FB

FB


Ads

Sabtu, 07 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 020

“Siang Lo-mo dan cu-wi sekalian! Apakah kalian sudah bosan hidup? Lihat.... bukit itu longsor kesini....!”

Tiba-tiba Suma Han berteriak, suaranya disertai khi-kang dan mengandung tenaga sakti mujijat yang bergema di seluruh tempat itu, tongkatnya menuding ke tengah pulau dimana tampak bagian yang menjulang tinggi seperti bukit es yang putih.

Sepasang kakek kembar dan para temannya menengok ke arah yang ditunjuk itu dan tiba-tiba mata mereka terbelalak dan muka mereka pucat sekali. Mereka melihat betapa bukit itu pecah-pecah, batu dan es yang besar-besar sedang bergulingan dari atas menuju ke tempat itu, disertai suara gemuruh dan tanah yang mereka injak bergoyang-goyang seperti ada gempa bumi yang hebat.

“Celaka....! Lari....!” Pak-thian Lo-mo berteriak sambil menyambar tubuh dua orang pembantu yang terluka.

“Lari...., bawa teman-teman....!” teriak pula Lam-thian Lo-mo yang juga menjadi pucat wajahnya.

Tentu saja tidak perlu dikomando dua kali karena mereka yang belum roboh, menjadi pucat ketakutan menyaksikan malapetaka itu, bencana alam yang amat hebat dan yang tentu akan menggulung dan membasmi mereka semua kalau mereka terlambat lari dari tempat yang agaknya sudah dikutuk dan akan musnah itu.

Mereka cepat menyambar teman yang terluka, lalu bersicepat lari ke arah perahu mereka, berloncatan ke dalam perahu dan sekuat tenaga mendayung perahu ke tengah laut. Angin segera mendorong layar dan perahu itu melaju cepat meninggalkan Pulau Es.

Suma Han menghela napas lega. Dua orang pemuda yang tadinya berlutut merangkul kedua kaki ibu masing-masing dengan muka pucat, kini menengadah melihat ibu mereka tersenyum, keduanya bangkit berdiri, menoleh ke arah bukit dan ternyata tidak ada terjadi apa-apa disana! Padahal tadi, mereka ikut menengok dan melihat betapa bukit itu pecah dan mengeluarkan suara bergemuruh, mengancam tempat itu dengan gumpalan batu dan es sebesar rumah!

“Untung mereka dapat dikelabuhi....“ Suma Han berkata perlahan.

“Hemmm, kalau mereka tidak lari, tentu sebentar lagi mereka tak sempat berlari lagi!” kata Lulu.

“Mereka itu tidak seberapa kuat, mengapa harus dipergunakan hoat-sut (ilmu sihir)?” kata Nirahai, tidak puas karena tadi sedang “enak-enaknya” membabati musuh.

Sudah puluhan tahun puteri kaisar yang gagah perkasa ini tidak memperoleh kesempatan untuk mempergunakan ilmunya untuk bertempur, padahal dahulu puteri ini mempunyai kesukaan untuk bertanding ilmu silat. Maka peristiwa tadi sebetulnya amat menggembirakan hatinya, siapa yang tidak mengkal hatinya kalau sedang enak-enak membabat musuh lalu dihentikan?

“Aihhh.... jadi ayah tadi mempergunakan ilmu sihir?” Kian Lee berkata, memandang ayahnya dengan kagum dan heran. “Akan tetapi.... aku melihat sendiri, bukit itu seperti pecah....“

“Karena kau ikut menengok, maka kau menjadi korban pula kekuasaan ilmu sihir ayahmu,” kata Lulu.

Dia dan Nirahai yang sudah tahu bagaimana caranya melawan ilmu sihir itu, tadi tidak menengok dan karenanya tidak terseret.

“Wah, hebat sekali, ayah! Harap ajarkan ilmu itu kepadaku!” Kian Bu bersorak.

Ayahnya diam saja, hanya memandang sepasang rajawali yang masih terbang berputaran di angkasa. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan kedua ekor burung rajawali itu terkejut, lalu menukik turun dan tak lama kemudian dia hinggap di atas tanah, di depan pendekar itu.

“Kian Lee, Kian Bu, lihat apa yang berada di paruh mereka itu!” bentak Suma Han.






Kian Lee dan Kian Bu menghampiri sepasang rajawali dan mengambil sesuatu dari paruh mereka. Kiranya burung rajawali kesayangan Kian Lee membawa sebatang jari tangan di paruhnya, sedangkan burung rajawali kesayangan Kian Bu membawa sebuah.... daun telinga manusia!

“Ihhh....! Jari tangan orang!” Kian Lee bergidik dan membuang jari tangan itu ke atas tanah.

“Haiiii! Ini daun telinga orang....!” Kian Bu juga membuang benda menjijikkan itu.

Suma Han menghela napas, menggunakan tongkatnya membuat lobang di dalam tanah, kemudian menjemput jari tangan dan daun telinga itu, kemudian sambil menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala dia berjalan ke tengah pulau.

“Ayah, ajarkan aku ilmu sihir itu....!” Kian Bu berseru dan hendak mengejar ayahnya. Akan tetapi tangannya dipegang ibunya.

“Ilmu itu tidak mungkin diajarkan ayahmu kepada siapapun juga,” puteri kaisar itu berkata.

“Mengapa tidak mungkin, ibu?”

“Ilmu yang kelihatan seperti ilmu sihir itu dimiliki oleh ayahmu tanpa dipelajarinya karena ayahmu memiliki kekuatan mujijat. Pula, dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang ini, tidak perlu lagi menginginkan kekuatan sihir karena kau akan mampu menghadapi lawan yang bagaimana kuatpun.”

“Kian Lee, apa yang diucapkan oleh ibumu Nirahai itu benar sekali,” Lulu juga berkata, ditujukan kepada puteranya sendiri. “Tingkat kepandaian kalian berdua sudah cukup tinggi, dan melihat gerakan kalian ketika menghadapi musuh tadi, kiranya tingkat kalian tidak berada di sebelah bawah kami berdua. Ketika dahulu aku masih menjadi ketua Pulau Neraka, dan ibumu Nirahai menjadi ketua Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, tingkat kami berdua kiranya masih belum setinggi tingkat kalian sekarang ini.”

Nirahai mengangguk-angguk dan menyambung ucapan madunya itu,
“Memang benar, apalagi kalau diingat bahwa kalian berdua adalah pemuda-pemuda yang sedang kuat-kuatnya, sedangkan kami makin tua dan makin lemah. Maka jangan kalian berdua menginginkan ilmu kesaktian ayah kalian yang tidak mungkin dipelajari itu.”

Tentu saja hati sepasang pemuda ini menjadi gembira dan girang mendengar pujian Nirahai itu. Kegirangan itu bertambah besar ketika pada malam harinya, setelah keluarga itu makan malam, Suma Han berkata dengan suaranya yang selalu tenang dan halus,

“Lee-ji dan Bu-ji, sekarang telah tiba saatnya bagi kalian berdua untuk keluar dari pulau, merantau meluaskan pengetahuan kalian.”

Kedua orang pemuda itu hampir bersorak saking girangnya mendengar ini, dan mereka berdua saling pandang dengan muka berseri dan mata bersinar-sinar. Demikian gembira mereka sampai tidak melihat betapa sebaliknya wajah ibu mereka menyuram.

“Akan tetapi ingat, kalian jangan mengira bahwa kalian boleh berbuat sesuka hati setelah bebas. Kebebasan yang benar adalah kebebasan yang dapat mengatur diri sendiri, bukan kebebasan liar (semau gue!) yang tentu akan menyeret kalian ke dalam perbuatan sesat. Memang, tingkat ilmu silat kalian sudah cukup tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan dicelakakan oleh musuh, namun kalian masih kurang sekali dalam pengalaman. Karena itu, dalam meluaskan pengalaman, kalian pergilah ke kota raja dan jumpai enci kalian, Milana. Dari enci kalian itu kalian akan mendapat banyak petunjuk. Dan ingat, kalian jangan sekali-kali menyebut nama Pulau Es untuk menyombongkan diri. Mengerti?”

Kedua orang pemuda itu mengangguk dan menyembunyikan rasa girang mereka di dalam hati.
“Ayah, bolehkah kami membawa sepasang rajawali?”

Suma Han menahan senyumnya. Puteranya yang kedua ini selalu berwatak riang gembira dan biarpun usianya sudah hampir delapan belas tahun, masih kekanak-kanakan sehingga merantaupun ingin membawa rajawali kesayangannya!

“Rajawali jangan dibawa. Sekali ini kalian merantau, berarti akan memasuki tempat-tempat ramai, apalagi akan memasuki kota raja. Kalau kalian membawa sepasang rajawali, tentu akan menimbulkan ribut dan kekacauan. Ingat kalian harus menganggap bahwa kalian adalah seperti sepasang rajawali yang terbang bebas di angkasa, tidak menggantungkan nasib dan keselamatan kalian pada perlindungan siapapun juga. Seperti sepasang rajawali, kalian harus selalu waspada jangan lengah karena segala kemungkinan dapat saja terjadi, segala bahaya dapat saja datang dari segala penjuru”.

Setelah banyak-banyak memberi nasihat kepada kedua orang puteranya sehingga semalam itu mereka hampir tidak tidur, pada keesokan harinya berangkatlah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu meninggalkan Pulau Es. Mereka hanya membawa bekal beberapa potong emas dan sejumlah uang perak untuk biaya di jalan, akan tetapi mereka berdua tidak diberi bekal senjata.

Perahu layar yang membawa mereka pergi meninggalkan Pulau Es, menuju ke arah yang telah ditunjuk dan digambarkan dalam peta oleh ayah mereka, diikuti pandangan mata kedua ibu mereka yang basah oleh air mata.

Setelah perahu itu lenyap dari pandangan mata, kedua orang wanita itu tidak dapat menahan tangis mereka. Betapa hati mereka tidak akan berkhawatir dan berduka ditinggalkan putera tercinta yang semenjak lahir berada di pulau itu bersama mereka? Suma Han mendiamkan saja kedua isterinya berduka, karena dia dapat menyelami perasaan mereka. Dia hanya berdiri dibantu tongkatnya, memandang jauh lepas ke arah lautan, mencoba untuk mempelajari dan mengerti akan hidup dari permukaan laut yang tak bertepi.

Andaikata ada yang bertanya kepada kedua orang ibu itu mengapa mereka menangis dan mengapa mereka berduka karena berpisahan dengan putera mereka, tentu mereka akan menjawab langsung bahwa mereka berduka karena mereka mencinta putera mereka yang sekarang pergi meninggalkan mereka.

Jelas bahwa mereka menangis bukan demi putera mereka, karena sepasang pemuda itu bergembira dan tidak perlu ditangisi. Akan tetapi mereka menangis karena mereka ditinggalkan! Mereka menangis demi dirinya sendiri, menangis karena iba diri yang ditinggalkan pergi orang-orang yang dicinta!

“Cinta” yang bersifat pengikatan diri kepada sesuatu yang dicinta, seperti kedua ibu ini, hanya akan membawa kedukaan. Pengikatan diri kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kemuliaan duniawi, kepada kesenangan, sebenarnya bukanlah cinta kasih sejati, melainkan nafsu mementingkan dan menyenangkan diri sendiri belaka.

Segala sesuatu, baik benda hidup ataupun mati, yang dipunyai seseorang secara lahiriah, kalau sampai dimiliki pula secara batiniah, hanya akan menimbulkan kesengsaraan. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini, sekali waktu tentu terjadi perpisahan. Kalau kita mengikatkan diri kepada sesuatu, berarti kita memiliki secara batiniah dan seolah-olah yang kita miliki itu telah berakar di dalam hati. Maka jika tiba saatnya kita harus berpisah dari sesuatu yang kita miliki secara batiniah itu, sama saja dengan dicabutnya sesuatu itu dari hati sehingga merobek dan menyakitkan hati!

Mengikatkan diri kepada apapun juga, kepada suami, isteri, anak, keluarga, harta dan apa saja berarti menghambakan diri dan ikatan-ikatan ini yang membuat orang menjadi takut dan khawatir. Takut kalau-kalau dipaksa berpisah, karena kehilangan, karena kematian dan lain-lain. Rasa takut akan perpisahan dengan yang telah mengikat dirinya, membuat orang menjaga dan melindungi mati-matian, dan untuk ini tidak segan-segan orang menggunakan kekerasan. Maka timbullah pertentangan, dan dari pertentangan ini lahirlah kesengsaraan hidup!

**** 020 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar