“Kau tidak boleh melakukan hal seperti itu, Bu-te! Engkau bisa disangka hendak berbuat kurang patut!”
Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar,
“Ahhh, Lee-ko. Perduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melalukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?”
Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila.
Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang,
“Haiii, nona Liem....! Engkau hendak kemanakah?”
Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggauta keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah,
“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”
“Eh, eh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma....”
“Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!”
Nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.
Suma Kian Bu pura-pura kaget.
“Aihh.... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang.... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku.... Suma Kian Bu....”
“Tukang joli, hayo jalan terus!” Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya.
“Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.
Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak “belajar kenal” dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
“Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian Bu. “Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut kata pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali.”
“Huh, mata keranjang kau!” Kian Lee berkata. “Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!”
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar.
Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaitu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk biaya makan dan penginapan.
Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu, terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apalagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat.
Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu berahi atau keinginan yang tidak patut!
Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat “berkenalan” dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan “siasatnya” yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.
Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng, dia meninggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar pembaringan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap!
Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguhpun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!
“Hendak kemana, lopek?” tanyanya kepada penggotong joli terdekat. Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat,
“Ke kelenteng.”
Kian Bu lalu menghampiri joli dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai.
“Haiii, kiranya nona Thio.... hahhh....?”
Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.
Mendengar teguran kakaknya itu, Kian Bu tersenyum lebar,
“Ahhh, Lee-ko. Perduli apa dengan persangkaan kosong? Buktinya yang penting, dan engkau tentu tahu betul bahwa aku sama sekali tidak ingin melalukan sesuatu yang kurang patut! Aku hanya ingin berkenalan dan mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan seorang gadis cantik. Apa salahnya itu?”
Mau tidak mau Kian Lee tertawa. Memang adiknya ini bengal sekali dan bagi yang tidak mengenalnya betul, tentu perbuatannya akan dianggap sebagai perbuatan kurang ajar dan melanggar susila.
Seminggu yang lalu, adiknya itu sudah mempraktekkan kebengalannya. Ketika melihat sebuah joli digotong angin nakal menyingkapkan tirai memperlihatkan bahwa yang berada di dalam joli itu duduk seorang gadis cantik, tanpa ragu-ragu sama sekali Kian Bu mengejar joli, membuka tirai dan berseru girang,
“Haiii, nona Liem....! Engkau hendak kemanakah?”
Tentu saja empat orang penggotong joli mengira bahwa pemuda tampan itu memang kenalan atau anggauta keluarga si nona cantik yang mereka gotong, dan baru mereka tahu bukan demikian halnya ketika terdengar nona itu menjawab dengan nada heran dan marah,
“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!”
“Eh, eh, Liem-siocia. Masa lupa lagi kepadaku? Aku Suma....”
“Aku tidak kenal orang she Suma. Dan aku bukan she Liem, aku she Kiem!”
Nona itu membentak pula, sedangkan tukang joli terpaksa berhenti dan memberi kesempatan kepada muda-mudi itu untuk bercakap-cakap.
Suma Kian Bu pura-pura kaget.
“Aihh.... maaf, maafkanlah aku, Kiem-siocia. Kau mirip benar dengan Liem-siocia yang.... cantik. Kalau begitu perkenalkanlah, aku.... Suma Kian Bu....”
“Tukang joli, hayo jalan terus!” Nona itu berkata marah dan menutupkan tirai joli.
Ketika joli itu sudah berjalan jauh, Suma Kian Bu hanya tertawa-tawa mendengarkan teguran kakaknya.
“Salah-salah kau bisa disangka jai-hwa-cat, penjahat tukang perkosa wanita!” Suma Kian Lee mengakhiri tegurannya.
Sekarang baru sepekan kemudian, sudah kumat pula penyakit Suma Kian Bu dan pemuda ini menyatakan hendak “belajar kenal” dengan seorang puteri yang naik joli. Melihat betapa joli itu tertutup rapat tanda bahwa penumpangnya adalah seorang wanita muda yang tidak mau memperlihatkan diri, Kian Lee mencegah adiknya.
“Biarlah, kalau begitu besok pagi aku akan mencegat dia di depan kelenteng,” kata Kian Bu. “Aku penasaran kalau belum melihatnya. Menurut kata pemilik warung dekat kelenteng, sudah beberapa hari ini nona itu setiap pagi pergi ke kelenteng dan kabarnya cantik sekali.”
“Huh, mata keranjang kau!” Kian Lee berkata. “Biarlah besok kau keluar sendiri, aku tidak sudi melihat kau berbuat ceriwis terhadap wanita!”
Seperti telah diceritakan di bagian depan, kakak beradik dari Pulau Es ini mulai dengan perantauan mereka. Dengan perahu mereka meninggalkan Pulau Es dan berkat petunjuk peta yang dibuat oleh Pendekar Super Sakti, ayah mereka, kali ini tanpa banyak kesulitan mereka dapat mencapai daratan besar.
Mereka lalu mulai melakukan perjalanan yang amat jauh itu, menuju ke kota raja untuk menemui kakak mereka, yaitu Puteri Milana. Akan tetapi karena baru kali itu mereka merantau, mereka tidak tergesa-gesa dan di setiap tempat yang menyenangkan hati, mereka berhenti sampai dua tiga hari. Bekal mereka cukup banyak sehingga mereka tidak khawatir kehabisan bekal uang untuk biaya makan dan penginapan.
Tidak dapat terlalu disalahkan kalau dua orang pemuda itu, terpesona menyaksikan tamasya alam yang amat indah, yang tidak dapat mereka lihat di Pulau Es, melihat kota-kota besar dan dusun-dusun yang ramai, apalagi terpesona melihat gadis-gadis cantik yang selama hidup belum pernah mereka lihat.
Hanya bedanya, kalau Kian Lee tetap bersikap tenang-tenang saja, adalah Kian Bu yang seperti cacing kepanasan dan setiap kali bertemu gadis cantik, ingin sekali dia berkenalan! Dorongan hasrat yang wajar saja, sama sekali tidak terkandung nafsu berahi atau keinginan yang tidak patut!
Mereka terpaksa bermalam satu malam lagi di rumah penginapan di kota itu karena Kian Bu rewel tidak mau melanjutkan perjalanannya sebelum sempat “berkenalan” dengan nona dalam joli yang setiap pagi pergi ke kelenteng, dengan menggunakan “siasatnya” yang hanya dapat diciptakan otak seorang pemuda yang memang memiliki watak urakan (ugal-ugalan) tapi tidak kurang ajar.
Besoknya, pagi-pagi sekali Kian Bu sudah menanti di tepi jalan, dekat kelenteng, dia meninggalkan kakaknya yang masih tidur di atas pembaringan dalam kamar pembaringan. Jantungnya berdebar tegang dan sebentar-sebentar dia tersenyum membayangkan betapa dia akan dapat berhadapan dengan gadis cantik dalam joli dan dapat bercakap-cakap!
Siapa tahu, kalau awak sedang untung, dia akan mendapatkan tanggapan baik dan akan dapat bersahabat, sungguhpun dia hanya ingin melihat kata-kata ramah dan senyum manis ditujukan kepadanya, lain tidak!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia melihat joli yang dinanti-nantikannya dari jauh. Tak salah lagi, tentu dia, pikirnya. Tidak ada joli lain yang digotong menuju ke kelenteng!
“Hendak kemana, lopek?” tanyanya kepada penggotong joli terdekat. Penggotong joli itu melirik tanpa menoleh dan menjawab singkat,
“Ke kelenteng.”
Kian Bu lalu menghampiri joli dan berteriaklah dia dengan suara girang sambil tangannya menyingkap tirai.
“Haiii, kiranya nona Thio.... hahhh....?”
Matanya terbelalak ketika melihat bahwa yang berada di dalam joli itu ternyata adalah Suma Kian Lee, kakaknya sendiri!
Joli dihentikan, Kian Lee meloncat keluar dan tertawa, mentertawakan adiknya yang membanting-banting kaki dan bersungut-sungut karena empat orang penggotong joli sudah tertawa, demikian pula beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu di tepi jalan.
“Lee-ko, engkau terlalu....!”
Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.
“Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat, Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biarpun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!”
“Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!”
“Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya.”
“Kalau begitu, andaikata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh.... eh, belajar kenal dengannya?”
“Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!”
Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi.
“Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik “ Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, “yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”
“Kau memang mata keranjang dan nakal!” Kakaknya mengomel.
“Eh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis, suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyuman semanis madu, gerak-geriknya menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik.”
“Biarpun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”
“Hore! Jadi kaupun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Eh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu.”
Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga,
“Sama sekali tidak seperti engkau, aku suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan.”
“Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”
Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apalagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka.
Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya daripada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguhpun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!
Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biarpun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aslinya yang menghargai orang lain.
Betapapun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguhpun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu.
Apalagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu.
Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.
Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian dara dengan ayah bundanya itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar.
Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta lalu ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Dengan kusirnya semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.
Kian Bu yang melihat dara tadi menunduk saja, sedikitpun tidak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal dia mengharapkan kerlingan dan senyum, merasa kecewa dan tidak puas.
Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu termenung-menung.
Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata,
“Lee-ko, bagaimana?”
Kian Lee mengangkat muka memandang, melihat sinar mata adiknya yang jelas menggodanya, mukanya menjadi makin merah,
“Bagaimana apanya?” Dia balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan.
“Dia tadi, hebat bukan?”
Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih,
“Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”
“Ah, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikitpun tidak, tersenyum sedikitpun tidak, bicara sepatah katapun tidak!”
“Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”
“Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?”
Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot.
“Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!”
“Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau kau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?”
“Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal.”
“Siapa bilang mengganggu? Aih, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan kau selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu.”
“Hemm, apalagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!”
“Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?”
“Kian Bu, engkau masih kanak-kanak akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara dengan orang lain seperti itu, tentu engkau akan mudah menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!”
“Bagus....!” Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.
Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih,
“Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!”
“Alaaaaa.... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan akupun bukan hendak memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”
“Akan tetapi, kalau kau melukai seorangpun....”
“Koko, kau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!”
Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik inipun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti.
Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir.
Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh. Biarpun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan memasuki sebuah hutan.
“Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah.
Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.
“Tolong....! Penculik.... tolong Bi Hwa....!”
Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak. Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.
“Tangkap penjahat....!”
Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Akan tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
“Lepaskan aku....! Lepaskan....!”
Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.
“Tenanglah sayang, diamlah manis.... aku takkan mengganggumu....!”
Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak,
“Penculik, lepaskan dia!”
Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah,
“Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!”
Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee.
Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat!
Kian Lee yang diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut, menanti ucapan terima kasih dan sudah siap untuk mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu. Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu, tiba-tiba terisak dan lari.... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Aihhh, kau.... kau telah membunuhnya....! Kau telah membunuhnya....!”
Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian dia mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas.
“Aduh kasihan sekali engkau....” bisik Bi Hwa.
Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah “mati”. Dan membuka matanya memandang dengan melongo.
“Syukur, kau belum mati.... ah, aku girang sekali.... dimanakah yang terluka ?” Bi Hwa bertanya.
Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee.
“Kau.... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu “
“Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!” Bi Hwa membantah.
“Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu.... lekas kau hampiri dia....”
Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat itu, terdengar bentakan.
“Penculik busuk, hendak lari kemana kau?”
Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing. Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata,
“Bu-te, pergi.... !”
Terbirit-birit Kian Bu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, terengah-engah mereka berhenti didalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan dimana mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu!
Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang “menolongnya” melainkan menaruh iba kepada Kian Bu “si penculik”! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.
“Kau....!”
Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.
“Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!”
“Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi?”
Suma Kian Bu melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh daripada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.
“Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Meskinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu.”
“Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu untuk mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”
“Aihh, koko, jangan begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku.”
“Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua.”
“Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadaku.”
“Hemmmm....” Kian Lee hanya menggumam mengkal.
Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota.
Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanyapun besar-besar sehingga sudah diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.
Kian Bu berkata, akan tetapi dia tidak membantah ketika tangannya ditarik oleh kakaknya, diajak kembali ke penginapan untuk mengambil buntalan mereka.
“Bu-te, kalau tidak begitu engkau tidak akan bertobat, Kau tidak boleh melakukan hal itu, karena biarpun aku yakin bahwa engkau tidak berniat kurang ajar, namun engkau membuat seorang gadis merasa malu dan terhina. Salah-salah engkau akan terlibat dalam perkelahian, padahal ayah sudah berpesan keras-keras bahwa kita tidak boleh mencari gara-gara di dalam perjalanan!”
“Sudahlah, sudahlah, aku memang bersalah besar!”
“Engkau tidak salah besar, Bu-te, akan tetapi engkau terlalu jahil dan kenakalanmu itu dapat mengakibatkan urusan besar. Engkau suka mengganggu gadis, padahal engkau tidak tahu dia siapa, anak siapa, dan engkau mendatangkan rasa terhina dan malu kepadanya. Padahal semua itu kau lakukan hanya untuk main-main, bukan karena memang engkau sungguh tertarik dan suka kepadanya.”
“Kalau begitu, andaikata aku tertarik benar-benar kepada seorang gadis, aku boleh.... eh, belajar kenal dengannya?”
“Tentu saja boleh, asal caranya tidak kurang ajar dan sewajarnya. Bukan dengan cara urakan menegur orang di jalan pura-pura kenal macam yang kau lakukan itu!”
Wajah tampan dari Kian Bu berseri gembira, lenyap sudah kemengkalan hatinya karena penipuan kakaknya tadi. Memang demikianlah watak Kian Bu. Lincah, kocak, nakal, periang, mudah marah dan mudah tertawa lagi.
“Bagus! Kalau begitu aku akan mencari akal lain yang lebih baik “ Dia melihat kakaknya melotot dan cepat menyambung, “yaitu kalau aku sudah tertarik benar-benar kepada seorang gadis.”
“Kau memang mata keranjang dan nakal!” Kakaknya mengomel.
“Eh, Lee-ko, apakah kau tidak tertarik dan suka melihat gadis cantik? Mereka itu begitu cantik, begitu manis, suaranya begitu halus merdu, lirikan dan senyuman semanis madu, gerak-geriknya menyenangkan. Aku tidak percaya kalau tidak suka pula menyaksikan seorang gadis cantik.”
“Biarpun suka, akan tetapi tidak boleh diutarakan secara kasar seperti kelakuanmu.”
“Hore! Jadi kaupun suka, koko? Bagus, kalau begitu bukan aku sendiri yang suka melihat gadis cantik! Eh, engkau lebih suka yang bagaimana, koko? Aku suka gadis yang lincah, yang kocak pandang matanya, yang murah senyumnya, yang pandai bergaul, seperti lagak seekor burung murai yang tak pernah diam dan selalu berkicau meriah dan merdu.”
Di dalam hatinya, Kian Lee merasa tidak senang dan malu harus bicara tentang wanita, akan tetapi hanya untuk melawan dan mencela adiknya, dia menjawab juga,
“Sama sekali tidak seperti engkau, aku suka kepada seorang dara yang sopan santun, pendiam, dan menyembuyikan keramahan di balik kesopanan dan kesusilaan.”
“Wah-wah-wah, kalau begitu engkau lebih baik memilih sebuah patung saja, Lee-ko! Ha-ha-ha!”
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan. Aku muak mendengar obrolanmu tentang wanita.”
Demikianlah, kakak beradik yang wataknya berbeda seperti bumi dengan langit ini tidak pernah rukun di dalam perjalanan, dalam arti kata, rukun dalam sifat mereka. Mereka selalu tidak sependapat mengenai cara hidup, apalagi kalau ada hubungannya dengan pergaulan dan wanita. Mereka hanya rukun dan saling membela mati-matian kalau ada urusan yang langsung mengenai diri mereka.
Kian Lee amat mencinta dan membela adiknya, mendahulukan keperluan adiknya daripada keperluannya sendiri. Sebaliknya Kian Bu amat mencinta kakaknya dan amat patuh, sungguhpun pada lahirnya dia suka membantah, dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih atas segala kebaikan yang dilimpahkan kakaknya kepadanya.
Watak Suma Kian Bu di samping keriangan dan kelincahannya, juga amat romantis. Dia menikmati keindahan alam dengan cara terbuka, dengan wajah berseri, mata bercahaya dan mulut tiada hentinya mengeluarkan puji-pujian, mengagumi bunga-bunga yang indah, suka akan makanan enak, suka mendengarkan nyanyian merdu, suka akan pakaian-pakaian indah, suka mempersolek diri, suka bernyanyi-nyanyi dan tentu saja suka sekali melihat dara cantik!
Sungguh merupakan kebalikan dari sifat Suma Kian Lee yang pendiam, tidak suka bicara kalau tidak penting, biarpun suka mengagumi keindahan, namun rasa sukanya itu dipendam dalam batin saja, berpakaian sederhana tidak mengutamakan keindahan melainkan yang enak dipakai, mengutamakan kesusilaan dan sopan-santun yang bukan paksaan melainkan timbul dari watak aslinya yang menghargai orang lain.
Betapapun juga, perangai Kian Bu yang riang gembira itu kadang-kadang menular kepadanya sehingga kalau selagi senang hatinya mendengar Kian Bu bernyanyi-nyanyi, dia ikut pula bersenandung sungguhpun tidak bernyanyi dengan nyaring mengeluarkan semua kegembiraan hatinya melalui nyanyian seperti adiknya itu.
Apalagi sikap adiknya yang amat suka akan wanita cantik, kadang-kadang membuatnya termenung dan dia harus mengakui diam-diam bahwa tidak ada kecantikan bunga dan keindahan alam yang melebihi wajah seorang dara, tidak ada suara merdu yang melebihi suara seorang dara!
Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah dusun dan karena kemalaman mereka bermalam di sebuah penginapan kecil dan sedang duduk di serambi sambil minum arak hangat, tiba-tiba mereka melihat sebuah kereta yang dikawal oleh rombongan piauwsu berhenti di depan rumah penginapan itu.
Kepala pengawal mendekati kereta dan menyingkap tirai, sedangkan pembantu-pembantunya menahan kuda yang berbusa mulutnya. Agaknya empat ekor kuda itu sudah bekerja berat, lari melalui jarak jauh sehari itu.
Tiba-tiba ujung kaki Kian Bu menyentuh betis kakaknya sebagai isyarat. Kian Lee mengangkat mata melirik adiknya dan menoleh ketika melihat adiknya memandang ke arah kereta. Pintu kereta terbuka, tirai disingkapkan dan turunlah seorang gadis berusia kurang lebih enam belas tahun, cantik jelita seperti seorang bidadari turun dari kahyangan. Gerak-geriknya begitu halus gemulai ketika dia turun dari kereta dibantu oleh seorang wanita setengah tua dan seorang laki-laki setengah tua yang agaknya adalah ayah bundanya.
Sejenak dara itu berdiri di serambi depan ketika ayahnya bicara dengan pengurus penginapan minta disediakan kamar bagi mereka, kemudian dara dengan ayah bundanya itu memasuki penginapan dan lenyap di dalam kamar.
Sibuklah para piauwsu menurunkan barang-barang, dan kereta lalu ditarik ke sebelah belakang rumah penginapan itu. Dengan kusirnya semua terdapat sebelas orang piauwsu yang kelihatannya tangkas dan kuat.
Kian Bu yang melihat dara tadi menunduk saja, sedikitpun tidak pernah melirik kepada mereka, melihat sikap yang amat sopan santun dari gadis itu, padahal dia mengharapkan kerlingan dan senyum, merasa kecewa dan tidak puas.
Akan tetapi ketika dia memandang kakaknya, dia melihat kakaknya itu termenung, mukanya merah dan kedua tangan kakaknya mempermainkan cawan arak yang telah kosong, agaknya kakaknya itu termenung-menung.
Kian Bu tersenyum. Baru sekarang dia melihat kakaknya termenung setelah melihat seorang dara! Maka segera dia menangkap tangan kakaknya sambil berkata,
“Lee-ko, bagaimana?”
Kian Lee mengangkat muka memandang, melihat sinar mata adiknya yang jelas menggodanya, mukanya menjadi makin merah,
“Bagaimana apanya?” Dia balik bertanya, setengah membentak.
Kian Bu menggerakkan kepalanya ke arah belakang rumah penginapan.
“Dia tadi, hebat bukan?”
Kian Lee tidak menjawab segera, melainkan menunduk dan berkata lirih,
“Hebat atau tidak, ada sangkut paut apa dengan kita? Jangan kau memikirkan yang bukan-bukan!”
“Ah, tidak. Bagiku sih, dia seperti patung hidup! Melirik sedikitpun tidak, tersenyum sedikitpun tidak, bicara sepatah katapun tidak!”
“Itu tandanya dia seorang dara terpelajar, sopan dan menjaga harga diri tinggi-tinggi, bukan seorang perempuan genit!”
“Hi-hik, aku tahu bahwa dara model inilah yang akan menarik hatimu, koko. Mengapa tidak mengajak dia berkenalan? Eh, secara sopan maksudku?”
Kian Lee memandang adiknya dengan mata melotot.
“Mau apa kau? Jangan main gila kau, Bu-te!”
“Ah, tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau kau tertarik kepada dara itu, apa salahnya kalau kau berkenalan dengan dia? Hanya berkenalan, apa sih buruknya? Kalau tidak berkenalan, bagaimana bisa mengerti cocok atau tidak?”
“Aku bukan laki-laki mata keranjang yang suka mengganggu gadis yang tidak kukenal.”
“Siapa bilang mengganggu? Aih, koko, engkau benar-benar selalu berprasangka buruk dan tidak percaya kepada adikmu ini. Dan kau selalu hendak berpura-pura, dan bersikap palsu.”
“Hemm, apalagi ini maksudnya? Jangan kau kurang ajar kepadaku!”
“Koko merasa suka kepada seseorang, akan tetapi pada lahirnya pura-pura dingin, bukankah ini pura-pura namanya? Hati ingin berkenalan, akan tetapi mulut bicara lain, bukankah itu palsu?”
“Kian Bu, engkau masih kanak-kanak akan tetapi lidahmu tajam. Hati-hati kau, kalau kau bicara dengan orang lain seperti itu, tentu engkau akan mudah menanam permusuhan. Memang kuakui bahwa sikap dan keadaan dara tadi menimbulkan kagum di dalam hatiku, akan tetapi apa yang harus kulakukan? Aku bukanlah seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar seperti engkau!”
“Bagus....!” Kian Bu meloncat bangun dan merangkul kakaknya. “Lee-ko, aku hanya ingin mendengar pengakuanmu bahwa kau tertarik kepadanya. Kita bukanlah orang-orang rendah yang suka melakukan hal-hal tidak patut, akan tetapi tanpa siasat, mana mungkin kau berkenalan dengan dara itu? Aku sudah mempunyai suatu rencana, kalau siasat ini dilakukan, engkau tentu akan berkenalan dengan dia dan bahkan dipandang tinggi dan hormat!” Pemuda tanggung ini lalu berbisik-bisik di dekat telinga kakaknya.
Wajah Suma Kian Lee yang tampan sebentar merah sebentar pucat, dia menggeleng-geleng kepala, akan tetapi akhirnya dia berkata lirih,
“Berbahaya sekali siasatmu yang nakal itu, Bu-te!”
“Alaaaaa.... kau maksudkan piauwsu-piauwsu itu? Serahkan padaku, beres. Dan akupun bukan hendak memperpanjang pertempuran dengan mereka. Aku hanya menjadi penculik, kau lalu muncul. Habis perkara. Yang penting, dia akan berhutang budi kepadamu dan tentu saja menjadi kenalan. Tidak ada apa-apa yang jahat, bukan?”
“Akan tetapi, kalau kau melukai seorangpun....”
“Koko, kau anggap aku ini orang macam apa? Aku bukan penculik tulen, bukan pula perampok, mau apa melukai orang? Percayalah kepadaku, kelak engkau akan berterima kasih kepadaku kalau sudah menjadi sahabatnya, koko!”
Terpaksa Kian Lee tersenyum dan dengan gerakan gemas seperti hendak menampar kepala adiknya. Kian Bu meloncat menjauh lalu tertawa-tawa dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik inipun sudah memasuki kamar mereka dan tidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee telah dibangunkan oleh Kian Bu. Seperti biasa setiap pagi, mereka duduk bersila dan bersiulian sebentar, latihan yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sekali saja tidak melakukannya terasa kurang enak. Kemudian mereka mandi dan membayar biaya penyewaan kamar lalu berangkat, akan tetapi setibanya di luar dusun, mereka berhenti.
Setelah matahari menumpahkan cahayanya di permukaan bumi, tampak oleh mereka yang dinanti-nanti sejak tadi, yaitu kereta berkuda empat yang dikawal oleh sepuluh orang piauwsu dan seorang kusir.
Mereka membiarkan rombongan itu lewat, kemudian mereka membayangi dari jauh. Biarpun rombongan itu terdiri dari kereta ditarik kuda dan dikawal oleh sepuluh orang piauwsu berkuda, namun tidaklah sukar bagi dua orang muda itu membayangi mereka. Kakak beradik ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kesaktian yang tinggi dan ilmu berlari mereka luar biasa.
Rombongan memasuki sebuah hutan.
“Saudara-saudara, hati-hati dan waspadalah, di depan adalah hutan yang cukup besar!” berkata kepala piauwsu yang bermuka merah.
Sepuluh orang itu lalu melarikan kuda mereka mengurung kereta, tiga di depan, tiga di belakang, dan masing-masing dua di kanan kiri.
Tiba-tiba para piauwsu itu terkejut sekali ketika melihat sesosok bayangan orang meloncat turun dari atas pohon besar, langsung menimpa atap kereta dan terdengar kain robek disusul jerit nona yang berada di dalam kereta, lalu tampak pula bayangan itu meloncat turun dari kereta sambil memondong tubuh nona itu yang menjerit-jerit dan meronta ronta.
“Tolong....! Penculik.... tolong Bi Hwa....!”
Nyonya dan suaminya tergopoh-gopoh keluar dari kereta yang sudah dihentikan oleh kusir, menangis dan berteriak-teriak. Para piauwsu sudah cepat bergerak. Enam orang melakukan pengejaran kepada Suma Kian Bu yang berlari cepat memondong tubuh dara itu sedangkan yang empat orang lagi tetap menjaga kereta.
“Tangkap penjahat....!”
Teriak kepala piauwsu yang memimpin teman-temannya mengejar. Akan tetapi mereka segera terpaksa turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari ketika melihat penculik itu membawa dara itu menyusup-nyusup ke dalam semak-semak tebal.
“Lepaskan aku....! Lepaskan....!”
Bi Hwa, dara itu meronta sambil memukul-mukul ke arah dada muka dan kepala Suma Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum saja.
“Tenanglah sayang, diamlah manis.... aku takkan mengganggumu....!”
Namun Bi Hwa masih meronta-ronta. Meremang seluruh bulu badannya melihat dirinya dipondong dan dibawa lari dengan begitu hati-hati oleh pemuda yang amat tampan ini. Di dalam hatinya yang dilanda kaget dan takut, timbul keheranan mengapa pemuda yang masih amat muda dan amat tampan ini menjadi penjahat!
Tiba-tiba muncul seorang pemuda lain yang menghadang di depan sambil membentak,
“Penculik, lepaskan dia!”
Suma Kian Bu yang melihat kakaknya sudah muncul, pura-pura membentak marah,
“Engkau pendekar, jangan mencampuri urusanku!”
Suma Kian Lee menerjang ke depan, dan beberapa lamanya kakak beradik itu pukul-memukul, akhirnya sebuah pukulan mengenai kepala Suma Kian Bu yang terhuyung dan roboh. Tentu Bi Hwa ikut pula terbanting kalau saja tidak cepat ditahan oleh Suma Kian Lee.
Sejenak Bi Hwa berdiri dengan muka pucat memandang kepada Suma Kian Lee yang telah menolongnya, kemudian menoleh dan memandang Suma Kian Bu yang rebah miring dengan muka pucat seperti telah menjadi mayat!
Kian Lee yang diam-diam menyesalkan siasat adiknya ini karena jelas tampak betapa gadis itu kaget dan takut, menanti ucapan terima kasih dan sudah siap untuk mengantarkan dara itu kembali ke kereta dan orang tuanya.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakak beradik itu. Si dara jelita yang menoleh dan memandang Kian Bu, tiba-tiba terisak dan lari.... menghampiri Kian Bu, berlutut di dekat tubuh pemuda ini.
“Aihhh, kau.... kau telah membunuhnya....! Kau telah membunuhnya....!”
Dia menuding ke arah Kian Lee, kemudian dia mengangkat kepala Kian Bu, memangkunya dan mengusap-usap kepalanya seperti hendak mencari bagian mana dari kepala itu yang pecah dan membuat pemuda ini tewas.
“Aduh kasihan sekali engkau....” bisik Bi Hwa.
Kian Lee berdiri dengan muka pucat. Dan Kian Bu lupa akan permainan sandiwaranya, dia begitu terheran-heran sehingga lupa bahwa dia telah “mati”. Dan membuka matanya memandang dengan melongo.
“Syukur, kau belum mati.... ah, aku girang sekali.... dimanakah yang terluka ?” Bi Hwa bertanya.
Kian Bu menggeleng kepala dan menuding ke arah Kian Lee.
“Kau.... kau harus cepat menghaturkan terima kasih kepadanya. Dialah penolongmu “
“Dia kejam, memukulmu sampai hampir mati!” Bi Hwa membantah.
“Tapi aku adalah penculikmu, dialah yang menolongmu.... lekas kau hampiri dia....”
Kian Bu makin bingung dan merenggutkan dirinya yang masih dipeluk dara itu.
Pada saat itu, terdengar bentakan.
“Penculik busuk, hendak lari kemana kau?”
Dan muncullah enam orang piauwsu dengan pedang atau golok di tangan masing-masing. Melihat ini, Kian Lee meloncat dan berkata,
“Bu-te, pergi.... !”
Terbirit-birit Kian Bu meloncat dan melarikan diri mengejar kakaknya. Sampai jauh sekali mereka berlari, terengah-engah mereka berhenti didalam hutan kecil yang terpisah jauh dari hutan dimana mereka tadi main sandiwara itu.
Tentu saja mereka terengah-engah, bukan karena telah lari cepat dan jauh, melainkan karena sejak tadi hati mereka penuh ketegangan ketika bersandiwara yang kemudian ternyata gagal total itu!
Si gadis manis bukan berterima kasih kepada Kian Lee yang “menolongnya” melainkan menaruh iba kepada Kian Bu “si penculik”! Benar-benar merupakan kebalikan dari apa yang mereka inginkan, dan hampir saja rahasia mereka terbuka ketika para piauwsu itu datang.
“Kau....!”
Kian Lee menggerakkan tangan hampir menampar muka adiknya, akan tetapi ditahannya dan dia menarik napas panjang.
“Lee-ko, jangan salahkan aku! Dialah yang salah, gadis tak tahu terima kasih itu, gadis tidak mengenal budi itu!”
“Diam! Jangan memaki dia! Justeru perbuatannya tadi menambah tingkatnya dalam pandanganku! Dia adalah seorang yang berbudi mulia, mendahulukan rasa iba hatinya terhadap orang yang tertindas. Karena melihat kau kupukul dan mengira engkau tewas, maka dia melupakan semua urusan pribadinya dan menjatuhkan rasa iba hatinya kepadamu. Bukankah itu menandakan bahwa dia seorang yang baik budi?”
Suma Kian Bu melongo. Kakaknya ini malah lebih aneh daripada gadis tadi. Dia menggerakkan pundaknya dan diam-diam berjanji dalam dirinya untuk berhati-hati, agar lain kali jangan mengecewakan hati kakaknya.
“Siasatku tadi memang kurang sempurna, koko. Meskinya, begitu terpukul, aku pura-pura kalah dan melarikan diri, bukan pura-pura terpukul mati. Kalau aku kalah dan lari, tentu perhatiannya tertuju kepadamu.”
“Sudahlah, salah kita sendiri. Kita bermain sandiwara, bertindak palsu untuk mempermainkan kepercayan hati seorang gadis, maka cara yang tidak baik itu tentu saja mendatangkan hasil tidak baik pula.”
“Aihh, koko, jangan begitu. Aku telah bersungguh-sungguh membantumu, dan engkau belum pernah membantuku.”
“Hemm, aku memang telah hutang budi kepadamu. Baik, akan kubalas seperti yang kau lakukan kepadaku, hanya hasilnya terserah engkau yang menanggung jawab semua.”
“Tentu saja. Akan tetapi siasatnya harus diperbaiki. Setelah engkau kuserang, engkau pura-pura kalah dan meninggalkan gadis itu untuk berterima kasih kepadaku.”
“Hemmmm....” Kian Lee hanya menggumam mengkal.
Saat yang dijanjikan oleh Kian Lee kepada adiknya itu tiba ketika perjalanan mereka sudah tiba di pegunungan yang menjadi tapal batas Propinsi Hopei. Perjalanan naik turun gunung dan melalui hutan-hutan besar, hanya jarang saja mereka menjumpai pedusunan atau kota.
Pada suatu hari, selagi mereka berjalan perlahan di bawah pohon-pohon yang rindang yang amat sejuk karena terlindung dari sinar matahari, mereka bertemu dengan serombongan orang yang terdiri dari dua buah kereta dan dua losin piauwsu. Rombongan yang cukup besar dan kereta itu merupakan kereta mewah, kudanyapun besar-besar sehingga sudah diduga bahwa penumpangnya tentulah sebangsa bangsawan atau hartawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar