Setelah kedua jangkerik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkerik itu saling terkam dan saling gigit.
Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur beberapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas.
“Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!”
Kembali dia menaruh jangkerik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan “penggemblengan” ke dua terhadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkerik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja.
Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pedangnya.
Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil!
Demikian pula dalam adu jangkerik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum menang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah.
Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benamkan jangkerik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkerik itu.
Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
“Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!”
Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan kini dia duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!
“Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!” Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkerik kecil merah itu.
“Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!”
Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!
Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk.
Akan tetapi tiba-tiba jangkerik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat.
Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkerik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!
“Hebat dia....!”
Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikitpun.
Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main.
“Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!” katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam semak-semak.
Kemudian dia menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!
“Heh-heh, kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!”
Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapapun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur beberapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas.
“Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!”
Kembali dia menaruh jangkerik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan “penggemblengan” ke dua terhadap jangkerik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkerik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja.
Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pedangnya.
Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil!
Demikian pula dalam adu jangkerik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum menang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri. Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam.... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkerik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah.
Tentu saja payah jangkerik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apalagi jangkerik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benamkan jangkerik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkerik itu.
Anehnya, ketika jangkerik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!
“Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!”
Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biarpun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan, karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan kini dia duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkerik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkerik kecil itu mundur terus!
“Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!” Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkerik kecil merah itu.
“Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!”
Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkerik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkerik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!
Jangkerik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkerik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkerik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk.
Akan tetapi tiba-tiba jangkerik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkerik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat.
Akibatnya, tubuh jangkerik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkerik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!
“Hebat dia....!”
Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Akan tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!
Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikitpun.
Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main.
“Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!” katanya sambil melepaskan jangkerik itu ke dalam semak-semak.
Kemudian dia menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkerik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!
“Heh-heh, kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!”
Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalah artikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apalagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan kedua tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkerik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong!
Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.
“Desss!”
Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan “temangsang” di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek sinting itu berseru kaget.
“Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?”
Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.
Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira,
“Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut disitu, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.
“Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut disitu? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!”
Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya itu, mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikitpun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!
“Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu.”
Kwi Hong menggeleng kepala.
“Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!”
“Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!”
“Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?”
“Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!” kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.
“Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!”
“Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?”
“Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?”
“Dari mana kau tahu?”
“Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!”
Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
“Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!”
Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
“Apa kau mau yang merah?” Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.
“Atau biru? Hijau? Kuning?”
Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
“Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!” Kwi Hong berkata.
“Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede....”
“Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?”
“Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?”
“Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?”
“Heh-heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka.... heh-heh-heh... haa? Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh.... pedangmu itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!”
Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!
“Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!”
“Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!”
Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga.
“Bu-tek Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?”
“Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa diantara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!”
Kwi Hong bergidik.
“Gila! Itu sama saja dengan mati!”
“Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kok tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?”
Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata,
“Kalau kau yang kalah?”
“Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai.”
Kwi Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega. Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja.
Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun, demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apalagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.
“Lihat pedang!”
Bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.
“Hayaaaa....!”
Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.
Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah.
Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkerik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.
Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya.
Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.
Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah “terbang” ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai,
“Nah, kau kalah, muridku.”
Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab,
“Bu-tek Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu.”
“Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?”
Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu.
“Aku tidak tahu.”
“Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!”
“Bagaimana? Aku tidak mengerti.”
“Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apalagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tidak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya mengalahkan muridnya oleh muridku!”
“Tanpa kau beri pelajaran ilmupun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!”
“Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena diapun mempunyai pedang yang sama ampuhnya.”
“Pedang curian!”
“Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu menandingi ilmunya?”
“Siauw-jin.... ehh.... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!”
“Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha, ha!”
“Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?”
“Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tidak kenal. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya.
Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin-kang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan.”
“Ilmu tendangan jangkerik?”
“Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malapetaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkerik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?”
Kwi Hong mengangguk.
“Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan.”
“Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede.”
“Mencari peti mati? Kemana?”
“Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari kemana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?”
Kwi Hong terbelalak ngeri.
“Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!”
“Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!”
Kwi Hong menggeleng-geleng kepala.
“Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!”
“Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?” kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.
“Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua.” Bu-tek Siauw-jin memerintah.
“Aihhh.... Ji-tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To-cu,” kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul.
Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.
“Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?”
“Kwi Hong, Giam Kwi Hong,” kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.
“Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!”
Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap.
Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?
“Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!” kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin.
Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.
“Lekas kau masuk ke dalam petimu!” Kwi Hong menggelengkan kepalanya. “Eh, apa kau takut?”
Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab,
“Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!”
Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
“Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, atau engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?”
Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?
“Kalau sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?” Dia mencoba menggunakan alasan menolak.
“Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita.”
Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.
“Brakkk!” papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi. “Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!” kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.
Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Ia merasa betapa peti mati dimana ia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah dimana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Adapun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.
Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.
“Desss!”
Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan “temangsang” di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!
Kakek sinting itu berseru kaget.
“Heiii....! Wah, mengapa kau mau saja kusepak?”
Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.
Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira,
“Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut disitu, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.
“Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut disitu? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!”
Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tidak rendah tingkatnya itu, mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikitpun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!
“Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu.”
Kwi Hong menggeleng kepala.
“Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!”
“Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!”
“Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkerik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkerik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?”
“Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayoh coba kau bantah!” kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.
“Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!”
“Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?”
“Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau tokoh Pulau Neraka?”
“Dari mana kau tahu?”
“Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!”
Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.
“Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!”
Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
“Apa kau mau yang merah?” Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.
“Atau biru? Hijau? Kuning?”
Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.
“Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!” Kwi Hong berkata.
“Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! jangan sombong kau, gadis gede....”
“Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?”
“Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?”
“Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?”
“Heh-heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka.... heh-heh-heh... haa? Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh.... pedangmu itu....! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!”
Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!
“Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!”
“Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!”
Biarpun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga.
“Bu-tek Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?”
“Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa diantara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!”
Kwi Hong bergidik.
“Gila! Itu sama saja dengan mati!”
“Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kok tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?”
Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata,
“Kalau kau yang kalah?”
“Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh daripada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai.”
Kwi Hong menjadi serba susah. Biarpun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya diapun tidak tega. Biarpun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja.
Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun, demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apalagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkerik tadi.
“Lihat pedang!”
Bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mujijat dan mengandung hawa maut.
“Hayaaaa....!”
Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.
Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah.
Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkerik meloncat. Namun sedikitpun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkerik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.
Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya.
Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.
Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah “terbang” ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai,
“Nah, kau kalah, muridku.”
Kwi Hong menerima pedangnya, menyarungkan pedang dan menjawab,
“Bu-tek Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu.”
“Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?”
Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu.
“Aku tidak tahu.”
“Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!”
“Bagaimana? Aku tidak mengerti.”
“Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apalagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tidak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya mengalahkan muridnya oleh muridku!”
“Tanpa kau beri pelajaran ilmupun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!”
“Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena diapun mempunyai pedang yang sama ampuhnya.”
“Pedang curian!”
“Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya kalau kau tidak mampu menandingi ilmunya?”
“Siauw-jin.... ehh.... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!”
“Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha, ha!”
“Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biarpun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?”
“Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu.... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tidak kenal. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya.
Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sin-kang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih samadhi dan sin-kang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan.”
“Ilmu tendangan jangkerik?”
“Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam malapetaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkerik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?”
Kwi Hong mengangguk.
“Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan.”
“Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede.”
“Mencari peti mati? Kemana?”
“Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari kemana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?”
Kwi Hong terbelalak ngeri.
“Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!”
“Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapapun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!”
Kwi Hong menggeleng-geleng kepala.
“Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!”
“Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?” kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.
“Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua.” Bu-tek Siauw-jin memerintah.
“Aihhh.... Ji-tocu (Majikan Pulau ke Dua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To-cu,” kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul.
Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.
“Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi.... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?”
“Kwi Hong, Giam Kwi Hong,” kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.
“Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!”
Kwi Hong memandang dengan hati penuh kengerian betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap.
Peti mati itu dibuka, kerangka manusianya dikeluarkan lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?
“Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!” kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin.
Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.
“Lekas kau masuk ke dalam petimu!” Kwi Hong menggelengkan kepalanya. “Eh, apa kau takut?”
Melihat semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab,
“Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!”
Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
“Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, atau engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?”
Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?
“Kalau sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?” Dia mencoba menggunakan alasan menolak.
“Bodoh! Biarpun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita.”
Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.
“Brakkk!” papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi. “Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!” kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.
Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Ia merasa betapa peti mati dimana ia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi daripada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah dimana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Adapun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar