FB

FB


Ads

Selasa, 20 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 069

Memang tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat orang-orang yang menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu yang baru saja padam. Seperti halnya perang di bagian manapun di permukaan bumi ini, semenjak jaman sebelum sejarah sampai sekarang, perang mendatangkan malapetaka yang amat mengenaskan hati.

Setelah perang selesai, setelah hati tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata kita akan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendirikan bulu roma bagi orang yang masih memiliki sedikit saja cinta kasih dan perikemanusiaan.

Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar, kuburan-kuburan penuh makam baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderita-penderita cacad yang buntung lengannya, buntung kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga, kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian, dan dari kaum gelandangan ini timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri, atau ada yang menggabungkan diri dengan perampok-perampok.

Malapetaka ini yang tampak oleh mata, masih banyak malapetaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang berupa dendam sakit hati dan iri yang menjadi bahan penciptaan perang baru!

Tidak ada untungnya, lahir maupun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak hanyalah keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti kengerian akibat perang.

Pemerintah Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka mendatangkan kemakmuran bagi rakyat dan telah berhasil menumbangkan kekuasaan pemerintah lama yang penuh kelaliman.

Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tidak mungkin MENCIPTAKAN PERDAMAIAN DENGAN PEPERANGAN! Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas kelaliman para pemimpin dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat.

Akan tetapi, setelah perang berakhir, yang berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman tetap ada, kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang diulur-ulur panjang belaka.

Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang terjadi di dalam diri manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak, segala gerak, segala usaha merupakan akibat langsung dari akal pikir yang paling suka memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku, bangsaku, negaraku, agamaku, dan selanjutnya.

Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka sudah dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan demi kepentingan Sang AKU. Betapapun banyak selimut yang dipergunakan untuk menyembunyikan dasar "demi aku" ini, yang disebut dengan banyak kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah Sang Aku yang sebenarnya menjadi pendorong dari semua gerak hidup.

Dan selama AKU bercokol menjadi dasar yang mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan persoalan yang mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak, suka duka, iri dengki, dendam dan sebagainya.

Setiap tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam agar diri sendiri tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar, melainkan berada di dalam diri manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa mengingat untuk menujukan ke dalam biar semenit pun!

Bahagialah dia yang menujukan pandang mata ke dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam isinya, mengenal pikiran sendiri yang membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak terkendalikan!

Suma Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja. Pemerintah Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di sepanjang jalan di kota raja sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali, melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini? Demikianlah kalau ditonton begitu saja, ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru yang besar dan indah.

Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya, bukan dari keadaan manusianya? Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu, maka akan ditemuilah jawaban dari segala sebab timbulnya perang yang semenjak jaman dahulu selalu timbul.

Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa yang menang perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan kepada mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini diharapkan ucapan mereka "kita telah mengalami kemajuan-kemajuan!"

Biarpun banyak terdapat orang berkaki buntung sungguhpun tidak pernah ada yang mengurai rambut seperti Suma Han, apalagi kalau rambutnya yang panjang itu sudah putih semua, dan banyak terdapat gadis-gadis muda yang biasa merantau sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan Milana menarik perhatian orang.

Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua benar, namun rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar matanya membuat orang-orang yang bertemu pandang, menundukkan muka atau mengalihkan pandang mata dengan tengkuk dingin mengkirik. Adapun dara remaja yang berjalan di samping laki-laki berkaki buntung ini, dengan wajah berseri tersenyam-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa!

Suma Han melihat betapa banyak orang memandang ke arah mereka penuh perhatian, maka dia lalu mengajak dara itu untuk memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu tidak memandang kepada Suma Han yang tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada Milana yang benar-benar merupakan pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!

"Beri kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han.

Pelayan itu terkejut karena tadinya dia merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia menoleh dan bertemu pandang dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air dingin dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk memilih dua buah kamar yang berdampingan.

Setelah menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya dari pelayan dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana duduk di dalam kamar Suma Han, bercakap-cakap.

"Kapankah Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"

"Aku harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku itu adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dan tentu berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah mungkin, bahkan di malam haripun amat berbahaya karena biarpun pasukan yang baru tidak mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu bertemu denganku. Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam nanti aku harus menyelidiki ke lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."






"Kalau bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" Tiba-tiba Milana bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Aku.... aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami tidak pernah menentang pemerintah, mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu, karena Maharya dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak minta kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas."

Suma Han tidak mau menceritakan niatnya yang lain, yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang disangkanya tentu kembali ke kota raja!

"Paman, diantara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"

"Hemm, hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang diantara mereka yang pernah bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya, dan mungkin beberapa orang panglima yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi, kurasa dia tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan lawan yang tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang kuat."

"Akan tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!"

Kata Milana dengan suara tegas dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini, Suma Han merasa jantungnya berdebar!

"Aku dapat menandingi mereka satu lawan satu, akan tetapi kalau mereka mengeroyok, apalagi dibantu pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi, kedatanganku bukan untuk menantang mereka bertanding, hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan pertanggungan jawab mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."

"Mereka tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"

"Hemm, kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."

Hati Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan tetapi dia tahu bahwa tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak orang sakti maju mengeroyok ditambah pasukan-pasukan pengawal kerajaan, mana mungkin ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan? Baru menyelidiki ke sana saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia! Ibunya adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan kini Koksu sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan kini Thian-liong-pang bekerja sama dengan Koksu, membantu pemerintah menentang dan membasmi mereka yang hendak memberontak!

Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta kebijaksanaan Koksu itu untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta kepada Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu harapannya lebih besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah tahu bahwa dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu mereka!

"Alan, malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku disini saja dan jangan kau pergi kemana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, disini banyak terdapat orang pandai."

"Apakah Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"

"Ah, aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak, kau tunggu saja disini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."

Milana menunduk.
"Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi berjalan-jalan melihat pemandangan kota."

"Sesukamulah, akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan banyak menghadapi godaan."

"Aku dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku.... cantik?" tanyanya dengan hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan senang?

"Engkau adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."

"Terima kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman nanti berhati-hati kalau pergi menyelidiki."

Suma Han mengangguk.
"Biarpun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak sembarang orang akan dapat mengganggumu, akan tetapi harap engkau suka bersabar dan jangan menimbulkan keributan, juga jangan terlalu malam kembali kesini."

Milana mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti kepada anaknya sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah seorang tawanan bahkan puteri musuhnya! Dengan hati senang bercampur haru, Milana pergi meninggalkan rumah penginapan.

Tentu saja dia bukan berniat untuk berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia ketahui pula dimana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian orang luar, dia pergi berjalan-jalan lebih dahulu dan setelah malam tiba, keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu yang megah.

Sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang tentu saja Milana merasa rendah kalau harus datang menghadap Koksu seperti orang biasa. Apalagi kalau ia datang menghadap seperti itu, tentu dia akan berhadapan dengan para penjaga dan diperlakukan seperti orang biasa. Tidak! Dia adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai.

Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas genteng, melalui pagar tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga dan peronda, kemudian dengan hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari dimana adanya Koksu pada saat itu.

Masih untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua sedang berkumpul di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang berunding, duduk mengelilingi sebuah meja besar di ruangan itu menghadapi koksu. Andaikata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya, para panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing, juga koksu sendiri, maka besar sekali kemungkinan kedatangan Milana akan mereka ketahui semenjak tadi!

Milana berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam orang panglima yang berpakaian gagah. Dia merasa heran tidak melihat kehadiran Thai Li Lama dan Tansiucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua orang lihai ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng ketika mereka dahulu bersembunyi dan mengintai pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.

Selagi Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia mendengar suara Koksu menyebut-yebut nama ibunya! Tentu saja dia cepat menahan diri bahkan menahan napas agar dapat mendengarkan lebih jelas percakapan antara mereka.

"Puteri Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi para pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah puterinya! Hanya menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar membikin ruwet rencana kita, agaknya dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi, dia harus disingkirkan, harus dibunuh!"

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya berdebar keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya akan terdengar oleh mereka yang sedang mengadakan perundingan di sebelah dalam, maka dia menekan dada dengan tangan dan menekan perasaannya, memasang perhatian untuk mendengar terus.

"Akan tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.

"Kalau dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang yang kita buatkan bukti-bukti memberontak, andaikata kemudian Kaisar sendiri mendengar bahwa dia puterinya, kiranya Kaisar tidak akan menyalahkan kita. Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin tersiar di luaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!" kata Koksu lagi.

"Memang tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar suara Maharya yang kaku. "Kalau Thian-liong-pang tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk menghancurkannya, jalan satu-satunya adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi menurut penglihatanku, aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu oleh Thian Tok Lama, aku yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat dari kita, kalau sampai terhalang oleh urusan Thian-liong-pang, tentu akan tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan mundur."

"Pihak Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.

"Nah, kalau begitu, kita harus...."

Tiba-tiba Koksu menghentikan kata-katanya karena melihat tubuh Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu tombak yang matanya melengkung seperti bulan sabit.

"Braaakkk!" jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.

"Trang-trang-trang....!"

Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang Pek-kong-kiam di tangan Milana.

"Eh, engkau.... Nona....?"

Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang yang diserangnya adalah puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu, Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada di dalam ruangan telah meloncat keluar semua.

Keringat dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar biasa. Selain pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga begitu meloncat dan menerjang keluar, senjata di tangan pendeta itu telah menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat mengelak dan menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata tombak bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi.

Kalau saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar menghadapi mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya. Akan tetapi sekarang, dia memandang mereka sebagai musuh-musuh yang hendak membunuh ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan yang disertai kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan sedang terancam hebat itu.

"Ah, kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah Nona datang berkunjung ke rumahku?"

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya memandang tajam untuk menyelidiki apakah nona ini tadi mendengar percakapan mereka atau tidak.

Milana bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di guha singa yang amat berbahaya. Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia harus bertanding melawan mereka, tentu dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah senyum manis sambil berkata,

"Koksu, aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."

"Ahhh, maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang datang. Mari, silakan masuk."

Pintu ruangan itu dibuka lebar dan mereka semua memasuki ruangan. Milana dipersilahkan duduk oleh Koksu yang masih ramah sikapnya.

"Silakan duduk, Nona Milana dan terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak."

"Terima kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan lama di sini," jawab Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua orang sudah duduk.

"Apakah Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?"

Koksu bertanya, diam-diam mengerling ke arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama ibunya yang luar biasa lihainya itu.

"Aku datang sendiri untuk.... untuk...."

Milana menjadi bingung sekali. Setelah mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah musuh-musuh yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali keinginannya untuk membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada Pendekar Super Sakti dan agar tidak menentang ayahnya itu.

Mana mungkin mereka mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa mereka ini bukanlah sahabat melainkan musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan isi hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup.

Tiba-tiba terdengar Maharya membentak.
"Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan? Mengakulah dengan jujur!"

Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara yang disertai sin-kang kuat sekali dan membawa pengaruh sihir yang seolah-olah mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana, membuat dara itu tidak berdaya dan diluar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.

"Memang aku sudah semenjak tadi datang." Milana terkejut sekali mendengar pengakuannya sendiri yang keluar dari hati yang jujur.

"Dan engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!" Kembali Maharya menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa.

Milana kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh kekuasaan sihir kakek itu, namun betapapun dia mengerahkan sin-kang melawan, tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya yang menjawab,

"Benar, aku sudah mendengarkan percakapan kalian."

Koksu mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya,
"Apakah engkau tahu apa yang kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"

Milana kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sin-kangnya sudah kuat sehingga dia mampu melawan pengaruh mujijat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar mata tajam dari ayahnya sehingga pada dasarnya dia memiliki sinar mata yang amat kuat.

Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari cengkeraman kekuasaan sihir Maharya, maka biarpun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir dapat menguasai diri dan melawan tenaga mujijat yang mendorongnya untuk mengaku, masih saja terdengar pengakuannya.

"Aku.... aku tahu.... kalian.... hendak membunuh Ibuku.... aihhhh!"

Kini Milana sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa tentu mereka itu tidak akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya. Benar dugaannya, karena Koksu sudah berseru,

"Dia harus kita tangkap!"

Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali, tahu-tahu Milana telah terkurung dan berada di tengah-tengah. Maharya berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan kirinya, sedangkan enam orang panglima berada di belakangnya! Milana berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat keatas kepala, siap untuk menghadapi serangan mereka.

Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan menggetar, matanya melirik ke depan, kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri dengan tumit diangkat sedikit karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia membutuhkan kecepatan gerak dan gin-kangnya. Sampai agak lama, mereka semua diam tak bergerak seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.

Tiba-tiba Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah seorang peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi karena sejak kecil dia tinggal di Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya bicara bahasa Nepal kepada murid keponakan itu,

"Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh sekarang, lebih cepat lebih baik!"

Akan tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain kecuali Thian Tok Lama, Koksu berkata,

"Jangan dibunuh, dia harus ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya menakluk!"

Menggunakan kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan dalam bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari serangan di bawah kaki sedangkan tubuhnya melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.

"Tranggg....!"

Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan lubang jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan senjatanya dan hampir saja Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat.

Yang lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya dan mengamuk dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya akan kepandaian sendiri dan dia mengambil keputusan untuk melawan sampai titik darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini adalah musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan mati-matian dengan dua kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan ibunya yang terancam bahaya maut!

"Wuuut-wuuuttt....!"

Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali untuk meloloskan diri dari sinar merah yang menyambarnya dari samping dan menyilaukan matanya.

"Tar-tar!"

Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.

"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah.

"Selain hendak berkhianat terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!"

Sambil berkata demikian Milana sudah menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.

"Singggg....! Tarrr.... brettt!"

"Hayaaaa....!"

Bhong Ji Kun berseru kaget. Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis sembarangan saja, ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek dari Pendekar Sakti Suling Emas (baca cerita Cinta Bernoda Darah dan cerita Suling Emas)! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena dimainkan oleh seorang dara remaja! Suara bercuit dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan pedangnya menangkis.

"Tranggg!"

Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari pegangannya. Cepat ia meloncat ke kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar