“Plak! Plak!”
Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sin-kang yang amat kuat.
“Tar-tar-tar-tar!”
Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu.
Sementara itu, para anggauta Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.
Empat orang anggauta Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara!
Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Milana, dara jelita yang menggunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apalagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.
“Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!”
Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu!
Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.
Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar-benar.
Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu!
Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula.
Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati!
Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biarpun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkah kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya? Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok?
Hemm, kalau saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
“Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!” Kwi Hong berjebi. “Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Kalau maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!”
Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena tidak terdengar sejak lewat tengah malam tadi suara derap kaki kuda yang mengejarnya.
Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biarpun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.
Kwi Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran.
Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira. Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang.
Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.
Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sin-kang yang amat kuat.
“Tar-tar-tar-tar!”
Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu.
Sementara itu, para anggauta Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biarpun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.
Empat orang anggauta Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara!
Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Milana, dara jelita yang menggunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apalagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.
“Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!”
Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu!
Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.
Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar-benar.
Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu!
Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula.
Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati!
Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biarpun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda daripada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkah kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya? Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok?
Hemm, kalau saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
“Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!” Kwi Hong berjebi. “Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Kalau maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!”
Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena tidak terdengar sejak lewat tengah malam tadi suara derap kaki kuda yang mengejarnya.
Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biarpun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.
Kwi Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran.
Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira. Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang.
Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.
Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat itu.
Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya.
Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang.
Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apalagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu!
Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar daripada ketidak senangannya maka dia lalu berkata nyaring.
“Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa kemana peti mati itu?”
Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka.
Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.
Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab,
“Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!”
“Heiii, apa engkau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?” Kwi Hong membentak marah.
“Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?”
“Keparat! Engkaulah yang patut mampus!” Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.
Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!
“Tar! Tar!”
Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun menangkis, melainkan mengelebatkan pecut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin-kangnya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!
“Plak! Plak! Aiiihhh....!”
Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
“Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?”
Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju.
Biarpun jarak diantara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.
“Wuuuuutttt! Siuuut!”
Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, akan tetapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.
“Berani kau membunuh kudaku?”
Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.
“Tar-tar-tar-tar!”
Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka.
Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
“Pe.... dang.... Iblis....!” Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
“Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!” Kwi Hong menantang.
“Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!”
Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung.
Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru,
“Sudahlah, aku mau pergi saja!”
Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat.
Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan terus lari dengan cepat sekali!
Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan dimana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya.
Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya? Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekalipun.
Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan ia berikan kepada Bun Beng!
Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.
Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja.
Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut? Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut kalau tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itupun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa!
Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorangpun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!
Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulupun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari darimana datangnya sumber suara ketawa itu.
Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi!
Suara ketawa dari kuburan kuno? Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, daripada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biarpun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekalipun!
“Heh-heh-heh-heh, hayo.... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!”
Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.
“Krik-krik-krik!”
“Krek-krek-krek!”
Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.
“Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biarpun kecil mrica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!”
Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak tangan kirinya!
Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.
Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya.
Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.
Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.
Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Diapun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkerik dapat diadu seperti ayam jago saja.
Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
“Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!”
Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkatnya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!
Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkerik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri.
Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!
“Wah, Si Hitam itu hebat!” Kwi Hong berkata lirih memuji.
“Puhh! Hebat apanya?” Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. “Kalau bukan kau datang mengagetkan Si Kecil Merah takkan kalah!”
Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya.
“Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkerik yang kecil begitu mana bisa menang?”
“Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!”
“Plak! Plok!”
Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering.
Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.
“Prokkk!”
Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin-kangnya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikitpun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!
Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkerik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.
“Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!” Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak karuan.
“Kau harus dijantur biar besar hatimu!” Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. “Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!”
Biarpun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkerik kecil maju dan mengalahkan jangkerik besar.
Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena diapun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.
Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap dengan jepitan jari tangan sehelai rambut yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada selakang kakinya.
Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak-kemik dekat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.
“Cuh! Cuh! Cuh!” Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.
“Awas kau kalau kalah lagi!” Kakek itu berkata. “Harus kuberi tambahan semangat!”
Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkerik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya,
“Busssshh!” Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkerik merah.
“Ihhh....!”
Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah “gemblengan” yang diberikan kakek itu pada jangkerik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu.
Jangkerik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!
“Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!”
Kakek itu berkata lalu mengambil jangkerik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkerik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkerik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.
“Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hitamnya tidak dikili?”
Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkerik kecil dan berlaku curang.
“Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!” kakek itu membentak marah.
Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkerik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.
Biarpun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.
Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda. Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya.
Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang.
Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apalagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu!
Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar daripada ketidak senangannya maka dia lalu berkata nyaring.
“Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa kemana peti mati itu?”
Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka.
Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.
Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab,
“Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!”
“Heiii, apa engkau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?” Kwi Hong membentak marah.
“Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?”
“Keparat! Engkaulah yang patut mampus!” Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.
Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!
“Tar! Tar!”
Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak maupun menangkis, melainkan mengelebatkan pecut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biarpun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sin-kangnya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!
“Plak! Plak! Aiiihhh....!”
Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!
“Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?”
Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju.
Biarpun jarak diantara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.
“Wuuuuutttt! Siuuut!”
Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, akan tetapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.
“Berani kau membunuh kudaku?”
Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.
“Tar-tar-tar-tar!”
Biarpun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka.
Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
“Pe.... dang.... Iblis....!” Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
“Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!” Kwi Hong menantang.
“Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!”
Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung.
Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apalagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru,
“Sudahlah, aku mau pergi saja!”
Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggauta Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat.
Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget kerena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan terus lari dengan cepat sekali!
Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan dimana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya.
Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya? Betapapun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguhpun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekalipun.
Apalagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan ia berikan kepada Bun Beng!
Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah pekuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.
Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus, dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja.
Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut? Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut kalau tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itupun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa!
Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Ke dua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorangpun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!
Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulupun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apalagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khi-kang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sin-kangnya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari darimana datangnya sumber suara ketawa itu.
Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan sumbernya dari.... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi!
Suara ketawa dari kuburan kuno? Apalagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biarpun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, daripada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biarpun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekalipun!
“Heh-heh-heh-heh, hayo.... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!”
Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.
“Krik-krik-krik!”
“Krek-krek-krek!”
Eh, ada suara dua ekor jangkerik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apalagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.
“Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biarpun kecil mrica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!”
Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya ketika melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkerik di atas telapak tangan kirinya!
Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.
Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biarpun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya.
Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkerik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.
Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkerik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkerik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang ke dua adalah seekor jangkerik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.
Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Diapun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkerik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkerik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkerik dapat diadu seperti ayam jago saja.
Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkerik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!
“Hayo, Si Kecil Merah, biarpun kecil jangan mau kalah! Serang....!”
Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkatnya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkerik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!
Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkerik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri.
Namun, tentu saja jangkerik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkerik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkerik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!
“Wah, Si Hitam itu hebat!” Kwi Hong berkata lirih memuji.
“Puhh! Hebat apanya?” Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. “Kalau bukan kau datang mengagetkan Si Kecil Merah takkan kalah!”
Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkerik kecil itu kalah. Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya.
“Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkerik yang kecil begitu mana bisa menang?”
“Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!”
“Plak! Plok!”
Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering.
Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.
“Prokkk!”
Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sin-kangnya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikitpun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!
Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkerik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkerik hitam kemerahan yang kalah tadi.
“Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!” Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak karuan.
“Kau harus dijantur biar besar hatimu!” Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. “Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkerik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!”
Biarpun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkerik kecil maju dan mengalahkan jangkerik besar.
Biarpun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena diapun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.
Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap dengan jepitan jari tangan sehelai rambut yang melayang. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkerik kecil merah itu pada selakang kakinya.
Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkerik itu dijantur diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak-kemik dekat dengan tubuh jangkerik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.
“Cuh! Cuh! Cuh!” Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkerik merah.
“Awas kau kalau kalah lagi!” Kakek itu berkata. “Harus kuberi tambahan semangat!”
Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkerik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya,
“Busssshh!” Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkerik merah.
“Ihhh....!”
Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah “gemblengan” yang diberikan kakek itu pada jangkerik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkerik itu. Jangkerik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu.
Jangkerik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkerik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!
“Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!”
Kakek itu berkata lalu mengambil jangkerik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkerik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkerik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.
“Wah, kau licik! Kenapa jangkerik hitamnya tidak dikili?”
Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkerik kecil dan berlaku curang.
“Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!” kakek itu membentak marah.
Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkerik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.
Biarpun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar