“Berhenti!”
Tiba-tiba bermunculan perajurit-perajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang perajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya.
Melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi, diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum. Mudah diduga bahwa perajurit-perajurit ini merupakan anggauta pasukan pilihan yang kuat, akan tetapi di samping kekagumannya, diapun merasa penasaran. Dia seorang wanita, akan tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para perajurit Jenderal Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?” teriaknya.
Seorang diantara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring,
“Nona, kau melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”
Ceng Ceng tersenyum.
“Aihh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”
“Terpaksa kau akan kami tangkap dan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para perajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorangpun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” berkata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya.
“Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.
Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para perajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka, bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para perajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.
Ceng Ceng menggapai kepada para perajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja para perajurit menjadi marah dan bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak,
“Tahan!”
Serentak para perajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata,
“Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata,
“Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja diantara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku....”
Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Peraturan disini tidak boleh diubah oleh siapapun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu.
“Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas disini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”
Para perajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena diapun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, diapun mejawab,
“Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!”
Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.
“Yaaaahhhh!”
Tiba-tiba bermunculan perajurit-perajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung dan lebih dari dua puluh orang perajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya.
Melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi, diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum. Mudah diduga bahwa perajurit-perajurit ini merupakan anggauta pasukan pilihan yang kuat, akan tetapi di samping kekagumannya, diapun merasa penasaran. Dia seorang wanita, akan tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para perajurit Jenderal Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?” teriaknya.
Seorang diantara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring,
“Nona, kau melanggar wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”
Ceng Ceng tersenyum.
“Aihh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”
“Terpaksa kau akan kami tangkap dan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para perajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorangpun berani bergerak karena mereka menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,” berkata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya.
“Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.
Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para perajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala mereka, bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para perajurit dan turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.
Ceng Ceng menggapai kepada para perajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja para perajurit menjadi marah dan bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi besar itu berteriak,
“Tahan!”
Serentak para perajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur, kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata,
“Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum dan berkata,
“Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan, aku tantang siapa saja diantara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi, akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku....”
Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala.
“Peraturan disini tidak boleh diubah oleh siapapun juga, Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu.
“Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas disini dan jauh dari wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”
Para perajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah sekali. Akan tetapi karena diapun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar melainkan bicara sejujurnya, diapun mejawab,
“Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!”
Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk dengan kedua lengannya dipentang lebar.
“Yaaaahhhh!”
Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak kanan.
“Plakkk!”
Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yag berbahaya.
Tahulah dia bahwa gadis ini memang berilmu tinggi maka berani berlagak seperti itu, maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.
Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan gin-kangnya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan.
Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para perajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras,
“Tahan....!”
Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan dengan mata terbelalak marah memandang. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata,
“Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya.”
Komandan itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya dapat menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata,
“Apakah engkau masih mencurigai aku?”
Komandan itu memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para perajuritnya terkejut dan biarpun mereka belum mengerti jelas, merekapun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,” kata komandan itu.
“Aihh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar dimana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apabila tidak diantarkan oleh komandan itu.
Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apalagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aih, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silahkan duduk di ruangan dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.
Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya.
“Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya, tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor di daerah perbatasan ini.”
Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk.
“Ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!” Kembali dia tertawa bangga lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi para pemberontak disana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, dibawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya daripada yang Tai-ciangkun kira.” Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh....?” Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang sekarang entah berada dimana akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.
Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja.
“Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat itu, seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata,
“Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh masuk cepat!” kata jenderal itu.
Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya,
“Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa.
“Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”
“Hemm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin sendiri? Kita harus mengadakan pembersihan jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.
Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata,
“Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm.... berita apakah yang begitu penting?”
“Para peyelidik kami mendapat keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan penberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak.”
Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja.
“Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata,
“Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Dimana tempat itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir.”
“Hemm, tempat terpencil dan mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali, dan saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.
Derap kaki kuda diluar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Akan tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok kekanan kiri.
Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apalagi orang itu agaknya baru saja meninggalka tempat dimana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi disitu.
Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biarpun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan disini,” kata orang kedua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua berjalan menurut rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman disini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan disana.”
Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan.
Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira disitu, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun! Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun.
Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tak mungkin dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah melapor secepatnya kepada Jenderal Kao yang telah pergi.
Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.
Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap kearah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.
Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah tiba di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorangpun manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak terdapat seorangpun manusia disekitar daerah yang amat sunyi itu.
Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia disitu, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?
“Mari kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda.
“Jangan mendekati sumur itu....!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut dan selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya.
Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya. Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao.
Melihat keadaan yang amat sunyi disitu, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu.
Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!
Mereka terkejut namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.
Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya.
Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-teriak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biarpun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!
Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt....!”
Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat. Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.
Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa,
“Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andaikata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt....! Ceppp....! Desss....!”
Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkisi hujan golok dan tombak, Ceng Ceng menjawab,
“Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak.... dia agaknya yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”
“Prakkk! Desss!”
Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biarpun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu.
Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berduapun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri!
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng.
“Engkau hebat.... wah, engkau hebat....! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari kita berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”
“Plakkk!”
Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yag berbahaya.
Tahulah dia bahwa gadis ini memang berilmu tinggi maka berani berlagak seperti itu, maka dia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras mulailah dia menyerang, bukan sekedar untuk mengalahkan.
Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan gin-kangnya dan dengan amat lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak berniat untuk bermusuhan.
Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para perajurit sudah bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras,
“Tahan....!”
Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan dengan mata terbelalak marah memandang. Ceng Ceng cepat menjura kepadanya dan berkata,
“Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja. Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya.”
Komandan itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya dapat menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata,
“Apakah engkau masih mencurigai aku?”
Komandan itu memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para perajuritnya terkejut dan biarpun mereka belum mengerti jelas, merekapun cepat meniru perbuatan komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,” kata komandan itu.
“Aihh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri lalu mengantarkan Ceng Ceng memasuki benteng besar dimana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apabila tidak diantarkan oleh komandan itu.
Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apalagi ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aih, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona menempuh segala kesukaran untuk membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silahkan duduk di ruangan dalam dan ceritakan semua tugas Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.
Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya.
“Souw-ciangkun sekarang pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya, tidak hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor di daerah perbatasan ini.”
Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk.
“Ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona. Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!” Kembali dia tertawa bangga lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau bekerja sama dengan kami untuk membasmi para pemberontak disana yang sebetulnya hanya merupakan segerombolan orang liar dan biadab, dibawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya daripada yang Tai-ciangkun kira.” Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh....?” Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang sekarang entah berada dimana akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.
Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja.
“Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding dengan Puteri Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat itu, seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil berkata,
“Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh masuk cepat!” kata jenderal itu.
Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya,
“Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa.
“Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual kuda itu.”
“Hemm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan tidak kau pimpin sendiri? Kita harus mengadakan pembersihan jangan sampai kaki tangan pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.
Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata,
“Memang sebenarnya harus saya sendiri yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm.... berita apakah yang begitu penting?”
“Para peyelidik kami mendapat keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki tangan penberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu dengan pihak pemberontak.”
Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja.
“Bagaimana bisa ada kejadian seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata,
“Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Dimana tempat itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir.”
“Hemm, tempat terpencil dan mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku akan menyelidikinya sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali, dan saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun pasar kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat pertemuan para kepala suku itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.
Derap kaki kuda diluar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Akan tetapi baru saja dia keluar, tampak olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok kekanan kiri.
Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan hatinya. Apalagi orang itu agaknya baru saja meninggalka tempat dimana dia menginap, padahal dia sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi disitu.
Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biarpun percakapan mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan disini,” kata orang kedua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua berjalan menurut rencana. Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman disini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan disana.”
Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat mengejutkan.
Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil menjadi perwira-perwira disitu, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun! Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun.
Kecurigaan besar timbul di dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tak mungkin dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah melapor secepatnya kepada Jenderal Kao yang telah pergi.
Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.
Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap kearah utara! Ceng Ceng terpaksa menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira itu.
Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah tiba di daerah sumur maut. Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorangpun manusia. Sumur maut yang berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan, namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak terdapat seorangpun manusia disekitar daerah yang amat sunyi itu.
Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepala-kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia disitu, Jenderal Kao mulai menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?
“Mari kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda.
“Jangan mendekati sumur itu....!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut dan selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng Ceng menyergapnya.
Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya. Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul Jenderal Kao.
Melihat keadaan yang amat sunyi disitu, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak memperingatkan jenderal itu.
Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya!
Mereka terkejut namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.
Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat! Ceng Ceng berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya.
Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-teriak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan jenderal perkasa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biarpun jumlah mereka tidak banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!
Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai, sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt....!”
Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat. Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu melompat mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.
Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa,
“Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa kagum dan andaikata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt....! Ceppp....! Desss....!”
Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil mengelak dan menangkisi hujan golok dan tombak, Ceng Ceng menjawab,
“Kao-ciangkun, pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak.... dia agaknya yang mengatur semua ini. Engkau dijebak....”
“Prakkk! Desss!”
Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau banyak. Biarpun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu.
Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan, bahu-membahu dan saling melindungi. Mereka berduapun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri!
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali dia melirik ke arah Ceng Ceng.
“Engkau hebat.... wah, engkau hebat....! Hanya tinggal kita berdua yang masih hidup. Mari kita berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar