Kita tinggalkan dulu Pulau Es dan suami isteri yang termenung ditinggalkan putera-puteranya itu, dan kita biarkan sepasang pemuda itu mulai dengan perantauan mereka seperti sepasang rajawali, dan mari kita menengok kembali keadaan Syanti Dewi dan Ceng Ceng.
Seperti telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan.
Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap.
Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini, mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati.
Pada suatu senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti diluar dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak dapat menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan dagng panggang tanpa bumbu.
Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir dusun. Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, disitu terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh diatas meja.
Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan aman.
Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu.
“Kabarnya sang puteri lenyap....” kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Ahhhhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?”
“Entah, kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi....”
“Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh”
“Mungkin sekali....”
“Aduh kasihan!”
“Kalau saja kita dapat menolongnya....”
“Wah, orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk melalui kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk.”
“Memang celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi.”
Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti orang-orang itu adalah sahabat!
Betapa kaget dan heran hati tujuh orang pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang “pemuda” yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.
“Para paman harap berhenti sebentar!” Ceng Ceng berkata.
Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng mempergunakan suara aslinya, tujuh orang itu tertegun dan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.
“Kami telah mendengar percakapan paman bertujuh dan percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk melewati kota Tai-cou, kata pula Ceng Ceng.
“Apa....apa maksudmu.... tuan.... eh, nona....?”
Seorang diantara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!
“Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi.”
Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!
“Maafkan kami.... hamba tidak mengetahui....”
Syanti Dewi cepat berkata,
“Harap paman semua bangkit berdiri. Kalau sampai kelihatan orang tentu dicurigai.”
Seperti telah diceriterakan di bagian depan, dua orang dara jelita ini melarikan diri dan terpaksa meninggalkan kakek Lu Kiong yang tewas oleh pengeroyokan para tokoh pemberontak yang memusuhi Kerajaan Bhutan.
Dengan berpakaian seperti dua orang petani sederhana, dua orang gadis itu terus melarikan diri. Mereka melumuri pipi yang halus putih itu dengan lumpur untuk menyembunyikan wajah cantik mereka setelah memperoleh kenyataan bahwa penyamaran itu dapat diketahui para penghadang sehingga hampir saja mereka tertangkap.
Sukarlah bagi mereka untuk dapat meloloskan diri karena daerah perbatasan itu termasuk daerah kekuasaan pasukan-pasukan Raja Muda Tambolon. Dusun-dusun di sekitar daerah itu telah berada di bawah kekuasaannya. Syanti Dewi yang pernah mendengar tentang ini, mengerti akan bahaya yang mengancam mereka, maka dia selalu menganjurkan kepada Ceng Ceng untuk berhati-hati.
Pada suatu senja, pelarian mereka membawa mereka ke sebuah dusun. Mereka menanti diluar dusun sambil bersembunyi, dan setelah cuaca menjadi gelap, barulah mereka berani memasuki dusun itu. Bau masakan dan bumbu terbawa uap masakan yang sedap membuat mereka tidak dapat menahan diri. Telah beberapa hari lamanya mereka hanya makan daun-daun dan dagng panggang tanpa bumbu.
Kini perut mereka terasa lapar sekali ketika hidung mereka mencium bau yang amat gurih dan sedap itu, dan berindap-indap keduanya memasuki warung yang berada di pinggir dusun. Warung itu ternyata cukup besar dan ketika keduanya masuk, disitu terdapat tujuh orang tamu yang pakaiannya agak kotor dan tujuh orang ini semua membawa topi caping bundar lebar yang kini mereka taruh diatas meja.
Ketika Syanti Dewi dan Ceng Ceng memasuki warung dengan muka kotor berlumpur dan muka tunduk, mereka berhenti bicara, melirik sebentar akan tetapi melihat bahwa yang masuk hanyalah dua orang petani muda yang agaknya baru pulang dari sawah karena pakaian dan mukanya kotor, tujuh orang itu melanjutkan pembicaraan mereka. Mereka adalah orang-orang kasar dan jujur dan berani bicara keras begitu melihat keadaan aman.
Syanti Dewi memesan makanan dan makan bersama Ceng Ceng tanpa bicara, akan tetapi mereka berdua tertarik sekali oleh percakapan antara tujuh orang itu.
“Kabarnya sang puteri lenyap....” kata-kata ini yang membuat mereka terkejut dan mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Ahhhhh, kasihan sekali kalau begitu. Dan bagaimana dengan rombongan utusan kaisar?”
“Entah, kabarnya banyak yang tewas. Akan tetapi pasukan penjemput dari kerajaan Ceng tiba dan musuh dapat dihalau pergi. Hanya celakanya, sang puteri tidak ada lagi....”
“Aihh, jangan-jangan dia tertawan musuh”
“Mungkin sekali....”
“Aduh kasihan!”
“Kalau saja kita dapat menolongnya....”
“Wah, orang-orang pedagang garam macam kita ini bagaimana bisa menolongnya? Untuk melalui kota Tai-cou saja kita tentu harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyuap penjaga, baru kita akan boleh masuk.”
“Memang celaka, dan hanya di kota itu garam kita akan laku dengan harga tinggi.”
Syanti Dewi dan Ceng Ceng saling pandang dan sinar mata mereka berseri. Mereka juga harus melalui kota Tai-cou dan setelah dapat melewati kota terakhir dari kekuasaan Raja Muda Tambolon itulah mereka dapat dikatakan telah lolos dari cengkeraman musuh. Dan mendengarkan percakapan antara pedagang garam itu, agaknya mereka itu tak dapat disangsikan lagi adalah orang-orang yang berpihak kepada Kerajaan Bhutan dan Kerajaan Ceng, orang-orang yang anti kepada Raja Muda Tambolon. Hal ini berarti orang-orang itu adalah sahabat!
Betapa kaget dan heran hati tujuh orang pedagang garam itu ketika mereka meninggalkan warung dan sedang berjalan sambil bercakap-cakap di lorong dusun yang gelap dan sunyi, tiba-tiba berkelebat bayangan dua orang dan tahu-tahu dua orang “pemuda” yang tadi makan di warung telah berdiri di depan mereka.
“Para paman harap berhenti sebentar!” Ceng Ceng berkata.
Mendengar suara wanita, karena Ceng Ceng mempergunakan suara aslinya, tujuh orang itu tertegun dan mencoba untuk melihat lebih jelas lagi di tempat gelap itu.
“Kami telah mendengar percakapan paman bertujuh dan percaya bahwa paman sekalian akan suka membantu kami untuk melewati kota Tai-cou, kata pula Ceng Ceng.
“Apa....apa maksudmu.... tuan.... eh, nona....?”
Seorang diantara mereka yang berkumis tebal bertanya bingung karena dia masih ragu-ragu. Melihat pakaiannya, dua orang itu adalah pria, akan tetapi suaranya seperti wanita!
“Paman, lihatlah baik-baik. Aku adalah seorang wanita, dan dia ini bukan lain adalah Puteri Syanti Dewi dari Kerajaan Bhutan yang kalian bicarakan tadi.”
Tujuh orang itu terkejut bukan main. Cepat mereka memandang ke arah Syanti Dewi, membuka caping dan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan puteri itu!
“Maafkan kami.... hamba tidak mengetahui....”
Syanti Dewi cepat berkata,
“Harap paman semua bangkit berdiri. Kalau sampai kelihatan orang tentu dicurigai.”
Mendengar ini, mereka cepat bangkit berdiri. Mereka adalah pedagang-pedagang garam yang berhutang budi kepada Pemerintah Bhutan karena mereka diijinkan untuk mengangkut garam dari Bhutan yang mereka jual di daerah pedalaman. Dari Pemerintah Bhutan mereka tidak pernah mengalami gangguan, maka tentu saja mereka merasa terlindung dan di dalam hati mereka bersimpati kepada kerajaan ini dan sebaliknya mereka seringkali mengalami gangguan dari anak buah Raja Muda Tambolon maka tentu saja mereka membenci mereka.
“Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibu kota Kerajaan Ceng,” kata Syanti Dewi.
“Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua.”
Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang!
Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati kota Tai-cou dengan selamat.
“Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali,” kata si kumis tebal. “Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang diantara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota.”
Semua orang menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas!
Perjalanan dari dusun itu menuju ke Tai-cou memakan waktu sehari. Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apabila mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam.
Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak dan brewok.
Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga keadaan disitu menjadi ramai sekali.
“Haiiii!” Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali. “Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!”
Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang.
“Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan ditambah lagi....“
Perwira komandan itu menyambar kantung uang dan berkata keren,
“Hemm.... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, akan tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!”
Si kumis tebal sudah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang diantara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apalagi kalau sampai sang puteri dikenal!
Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak,
“Hayaaa.... celaka.... siapa menaruh ular-ular ini di keranjangku....? Tentu pedagang garam dari barat, keparat....!”
Terjadilah gaduh dan ribut karena memang tiba-tiba muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah!
Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan.... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.
“Basmi semua ular....!” teriaknya kepada para anak buahnya. “Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!” Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal.
Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.
“Haiii, diperiksa dulu.... eihhh, celaka....!”
Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor ular hijau melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!
Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggauta rombongan pedagang garam. Apalagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.
Semalam suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar, sungguhpun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka.
Dengan mudah mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari sebelah utara dan menempuh perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur.
Pada keesokan harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan itu, kemudian berbaring di atas rumput melepaskan lelah.
“Aihhhhh.... bukan main nyamannya rebah begini....” Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat. “Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku dapat menikmati makan-minum dan tiduran seperti ini!”
Mendengar Ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena disitu tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran.
”Eh, kau kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa segembira itu?”
“Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur. Raja itu meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih.
Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini?”
Syanti Dewi tertawa juga.
“Kau samakan aku dengan raja dalam dongeng? Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Akan tetapi akupun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau tak enak, menyenangkan atau tak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan diluar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri.
Lezatnya makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri daripada segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu.... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu.”
“Hemm.... lalu bagaimana?”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.
“Kalau begitu.... tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan.... ah, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!”
Ceng Ceng sudah tak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu sudah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang.
Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih.
“Uuhh, kiranya hanya mimpi....”
Bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.
“Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang....!” Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.
Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri.
“Wah, keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!”
“Hushh, jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita enak-enak tidur disini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku.”
Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka.
“Aihh, hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!”
Ketika dua orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan,
“Lihat itu....!”
Syanti Dewi menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, sudah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.
“Dan disana itu.... lihat, enci!”
Kembali Ceng Ceng berbisik. Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang! Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa. Namun tidak tampak bayangan seorangpun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat bahwa bukan hanya ada dua orang mayat disitu, melainkan ada delapan orang!
Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.
“Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita,” kata sang puteri.
Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang? Pula, diapun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah fihak musuh.
“Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci,” katanya.
Syanti Dewi mengangguk dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan disitu terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.
Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja.
Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apalagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.
“Ji-wi kouwnio hendak menginap?” tanya seorang pelayan dengan sikap ramah.
Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata,
“Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih.”
Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Dia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan “atas” kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia menjawab,
“Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!”
Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor daripada kamar dapur di istananya!
Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan setengah berbisik.
“Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa seolah-olah kita di sinipun sedang diawasi orang.”
Syanti Dewi mengangguk.
“Akupun mempunyai perasaan demikian, Candra. Akan tetapi, kurasa orang yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!”
“Perjalanan kita masih amat jauh dan biarpun kita sudah meliwati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kong-kong.... eh, mendiang kong-kong....”
Sampai disini, Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur!
Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata,
“Ahhh, kong-kongmu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kong-kongmu itu ....”
Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras,
“Jangan berkata begitu, enci!”
Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata,
“Engkau adalah seorang dara perkasa, dan di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi aku....! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tak mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Bukan hanya kong-kongmu tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang, engkau adikku yang tercinta, engkaupun harus menderita karena mengawalku!”
Ceng Ceng tertawa.
“Siapa bilang aku menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!”
“Apa? Tak usah berpura-pura. Pakaian kitapun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita.”
Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri.
“Aih, jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku? Akupun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu, aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang kong-kong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan disana kita bisa minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kong-kong.”
Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata,
“Ah, kiranya tidak percuma pula aku dahulu tekun mempelajari ilmu silat, apalagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, melainkan seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap menghadapi bahaya apapun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm.... haiittt....!”
Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki tangannya, seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya lincah dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.
“Bagus! Begitulah seharusnya, enci. Kita seperti sepasang burung yang terbang lepas di udara. Bebas dan kita boleh berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri. Bukankah itu menyenangkan sekali? Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu enci ingin makan roti kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja, tentu akan dilarang oleh sri baginda!”
Kedua orang dara itu bercakap-cakap sambil bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan peristiwa siang tadi di hutan. Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur nyenyak saling berpelukan di atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan kedua kosong. Dengan berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan aman!
Kurang lebih lewat tengah malam kedua orang gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara gaduh di atas kamar mereka. Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan otomatis dia meloncat turun dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga terbangun dan puteri ini berbisik,
“Suara apa itu....?”
Ceng Ceng sudah menyambar bungkusan perhiasan dan topi mereka yang tadi mereka taruh di atas meja, menyimpan bungkusan di dalam saku bajunya yang lebar, menyerahkan topi caping yang sebuah kepada puteri itu sambil berbisik,
“Sstttt, ada orang bertempur diatas genting....“
Keduanya sudah siap dan mencurahkan perhatiannya keatas. Makin jelas kini suara orang bertanding diatas dan menurut dugaan Ceng Ceng yang lebih tajam pendengarannya, sedikitnya ada lima orang bertanding diatas genteng kamarnya. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi karena biarpun mereka bergerak cepat, namun tidak ada kaki yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang terdengar hanya suara angin menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan kadang-kadang terdengar suara nyaring beradunya senjata tajam.
Tiba-tiba diantara suara beradunya senjata dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam, terdengar suara seorang laki-laki berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak ada artinya, namun bagi sepasang gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki arti penting. Yang mengherankan hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara itu, seperti suara yang telah dikenalnya!
“Sepasang merpati terkurung
tiada jalan terbang lari,
dihadang depan belakang
maut mengintai dari utara
di sepanjang lembah sungai!”
“Paman, tolonglah kami agar dapat lewat kota Tai-cou. Kami hendak melarikan diri ke ibu kota Kerajaan Ceng,” kata Syanti Dewi.
“Tentu saja hamba senang sekali kalau dapat menolong paduka. Marilah paduka berdua ikut bersama hamba ke tempat peristirahatan rombongan pedagang garam di kuil tua.”
Syanti Dewi dan Ceng Ceng mengikuti mereka dan ketika mereka tiba di dalam kuil tua yang kini diterangi dengan api-api penerangan lilin, tampak oleh mereka bahwa jumlah rombongan pedagang garam itu ada tujuh belas orang!
Ketua mereka adalah si kumis tebal tadi, maka begitu mendengar bahwa Sang Puteri Bhutan yang mereka dengar diboyong ke Tiong-goan dan di tengah jalan rombongan puteri itu diserbu gerombolan pemberontak, mereka segera berlutut menghaturkan selamat dan dengan senang hati mereka ingin membantu dan melindungi puteri ini melewati kota Tai-cou dengan selamat.
“Kota terakhir di bawah kekuasaan Raja Muda Tambolon ini terjaga kuat sekali,” kata si kumis tebal. “Jalan satu-satunya bagi sang puteri agar dapat lolos dengan selamat hanya dengan menyamar menjadi seorang diantara kita, menyamar sebagai pedagang garam dan bersama rombongan kita memikul garam memasuki kota.”
Semua orang menyatakan setuju dan dengan tergesa-gesa dibuatlah dua stel pakaian pedagang garam untuk dipakai Syanti Dewi dan Ceng Ceng, juga mereka diberi masing-masing sebuah caping lebar bundar itu beserta sebuah pikulan terisi dua keranjang garam.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu berangkat meninggalkan dusun tanpa membangkitkan kecurigaan penduduk yang tidak tahu bahwa rombongan tujuh belas orang itu kini telah menjadi sembilan belas!
Perjalanan dari dusun itu menuju ke Tai-cou memakan waktu sehari. Di sepanjang perjalanan, para pedagang garam itu tentu saja membebaskan dua orang dara itu dari memikul garam dan hanya apabila mereka melewati dusun-dusun saja kedua orang dara itu harus memikul garam.
Menjelang sore, tibalah rombongan ini di depan pintu gerbang kota Tai-cou. Semua orang menjadi tegang hatinya ketika mereka tiba di pintu gerbang itu dan terpaksa harus berhenti karena akan dilakukan pemeriksaan oleh para penjaga pintu gerbang yang dikepalai oleh seorang perwira komandan yang tinggi besar, galak dan brewok.
Kebetulan sekali ketika rombongan pedagang garam yang berjumlah sembilan belas orang ini tiba, di pintu gerbang itu tiba pula rombongan pedagang garam dari lain daerah yang jumlahnya dua puluh orang lebih sehingga keadaan disitu menjadi ramai sekali.
“Haiiii!” Sang komandan yang melompat ke atas sebuah meja berteriak dengan tangan di pinggang, lagaknya keras dan angkuh sekali. “Kalian harus masuk seorang demi seorang! Setiap keranjang akan diperiksa, juga setiap orang akan diperiksa baik-baik karena dikhawatirkan ada penyelundup! Kalau kami menangkap seorang saja penyelundup, kalian semua akan dihukum berat!”
Si kumis tebal sudah menyelinap dan mendekati komandan itu, berbisik perlahan sambil menyerahkan sebuah kantung berisi uang.
“Maafkan, tai-ciangkun, kami tergesa-gesa sekali. Lihat, ada rombongan pedagang garam lain, kalau kami kalah dulu, tentu akan jatuh harga garam. Ini sedikit tanda terima kasih untuk tai-ciangkun dan kalau kami sudah menjual habis garam kami, tentu akan ditambah lagi....“
Perwira komandan itu menyambar kantung uang dan berkata keren,
“Hemm.... kalian akan kuperbolehkan lewat lebih dahulu, akan tetapi tetap harus diperiksa! Keadaan sekarang gawat!”
Si kumis tebal sudah mundur dan wajahnya pucat. Kalau sampai diperiksa dan ketahuan bahwa dua orang diantara mereka adalah wanita, tentu akan terjadi keributan, apalagi kalau sampai sang puteri dikenal!
Pada saat itu, terjadi keributan di bagian rombongan pedagang garam yang dua puluh orang lebih itu. Seorang pedagang garam yang mukanya hitam dan bopeng bekas penyakit cacar, berteriak-teriak dan mencak-mencak,
“Hayaaa.... celaka.... siapa menaruh ular-ular ini di keranjangku....? Tentu pedagang garam dari barat, keparat....!”
Terjadilah gaduh dan ribut karena memang tiba-tiba muncul banyak sekali ular-ular besar kecil di tempat itu! Ceng Ceng yang bermata tajam tadi melihat betapa pedagang garam yang bermuka hitam bopeng itu telah mengeluarkan bungkusan kain kuning dari dalam keranjang dan agaknya ular-ular itu keluar dari bungkusan itulah!
Dan selagi Ceng Ceng termenung, tiba-tiba dia melihat betapa kaki si bopeng menendang seekor ular kecil. Ular itu melayang ke atas dan.... mengenai dada komandan yang berdiri di atas meja. Tidak ada yang melihat gerakan ini kecuali Ceng Ceng. Si komandan berteriak-teriak dan mengebut-ngebutkan pakaiannya.
“Basmi semua ular....!” teriaknya kepada para anak buahnya. “Hayo kalian segera maju, jangan memenuhi tempat ini!” Teriaknya kepada rombongan si kumis tebal.
Menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu, Ceng Ceng dan Syanti Dewi sudah memanggul pikulan masing-masing dan dengan desakan dari si kumis tebal mereka cepat memikul keranjang garam memasuki pintu gerbang.
“Haiii, diperiksa dulu.... eihhh, celaka....!”
Komandan yang berteriak itu kembali terkejut karena ada seekor ular hijau melayang dan mengenai mukanya, hampir menggigit hidungnya!
Ceng Ceng dan Syanti Dewi dapat lolos dengan cepat, kemudian dilindungi oleh para temannya, kedua orang dara itu melepaskan pikulan dan tergesa-gesa berjalan memasuki kota Tai-cou. Karena dia tidak memikul garam, maka setelah keadaan gaduh di pintu gerbang itu mereda dan semua pedagang diperiksa, dalam rombongan itu tidak lagi terdapat dua orang wanita ini dan mereka tidak dipanggil karena tidak ada penjaga yang menyangka bahwa dua orang yang berjalan pergi tanpa membawa pikulan itu adalah anggauta rombongan pedagang garam. Apalagi karena semua penjaga tadi sibuk membunuhi ular-ular itu sehingga perhatian mereka terpecah.
Semalam suntuk itu kedua orang dara itu melarikan diri. Mereka maklum bahwa kalau mereka tidak cepat-cepat meninggalkan kota Tai-cou, keadaan mereka masih terancam bahaya besar, sungguhpun sampai saat itu tidak ada yang mencurigai mereka.
Dengan mudah mereka telah lolos dari Tai-cou, keluar dari sebelah utara dan menempuh perjalanan di sepanjang malam yang gelap tanpa arah tujuan tertentu kecuali hanya satu keinginan, yaitu melarikan diri sejauh mungkin dari Tai-cou yang merupakan benteng terakhir dari kekuasaan Tambolon. Dan mereka hanya tahu bahwa mereka melarikan diri menuju ke timur. Dengan melihat letaknya bintang, mereka dapat mengarahkan kaki menuju ke timur.
Pada keesokan harinya, mereka beristirahat sebentar di sebuah hutan, makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal dari pemberian para pedagang garam, minum air jernih yang mereka dapatkan di hutan itu, kemudian berbaring di atas rumput melepaskan lelah.
“Aihhhhh.... bukan main nyamannya rebah begini....” Sang Puteri Syanti Dewi mengeluh nikmat. “Dan roti kering tadi, betapa lezatnya, air jernih itu juga menyegarkan sekali. Belum pernah selama hidupku aku dapat menikmati makan-minum dan tiduran seperti ini!”
Mendengar Ini, Ceng Ceng tertawa bebas sampai kelihatan deretan gigi dan lidahnya. Karena disitu tidak ada orang lain, maka dia tertawa sebebasnya. Mendengar ini, Syanti Dewi memandang heran.
”Eh, kau kenapa, adik Candra? Mengapa tertawa segembira itu?”
“Aku geli mendengarkan ucapanmu tadi, enci Syanti, dan mungkin aku tertawa karena merasa lega dan gembira telah terbebas dari bahaya. Ucapanmu tadi membuat aku teringat akan dongeng tentang raja yang tidak suka makan dan tidak dapat tidur. Raja itu meninggalkan istana karena merasa jengkel, dan di tengah hutan dia melihat seorang petani mencangkul tanah lalu makan dengan lahapnya. Raja lalu membantu si petani, mencangkul tanah untuk mendapatkan semangkok nasi dan lauknya yang hanya terdiri dari ikan asin, dan minumnya yang hanya terdiri dari air jernih.
Setelah dia selesai bekerja keras sampai tangannya lecet-lecet dan tubuhnya lelah bukan main, dia memperoleh makan minum itu dan menikmatinya seperti belum pernah dirasakannya selama hidupnya! Persis seperti keadaanmu ini! Engkau adalah seorang puteri raja yang tiap hari makan hidangan yang serba mahal, sekarang makan roti kering minum air jernih, tidurmu bukan di dalam kamar indah dan berlandaskan kasur tebal melainkan di hutan, di atas rumput, namun engkau merasa nikmat sekali! Hi-hik, bukankah lucu ini?”
Syanti Dewi tertawa juga.
“Kau samakan aku dengan raja dalam dongeng? Jangan begitu, ah! Dia sih pemalas, kalau aku kan tidak! Akan tetapi akupun heran sekali mengapa aku dapat menikmati ini semua. Pengalaman ini membuka mataku, adik Chandra, bahwa yang dikatakan enak atau tak enak, menyenangkan atau tak menyenangkan, sama sekali bukanlah bergantung kepada keadaan diluar, melainkan kepada hati sendiri! Kepada hati dan kepada tubuh, pendeknya bergantung kepada diri sendiri.
Lezatnya makanan bukan berada di mangkok, baik buruknya sesuatu bukan ada di depan kita, melainkan di dalam diri kita sendiri. Pikiranku sekarang sedang lega karena lepas dari bencana, tubuh lelah dan perut lapar. Tentu saja segala makanan dan minuman terasa lezat sekali! Rumput ini jauh lebih nikmat ditiduri daripada segala macam kasur bulu karena sekarang tubuhku sedang lelah sekali. Jadi kalau begitu.... pernyataan bahwa ini enak itu tak enak, ini baik itu tak baik, bukan kenyataan sebenarnya, melainkan pendapat hati yang dipengaruhi oleh keadaan waktu itu.”
“Hemm.... lalu bagaimana?”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya yang berbentuk bagus, matanya memandang dengan sinar gembira karena dia mulai dapat menangkap yang dimaksudkan dalam ucapan kakak angkatnya itu.
“Kalau begitu.... tidak ada yang baik atau buruk di dunia ini. Kita sendiri yang menentukan! Dan.... ah, aku jadi bingung sendiri menghadapi kenyataan yang jelas ini! Biasanya kita selalu dipermainkan oleh pikiran sendiri yang suka mengada-ada saja!”
Ceng Ceng sudah tak dapat menjawab karena dia hampir tidak dapat menahan kantuknya, hanya mengangguk lemah dan menutupi mulut dengan jari tangan menahan mulut yang ingin menguap saja. Tak lama kemudian, kedua orang dara itu sudah tertidur pulas di bawah pohon, berlandaskan rumput yang lunak. Tubuh yang lelah menuntut istirahat setelah perut yang lapar diisi kenyang.
Matahari telah naik tinggi ketika kedua orang dara itu terbangun dan mereka menjadi terkejut melihat bahwa hari telah siang. Mula-mula Syanti Dewi yang terbangun lebih dulu. Dia terbangun seperti orang kaget dan bangkit duduk, menggosok kedua matanya dan mengeluh lirih.
“Uuhh, kiranya hanya mimpi....”
Bisiknya karena dia telah mimpi tertangkap dan dihadapkan kepada Raja Muda Tambolon! Ketika mendapat kenyataan bahwa matahari telah naik tinggi, dia menoleh kepada Ceng Ceng.
“Haiii, adik Candra! Bangun! Sudah siang....!” Dia mengguncang pundak adik angkatnya itu.
Ceng Ceng terbangun dan bangkit duduk, menahan kuapnya dengan punggung tangan kiri.
“Wah, keenakan tidur, enci Syanti. Rasanya malas untuk bangun!”
“Hushh, jangan malas! Matahari telah naik tinggi dan kita enak-enak tidur disini. Perjalanan masih amat jauh, mari kita lanjutkan, adikku.”
Ceng Ceng sudah bangun berdiri dan kini teringatlah dia akan keadaan mereka.
“Aihh, hampir aku lupa bahwa kita adalah pelarian yang dikejar musuh! Mari, enci Syanti Dewi!”
Ketika dua orang dara itu melanjutkan perjalanan, tiba-tiba Ceng Ceng memegang lengan puteri dan berbisik sambil menuding ke kanan,
“Lihat itu....!”
Syanti Dewi menengok, dan sang puteri menutupkan tangan ke depan mulut menahan jeritnya. Tak jauh dari situ tampak tubuh seorang laki-laki setengah tua rebah di atas tanah, sudah menjadi mayat dan mukanya yang terlentang itu memperlihatkan sepasang mata yang terbelalak lebar tanpa sinar. Di tenggorokan orang itu tampak luka berlubang dan darah masih menetes dari luka itu, tanda bahwa orang ini belum lama terbunuh.
“Dan disana itu.... lihat, enci!”
Kembali Ceng Ceng berbisik. Kakak angkatnya menengok dan makin terkejut karena di sebelah kiri, hanya terpisah belasan meter dari situ, juga tampak sebuah mayat yang lehernya berlubang! Mereka berdua saling pandang, kemudian Ceng Ceng menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya mencelat ke atas pohon besar dan dari tempat tinggi ini Ceng Ceng memandang ke sekeliling, memeriksa. Namun tidak tampak bayangan seorangpun manusia dan dari tempat tinggi itu dia melihat bahwa bukan hanya ada dua orang mayat disitu, melainkan ada delapan orang!
Delapan orang telah mengurung tempat dia dan kakak angkatnya tidur tadi dan kini delapan orang itu telah mati semua dengan leher berlubang, mungkin terkena senjata rahasia yang ampuh! Setelah yakin bahwa tidak ada orang lain di sekitar tempat itu, dia turun lagi dan menceritakan kepada kakak angkatnya apa yang telah dilihatnya dari tempat tinggi tadi.
“Ahhh, kalau begitu, tentu mereka itu musuh yang tadinya mengepung kita, dan ada sahabat yang telah menolong kita,” kata sang puteri.
Ceng Ceng mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya berkerut. Dia juga dapat menduga demikian, akan tetapi hatinya tidak senang kepada penolongnya yang bersikap rahasia itu! Kalau memang orang bersahabat, mengapa tidak menolong secara berterang? Pula, diapun belum dapat yakin benar bahwa delapan mayat itu adalah fihak musuh.
“Lebih baik kita cepat pergi dari sini, enci,” katanya.
Syanti Dewi mengangguk dan berangkatlah mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat meninggalkan tempat yang mengerikan itu.
Sore hari mereka tiba di sebuah dusun yang terpencil, sebuah dusun yang cukup besar di kaki gunung. Karena letaknya yang terpencil ini, maka dusun itu agaknya menjadi pos peristirahatan mereka yang melakukan perjalanan di daerah itu, dan disitu terdapat pula sebuah rumah penginapan sederhana dan sebuah warung nasi. Karena merasa ngeri dengan pengalaman mereka tadi, dua orang gadis itu mengambil keputusan untuk bermalam di rumah penginapan.
Para pelayan rumah penginapan hanya sebentar memandang dengan heran karena dalam keadaan kacau seperti itu, daerah yang sering kali terjadi perang antara pasukan Raja Muda Tambolon melawan pasukan Ceng atau pasukan Bhutan, tak terlalu mengherankan melihat dua orang gadis yang berpakaian seperti petani biasa dan memakai caping lebar, melakukan perjalanan berdua saja.
Banyak sudah wanita-wanita muda yang ketakutan akan perang melarikan diri ke timur karena sudah terkenal betapa pasukan anak buah Raja Muda Tambolon amat kejam terhadap tawanan wanita, apalagi yang masih muda dan cantik. Tentu wanita itu akan dijadikan perebutan dan akan dipermainkan oleh banyak orang sampai mati dalam keadaan menyedihkan dan mengerikan sekali.
“Ji-wi kouwnio hendak menginap?” tanya seorang pelayan dengan sikap ramah.
Ceng Ceng merogoh saku dan mengeluarkan potongan perak. Dia memperlihatkan perak itu sambil berkata,
“Kami membutuhkan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, harap pilihkan yang bersih.”
Melihat potongan perak itu, sikap si pelayan bertambah hormat. Dia maklum bahwa yang membawa uang perak dalam perjalanan hanyalah orang-orang dari kalangan “atas” kalau bukan puteri-puteri hartawan tentulah wanita-wanita kang-ouw yang membekal banyak uang. Sambil mengangguk dan tersenyum lebar dia menjawab,
“Harap ji-wi jangan khawatir. Mari, silahkan masuk!”
Tentu saja kamar yang bersih dalam rumah penginapan itu sebetulnya masih terlalu kotor bagi Syanti Dewi karena kamar yang katanya paling bersih itu masih jauh lebih kotor daripada kamar dapur di istananya!
Setelah mencuci muka dan makan malam, kedua orang dara itu duduk di atas pembaringan dalam kamar mereka dan bercakap-cakap dengan suara perlahan setengah berbisik.
“Aku khawatir bahwa peristiwa di hutan itu akan ada lanjutannya, enci Syanti. Yang jelas saja, delapan orang itu mati tentu ada yang membunuh, dan si pembunuh tentu tahu akan keadaan kita. Aku merasa seolah-olah kita di sinipun sedang diawasi orang.”
Syanti Dewi mengangguk.
“Akupun mempunyai perasaan demikian, Candra. Akan tetapi, kurasa orang yang membunuh mereka itu bukanlah musuh. Kalau musuh, tentu dia atau mereka sudah turun tangan ketika kita tertidur di hutan!”
“Perjalanan kita masih amat jauh dan biarpun kita sudah meliwati kota Tai-cou, namun kita akan melewati daerah yang sama sekali tidak kita kenal dan menurut kong-kong.... eh, mendiang kong-kong....”
Sampai disini, Ceng Ceng tidak dapat melanjutkan ucapannya karena lehernya terasa seperti dicekik ketika dia teringat kepada kakeknya yang tewas dalam keadaan menyedihkan, bahkan jenazahnya pun tidak sampai terkubur!
Syanti Dewi mengerti akan keharuan hati adiknya, maka dia merangkul sambil berkata,
“Ahhh, kong-kongmu telah berkorban nyawa demi keselamatanku, adikku! Entah bagaimana aku akan dapat membalas budi kong-kongmu itu ....”
Ceng Ceng cepat menekan hatinya dan dia berkata agak keras,
“Jangan berkata begitu, enci!”
Sejenak mereka termenung, kemudian terdengar lagi Syanti Dewi berkata,
“Engkau adalah seorang dara perkasa, dan di dalam tubuhmu mengalir darah keturunan petualang kang-ouw yang berani dan perkasa! Agaknya, bagimu keadaan kita ini tidaklah terasa berat, Candra. Akan tetapi aku....! Sejak kecil aku hidup mewah dan senang, sekarang, aku harus menderita kesengsaraan seperti ini, maka tak mengherankan kalau aku sampai bersikap cengeng, adikku. Bagaimana aku tidak akan berduka? Bukan hanya kong-kongmu tewas, juga menurut cerita para pedagang garam, sebagian besar para anggota rombongan yang mengawalku tewas dalam perang. Dan semua ini gara-gara aku seorang! Bahkan sekarang, engkau adikku yang tercinta, engkaupun harus menderita karena mengawalku!”
Ceng Ceng tertawa.
“Siapa bilang aku menderita, enci? Aku sama sekali tidak menderita!”
“Apa? Tak usah berpura-pura. Pakaian kitapun hanya yang menempel di tubuh kita! Tak pernah dapat berganti pakaian, padahal sudah berapa lama? Seluruh tubuh terasa gatal-gatal dan aku berani bertaruh bahwa tentu ada kutu di pakaian kita.”
Tiba-tiba Ceng Ceng menggaruk-garuk dada kirinya dan kelihatan dia merasa ngeri.
“Aih, jangan bicara tentang kutu, enci! Marilah kita pikirkan dengan tenang dan sejujurnya. Benar bahwa engkau adalah seorang puteri yang tidak pernah menderita kesengsaraan hidup. Akan tetapi apa bedanya dengan aku? Akupun hanya seorang gadis dusun yang belum pernah melakukan perantauan. Keadaan kita sama saja, enci. Akan tetapi betapa pun juga, kita tidak boleh putus asa, tidak boleh merasa gelisah. Kegelisahan hanya akan membuat kita tidak tenang dan mengurangi kewaspadaan kita. Biarlah kita saling melindungi dan aku bersumpah bahwa aku takkan meninggalkanmu, aku pasti akan dapat memenuhi pesan mendiang kong-kong, yaitu mengantarkan enci sampai ke kota raja dan disana kita bisa minta bantuan Puteri Milana seperti yang dipesankan kong-kong.”
Melihat sikap Ceng Ceng yang penuh semangat itu, bangkit pula semangat Puteri Syanti Dewi. Dia mengepal tinju dan berkata,
“Ah, kiranya tidak percuma pula aku dahulu tekun mempelajari ilmu silat, apalagi memperoleh petunjuk-petunjukmu, adik Candra. Saat ini, aku bukan puteri kerajaan, melainkan seorang dara kang-ouw yang berpetualang dan siap menghadapi bahaya apapun juga! Kalau ada bahaya mengancam, hemmm.... haiittt....!”
Puteri itu membuat gerakan silat dengan kaki tangannya, seolah-olah dia mengamuk dan merobohkan para pengeroyoknya. Sikapnya lincah dan lucu sehingga Ceng Ceng tertawa dan merangkul kakak angkatnya itu.
“Bagus! Begitulah seharusnya, enci. Kita seperti sepasang burung yang terbang lepas di udara. Bebas dan kita boleh berbuat apa saja menurut kehendak kita sendiri. Bukankah itu menyenangkan sekali? Coba, kalau kita masih berada di istana, lalu enci ingin makan roti kering dan air, ingin menginap di kamar yang begini bersahaja, tentu akan dilarang oleh sri baginda!”
Kedua orang dara itu bercakap-cakap sambil bersenda-gurau dan mereka sudah lupa lagi akan peristiwa siang tadi di hutan. Tak lama kemudian dua orang dara itu telah tidur nyenyak saling berpelukan di atas sebuah pembaringan dan membiarkan pembaringan kedua kosong. Dengan berdekatan di waktu tidur, mereka lebih besar hati dan aman!
Kurang lebih lewat tengah malam kedua orang gadis itu terbangun karena kaget mendengar suara gaduh di atas kamar mereka. Mula-mula Ceng Ceng yang terbangun lebih dulu dan otomatis dia meloncat turun dari pembaringan. Pada saat itu Syanti Dewi juga terbangun dan puteri ini berbisik,
“Suara apa itu....?”
Ceng Ceng sudah menyambar bungkusan perhiasan dan topi mereka yang tadi mereka taruh di atas meja, menyimpan bungkusan di dalam saku bajunya yang lebar, menyerahkan topi caping yang sebuah kepada puteri itu sambil berbisik,
“Sstttt, ada orang bertempur diatas genting....“
Keduanya sudah siap dan mencurahkan perhatiannya keatas. Makin jelas kini suara orang bertanding diatas dan menurut dugaan Ceng Ceng yang lebih tajam pendengarannya, sedikitnya ada lima orang bertanding diatas genteng kamarnya. Dan mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi karena biarpun mereka bergerak cepat, namun tidak ada kaki yang memecahkan genteng yang diinjak. Yang terdengar hanya suara angin menyambar-nyambar, angin senjata tajam dan kadang-kadang terdengar suara nyaring beradunya senjata tajam.
Tiba-tiba diantara suara beradunya senjata dan berdesingnya angin gerakan senjata tajam, terdengar suara seorang laki-laki berpantun, suaranya nyaring dan seperti tidak ada artinya, namun bagi sepasang gadis itu pantun yang dinyanyikan memiliki arti penting. Yang mengherankan hati Ceng Ceng dan mendebarkan adalah suara itu, seperti suara yang telah dikenalnya!
“Sepasang merpati terkurung
tiada jalan terbang lari,
dihadang depan belakang
maut mengintai dari utara
di sepanjang lembah sungai!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar