Hati Ceng Ceng merasa gembira bukan main. Dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri dia menonton rombongan yang megah itu lewat di dusun untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja yang tidak begitu jauh lagi letaknya dari dusun itu.
Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para penonton, menuju ke kota raja.
Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu saja tidak diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian ini.
Para penjaga dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk memasuki pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar itu terjadi desak-mendesak.
Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat, dipegang pundaknya oleh seorang penjaga. Ketika penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada.
Ceng Ceng menjadi marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal!
Tiga orang penjaga lain datang, seorang diantara mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.
Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka.
Akan tetapi dengan teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira inipun hendak berbuat kurang ajar kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itupun terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!
“Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!”
Suara itu terdengar nyaring dan dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia tentulah seorang yang penting.
Memang demikian sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak seberapa tinggi, akan tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok.
Jenggot itu panjang sekali, dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.
Pengawal berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika dia berkata,
“Nona cilik, berani kau membikin kacau disini? Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada para penjaga untuk ditangkap!”
“Plak-plak-plak-plak!”
Sampai empat kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja yang masih berbau kanak-kakak yang dapat menangkis terkamannya sampai empat kali!
“Bagus, kau boleh juga!”
Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan.... bagaikan seekor ular hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan darah di leher Ceng Ceng!
Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih menjijikkan dan mengerikan hatinya daripada menakutkan itu, membuat diapun menggerakkan kepalanya dan.... dua helai kucirnya yang tadinya tergantung ke belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!
“Plakkkk!”
Ujung jenggot bertemu dengan dua ujung kucir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa, sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua!
Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah tiba di pintu gerbang istana itu.
“Sumoi”
Melihat komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut “sumoi” kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata,
“Maaf....!”
Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk menambah ilmu kepandaian silatnya saja.
Bersama para penonton lain yang terdiri dari anak anak dan orang tua laki-laki dan wanita, Ceng Ceng terus terbawa oleh rombongan itu. Tanpa terasa kedua kakinya mengikuti rombongan yang berpakaian indah-indah, membawa bendera dan tombak tanda kebesaran yang mengutus mereka, barang-barang berharga dipikul dan berada di dalam peti-peti yang berukir indah. Dengan hati kagum Ceng Ceng terus mengikuti rombongan itu, bersama banyak anak-anak lain dan para penonton, menuju ke kota raja.
Akan tetapi setibanya rombongan itu di pintu gerbang istana di kota raja Bhutan, para penonton itu tentu saja tidak diperkenankan masuk! Penonton menjadi semakin banyak, tertambah oleh penduduk di sekitar istana di kota raja itu sendiri dan dari dusun-dusun lain yang sengaja datang ke kota raja untuk menonton keramaian ini.
Para penjaga dengan ketat menjaga pintu gerbang dan tidak memperkenankan rakyat untuk memasuki pintu gerbang. Karena hal ini mendatangkan rasa kecewa dan protes para penonton, terutama anak-anak berusia belasan tahun, maka terjadilah sedikit kekacauan, dorong-mendorong sehingga di pintu gerbang yang tidak berapa lebar itu terjadi desak-mendesak.
Keadaan menjadi makin kacau lagi ketika beberapa orang penjaga terpelanting roboh dan hal ini dilakukan oleh Ceng Ceng ketika dara ini yang berusaha untuk memasuki pintu gerbang dengan nekat, dipegang pundaknya oleh seorang penjaga. Ketika penjaga melihat dara yang cantik manis dan masih remaja ini, dengan kurang ajar penjaga itu mengusap dagu Ceng Ceng dan lain tangannya berusaha untuk meraba dada.
Ceng Ceng menjadi marah, kaki kirinya menendang tulang kering kaki penjaga itu dan selagi penjaga itu berjingkrak saking merasa nyeri sekali seolah-olah tulang keringnya remuk dan rasa nyeri naik sampai ke ulu hati, Ceng Ceng menendang lututnya membuat penjaga itu terjungkal!
Tiga orang penjaga lain datang, seorang diantara mereka menunggang kuda, akan tetapi begitu Ceng Ceng bergerak, mereka terpelanting roboh juga, termasuk yang menunggang kuda. Tentu saja keadaan menjadi ribut dan kacau. Anak-anak yang nakal mempergunakan kesempatan ini untuk menyelinap masuk, dan ada penjaga yang berusaha mencegah mereka, ada pula yang mengurung Ceng Ceng, dan keadaan makin kacau balau.
Dua orang perwira dari rombongan utusan kaisar maju. Dengan tangan yang membentuk cakar garuda mereka hendak menangkap dara yang membuat kekacauan itu karena mereka merasa curiga bahwa dara itu tentulah mata-mata musuh yang sengaja hendak menggagalkan tugas mereka.
Akan tetapi dengan teriakan nyaring dan marah karena mengira bahwa dua orang perwira inipun hendak berbuat kurang ajar kepadanya, Ceng Ceng sudah menggerakkan kaki tangannya dengan cepat dan dua orang perwira itupun terpelanting mencium tanah! Keadaan menjadi semakin ribut dan kini para penjaga maklum bahwa dara remaja itu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah!
“Harap Cu-wi mundur semua, biarlah saya menghadapi pengacau cilik ini!”
Suara itu terdengar nyaring dan dalam rombongan kaisar muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun kurang lebih, berpakaian preman namun melihat wibawanya dalam rombongan itu dia tentulah seorang yang penting.
Memang demikian sesungguhnya. Pria ini adalah seorang pengawal pribadi kaisar sendiri, seorang yang ditunjuk untuk melindungi rombongan utusan yang penting itu. Orang ini bertubuh tegap, tidak seberapa tinggi, akan tetapi yang amat menarik perhatian adalah bentuk jenggotnya yang menyolok.
Jenggot itu panjang sekali, dipelihara baik-baik dan berjuntai sampai ke perutnya! Jenggot itu merupakan sebuah cambuk tebal dari bulu halus, berwarna mengkilap hitam terhias beberapa warna putih dari uban yang mulai banyak menghias rambut dan jenggotnya.
Pengawal berjenggot panjang ini melangkah maju, mukanya yang bengis dan keras itu agak berseri ketika dia berkata,
“Nona cilik, berani kau membikin kacau disini? Hayo lekas berlutut dan menyerah kepada para penjaga untuk ditangkap!”
“Plak-plak-plak-plak!”
Sampai empat kali kedua tangan pengawal kaisar itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan pengawal itu merasa kaget dan terheran-heran sekali. Sungguh tidak pernah diduganya bahwa di pintu gerbang Istana Raja Bhutan, dia bertemu dengan seorang dara remaja yang masih berbau kanak-kakak yang dapat menangkis terkamannya sampai empat kali!
“Bagus, kau boleh juga!”
Dan tiba-tiba pengawal ini menggerakkan kepalanya dan.... bagaikan seekor ular hitam, atau sebatang cambuk, jenggot pengawal itu telah meluncur dan menotok ke arah jalan darah di leher Ceng Ceng!
Dara ini terkejut dan berteriak kaget, akan tetapi tidak percuma dia menjadi cucu buyut bekas pengawal kaisar, tidak percuma kakek Lu Kiong menggemblengnya selama bertahun-tahun sejak dia kecil. Reaksinya terhadap serangan jenggot yang lebih menjijikkan dan mengerikan hatinya daripada menakutkan itu, membuat diapun menggerakkan kepalanya dan.... dua helai kucirnya yang tadinya tergantung ke belakang punggung itu kini melayang ke depan dan menyambut jenggot lawannya!
“Plakkkk!”
Ujung jenggot bertemu dengan dua ujung kucir, saling membelit dan kakek pengawal itu tertawa, sebaliknya Ceng Ceng terkejut sekali. Rambutnya terasa seperti dijambak-jambak, membuat seluruh kepalanya terasa pedih dan seolah-olah rambutnya akan copot semua!
Dalam keadaan yang berbahaya itu, untung sekali bagi Ceng Ceng, tiba-tiba muncul serombongan prajurit mengiringkan seorang perwira yang bertubuh tinggi tegap keluar dari halaman istana dan sudah tiba di pintu gerbang istana itu.
“Sumoi”
Melihat komandan pasukan dari dalam istana yang agaknya merupakan penyambut itu menyebut “sumoi” kepada dara remaja yang menjadi lawannya, pengawal kaisar terkejut, cepat melepaskan libatan jenggotnya dan melangkah mundur sambil berkata,
“Maaf....!”
Perwira tinggi tegap itu adalah seorang murid kakek Lu Kiong juga. Sebelum menjadi muridnya, memang dia sudah menjadi seorang perwira di dalam istana. Dia berguru kepada Lu Kiong hanya untuk menambah ilmu kepandaian silatnya saja.
Akan tetapi tentu saja diapun menyebut sumoi kepada Ceng Ceng, sedang dara itupun menyebut suheng kepadanya. Ketika melihat bahwa keributan yang terjadi di luar pintu gerbang itu adalah gara-gara sumoinya, maklumlah dia karena diapun sudah mengenal watak sumoinya yang kadang-kadang ugal-ugalan dan bengal. Maka dengan suara mencela dia berkata,
“Sumoi, apa yang kau lakukan disini? Mengapa membikin ribut?”
Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata,
“Aihh, suheng, siapa yang tidak jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoimu mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar.”
Perwira itu maklum akan kecantikan sumoinya dan dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng, maka untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura dan berkata,
“Harap maafkan kesalah pahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri.”
Pengawal berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata,
“Sungguh hebat sekali kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan merasa kagum.”
Pertemuan itu ditutup dengan upacara penyambutan pasukan yang dipimpin perwira itu, kemudian rombongan utusan diiringkan memasuki halaman istana yang sudah berada dalam keadaan dan suasana pesta penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira yang menjadi suheng Ceng Ceng itu tentu saja memungkinkan gadis ini untuk diperkenankan ikut memasuki istana!
Tentu saja hati Ceng Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas boleh masuk ke dalam istana dan oleh mereka yang belum mengenalnya, dia tentu dianggap seorang diantara anggauta rombongan utusan sehingga siapapun yang bertemu dengan rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh hormat. Sementara itu hari telah menjadi siang.
Rombongan utusan kaisar itu disambut dengan upacara meriah oleh para pembesar istana dan penyambutan dikepalai oleh pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh karena pada hari itu, raja yang diharapkan sudah pulang dari berburu binatang pada hari kemarin, masih juga belum tiba! Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di dalam hati keluarga raja dan para pembesar, dan sejak kemarin telah dikirim utusan untuk menyusul ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan tetapi utusan itupun belum pulang sampai hari itu!
Karena kedatangan rombongan utusan kaisar itu adalah untuk memboyong puteri, berarti urusan perjodohan, maka tentu saja tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi ayah kandung sang puteri, penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu harus bertemu dan menghadap raja untuk menyampaikan segala pesan kaisar dan menghaturkan semua hadiah perjodohan.
Maka oleh pangeran tua, setelah diadakan penyambutan meriah dan dijamu dengan hidangan mewah, rombongan tamu agung ini dipersilahkan mengaso di dalam kamar-kamar istana yang sudah dipersiapkan untuk para tamu yang penting dan terhormat itu.
Dengan hati girang Ceng Ceng juga ikut makan minum di meja sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suhengnya. Sambil makan dia menyatakan kekagumannya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu.
Setelah rombongan tamu mengundurkan diri beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak suhengnya ke rumahnya yang terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan tetapi dara ini membantah ketika suhengnya menyuruh dia lekas pulang agar tidak mengkhawatirkan hati kakeknya.
“Aku ingin sekali menonton sampai sri baginda pulang, aku ingin melihat sang puteri diboyong!”
“Sumoi, engkau tadi mengatakan bahwa kau pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu akan membikin tidak senang hati suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati orang tua itu tidak gelisah.”
“Biarpun aku pergi tanpa setahu kong-kong, akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali menonton keramaian, maka dia tentu dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di kota raja bersama suheng. Hati orang tua itu tidak akan menjadi gelisah. Suheng, kalau suheng keberatan aku bermalam di rumah suheng ini, biarlah aku mencari tempat penginapan lain, di kuil atau dimana saja. Pendeknya, aku harus melihat sang puteri diboyong!”
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu benar akan watak sumoinya ini dan dalam keadaan sibuk dengan kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia tidak ingin ditambah dengan kesibukan mengurus sumoinya yang bengal ini. Maka dia hanya berkata,
“Sumoi, tentu saja engkau tahu aku tidak keberatan kau bermalam disini. Aku hanya ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri yang harus menanggung karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang.”
Ceng Ceng tersenyum manis dan memegang tangan suhengnya dengan sikap manja, kemanjaan seorang anak-anak kepada orang yang sepatutnya menjadi ayahnya.
“Suheng yang baik, seorang gagah harus berani mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, bukan?”
Mau atau tidak perwira itu tertawa. Dia sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu dia amat sayang kepada sumoinya ini yang dianggap seperti seorang anaknya sendiri. Isterinya juga amat suka kepada Ceng Ceng yang menyebut isteri suhengnya itu “so-so” (kakak ipar perempuan).
Perwira ini bernama Jayin dan di Kota Raja Bhutan namanya cukup terkenal karena dia merupakan tokoh kedua dalam deretan nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di lingkungan istana dan Kerajaan Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi yang mengepalai pasukan pengawal yang bertugas menjaga keselamatan di kota raja.
Tokoh pertama adalah panglima sendiri, yang selain merupakan panglima perang juga selalu mendampingi raja. Panglima itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama pasukan pengawal pilihan lain yang jumlahnya semua dua losin orang.
Perwira Jayin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi setelah ilmu silatnya ditambah dengan latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong kepadanya. Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu Kiong, karena kakek itu mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil, setelah kakek itu tertarik melihat watak gagah perkasa dari perwira tinggi itu.
Dapat dibayangkan betapa khawatir dan pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang bertanggung jawab penuh di kota raja di saat raja dan panglima tidak berada di istana, padahal hari itu terjadi peristiwa amat penting dengan kedatangan rombongan utusan kaisar.
Kesibukan dan kekhawatiran menghadapi urusan itu membuat dia tidak banyak cerewet lagi menghadapi sumoinya, maka setelah mengajak sumoinya ke rumah dan “menyerahkan” dara bengal itu kepada isterinya, perwira itu bergegas kembali ke istana untuk menanti kembalinya raja dan rombongannya yang pergi berburu semenjak tiga hari yang lalu.
Sore harinya dia pulang dengan wajah letih lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti pulangnya ternyata masih belum pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul ternyata juga belum kembali dan tidak ada kabar apa-apa dari rombongan raja yang memburu binatang di hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya sebelah barat.
Ceng Ceng tidur dan bermimpi tentang yang indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar, tentang istana yang megah dan mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya sendiri berpakaian seperti seorang puteri raja yang dijemput dan diboyong ke istana kaisar!
Akan tetapi tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan terbangun dari tidurnya oleh suara orang bercakap-cakap. Sebagai seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan seluruh urat syarat di tubuhnya berada dalam keadaan siap bergerak, begitu terbangun Ceng Ceng sudah meloncat turun dari pembaringan dan berindap-indap keluar dari kamarnya, mengintai suhengnya yang terdengar bercakap-cakap dengan seorang laki-laki lain.
Pada waktu itu telah lewat tengah malam, maka tentu saja Ceng Ceng menjadi curiga dan menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat penting maka pada saat selarut itu suhengnya masih menerima tamu.
Ketika Ceng Ceng mendengarkan percakapan mereka, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Kiranya terjadi hal yang demikian hebat, pikirnya! Pantas saja suhengnya kelihatan sibuk benar dan malam-malam begitu masih menerima tamu dari istana. Tamu itu adalah komandan bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi menyusul rombongan raja. Dan orang ini datang melapor kepada suhengnya bahwa rombongan raja yang dikawal oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu telah mengalami malapetaka!
Rombongan raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing yang hendak menawan raja. Terjadi perang kecil. Akan tetapi, biarpun raja dikawal oleh pasukan pengawal pilihan yang dipimpin panglima sendiri, jumlah musuh terlalu besar, sedikitnya ada seratus orang maka tentu saja pasukan pengawal raja menjadi kewalahan.
Pasukan pengawal tetap mempertahankan diri sementara raja yang dikawal oleh panglima melarikan diri. Akibatnya, raja berhasil lolos dari kepungan dengan pengawalan panglima yang lihai, sekarang entah bersembunyi dimana, sedangkan dua losin pengawal pilihan itu mempertahankan diri sampai tewas semua, terbasmi oleh fihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu.
“Sekarang juga ciangkun diminta datang ke istana oleh pangeran tua untuk merundingkan urusan ini.”
Demikian pembantunya mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar pelaporan itu dan dia cepat berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana bersama pembantunya.
Ceng Ceng tidak dapat tidur lagi. Menghadapi peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia bisa tidur? Terlalu hebat peristiwa ini. Betapa kong-kongnya dan para suhengnya akan melongo mendengarkan ceritanya kelak. Raja terancam bahaya! Raja hendak diculik, hendak dibunuh oleh pasukan asing ketika raja dan panglima sedang berburu. Padahal rombongan utusan kaisar sudah tiba!
Dan sekarang raja dan panglima tidak tahu berada dimana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus tahu lebih banyak, demikian pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan rambutnya, mencuci muka dan diam-diam dia meninggalkan rumah suhengnya melalui jendela dan berlari menuju ke istana.
Dia sudah mengambil keputusan untuk masuk ke istana, apapun juga yang akan terjadi, diperkenankan atau tidak! Dia harus mengikuti terus perkembangan keadaan, harus tahu apa yang selanjutnya terjadi agar kelak ceritanya kepada kong-kongnya dan kepada suhengnya dapat lengkap! Betapa senangnya nanti menceritakan itu semua, pikirnya.
Tentu saja para penjaga menghadangnya di pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan perintah yang dikeluarkan Perwira Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya tamu agung yang bermalam di istana dan dengan terjadinya hal-hal yang mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh komandan pasukan yang menyusul rombongan raja.
Dara ini tersenyum mengejek, menggeser tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya kelihatan sambil berkata,
“Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas hendak mencari ribut lagi dengan aku?”
Mendengar suara wanita dan melihat wajah cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja para penjaga mengenal Ceng Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira Jayin, yang siang tadi membikin ribut di pintu gerbang, merobohkan para penjaga dan dua perwira, bahkan yang berani menandingi pengawal kepala dari rombongan utusan kaisar!
“Eh.... kau lagi.... nona?” Komandan jaga yang mengenalinya berkata gugup.
“Ya, aku! Apakah kau hendak melanjutkan gerakan tombakmu itu?”
Komandan jaga itu cepat-cepat menurunkan tombaknya yang tadi menodong.
“Ahh, tidak....! Maafkan, nona, tetapi kami menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh masuk.”
“Tentu saja! Kalau kau membiarkan orang asing masuk, suhengku Perwira Jayin tentu tidak akan memberi ampun kepadamu! Akan tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku disuruh oleh so-so, isteri abangku, untuk menyusul suheng yang baru saja masuk ke istana.”
Komandan jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari Perwira Jayin dan memang benar baru saja perwira itu masuk ke istana!
“Ada urusan apakah, nona? Boleh kami yang menyampaikan....”
“Hushhh! Urusan keluarga, urusan isteri hendak kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah kalian? Akan kulaporkan kepada suheng....”
“Ah, maaf...., maaf.... harap nona tidak marah. Kami bukan berniat buruk....”
“Kalau tidak berniat buruk, mengapa melarang aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih ada lagi penjaga yang hendak kurang ajar kepadaku?”
Komandan jaga itu kewalahan. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua minggir, memberi jalan dan komandan itu berkata,
“Baiklah, nona masuk saja. Akan tetapi harap jangan bicara yang bukan-bukan kepada ciangkun.”
Ceng Ceng memasuki pintu gerbang itu, menoleh dan tersenyum.
“Aku akan melaporkan kepada suheng bahwa komandan jaga malam ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang amat baik hati dan ramah.”
Setelah dara itu pergi memasuki halaman istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya itu meraba-raba kumisnya, tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng itu sekaligus merobah keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan pelanggaran, kini dia merasa bangga karena telah melakukan jasa.
Niat hati hendak mencari suhengnya di dalam istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal akan keadaan di istana yang demikian besarnya, yang mempunyai banyak lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan hiasannya, membuat dia kesasar ke lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana besar itu.
Padahal suhengnya saat itu sedang sibuk terlibat dalam perundingan yang serius dengan Pangeran Tua dan para panglima lainnya yang berlangsung di sebelah kanan bangunan istana. Ceng Ceng tersesat jalan, memasuki daerah yang dihuni oleh para puteri dan semua anggauta wanita dari keluarga kerajaan.
Barulah dara ini sadar akan kesalahan jalan ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga wanita yang sudah bermunculan dari kanan kiri dan mengurungnya!
“Siapa kau?”
“Tangkap dia!”
“Dia tentu mata-mata musuh!”
Para penjaga wanita itu sudah berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng Ceng untuk membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya. Ceng Ceng menjadi marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit dan terpelanting roboh terkena dorongan tangan dan tendangan kakinya.
Ributlah keadaan disitu. Ceng Ceng marah karena para penjaga wanita itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan terus mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu beterbangan di sekelilingnya.
Betapapun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa dia berada di dalam istana, maka dia mengatur kaki tangannya agar jangan sampai melukai berat lawan, apalagi membunuh seorang diantara mereka. Namun, karena kaki dan tangan dara ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya mengalami bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar jeritan wanita-wanita yang terpelanting itu.
“Siapa berani main gila disini?”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng memandang dengan penuh kagum dan tercengang ketika dia melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita. Dara ini cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan jernih, terlindung bulu mata yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk berombak dan dibiarkan terurai di belakang punggungnya, diikat di dekat tengkuk dengan gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan rambut yang dihias dengan seekor burung Hong terbuat daripada emas dan permata.
Telinganya terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan tangannya. Pakaiannya juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang cantik jelita dan pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan.
Akan tetapi pada saat itu, dia bukan merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang sedang marah, yang tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula, pedang yang gagangnya terhias emas terukir halus.
Ceng Ceng sejenak memandang kagum dan terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu menghampirinya dan menampar dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras, Ceng Ceng sadar dan cepat dia menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak menangkis, akan tetapi mengingat betapa halus dan putih lengan dara itu, dia merasa tidak tega, maka dia lalu merobah tangkisannya menjadi tangkapan.
“Plakkk....!” lengan tangan kiri dara itu diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang di tangan kanan dara itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, “Harap tahan dulu dan jangan menyerang. Aku bukan orang jahat, aku mencari suhengku, Perwira Jayin!”
Mendengar ini, sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan tangan kanan yang memegang pedang menurun. Ceng Ceng sudah melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu melangkah mundur, berdiri tegak dan memandang dengan penuh kagum.
“Dia....?”
“Benar dia....!” Demikian terdengar beberapa orang penjaga wanita berkata.
Dara jelita berpakaian merah itu melangkah maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik, sinar matanya merayapi tubuh Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki, kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh wibawa,
“Apakah engkau sumoi dari Perwira Jayin yang siang tadi menimbulkan geger di pintu gerbang dan yang kabarnya telah berani pula melawan pengawal kaisar sendiri?”
Ceng Ceng tersenyum dan dia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya,
“Kalau boleh aku mengetahui, siapakah anda yang begini cantik jelita seperti dewi?”
Dara itu tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah silau oleh kecantikan yang makin menonjol itu. Betapa manis senyum itu, senyum wajar yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh wajah jelita itu, bahkan yang seolah-olah menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!
“Kabarnya engkau bernama Ceng Ceng dan engkau mengakibatkan geger karena ingin melihat puteri yang akan diboyong oleh rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?”
Ceng Ceng mengangguk.
“Nah, akulah puteri itu.”
Mata Ceng Ceng makin melebar dan bibirnya yang kecil mungil dan kemerahan itu terbuka. Sejenak dia tidak dapat berkata apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan diri berlutut.
“Ampunkan hamba.... ahhh, hamba tidak tahu....”
Puteri itu tertawa, melempar pedangnya yang disambut oleh seorang diantara para pengawal wanitanya. Kemudian puteri itu maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya berdiri. Mereka itu sebaya, dan perawakan merekapun tidak berselisih banyak. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang dan kemudian keduanya tersenyum dengan rasa suka timbul di hati masing-masing.
“Paduka.... paduka Puteri Syanti Dewi....?”
Puteri itu mengangguk, tersenyum dan memegang tangan Ceng Ceng, digandengnya dan ditariknya dara itu masuk ke dalam kamarnya yang besar dan indah. Puteri itu memberi isyarat kepada semua pelayan dan penjaganya agar tidak mengganggu mereka berdua, kemudian pintu kamarnya ditutupkan dari luar dan dia berkata sambil tersenyum lebar.
“Nah, duduklah dan anggap ini kanarmu sendiri, Ceng Ceng, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau tidak seperti orang Mancu.”
“Benar, hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi biasa disebut Ceng Ceng.”
“Ah, engkau puteri guru Perwira Jayin yang bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu?”
“Bukan anaknya, melainkan cucunya. Paduka amat baik terhadap hamba, padahal hamba telah mengagetkan paduka dan telah berani memasuki tempat ini....”
“Hushh, kalau kau tidak merobah sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku kepadamu, Ceng Ceng, tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap hari disembah-sembah orang, setiap hari mendengar sebutan paduka tuan puteri atau yang mulia dan lain-lain yang kosong dan palsu, mendengar orang merendahkan diri dan menyebut hamba yang rendah dan sebagainya. Betapa rinduku diperlakukan seperti manusia biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang siluman yang bukan manusia. Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang terbuka, menyebutku dengan kata kau atau anda saja. Akan tetapi begitu kau meniru sikap mereka yang merendahkan diri seperti orang menjilat, aku menjadi tidak senang.”
“Sumoi, apa yang kau lakukan disini? Mengapa membikin ribut?”
Ceng Ceng cepat memutar otaknya dan dengan cemberut, alisnya berkerut, sikap yang membuat wajahnya kekanak-kanakan akan tetapi bertambah manis, dia berkata,
“Aihh, suheng, siapa yang tidak jengkel? Aku ingin bertemu dengan suheng untuk melihat dan mengagumi rombongan utusan kaisar, siapa tahu di tempat ini sumoimu mendapatkan perlakuan yang kasar dan kurang ajar.”
Perwira itu maklum akan kecantikan sumoinya dan dia bukan tidak percaya bahwa ada penjaga yang bersikap kurang ajar, maklumlah pria-pria kasar menghadapi seorang dara jelita selincah Ceng Ceng, maka untuk cepat meredakan suasana, dia lalu menghadapi pengawal kaisar berjenggot panjang itu, menjura dan berkata,
“Harap maafkan kesalah pahaman ini. Dia ini adalah adik seperguruan saya sendiri.”
Pengawal berjenggot panjang itu tertawa, membalas penghormatan itu dan berkata,
“Sungguh hebat sekali kepandaian sumoi dari ciangkun (perwira) yang masih begini muda. Saya mengucapkan selamat dan merasa kagum.”
Pertemuan itu ditutup dengan upacara penyambutan pasukan yang dipimpin perwira itu, kemudian rombongan utusan diiringkan memasuki halaman istana yang sudah berada dalam keadaan dan suasana pesta penyambutan yang meriah. Dan munculnya perwira yang menjadi suheng Ceng Ceng itu tentu saja memungkinkan gadis ini untuk diperkenankan ikut memasuki istana!
Tentu saja hati Ceng Ceng girang bukan main ketika dia dengan bebas boleh masuk ke dalam istana dan oleh mereka yang belum mengenalnya, dia tentu dianggap seorang diantara anggauta rombongan utusan sehingga siapapun yang bertemu dengan rombongan itu memandangnya penuh kagum dan penuh hormat. Sementara itu hari telah menjadi siang.
Rombongan utusan kaisar itu disambut dengan upacara meriah oleh para pembesar istana dan penyambutan dikepalai oleh pangeran tua, yaitu adik raja sendiri oleh karena pada hari itu, raja yang diharapkan sudah pulang dari berburu binatang pada hari kemarin, masih juga belum tiba! Hal ini tentu saja menimbulkan kebingungan di dalam hati keluarga raja dan para pembesar, dan sejak kemarin telah dikirim utusan untuk menyusul ke hutan di pegunungan sebelah barat. Akan tetapi utusan itupun belum pulang sampai hari itu!
Karena kedatangan rombongan utusan kaisar itu adalah untuk memboyong puteri, berarti urusan perjodohan, maka tentu saja tanpa hadirnya kaisar sendiri yang menjadi ayah kandung sang puteri, penyambutan resmi belum dapat diadakan. Rombongan itu harus bertemu dan menghadap raja untuk menyampaikan segala pesan kaisar dan menghaturkan semua hadiah perjodohan.
Maka oleh pangeran tua, setelah diadakan penyambutan meriah dan dijamu dengan hidangan mewah, rombongan tamu agung ini dipersilahkan mengaso di dalam kamar-kamar istana yang sudah dipersiapkan untuk para tamu yang penting dan terhormat itu.
Dengan hati girang Ceng Ceng juga ikut makan minum di meja sudut ruangan penyambutan, ditemani oleh suhengnya. Sambil makan dia menyatakan kekagumannya kepada sang suheng akan kelihaian pengawal kaisar yang berjenggot panjang itu.
Setelah rombongan tamu mengundurkan diri beristirahat di kamar mereka, Ceng Ceng diajak suhengnya ke rumahnya yang terletak di sebelah kiri dari istana raja. Akan tetapi dara ini membantah ketika suhengnya menyuruh dia lekas pulang agar tidak mengkhawatirkan hati kakeknya.
“Aku ingin sekali menonton sampai sri baginda pulang, aku ingin melihat sang puteri diboyong!”
“Sumoi, engkau tadi mengatakan bahwa kau pergi tanpa seijin suhu. Kepergianmu ini tentu akan membikin tidak senang hati suhu. Sebaiknya engkau pulang sekarang agar hati orang tua itu tidak gelisah.”
“Biarpun aku pergi tanpa setahu kong-kong, akan tetapi dia tahu bahwa aku ingin sekali menonton keramaian, maka dia tentu dapat menduga pula bahwa aku tentu berada di kota raja bersama suheng. Hati orang tua itu tidak akan menjadi gelisah. Suheng, kalau suheng keberatan aku bermalam di rumah suheng ini, biarlah aku mencari tempat penginapan lain, di kuil atau dimana saja. Pendeknya, aku harus melihat sang puteri diboyong!”
Perwira itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia tahu benar akan watak sumoinya ini dan dalam keadaan sibuk dengan kedatangan rombongan utusan itu, tentu saja dia tidak ingin ditambah dengan kesibukan mengurus sumoinya yang bengal ini. Maka dia hanya berkata,
“Sumoi, tentu saja engkau tahu aku tidak keberatan kau bermalam disini. Aku hanya ingin bilang bahwa kalau suhu marah, engkau sendiri yang harus menanggung karena aku sudah berusaha membujukmu untuk pulang.”
Ceng Ceng tersenyum manis dan memegang tangan suhengnya dengan sikap manja, kemanjaan seorang anak-anak kepada orang yang sepatutnya menjadi ayahnya.
“Suheng yang baik, seorang gagah harus berani mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, bukan?”
Mau atau tidak perwira itu tertawa. Dia sendiri tidak mempunyai anak, dan sejak dahulu dia amat sayang kepada sumoinya ini yang dianggap seperti seorang anaknya sendiri. Isterinya juga amat suka kepada Ceng Ceng yang menyebut isteri suhengnya itu “so-so” (kakak ipar perempuan).
Perwira ini bernama Jayin dan di Kota Raja Bhutan namanya cukup terkenal karena dia merupakan tokoh kedua dalam deretan nama-nama tokoh besar yang berpengaruh di lingkungan istana dan Kerajaan Bhutan. Dia merupakan seorang perwira tinggi yang mengepalai pasukan pengawal yang bertugas menjaga keselamatan di kota raja.
Tokoh pertama adalah panglima sendiri, yang selain merupakan panglima perang juga selalu mendampingi raja. Panglima itulah yang kini mengawal raja dalam berburu binatang, bersama pasukan pengawal pilihan lain yang jumlahnya semua dua losin orang.
Perwira Jayin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi setelah ilmu silatnya ditambah dengan latihan-latihan ilmu silat tinggi yang diberikan oleh kakek Lu Kiong kepadanya. Dan sesungguhnya dialah yang menjadi murid pertama dari kakek Lu Kiong, karena kakek itu mengajar silat kepadanya ketika Ceng Ceng masih kecil, setelah kakek itu tertarik melihat watak gagah perkasa dari perwira tinggi itu.
Dapat dibayangkan betapa khawatir dan pusingnya hati perwira ini sebagai orang yang bertanggung jawab penuh di kota raja di saat raja dan panglima tidak berada di istana, padahal hari itu terjadi peristiwa amat penting dengan kedatangan rombongan utusan kaisar.
Kesibukan dan kekhawatiran menghadapi urusan itu membuat dia tidak banyak cerewet lagi menghadapi sumoinya, maka setelah mengajak sumoinya ke rumah dan “menyerahkan” dara bengal itu kepada isterinya, perwira itu bergegas kembali ke istana untuk menanti kembalinya raja dan rombongannya yang pergi berburu semenjak tiga hari yang lalu.
Sore harinya dia pulang dengan wajah letih lesu dan lagi karena raja yang dinanti-nanti pulangnya ternyata masih belum pulang, dan pasukan kecil yang disuruh menyusul ternyata juga belum kembali dan tidak ada kabar apa-apa dari rombongan raja yang memburu binatang di hutan-hutan lebat Pegunungan Himalaya sebelah barat.
Ceng Ceng tidur dan bermimpi tentang yang indah-indah. Tentang rombongan utusan kaisar, tentang istana yang megah dan mewah dan dalam mimpi itu dia melihat dirinya sendiri berpakaian seperti seorang puteri raja yang dijemput dan diboyong ke istana kaisar!
Akan tetapi tiba-tiba dia sadar dari mimpi dan terbangun dari tidurnya oleh suara orang bercakap-cakap. Sebagai seorang ahli ilmu silat yang setiap saat waspada dan seluruh urat syarat di tubuhnya berada dalam keadaan siap bergerak, begitu terbangun Ceng Ceng sudah meloncat turun dari pembaringan dan berindap-indap keluar dari kamarnya, mengintai suhengnya yang terdengar bercakap-cakap dengan seorang laki-laki lain.
Pada waktu itu telah lewat tengah malam, maka tentu saja Ceng Ceng menjadi curiga dan menduga bahwa tentu ada peristiwa yang amat penting maka pada saat selarut itu suhengnya masih menerima tamu.
Ketika Ceng Ceng mendengarkan percakapan mereka, jantungnya berdebar keras penuh ketegangan. Kiranya terjadi hal yang demikian hebat, pikirnya! Pantas saja suhengnya kelihatan sibuk benar dan malam-malam begitu masih menerima tamu dari istana. Tamu itu adalah komandan bawahannya yang memimpin pasukan kecil yang kemarin pagi menyusul rombongan raja. Dan orang ini datang melapor kepada suhengnya bahwa rombongan raja yang dikawal oleh panglima dan dua losin pasukan pilihan itu telah mengalami malapetaka!
Rombongan raja telah dihadang oleh pasukan besar orang-orang asing yang hendak menawan raja. Terjadi perang kecil. Akan tetapi, biarpun raja dikawal oleh pasukan pengawal pilihan yang dipimpin panglima sendiri, jumlah musuh terlalu besar, sedikitnya ada seratus orang maka tentu saja pasukan pengawal raja menjadi kewalahan.
Pasukan pengawal tetap mempertahankan diri sementara raja yang dikawal oleh panglima melarikan diri. Akibatnya, raja berhasil lolos dari kepungan dengan pengawalan panglima yang lihai, sekarang entah bersembunyi dimana, sedangkan dua losin pengawal pilihan itu mempertahankan diri sampai tewas semua, terbasmi oleh fihak musuh yang jauh lebih besar jumlahnya itu.
“Sekarang juga ciangkun diminta datang ke istana oleh pangeran tua untuk merundingkan urusan ini.”
Demikian pembantunya mengakhiri pelaporan. Perwira Jayin mendengar pelaporan itu dan dia cepat berpakaian, kemudian bergegas pergi ke istana bersama pembantunya.
Ceng Ceng tidak dapat tidur lagi. Menghadapi peristiwa yang demikian hebatnya, mana dia bisa tidur? Terlalu hebat peristiwa ini. Betapa kong-kongnya dan para suhengnya akan melongo mendengarkan ceritanya kelak. Raja terancam bahaya! Raja hendak diculik, hendak dibunuh oleh pasukan asing ketika raja dan panglima sedang berburu. Padahal rombongan utusan kaisar sudah tiba!
Dan sekarang raja dan panglima tidak tahu berada dimana. Betapa hebatnya cerita ini. Dia harus tahu lebih banyak, demikian pikirnya sambil mengenakan pakaian, membereskan rambutnya, mencuci muka dan diam-diam dia meninggalkan rumah suhengnya melalui jendela dan berlari menuju ke istana.
Dia sudah mengambil keputusan untuk masuk ke istana, apapun juga yang akan terjadi, diperkenankan atau tidak! Dia harus mengikuti terus perkembangan keadaan, harus tahu apa yang selanjutnya terjadi agar kelak ceritanya kepada kong-kongnya dan kepada suhengnya dapat lengkap! Betapa senangnya nanti menceritakan itu semua, pikirnya.
Tentu saja para penjaga menghadangnya di pintu gerbang karena malam itu, sesuai dengan perintah yang dikeluarkan Perwira Jayin, penjagaan diperketat dengan adanya tamu agung yang bermalam di istana dan dengan terjadinya hal-hal yang mengejutkan seperti yang dilaporkan oleh komandan pasukan yang menyusul rombongan raja.
Dara ini tersenyum mengejek, menggeser tubuhnya ke bawah penerangan lampu agar mukanya kelihatan sambil berkata,
“Hemmm, apakah kalian ini penjaga-penjaga malas hendak mencari ribut lagi dengan aku?”
Mendengar suara wanita dan melihat wajah cantik di bawah sinar penerangan itu, tentu saja para penjaga mengenal Ceng Ceng. Dara yang masih adik seperguruan Perwira Jayin, yang siang tadi membikin ribut di pintu gerbang, merobohkan para penjaga dan dua perwira, bahkan yang berani menandingi pengawal kepala dari rombongan utusan kaisar!
“Eh.... kau lagi.... nona?” Komandan jaga yang mengenalinya berkata gugup.
“Ya, aku! Apakah kau hendak melanjutkan gerakan tombakmu itu?”
Komandan jaga itu cepat-cepat menurunkan tombaknya yang tadi menodong.
“Ahh, tidak....! Maafkan, nona, tetapi kami menjaga dan tidak ada orang asing yang boleh masuk.”
“Tentu saja! Kalau kau membiarkan orang asing masuk, suhengku Perwira Jayin tentu tidak akan memberi ampun kepadamu! Akan tetapi aku bukannya seorang asing, dan aku disuruh oleh so-so, isteri abangku, untuk menyusul suheng yang baru saja masuk ke istana.”
Komandan jaga itu bingung dan ragu-ragu. Dia sudah tahu bahwa dara ini adalah sumoi dari Perwira Jayin dan memang benar baru saja perwira itu masuk ke istana!
“Ada urusan apakah, nona? Boleh kami yang menyampaikan....”
“Hushhh! Urusan keluarga, urusan isteri hendak kamu campuri, ya? Begitu kurang ajarkah kalian? Akan kulaporkan kepada suheng....”
“Ah, maaf...., maaf.... harap nona tidak marah. Kami bukan berniat buruk....”
“Kalau tidak berniat buruk, mengapa melarang aku menyusul abang? Hayo katakan, apakah masih ada lagi penjaga yang hendak kurang ajar kepadaku?”
Komandan jaga itu kewalahan. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka semua minggir, memberi jalan dan komandan itu berkata,
“Baiklah, nona masuk saja. Akan tetapi harap jangan bicara yang bukan-bukan kepada ciangkun.”
Ceng Ceng memasuki pintu gerbang itu, menoleh dan tersenyum.
“Aku akan melaporkan kepada suheng bahwa komandan jaga malam ini, yang berkumis tipis, adalah seorang yang amat baik hati dan ramah.”
Setelah dara itu pergi memasuki halaman istana, komandan jaga yang menjadi berseri wajahnya itu meraba-raba kumisnya, tersenyum-senyum bangga! Sikap dan ucapan Ceng Ceng itu sekaligus merobah keadaan hatinya, kalau tadi dia merasa khawatir melakukan pelanggaran, kini dia merasa bangga karena telah melakukan jasa.
Niat hati hendak mencari suhengnya di dalam istana. Akan tetapi karena dia tidak hafal akan keadaan di istana yang demikian besarnya, yang mempunyai banyak lorong-lorong yang hampir sama bentuk dan hiasannya, membuat dia kesasar ke lain tempat, ke sebelah kiri bangunan istana besar itu.
Padahal suhengnya saat itu sedang sibuk terlibat dalam perundingan yang serius dengan Pangeran Tua dan para panglima lainnya yang berlangsung di sebelah kanan bangunan istana. Ceng Ceng tersesat jalan, memasuki daerah yang dihuni oleh para puteri dan semua anggauta wanita dari keluarga kerajaan.
Barulah dara ini sadar akan kesalahan jalan ini setelah dia melihat beberapa orang penjaga wanita yang sudah bermunculan dari kanan kiri dan mengurungnya!
“Siapa kau?”
“Tangkap dia!”
“Dia tentu mata-mata musuh!”
Para penjaga wanita itu sudah berteriak-teriak dengan kacau sehingga percuma saja bagi Ceng Ceng untuk membela diri. Bahkan mereka sudah serentak maju hendak menangkapnya. Ceng Ceng menjadi marah, kaki tangannya bergerak dan dua orang penjaga menjerit dan terpelanting roboh terkena dorongan tangan dan tendangan kakinya.
Ributlah keadaan disitu. Ceng Ceng marah karena para penjaga wanita itu tidak mau mendengarkan kata-katanya dan terus mengeroyoknya seperti sekelompok kupu-kupu beterbangan di sekelilingnya.
Betapapun marahnya, Ceng Ceng masih ingat bahwa dia berada di dalam istana, maka dia mengatur kaki tangannya agar jangan sampai melukai berat lawan, apalagi membunuh seorang diantara mereka. Namun, karena kaki dan tangan dara ini sudah terlatih, tetap saja penjaga yang dirobohkannya mengalami bengkak-bengkak dan lecet-lecet sehingga makin ributlah terdengar jeritan wanita-wanita yang terpelanting itu.
“Siapa berani main gila disini?”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ceng Ceng memandang dengan penuh kagum dan tercengang ketika dia melihat munculnya seorang dara yang amat cantik jelita. Dara ini cantik sekali, kulit mukanya halus putih kemerahan, matanya lebar dan jernih, terlindung bulu mata yang panjang dan melengkung, rambutnya gemuk berombak dan dibiarkan terurai di belakang punggungnya, diikat di dekat tengkuk dengan gelang mutiara, sedangkan di atas kepala tampak ikatan rambut yang dihias dengan seekor burung Hong terbuat daripada emas dan permata.
Telinganya terhias anting-anting yang besar dari emas pula, demikian pergelangan tangannya. Pakaiannya juga amat aneh dan serba indah, terbuat dari sutera-sutera halus beraneka warna. Seorang dara yang cantik jelita dan pantasnya dia seorang dewi dari kahyangan.
Akan tetapi pada saat itu, dia bukan merupakan seorang dewi yang penuh welas asih, melainkan seorang dewi yang sedang marah, yang tangan kanannya memegang sebatang pedang yang indah pula, pedang yang gagangnya terhias emas terukir halus.
Ceng Ceng sejenak memandang kagum dan terpesona, akan tetapi ketika dara jelita itu menghampirinya dan menampar dengan tangan kirinya, tamparan yang cukup keras, Ceng Ceng sadar dan cepat dia menggerakkan tangan kanannya. Tadinya dia hendak menangkis, akan tetapi mengingat betapa halus dan putih lengan dara itu, dia merasa tidak tega, maka dia lalu merobah tangkisannya menjadi tangkapan.
“Plakkk....!” lengan tangan kiri dara itu diterima oleh telapak tangan Ceng Ceng, dan sebelum pedang di tangan kanan dara itu digerakkan, Ceng Ceng telah berkata halus, “Harap tahan dulu dan jangan menyerang. Aku bukan orang jahat, aku mencari suhengku, Perwira Jayin!”
Mendengar ini, sepasang mata yang lebar itu terbelalak dan tangan kanan yang memegang pedang menurun. Ceng Ceng sudah melepaskan lengan yang berkulit halus itu, lalu melangkah mundur, berdiri tegak dan memandang dengan penuh kagum.
“Dia....?”
“Benar dia....!” Demikian terdengar beberapa orang penjaga wanita berkata.
Dara jelita berpakaian merah itu melangkah maju, memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik, sinar matanya merayapi tubuh Ceng Ceng dari atas kepala sampai ke ujung kaki, kemudian terdengar suaranya, halus namun penuh wibawa,
“Apakah engkau sumoi dari Perwira Jayin yang siang tadi menimbulkan geger di pintu gerbang dan yang kabarnya telah berani pula melawan pengawal kaisar sendiri?”
Ceng Ceng tersenyum dan dia tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dia malah bertanya,
“Kalau boleh aku mengetahui, siapakah anda yang begini cantik jelita seperti dewi?”
Dara itu tersenyum dan Ceng Ceng seolah-olah silau oleh kecantikan yang makin menonjol itu. Betapa manis senyum itu, senyum wajar yang menggerakkan dan menghidupkan seluruh wajah jelita itu, bahkan yang seolah-olah menyinarkan kehangatan kepada seluruh keadaan di sekitarnya!
“Kabarnya engkau bernama Ceng Ceng dan engkau mengakibatkan geger karena ingin melihat puteri yang akan diboyong oleh rombongan utusan kaisar. Benarkah itu?”
Ceng Ceng mengangguk.
“Nah, akulah puteri itu.”
Mata Ceng Ceng makin melebar dan bibirnya yang kecil mungil dan kemerahan itu terbuka. Sejenak dia tidak dapat berkata apa-apa, akan tetapi kemudian dia menjatuhkan diri berlutut.
“Ampunkan hamba.... ahhh, hamba tidak tahu....”
Puteri itu tertawa, melempar pedangnya yang disambut oleh seorang diantara para pengawal wanitanya. Kemudian puteri itu maju, memegang pundak Ceng Ceng dan menariknya berdiri. Mereka itu sebaya, dan perawakan merekapun tidak berselisih banyak. Mereka berdiri berhadapan, saling memandang dan kemudian keduanya tersenyum dengan rasa suka timbul di hati masing-masing.
“Paduka.... paduka Puteri Syanti Dewi....?”
Puteri itu mengangguk, tersenyum dan memegang tangan Ceng Ceng, digandengnya dan ditariknya dara itu masuk ke dalam kamarnya yang besar dan indah. Puteri itu memberi isyarat kepada semua pelayan dan penjaganya agar tidak mengganggu mereka berdua, kemudian pintu kamarnya ditutupkan dari luar dan dia berkata sambil tersenyum lebar.
“Nah, duduklah dan anggap ini kanarmu sendiri, Ceng Ceng, siapakah nama lengkapmu? Kau tentu seorang Han dari Tiongkok, bukan? Kau tidak seperti orang Mancu.”
“Benar, hamba she Lu bernama Ceng akan tetapi biasa disebut Ceng Ceng.”
“Ah, engkau puteri guru Perwira Jayin yang bernama Lu Kiong, kakek yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi itu?”
“Bukan anaknya, melainkan cucunya. Paduka amat baik terhadap hamba, padahal hamba telah mengagetkan paduka dan telah berani memasuki tempat ini....”
“Hushh, kalau kau tidak merobah sebutan-sebutan itu, aku akan kehilangan rasa sukaku kepadamu, Ceng Ceng, tahukah kau betapa muak hatiku dengan semua ini? Setiap hari disembah-sembah orang, setiap hari mendengar sebutan paduka tuan puteri atau yang mulia dan lain-lain yang kosong dan palsu, mendengar orang merendahkan diri dan menyebut hamba yang rendah dan sebagainya. Betapa rinduku diperlakukan seperti manusia biasa, bukan seperti seorang dewi atau seorang siluman yang bukan manusia. Tadi hatiku girang sekali menyaksikan sikapmu yang terbuka, menyebutku dengan kata kau atau anda saja. Akan tetapi begitu kau meniru sikap mereka yang merendahkan diri seperti orang menjilat, aku menjadi tidak senang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar