini.
“Engkau hebat....!” katanya memuji tanpa memandang.
“Dan aku perkenankan engkau memandangku sekarang,” kata Ceng Ceng. “Tidak enak kalau mempunyai pembantu yang selalu membelakangiku! Akan tetapi engkau harus taat dalam segala hal!”
Tek Hoat tersenyum geli. Lu Ceng ini benar-benar seorang bocah, akan tetapi telah memiliki kepandaian beracun yang demikian mengerikan, pikirnya. Dia mengangkat muka memandang dan memperoleh kenyataan bahwa biarpun gadis ini sekarang makin manis, kecantikannya makin matang, akan tetapi terbayang sesuatu yang amat mengerikan, sesuatu yang dingin dan penuh kebencian! Akan tetapi anehnya, begitu memandang, timbul pula rasa iba dan sayang di dalam hatinya terhadap gadis ini, hal yang sama sekali tidak dimengertinya mengapa demikian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar