“Habis....?”
Ceng Ceng meragu dan terheran, juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang puteri raja yang menyatakan pendapat seperti itu.
“Engkau Ceng Ceng, dan aku Syanti saja. Kau sebut saja namaku.”
“Ini.... ini.... mana hamba berani....”
“Kalau tidak berani, lekas kau pergi dari sini dan aku tidak mau bersahabat lagi denganmu.”
“Ahhhh....” Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan merasa kecewa sekali. “Hamba ingin sekali.... bersahabat.... hamba kagum dan suka kepada paduka....”
“Hushh! Hanya satu syaratnya, yaitu kau menganggap aku sebagai sahabat atau.... eh, bagaimana kalau sebagai saudara? Berapa usiamu?”
“Kurang lebih lima belas tahun.”
“Kalau begitu sama dengan aku. Nah, untuk menghormatiku biarlah kau menganggap aku lebih tua setengah bulan darimu, dan kau menyebut aku enci (kakak), dan aku menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Selanjutnya kau harus ber-engkau dan ber-aku kepadaku, tidak ada lagi paduka-padukaan atau hamba-hambaan. Bagaimana, maukah kau?”
Ingin Ceng Ceng menari kegirangan. Siapa bisa percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang gadis gunung, diaku sahabat baik, bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang terkenal itu! Duduk berdua sekamar dengan puteri itu, bicara dengan sebutan engkau dan aku! Mana mungkin ini? Hanya dapat terjadi dalam mimpi! Mimpikah dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri.
“Haii, Ceng-moi, apa yang kau lakukan itu ?”
Puteri Syanti memandang heran ketika melihat Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri dan meringis karena merasa nyeri.
“Ehh....! Ohhh....! Tidak.... tidak apa-apa.... eh, enci Syanti.”
Puteri Syanti tertawa lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga mulut yang merah dan lidah yang kecil yang bergerak hidup dan berwarna merah muda.
“Senang hatiku mendengar kau menyebutku enci! Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak boleh menyimpan rahasia. Aku melihat kau tadi mencubit pahamu sampai kau meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu, mencubit paha sendiri?”
“Habis, tidak ada yang mencubit.... eh, maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar mukanya, apalagi kalau dia seorang pria!”
Jawaban ini membuat sang puteri terkekeh geli.
“Bagaimana kalau yang mencubit itu pria kekasihmu?”
“Kekasih?” Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.
“Kekasih, pria yang kau cinta. Bagaimana kalau dia yang mencubit pahamu?”
“Cinta? Aku tidak tahu, aku tidak mengerti apa itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu, berarti dia kurang ajar dan tentu akan kutampar mukanya sampai bengkak-bengkak!”
“Ouhhh....!” Puteri itu menutupi mulutnya dan memandang heran. “Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah berpacaran?”
“Hehh? Berpacaran?”
Ceng Ceng meragu dan terheran, juga geli rasa hatinya mengapa ada seorang puteri raja yang menyatakan pendapat seperti itu.
“Engkau Ceng Ceng, dan aku Syanti saja. Kau sebut saja namaku.”
“Ini.... ini.... mana hamba berani....”
“Kalau tidak berani, lekas kau pergi dari sini dan aku tidak mau bersahabat lagi denganmu.”
“Ahhhh....” Ceng Ceng mengerutkan alisnya dan merasa kecewa sekali. “Hamba ingin sekali.... bersahabat.... hamba kagum dan suka kepada paduka....”
“Hushh! Hanya satu syaratnya, yaitu kau menganggap aku sebagai sahabat atau.... eh, bagaimana kalau sebagai saudara? Berapa usiamu?”
“Kurang lebih lima belas tahun.”
“Kalau begitu sama dengan aku. Nah, untuk menghormatiku biarlah kau menganggap aku lebih tua setengah bulan darimu, dan kau menyebut aku enci (kakak), dan aku menyebutmu moi-moi (adik perempuan). Selanjutnya kau harus ber-engkau dan ber-aku kepadaku, tidak ada lagi paduka-padukaan atau hamba-hambaan. Bagaimana, maukah kau?”
Ingin Ceng Ceng menari kegirangan. Siapa bisa percaya! Dia, seorang dara dusun, seorang gadis gunung, diaku sahabat baik, bahkan saudara oleh Puteri Syanti Dewi yang terkenal itu! Duduk berdua sekamar dengan puteri itu, bicara dengan sebutan engkau dan aku! Mana mungkin ini? Hanya dapat terjadi dalam mimpi! Mimpikah dia? Diam-diam Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri.
“Haii, Ceng-moi, apa yang kau lakukan itu ?”
Puteri Syanti memandang heran ketika melihat Ceng Ceng mencubit pahanya sendiri dan meringis karena merasa nyeri.
“Ehh....! Ohhh....! Tidak.... tidak apa-apa.... eh, enci Syanti.”
Puteri Syanti tertawa lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih seperti mutiara, rongga mulut yang merah dan lidah yang kecil yang bergerak hidup dan berwarna merah muda.
“Senang hatiku mendengar kau menyebutku enci! Ceng-moi, sebagai saudara kita tidak boleh menyimpan rahasia. Aku melihat kau tadi mencubit pahamu sampai kau meringis kesakitan. Mengapa kau begini lucu, mencubit paha sendiri?”
“Habis, tidak ada yang mencubit.... eh, maksudku, kalau ada yang cubit, tentu kutampar mukanya, apalagi kalau dia seorang pria!”
Jawaban ini membuat sang puteri terkekeh geli.
“Bagaimana kalau yang mencubit itu pria kekasihmu?”
“Kekasih?” Ceng Ceng bertanya, seolah-olah tidak mengerti apa artinya kata-kata ini.
“Kekasih, pria yang kau cinta. Bagaimana kalau dia yang mencubit pahamu?”
“Cinta? Aku tidak tahu, aku tidak mengerti apa itu cinta. Kalau ada pria melakukan hal itu, berarti dia kurang ajar dan tentu akan kutampar mukanya sampai bengkak-bengkak!”
“Ouhhh....!” Puteri itu menutupi mulutnya dan memandang heran. “Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau belum pernah berpacaran?”
“Hehh? Berpacaran?”
“Ya, mempunyai teman pria yang kau sukai, dengan siapa engkau bersendau-gurau, bersenang-senang, bermain-main bersama dan sebagainya.”
Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri,
“Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas diluar, tidak seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri....”
“Enci Syanti, apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak mengerti.”
“Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah yang beruntung, tidak dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?”
“Karena aku masih tidak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku sedang mimpi, maka kucubit pahaku.”
“Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng.”
“Dan aku.... aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali padamu.”
“Kalau begitu....!” Puteri itu meloncat. “Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Kau tahu, adik Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku, barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!”
“Apa....? Aku....? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?” Jantung di dada Ceng Ceng berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!
“Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran seorang sahabat, seorang saudara yang kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan hatiku ini” Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!
Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat.
“Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!”
“Adikku....!”
Saking girangnya puteri itu lalu menubruk, memeluk Ceng Ceng dan mencium pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masing-masing yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru sekarang bertemu.
“Akan tetapi bagaimana kalau kong-kong melarangku?” Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya, bertanya ragu.
“Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh kong-kongmu.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan, kemudian tidur bersama dalam pernbaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai.
Ceng Ceng menggeleng kepala dan memandang dengan mata jujur. Puteri itu menarik napas panjang dan berkata kepada diri sendiri,
“Betapa anehnya! Dan kukira dara yang hidup bebas diluar, tidak seperti aku yang dikurung di istana, dapat lebih menikmati hidup, dapat memilih pacar dan calon jodoh sendiri....”
“Enci Syanti, apa yang kau bicarakan ini? Aku tidak mengerti.”
“Sudahlah, adik Ceng, memang hanya orang yang tidak mengerti itulah yang beruntung, tidak dilanda suka-dukanya. Aku mengulangi pertanyaanku tadi, mengapa kau tadi mencubit pahamu?”
“Karena aku masih tidak percaya bahwa aku, seorang gadis gunung, dapat duduk sejajar dengan Puteri Syanti Dewi, bercakap-cakap seperti sahabat bahkan seperti saudara. Aku mengira bahwa aku sedang mimpi, maka kucubit pahaku.”
“Hi-hik, kau memang lucu! Aku suka sekali padamu, adik Ceng.”
“Dan aku.... aku tidak pernah mempunyai seorang sahabat seperti engkau, enci Syanti. Aku suka sekali padamu.”
“Kalau begitu....!” Puteri itu meloncat. “Benar! Sekarang aku tidak terlalu berduka lagi. Kau tahu, adik Ceng, aku selalu menangis dan bersusah hati setelah sri baginda memutuskan perjodohanku dengan pangeran putera Kaisar Tiongkok! Aku merasa seolah-olah masa depanku gelap, seolah-olah aku akan dikirim ke neraka. Sekarang ada engkau! Engkau harus menemani aku, adikku! Ya, engkau harus menemani aku, barulah aku sanggup menghadapi kepergian ini!”
“Apa....? Aku....? Ikut bersamamu ke kota raja, di Tiongkok? Ke istana kaisar?” Jantung di dada Ceng Ceng berdegup keras. Makin hebat dan menarik saja pengalaman ini!
“Maukah engkau, adik Ceng? Katakanlah engkau mau, kasihanilah aku yang amat memerlukan kehadiran seorang sahabat, seorang saudara yang kucinta dalam perjalananku yang jauh dan amat menggelisahkan hatiku ini” Dan puteri itu memandang Ceng Ceng dengan air mata berlinang!
Ceng Ceng tersenyum lalu mengangguk kuat-kuat.
“Aku mau! Dengan senang hati, enci Syanti!”
“Adikku....!”
Saking girangnya puteri itu lalu menubruk, memeluk Ceng Ceng dan mencium pipinya. Ceng Ceng membalas pelukan itu dan mereka seperti enci-adik yang mencurahkan perasaan masing-masing yang penuh keharuan, seperti kakak-beradik yang telah lama sekali tidak berjumpa, dan baru sekarang bertemu.
“Akan tetapi bagaimana kalau kong-kong melarangku?” Akhirnya Ceng Ceng yang teringat akan keadaannya, bertanya ragu.
“Jangan khawatir. Aku akan minta kepada sri baginda agar engkau menjadi pengawal pribadiku, dan perintah ayahku sri baginda tentu akan ditaati oleh kong-kongmu.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan, kemudian tidur bersama dalam pernbaringan puteri itu yang mewah, harum dan enak sekali dipakai.
**** 005 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar