“Eh, sudah cukup arak itu, Nona....!” Dia menegur.
“Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!”
Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas. Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci.
Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sin-kang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
“Lekas, Nona Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!” Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. “Lekas sebelum terlambat....!” katanya dengan nada khawatir sekali.
Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!
“Kenapa ribut-ribut?” bentaknya sambil bangkit berdiri. “Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?”
Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun akan tetapi toh masih diminumnya, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?
“Nona Lu.... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat kuharapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!”
Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan saputangan, memandang ketua itu dan berkata,
“Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?”
Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam.
“Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apabila Nona sudi membantu kami!”
Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang,
“Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu.”
“Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu.”
“Hemm.... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukku, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain....”
“Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itupun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi beng-cu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!”
“Menyelamatkan bagaimana?”
“Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!”
Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
“Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?”
“Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biarpun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang beng-cu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan beng-cu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapapun juga, dia adalah keturunan orang-orang yang setia kepada negara!
“Baik, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?”
“Hemm, engkau kiranya seorang tuan rumah yang pelit!”
Ceng Ceng pura-pura marah, lalu melemparkan guci itu ke atas. Guci berputaran ke atas, lalu turun perlahan ke atas meja seperti diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan, dan sedikit pun tidak ada arak yang tumpah dari dalam guci.
Tong Hoat memandang dan demonstrasi lontaran yang mempergunakan tenaga sin-kang ini sama sekali tidak membuat dia terheran karena dia sendiri pun agaknya akan mampu melakukannya. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah karena nona muda itu telah menghabiskan tiga cawan arak bercampur obat bius dan kelihatannya masih enak-enak saja!
“Lekas, Nona Lu! Kau minumlah obat penawar racun ini!” Dia mengeluarkan sebutir pel dari dalam bungkusan. “Lekas sebelum terlambat....!” katanya dengan nada khawatir sekali.
Ceng Ceng memandang tajam dan tidak menerima obat itu. Dia merasa makin heran akan sikap Ketua Tiat-ciang-pang ini. Tadi sengaja hendak meracuninya dengan obat bius, dan sekarang bingung memberikan obat penawarnya!
“Kenapa ribut-ribut?” bentaknya sambil bangkit berdiri. “Bukankah kau sengaja menaruh racun ke dalam arak itu dan ingin melihat aku roboh pingsan?”
Ketua itu makin terkejut mendengar ini. Kiranya nona muda ini malah sudah tahu bahwa yang diminumnya adalah arak yang bercampur racun akan tetapi toh masih diminumnya, bukan hanya satu cawan seperti disuguhkannya, melainkan mengambil sendiri dan minum sampai tiga cawan! Apa artinya ini?
“Nona Lu.... maafkan aku. Memang, tadinya aku hendak mengujimu. Kalau kau mudah saja terjebak dan pulas oleh obat bius, maka engkau bukanlah orang yang dapat kuharapkan bantuannya. Akan tetapi engkau tidak apa-apa, dan engkau minum lagi dua cawan! Ini di luar perhitunganku dan aku tidak ingin melihat engkau celaka karena racun. Maka kau minumlah obat penawar ini!”
Ceng Ceng tersenyum. Kemarahannya lenyap seketika. Kiranya ketua ini hanya ingin mengujinya! Sambil tersenyum dia menghampiri guci tadi, menuangkannya lagi sampai tiga kali ke dalam cawannya dan minum berturut-turut tiga kali lagi! Setelah itu, dia mengusap bibirnya dengan saputangan, memandang ketua itu dan berkata,
“Pangcu, baru enam cawan yang dicampuri obat bius seperti ini, apa sih artinya?”
Melihat ini, Tong Hoat menjadi kagum dan terheran-heran. Dia menjadi girang dan segera menjura dengan dalam.
“Aihh, kiranya mataku sudah lamur saking tuanya, tidak melihat Gunung Thai-san menjulang di depan mata, tidak melihat kedatangan seorang yang memiliki kesaktian hebat! Nona Lu, engkau benar-benar menggirangkan dan mengagumkan hatiku, dan kami Tiat-ciang-pang akan berterima kasih sekali apabila Nona sudi membantu kami!”
Ceng Ceng duduk kembali, lalu berkata tenang,
“Aku ingin mendengar dulu dalam hal apa aku dapat membantumu, Pangcu.”
“Membantu memperkuat kedudukanku agar kita dapat merampas kedudukan bengcu, Nona Lu.”
“Hemm.... bagaimana mungkin aku membantu engkau mengejar kedudukan untukku, Pangcu? Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi orang lain....”
“Jangan salah mengerti, Nona Lu. Aku tidak haus akan kedudukan. Aku sudah menjadi pangcu dari Tiat-ciang-pang, itupun sudah cukup memusingkan. Siapa sudi menjadi beng-cu yang hanya akan menghadapi banyak pekerjaan yang memusingkan belaka? Kalau aku ingin merampas kedudukan itu hanyalah untuk menyelamatkan seluruh golongan hek-to (jalan hitam)!”
“Menyelamatkan bagaimana?”
“Agar jangan sampai mereka itu dibawa menyeleweng!”
Hampir saja Ceng Ceng tertawa keras mendengar ini. Pangcu ini ingin menjaga agar kaum sesat, manusia-manusia yang sudah hidup menyeleweng itu tidak dibawa nyeleweng! Betapa lucu dan anehnya!
“Aku tidak mengerti, Pangcu. Menyeleweng bagaimana yang kau maksudkan?”
“Dengar baik-baik, Nona. Kaum pemberontak diam-diam sudah merajalela di seluruh pelosok dan kini mereka itu berusaha untuk menguasai dan mempengaruhi kaum hek-to. Biarpun kami tergolong orang-orang dari hek-to, namun kami memiliki kehormatan. Urusan mencopet dan merampok adalah urusan pekerjaan, akan tetapi menjadi pemberontak adalah suatu kerendahan dan merupakan perbuatan hina! Kami dari Tiat-ciang-pang menentangnya mati-matian. Karena tidak ingin melihat golongan hek-to diperalat oleh seorang beng-cu yang menjadi kaki tangan pemberontakan, maka mati-matian kami hendak mempertahankannya agar kedudukan beng-cu tidak sampai terjatuh ke tangan seorang kaki tangan pemberontak!”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. Mengertilah dia kini akan persoalannya, dan diam-diam dia merasa heran dan kagum juga mengapa seorang ketua perkumpulan kaum sesat ini memiliki jiwa patriot juga! Tentu saja Ceng Ceng siap sedia untuk membantu kerajaan menghadapi pemberontak. Betapapun juga, dia adalah keturunan orang-orang yang setia kepada negara!
“Baik, kalau begitu aku akan membantu, Pangcu. Akan tetapi ingatlah baik-baik, aku bukan membantu engkau pribadi atau membantu Tiat-ciang-pang, melainkan membantu untuk menentang kaki tangan pemberontak! Nah, sekarang jelaskan, siapa dan pihak manakah yang menjadi kaki tangan pemberontak di antara golongan hek-to?”
“Di antara kami kaum sesat telah terpecah belah menjadi empat kelompok,”
Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Selanjutnya dengan panjang lebar dia menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu. Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja adalah perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya.
Kelompok ke dua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat!
Kelompok ke tiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai beng-cu!
Sedangkan kelompok ke empat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.
Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih beng-cu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.
Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian. Kemudian dia berkata,
“Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya.”
Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang.
Juga kelihatan bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggauta Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.
Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura ke empat penjuru, lalu berkata lantang,
“Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan beng-cu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi beng-cu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung.”
Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon beng-cu.
Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggauta Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul. Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya,
“Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!”
Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Akan tetapi orang ke dua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata,
“Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah maupun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon beng-cu dan kalau kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah maupun pemberontak.”
“Ho-ho, manusia-manusia sombong!”
Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
“Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Kalau kami telah berhasil menjadi beng-cu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan.”
Orang ke dua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak,
“Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!”
“Ha-ha-ha!” Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa. “Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut, dan dalam memperebutkan kedudukan beng-cu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun daripada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!”
“Cet-cet-cet-cettt....!”
Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, kalau mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.
Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu.
“Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!”
Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar nyaring dan mengerikan.
Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggauta golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu.
Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri. Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.
Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggauta Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tidak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun Tek Hoat tidak kelihatan bayangannya lagi.
Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung. Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan kini dua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka.
Dua orang penjudi terlempar ke bawah panggung dan cepat mereka ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon beng-cu lain untuk menguji kepandaian, akan tetapi tidak kelihatan ada yang meloncat naik.
Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong.
Tek Hoat memang amat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merampas kedudukan beng-cu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali kalau memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi beng-cu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini, dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan.
Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai beng-cu!
Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang,
“Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara mengangkat kami sebagai beng-cu dan wakilnya!”
“Setuju....!”
“Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai beng-cu dan wakilnya!”
Keadaan menjadi ribut karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tidak ada seorang pun yang bersuara.
“Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?” bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan beng-cu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itupun kalau engkau tidak mampu mengatasinya, Pangcu.”
Ketua itu mengangguk.
“Baiklah, aku hanya mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena akupun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu.”
Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma. Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apalagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung.
Dua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum. Ma Ciang berkata,
“Aihh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pang-cu dan semua anggauta Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi beng-cu?”
Ma Kai juga berkata,
“Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan beng-cu!”
Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab,
“Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan beng-cu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan beng-cu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang beng-cu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Oleh karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi beng-cu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan.”
“Bagus! Dengan lain kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pang-cu dari Tiat-ciang-pang ini!”
Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Tidak adil! Tidak adil!” tedengar teriakan dari para anggauta Tiat-ciang-pang. “Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!”
“Apalagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!”
Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dua orang penjudi. Golongan ini memang tidak pro atau anti pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga, wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata,
“Baiklah, kalau pang-cu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pang-cu jerih menghadapi kami bersama.” Ucapan inipun lantang terdengar oleh semua orang.
Tong Hoat mengerutkan alisnya, dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biarpun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apalagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata maupun tidak.
“Silahkan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!” teriaknya.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.
Tong Hoat sudah siap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.
“Dukkk! Dukkk!”
Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali ketika beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Namun dua orang itu bukan menjadi jera bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat, disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.
Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu.
Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan beng-cu ini. Kecuali kalau Tek Hoat yang maju, jelas bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan!
Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.
Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Dua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, akan tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.
Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat.
Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dalam kesempatan yang terbuka dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Biarpun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!”
Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung. Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang.
Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!
Sebetulnya sudah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling dan golongan pencopet dan perampok yang bergabung di dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tidak mau menerima seorang pencuri sebagai anggauta, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam.
Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka.
Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri.
Akan tetapi selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar yang banyak anggautanya. Sekarang, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pemilihan beng-cu, apalagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya merupakan pengecut besar, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya telah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.
Ketua Tiat-ciang-pang itu menuturkan. Selanjutnya dengan panjang lebar dia menceritakan keadaan kaum sesat yang berkumpul di tempat itu. Di antara empat kelompok kaum sesat itu, kelompok pertama tentu saja adalah perkumpulan Tiat-ciang-pang diketuai oleh Tong Hoat yang merasa bahwa perkumpulannya adalah perkumpulan penjahat-penjahat yang berjiwa gagah dan patriotik, yang menentang usaha pihak pemberontak untuk menarik kaum sesat sebagai sekutunya.
Kelompok ke dua adalah kelompok yang dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk menguasai dunia kaum sesat membujuk mereka yang belum mau menggabungkan diri, dan kelompok ini terdiri dari para pencuri, dipimpin oleh seorang maling terkenal yang berjuluk Tangan Malaikat!
Kelompok ke tiga hanya terdiri dari belasan orang bajak yang dipimpin oleh dua orang kakak beradik she Ma dan mereka ini adalah orang-orang yang bermuka dua atau orang-orang yang licik, yang berjanji suka membantu pemberontak asal mereka diberi kedudukan sebagai beng-cu!
Sedangkan kelompok ke empat adalah para penjudi, ialah sisanya yang tetap tidak memihak mana pun, bahkan menganggap bahwa urusan pemberontakan terhadap pemerintah bukanlah urusan mereka.
Melihat perpecahan di antara kaum sesat ini maka Tong Hoat memelopori diadakannya pertemuan pada hari itu untuk memilih beng-cu. Tentu saja kesempatan ini dipergunakan oleh pihak pemberontak untuk dapat menguasai mereka, bahkan Pangeran Liong Bin Ong sendiri segera mengirim utusan untuk menjamin agar pihaknya berhasil menguasai golongan hitam yang merupakan kekuatan yang cukup besar.
Ceng Ceng mendengarkan penuturan ini dengan penuh perhatian. Kemudian dia berkata,
“Kalau begitu, seperti telah kukatakan tadi, Pangcu, urusan antara golonganmu tidak ada sangkut-pautnya dengan diriku. Akan tetapi, kalau aku melihat bahwa kaki tangan pemberontak ingin menguasai golonganmu untuk kepentingan pemberontakan, tentu aku akan turun tangan menentangnya.”
Tong Hoat sudah merasa cukup puas dengan janji ini dan tak lama kemudian dia mengajak Ceng Ceng keluar karena pertemuan akan segera dimulai. Empat kelompok itu sudah berkumpul di sekeliling lapangan luas di tepi sungai, dan jelas tampak bahwa kelompok terbesar adalah kelompok Tiat-ciang-pang.
Juga kelihatan bahwa empat kelompok itu masing-masing memiliki jagoan-jagoan yang berdiri di depan kelompoknya. Di tengah-tengah lapangan rumput yang mereka kelilingi itu terdapat sebuah bangunan panggung yang luasnya tidak kurang dari sepuluh meter persegi. Panggung itu dijaga di bawahnya oleh para anggauta Tiat-ciang-pang yang bertindak sebagai pengundang atau tuan rumahnya.
Dengan gerakan ringan seperti seekor burung garuda melayang, Tong Hoat sudah meloncat ke atas panggung. Dia menjura ke empat penjuru, lalu berkata lantang,
“Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat tentu sudah maklum bahwa pertemuan ini diadakan untuk melakukan pemilihan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang beng-cu. Kita semua membutuhkan seorang pemimpin di jaman kacau ini agar dapat mengadakan ketertiban antara kita semua. Karena kita adalah orang-orang yang mengandalkan kekuatan tangan kaki untuk dapat hidup, maka pemilihan beng-cu pun didasarkan atas tingkat kekuatan tangan dan kaki. Siapa yang terpandai di antara kita, dari golongan mana pun dia datang, berhak untuk menjadi beng-cu dan memimpin kita semua. Kami persilakan orang gagah yang ingin memasuki pemilihan untuk naik ke panggung.”
Tong Hoat lalu menjura lagi dan melompat turun membiarkan panggung itu kosong lagi untuk menanti munculnya para calon beng-cu.
Tak lama kemudian berkelebat dua bayangan orang yang meloncat ke atas panggung. Ceng Ceng yang menyelinap di antara para anggauta Tiat-ciang-pang dan mencari-cari musuhnya dengan harapan kalau-kalau dia akan dapat menemukan pemuda laknat di antara para kaum sesat ini, melihat bahwa yang berada di atas panggung adalah dua orang laki-laki yang usianya tentu lebih dari lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan keduanya memiliki sikap yang kasar seperti tukang-tukang pukul. Seorang di antara mereka mengeluarkan setumpuk kartu dari sakunya, mengocok kartu itu sambil tersenyum dan berkata kepada teman-temannya,
“Wah, mudah-mudahan saja ada lawan yang tebal kantong!”
Dari sikap ini Ceng Ceng sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah dua orang penjudi ulung. Akan tetapi orang ke dua hanya tersenyum, kemudian dia menjura ke empat penjuru dan berkata,
“Kami adalah dua saudara seperguruan dan golongan kami paling tidak suka melihat urusan politik. Pemerintah maupun pemberontak bukanlah sekutu kami. Di antara golongan kami, kami berdua menjadi calon beng-cu dan kalau kami berdua berhasil menduduki kursi bengcu, kami berdua akan mengatur agar semua kaum kita tidak mencampuri urusan pemerintah maupun pemberontak.”
“Ho-ho, manusia-manusia sombong!”
Terdengar bentakan dan kelihatan dua sosok bayangan orang melayang ke atas panggung. Mereka adalah dua orang kakak beradik she Ma seperti yang telah diceritakan oleh Tong Hoat kepada Ceng Ceng. Dengan lagak sombong kedua orang she Ma yang bertubuh tinggi kurus itu memperkenalkan diri.
“Kami dua orang kakak beradik Ma Ciang dan Ma Kai tidak hendak menjanjikan apa-apa lebih dulu seperti dua orang sombong ini. Kalau kami telah berhasil menjadi beng-cu, baru akan kami adakan peraturan yang harus diturut oleh semua kawan.”
Orang ke dua dari kakak beradik Ma ini lalu menghampiri dua orang pertama sambil membentak,
“Hayo kalian turun lagi sebelum kami paksa untuk turun!”
“Ha-ha-ha!” Penjudi yang mempermainkan kartu-kartunya tertawa. “Kami sudah mendengar akan kelihaian kakak beradik she Ma, tukang-tukang todong yang disegani. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kami takut, dan dalam memperebutkan kedudukan beng-cu, hak kami pun sama besarnya dengan kalian atau siapa juga. Lebih baik kalian yang turun daripada mendapat malu dan kalah oleh kami berdua, ha-ha-ha!”
“Cet-cet-cet-cettt....!”
Penjudi itu tiba-tiba menggerakkan tangan kirinya dan empat helai kartunya melayang dan menyambar papan, di situ empat helai kartu itu menancap sampai setengahnya lebih. Semua orang melongo dan merasa kagum juga ngeri. Ternyata hebat sekali penjudi ini. Kartu-kartunya dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang demikian ampuh. Mengenai papan yang keras saja menancap sampai dalam, kalau mengenai tubuh orang tentu akan hebat akibatnya, tidak kalah oleh senjata rahasia apa pun.
Akan tetapi Ma Ciang tertawa bergelak ketika dia mencabut sebuah di antara empat helai kartu yang menancap di papan itu.
“Ha-ha-ha, dasar ular-ular kartu, tentu pandai bermain gila dengan kartu-kartunya!”
Dia meremas kartu itu dan terdengar bunyi seperti barang keras patah-patah. Ternyata kartu terbuat dari besi tipis dan digambari seperti kartu, bukan kartu kertas biasa!
Dua orang penjudi itu menjadi marah dan telah mencabut senjata pedang mereka yang tersembunyi di balik baju, kemudian maju menerjang. Akan tetapi kakak beradik she Ma telah siap, dengan gerakan lincah mereka mencelat ke belakang dan mencabut golok mereka. Maka terjadilah pertandingan mati-matian antara dua orang penjudi dan dua orang perampok itu. Suara senjata pedang bertemu golok terdengar nyaring dan mengerikan.
Ceng Ceng menonton dan menahan napas. Hatinya terasa tegang. Melihat pertempuran bukan merupakan tontonan aneh baginya, akan tetapi dia melihat seorang pemuda yang muncul di antara para anggauta golongan sesat itu dan hatinya tegang sekali ketika dia mengenal pemuda itu.
Seorang pemuda tampan yang menyelinap di antara banyak orang, hanya sebentar saja tampak olehnya namun segera pemuda itu lenyap kembali, agaknya berdiri di bagian belakang dan sengaja menyembunyikan diri. Pemuda itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat!
Melihat kehadiran pemuda yang dia tahu amat lihai ini, dia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang hebat. Ceng Ceng yang cerdik dapat menduga bahwa tentu pemuda itu mewakili kaum pemberontak untuk menguasai golongan sesat.
Melihat munculnya Tek Hoat, otomatis Ceng Ceng juga menyelinap ke belakang para anggauta Tiat-ciang-pang agar pemuda itu tidak melihatnya. Dari belakang beberapa orang dia mengintai dan mencari-cari, namun Tek Hoat tidak kelihatan bayangannya lagi.
Teriakan kesakitan membuat Ceng Ceng menoleh dan memandang ke atas panggung. Ternyata dua orang penjudi itu terhuyung dan terluka oleh golok kedua orang kakak beradik she Ma dan kini dua orang perampok tunggal itu menggunakan kaki menendang lawan yang sudah terluka.
Dua orang penjudi terlempar ke bawah panggung dan cepat mereka ditolong oleh kawan-kawan mereka yang segera mengundurkan diri karena setelah dua orang jagoan mereka kalah, mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk kemenangan bagi golongan mereka.
Dua orang saudara Ma masih berdiri di atas panggung memegang golok mereka sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Beberapa kali mereka mengajukan tantangan kepada calon beng-cu lain untuk menguji kepandaian, akan tetapi tidak kelihatan ada yang meloncat naik.
Hal ini memang disengaja oleh para kaki tangan pemberontak yang dipimpin oleh Si Tangan Malaikat setelah dia mendapat perintah dari pemuda yang mewakili utusan Pangeran Liong Bin Ong.
Tek Hoat memang amat cerdik. Kalau orang-orangnya sendiri yang maju dan merampas kedudukan beng-cu, hal itu akan terlalu mencolok dan kurang baik, kecuali kalau memang terpaksa. Kalau sekarang dua orang saudara Ma yang dia tahu merupakan orang-orang bermuka dua, dapat menjadi beng-cu, hal itu lebih baik. Mudah untuk mempengaruhi dua orang ini, dengan jalan menyogok dengan uang. Yang penting bagi dia, atau bagi pemberontak adalah agar kaum sesat jangan sampai dikuasai oleh Tiat-ciang-pang yang anti pemberontak dan mempunyai kesetiaan kepada kerajaan.
Oleh karena inilah, maka dia memerintahkan agar anak buahnya, termasuk Si Tangan Malaikat, jangan menyambut tantangan dua orang saudara Ma, bahkan boleh menyumbang suara untuk mengangkat mereka sebagai beng-cu!
Ma Ciang dan Ma Kai yang melihat bahwa mereka tidak disambut orang, menjadi heran dan juga girang. Ma Ciang lalu berkata lantang,
“Saudara sekalian, rekan-rekan yang terhormat! Kalau memang tidak ada lagi calon yang merasa cukup kuat untuk mengalahkan kami, maka kami minta agar kalian memberi suara mengangkat kami sebagai beng-cu dan wakilnya!”
“Setuju....!”
“Kita mengangkat kedua saudara Ma sebagai beng-cu dan wakilnya!”
Keadaan menjadi ribut karena suara mereka yang memberikan suaranya, tentu saja didukung oleh semua anak buah para pemberontak yang menyelundup di antara mereka. Hanya golongan yang tadi kalah saja yang diam dan hanya menonton dengan wajah muram, sedangkan golongan Tiat-ciang-pang tidak ada seorang pun yang bersuara.
“Lu-siocia (Nona Lu), lihatlah betapa anak buah pemberontak mendukung mereka, sedangkan dua orang itu adalah orang-orang bermuka dua yang mudah saja dibeli. Apakah Nona tidak akan turun tangan?” bisik Tong Hoat Ketua Tiat-ciang-pang kepada Ceng Ceng.
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya.
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan mencampuri urusan pemilihan beng-cu, dan aku hanya turun tangan kalau anak buah pemberontak sendiri yang naik ke panggung, itupun kalau engkau tidak mampu mengatasinya, Pangcu.”
Ketua itu mengangguk.
“Baiklah, aku hanya mengharapkan bantuan Nona untuk membela negara karena akupun bukan seorang yang haus akan kedudukan bengcu.”
Setelah berkata demikian, Tong Hoat berteriak keras mengatasi suara gaduh mereka yang sedang menyokong suara kepada dua orang saudara Ma. Teriakannya ini membuat semua orang ini diam, apalagi ketika mereka melihat Ketua Tiat-ciang-pang sudah meloncat naik ke atas panggung.
Dua orang saudara Ma memang sudah sejak tadi menanti munculnya jagoan dari Tiat-ciang-pang ini, maka kini mereka menghadapi Tong Hoat sambil tersenyum. Ma Ciang berkata,
“Aihh, kiranya Pangcu sendiri sebagai tuan rumah yang memberi penghormatan kepada kami! Apakah Pang-cu dan semua anggauta Tiat-ciang-pang tidak rela kalau kami yang terpilih menjadi beng-cu?”
Ma Kai juga berkata,
“Agaknya pangcu dari Tiat-ciang-pang juga menginginkan kedudukan beng-cu!”
Tong Hoat memandang tajam dan suaranya terdengar lantang oleh semua orang ketika dia menjawab,
“Saya adalah pangcu dari Tiat-ciang-pang dan saya sama sekali tidak haus akan kedudukan beng-cu. Kalau kami mempelopori pertemuan dan mengadakan pemilihan beng-cu ini adalah karena kami melihat adanya perpecahan di antara kami. Sekarang, Ji-wi telah menang dari dua orang saudara dari golongan penjudi tadi. Akan tetapi, seorang beng-cu dan wakilnya harus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi untuk dapat diandalkan oleh golongan kita semua. Oleh karena itu, terpaksa karena tidak ada lagi yang mau naik, saya sendiri yang akan menguji apakah Ji-wi sudah tepat dan pantas untuk menjadi beng-cu dan wakilnya. Kalau memang cukup kuat dan lihai, tentu saja kami juga akan setuju jika Ji-wi diangkat menjadi pimpinan.”
“Bagus! Dengan lain kata Pangcu menantang kami berdua! Kai-te (Adik Kai), hayo kita coba kelihaian pang-cu dari Tiat-ciang-pang ini!”
Setelah berkata demikian, Ma Ciang dan Ma Kai memutar-mutar golok mereka di atas kepala dan bergerak mengelilingi Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Tidak adil! Tidak adil!” tedengar teriakan dari para anggauta Tiat-ciang-pang. “Dua orang mengeroyok satu orang sudah tidak adil!”
“Apalagi kalau menggunakan golok mengeroyok seorang bertangan kosong!”
Teriakan-teriakan ini terdengar susul-menyusul dan disokong pula oleh golongan yang tadinya diwakili oleh dua orang penjudi. Golongan ini memang tidak pro atau anti pemberontakan, akan tetapi melihat Ketua Tiat-ciang-pang akan dikeroyok dua, mereka merasa tidak senang.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi malu juga, wajah mereka merah dan sambil tertawa Ma Ciang menyimpan goloknya diturut oleh adiknya, lalu berkata,
“Baiklah, kalau pang-cu dari Tiat-ciang-pang ngeri melihat darah, kami akan melayani dengan tangan kosong pula, kecuali kalau Pang-cu jerih menghadapi kami bersama.” Ucapan inipun lantang terdengar oleh semua orang.
Tong Hoat mengerutkan alisnya, dia maklum bahwa kedua orang ini hanya besar mulutnya belaka. Biarpun mereka menggunakan golok, dia pun tidak takut, apalagi bertangan kosong. Melihat gerakan mereka tadi ketika melawan dua orang jagoan pertama, dia sudah dapat menilai tingkat mereka dan merasa pasti akan dapat mengalahkan mereka berdua, bersenjata maupun tidak.
“Silahkan Ji-wi maju, saya sudah siap menghadapi Ji-wi maju bersama!” teriaknya.
Ma Ciang dan Ma Kai menjadi girang. Mereka mengira bahwa Ketua Tiat-ciang-pang ini telah berhasil mereka bakar hatinya sehingga malu untuk mundur. Sambil menggereng seperti dua ekor harimau kelaparan, mereka menerjang ke depan, mencengkeram dan memukul.
Tong Hoat sudah siap. Tubuhnya bergerak mengelak dan menangkis, lalu mengirim pukulan balasan.
“Dukkk! Dukkk!”
Dua orang bersaudara Ma terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Lengan mereka terasa sakit sekali ketika beradu dengan lengan Tong Hoat yang tentu saja mengerahkan ilmunya Tangan Besi! Namun dua orang itu bukan menjadi jera bahkan menjadi penasaran dan marah, lalu menerjang lagi dengan lebih dahsyat, disambut dengan tenang oleh Tong Hoat.
Lega hati Ceng Ceng menyaksikan jalannya pertandingan itu. Dia yakin bahwa Ketua Tiat-ciang-pang yang benar-benar lihai ilmu silatnya bertangan kosong itu akan dapat mengalahkan kedua orang lawannya dengan mudah sehingga dia tidak perlu turun tangan membantu.
Setelah melihat munculnya Tek Hoat, dia menjadi makin ragu untuk mencampuri urusan pemilihan beng-cu ini. Kecuali kalau Tek Hoat yang maju, jelas bahwa pihak pemberontak ingin menguasai golongan ini dan kalau demikian halnya, dia tentu akan turun tangan!
Sekarang, melihat Tong Hoat mendesak kedua orang lawannya, perhatiannya kembali ditujukan untuk mencari musuh besarnya dan dia mulai bergerak perlahan mencari-cari di antara para hadirin yang banyak jumlahnya itu.
Pertandingan di atas panggung masih berjalan dengan seru. Dua orang saudara Ma dengan bernapsu mencoba untuk mengalahkan Ketua Tiat-ciang-pang, akan tetapi karena memang kalah tingkat dan kalah kuat, mereka terdesak terus dan setiap kali Tong Hoat menangkis dengan pengerahan tenaga, mereka tentu terdorong dan terhuyung ke belakang dan menyeringai kesakitan, tanda bahwa dalam pertemuan lengan itu mereka jauh kalah kuat.
Betapapun kedua orang itu mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya, namun belum sampai lima puluh jurus akhirnya mereka harus mengakui keunggulan Tong Hoat.
Ketua Tiat-ciang-pang ini menggunakan kekuatan tangan besinya menampar dalam kesempatan yang terbuka dan berturut-turut mereka terlempar dari atas panggung. Biarpun Ketua Tiat-ciang-pang yang masih mengingat akan hubungan antara golongan tidak memukul keras sehingga mereka tidak sampai terluka parah, namun keduanya tidak berani nekat naik lagi karena maklum bahwa mereka bukanlah lawan Ketua Tiat-ciang-pang itu.
“Bagus! Tiat-ciang-pang mengundang orang hanya untuk memamerkan kepandaian sendiri!”
Terdengar seruan orang dan dari bawah panggung tampak seorang laki-laki tinggi kurus meloncat naik ke panggung. Ketika semua orang memandang, mereka berbisik-bisik dengan hati tegang karena maklum bahwa tentu akan terjadi pertandingan yang amat hebat antara pendatang baru yang mereka kenal baik ini menghadapi Ketua Tiat-ciang-pang.
Orang tinggi kurus ini bukan lain adalah tokoh besar golongan maling yang berjuluk Tangan Malaikat! Kini Tangan Malaikat hendak menantang Tangan Besi, tentu saja akan terjadi pertandingan ramai!
Sebetulnya sudah lama terdapat kebencian antara dua golongan ini, yaitu golongan para maling dan golongan pencopet dan perampok yang bergabung di dalam perkumpulan Tiat-ciang-pang. Hal ini adalah karena Tiat-ciang-pang memandang rendah golongan maling, bahkan tidak mau menerima seorang pencuri sebagai anggauta, maka tentu saja golongan ini merasa terhina dan menaruh dendam.
Ketika tokoh maling yang berjuluk Tangan Malaikat itu yang bernama Lauw Sek, datang dari selatan dan bergabung dengan golongan maling, mereka merasa menemukan seorang jagoan dan secara tidak resmi mengangkat Lauw Sek sebagai pimpinan mereka.
Lauw Sek Si Tangan Malaikat ini dengan mudah saja terpikat oleh kaum pemberontak, dan diam-diam Lauw Sek membawa teman-temannya untuk bersekutu dengan kaki tangan pemberontak yang ingin menguasai kaum sesat. Lauw Sek adalah seorang yang memiliki kepandaian cukup tinggi maka dia berani memakai julukan Tangan Malaikat yang menyatakan bahwa selain pandai ilmu silat, juga dia adalah seorang ahli mencopet dan mencuri.
Akan tetapi selama ini ia tidak begitu bodoh untuk mencari perkara dengan Tiat-ciang-pang yang merupakan perkumpulan besar yang banyak anggautanya. Sekarang, dalam pertemuan resmi ini, dimana diadakan pemilihan beng-cu, apalagi karena didukung oleh kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong, dia menjadi berani untuk menentang dan menghadapi orang yang selama ini memang dibenci oleh dia dan kawan-kawannya.
Kini kedua orang yang diam-diam saling membenci itu berhadapan di atas panggung. Tong Hoat juga membenci orang ini karena memang dia selalu memandang rendah kaum pencuri yang dianggapnya merupakan pengecut besar, apalagi setelah dia mengetahui bahwa Tangan Malaikat dan kawan-kawannya telah merendahkan diri untuk diperalat oleh kaum pemberontak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar