“Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!”
Bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa kalau para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.
“Baik, Lopek!”
Ceng Ceng memang tadinya hendak mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It juga sudah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya bergulung-gulung sinarnya tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiittt....!”
Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik dan pisaunya menyambar, berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari bantuan....!” Seorang diantara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.
“Lari kemana?”
Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.
“Auuggghhh....!”
Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya. Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng menendang, tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It,
“Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Kalau begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It menggeleng kepala.
“Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi kesana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng dimana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng mengangguk.
“Baik, Lopek.”
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata,
“Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu.”
Bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa kalau para kaki tangan pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan datang mengeroyok, keadaan akan menjadi berbahaya.
“Baik, Lopek!”
Ceng Ceng memang tadinya hendak mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar seruan itu dia memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak hebat!
Souw Kee It juga sudah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya, pedangnya bergulung-gulung sinarnya tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiittt....!”
Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik dan pisaunya menyambar, berhasil merobek pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari bantuan....!” Seorang diantara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek pipinya.
“Lari kemana?”
Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke depan, mengejar lawan yang lari itu.
“Auuggghhh....!”
Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya. Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng menendang, tepat mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil mendengarkan pesan Souw Kee It,
“Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Kalau begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It menggeleng kepala.
“Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi kesana untuk cepat memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau akan tiba di benteng dimana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng mengangguk.
“Baik, Lopek.”
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata,
“Kau bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu akan menyelamatkanmu.”
Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar memberi kekuasaan kepada seorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Adapun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri dimana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim.
Pencegatan tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Memang daerah yang merupakan front ke dua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat diantara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu perajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin.
Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh daripada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena disana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi inilah yang kemudian menyeret dia untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biarpun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi. Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun demi mencapai tujuan!
Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perbµatan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan segara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari didalam kehidupan kita.
Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tidak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apapun, dengan judi, dengan korupsi, dengan penyogokan, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yakni mencari keuntungan!
Lebih hebat lagi, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Kalau tidak bercita-cita, tidak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran.
Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan? Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biarpun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Daripada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi dimasa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu.
Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah.
Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,” kata seorang diantara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, “karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) disini. Jenderal Kao terkenal keras, dan Ciangkun sebagai bawahannya tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan hatiku!” Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi daripada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao suka sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?” kata seorang diantara utusan Pangeran Liong. “Bagaimana kalau dipergunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?”
Kim Bouw Sin mengangguk.
“Memang ada rencana itu, akan tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau.... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak....”
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir.
“Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah.
Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, di dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melakukan sesuatu yang cerdik dan yang benar! Demikianlah keadaan batin seseorang yang telah diracuni oleh cita-cita, demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka.
Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir maupun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini diantara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?
“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Adapun Souw Kee It sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri dimana dia tahu ada markas dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim.
Pencegatan tosu Pek-lian-kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
Memang daerah yang merupakan front ke dua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat diantara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang dan mengepalai puluhan ribu perajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin.
Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh daripada memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena disana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima, kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi inilah yang kemudian menyeret dia untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biarpun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi. Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua itu dituntun demi mencapai tujuan!
Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perbµatan-perbuatan yang palsu, karena yang penting bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan segara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari didalam kehidupan kita.
Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tidak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apapun, dengan judi, dengan korupsi, dengan penyogokan, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan, dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yakni mencari keuntungan!
Lebih hebat lagi, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Kalau tidak bercita-cita, tidak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan pikiran.
Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah ambisi mendatangkan kemajuan? Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kaya-raya kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya! Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biarpun tujuannya benar, kalau caranya tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Daripada membiarkan pikiran melamun dan membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi dimasa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah menjadi wakil panglima perbatasan itu.
Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawan-kawannya. Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah.
Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang kepala suku Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono, turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,” kata seorang diantara tiga orang utusan Pengeran Liong Bin Ong, “karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya. Akan tetapi tidak demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) disini. Jenderal Kao terkenal keras, dan Ciangkun sebagai bawahannya tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan hatiku!” Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi daripada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao suka sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?” kata seorang diantara utusan Pangeran Liong. “Bagaimana kalau dipergunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita sergap dia?”
Kim Bouw Sin mengangguk.
“Memang ada rencana itu, akan tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau.... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan jejak....”
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir.
“Dapat sekarang!” Teriaknya sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu dapat kita pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah.
Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main, wajahnya berseri gembira, di dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melakukan sesuatu yang cerdik dan yang benar! Demikianlah keadaan batin seseorang yang telah diracuni oleh cita-cita, demi tercapainya cita-cita itu, segala cara dianggapnya baik dan benar belaka.
Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir maupun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan pedoman hidup seperti ini diantara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut, kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?
**** 039 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar