“Lepas!” Bun Beng membentak, menggunakan dayungnya menghantam ke arah tangan terdekat!
“Aughhh....!”
Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah tangan kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini membuat perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat-kuat sehingga tubuh Bun Beng terseret dan jatuh ke air!
“Bun Beng....!” Milana menjerit.
Bun Beng marah sekali. Biarpun bukan ahli, namun dia pandai berenang, maka ia menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegangnya.
“Plakkk!”
Dayungnya menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan terdorong mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau anak itu dapat diterkamnya, tentu akan dibunuhnya.
Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki-maki berenang cepat sekali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang yang masih berada di air itu.
“Heh-heh-heh!”
Tiba-tiba, entah darimana datangnya, seorang kakek yang tertawa-tawa meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah-olah kakek itu beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak!
Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran perahu erat-erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.
“Heh-heh-heh!”
Tiba-tiba ujung dimana Bun Beng dan Milana duduk, meluncur lagi ke bawah dengan cepat sekali.
“Prakkk!”
Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupakan kepala lagi melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan darah.
“Ihhhh....!” Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis.
“He-he-he, takut? He-he-he!” Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa senang sekali melihat Milana ketakutan. “Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha-ha-ha!”
Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung perahu dan.... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!
Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar, kedua kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan jenggot putih riap-riapan, matanya melotot lebar dan selalu tertawa-tawa. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua berkulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang-orang Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau Neraka.
Dugaan Bun Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima orang kakek kulit kuning yang merupakan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau.
Kakek ini selain sakti, juga memiliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal-hal yang menggegerkan dunia kang-ouw. Kini melihat dua orang anak dalam perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak menakut-nakuti kedua orang bocah itu.
Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan tenggelam, ada kalanya ujung yang diduduki dua orang anak-anak itu terangkat tinggi kemudian dihempaskan ke bawah seperti akan tenggelam! Milana menjerit-jerit dan memeluk Bun Beng yang berpegang kuat-kuat pada pinggiran perahu.
“Heh-heh-heh, pemandangan indah....! Indah....!” Kakek itu terkekeh-kekeh ketika perahunya meluncur cepat mengelilingi tempat pertempuran.
Biarpun keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu-waktu dapat membuat mereka terlempar ke luar, Bun Beng masih sempat memperhatikan keadaan pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati-matian namun perahu mereka telah terbakar sebagian.
“Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?” Bun Beng tiba-tiba bertanya.
“Aku? Takut? Ha-ha-ha-ha! Heh-heh--heh!”
Sambil berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang bernyala-nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu seolah-olah mulut seekor naga mengeluarkan api hendak menelan perahu mereka.
“Celaka....!” teriak Bun Beng.
“Ha-ha-ha-heh-heh-heh!”
Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa sehingga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan dengan perahu terbakar.
“Aughhh....!”
Orang itu berteriak kesakitan dan melepaskan tangan kirinya yang kena pukul dan dari bibir perahu Bun Beng mengayun dayungnya lagi, memukul ke arah tangan kanan yang masih memegangi pinggiran perahu. Gerakan-gerakan ini membuat perahu kecil menjadi oleng. Akan tetapi sekali ini, bukan tangan itu yang terkena hantaman dayung bahkan dayungnya tertangkap oleh tangan kanan bajak itu, terus ditarik kuat-kuat sehingga tubuh Bun Beng terseret dan jatuh ke air!
“Bun Beng....!” Milana menjerit.
Bun Beng marah sekali. Biarpun bukan ahli, namun dia pandai berenang, maka ia menggerakkan kedua kakinya dan mengayun dayung yang masih dipegangnya.
“Plakkk!”
Dayungnya menghantam muka orang itu sehingga kembali bajak itu memekik dan terdorong mundur. Matanya melotot marah penuh dengan sinar kebencian dan kalau anak itu dapat diterkamnya, tentu akan dibunuhnya.
Bun Beng sudah dapat menangkap pinggiran perahu lagi. Karena gugup dan hendak cepat-cepat naik ke perahu, dayungnya terlepas dan hanyut, sedangkan bajak itu sambil memaki-maki berenang cepat sekali mengejarnya. Dalam hal ilmu renang tentu saja Bun Beng tidak dapat melawan kepandaian seorang bajak laut! Maka ia bergegas hendak naik ke perahu agar dari dalam perahu dia dapat melawan orang yang masih berada di air itu.
“Heh-heh-heh!”
Tiba-tiba, entah darimana datangnya, seorang kakek yang tertawa-tawa meloncat ke ujung perahu. Begitu tubuhnya tiba di ujung perahu, ujung yang lain di mana Bun Beng dan Milana berada, terangkat tinggi ke atas seolah-olah kakek itu beratnya melebihi berat seekor gajah bengkak!
Bun Beng cepat memegang lengan Milana yang hampir terlempar ke luar, sambil dengan sebelah tangan memegangi pinggiran perahu erat-erat dan matanya memandang kakek aneh itu dengan terbelalak.
“Heh-heh-heh!”
Tiba-tiba ujung dimana Bun Beng dan Milana duduk, meluncur lagi ke bawah dengan cepat sekali.
“Prakkk!”
Ujung perahu ini turun tepat menghantam kepala anak buah bajak sehingga pecah berantakan dan mayatnya terapung, kepalanya sudah tidak merupakan kepala lagi melainkan berubah seonggok benda putih berlepotan darah.
“Ihhhh....!” Milana yang melihat mayat itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil menangis.
“He-he-he, takut? He-he-he!” Kakek itu tertawa-tawa seolah-olah merasa senang sekali melihat Milana ketakutan. “Aku akan membikin kalian lebih takut lagi, ha-ha-ha!”
Dan dengan sebatang ranting yang berada di tangan kirinya, kakek itu mendayung perahu dan.... perahu itu meluncur dengan kecepatan luar biasa!
Bun Beng memandang penuh perhatian. Kakek itu pakaiannya sederhana dan longgar, kedua kakinya telanjang. Usianya tentu sudah tujuh puluh lebih, dengan rambut dan jenggot putih riap-riapan, matanya melotot lebar dan selalu tertawa-tawa. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah kulit tubuhnya! Dari muka, tangan dan kakinya, semua berkulit kuning sekali! Bukan kuning seperti kulit orang biasa, melainkan kuning yang aneh, seperti dicat, kuning sampai ke kukunya dan warna matanya! Maka teringatlah Bun Beng akan keanehan warna kulit orang-orang Pulau Neraka dan ia menduga bahwa kakek ini tentulah seorang tokoh Pulau Neraka.
Dugaan Bun Beng memang tepat. Kakek ini adalah seorang di antara lima orang kakek kulit kuning yang merupakan tokoh-tokoh tingkat tertinggi di Pulau Neraka, di bawah ketuanya. Dan memang dia adalah seorang tokoh sakti yang diutus oleh Majikan Pulau Neraka untuk mengadakan penyelidikan di luar pulau.
Kakek ini selain sakti, juga memiliki watak yang amat aneh, mendekati gila sehingga sering kali melakukan hal-hal yang menggegerkan dunia kang-ouw. Kini melihat dua orang anak dalam perahu, timbul keanehan wataknya dan dia seolah-olah hendak menakut-nakuti kedua orang bocah itu.
Perahu itu meluncur cepat mendekati tempat pertempuran! Bukan hanya cepat, malah sengaja dibikin oleng ke kanan-kiri, ada kalanya ujungnya seperti akan tenggelam, ada kalanya ujung yang diduduki dua orang anak-anak itu terangkat tinggi kemudian dihempaskan ke bawah seperti akan tenggelam! Milana menjerit-jerit dan memeluk Bun Beng yang berpegang kuat-kuat pada pinggiran perahu.
“Heh-heh-heh, pemandangan indah....! Indah....!” Kakek itu terkekeh-kekeh ketika perahunya meluncur cepat mengelilingi tempat pertempuran.
Biarpun keadaannya sendiri berbahaya dan perahu itu sewaktu-waktu dapat membuat mereka terlempar ke luar, Bun Beng masih sempat memperhatikan keadaan pertempuran dan melihat betapa pangeran dan para pengawal masih melakukan perlawanan mati-matian namun perahu mereka telah terbakar sebagian.
“Kakek, apakah engkau tidak kenal takut?” Bun Beng tiba-tiba bertanya.
“Aku? Takut? Ha-ha-ha-ha! Heh-heh--heh!”
Sambil berkata demikian, perahu meluncur cepat sekali menuju ke sebuah yang terbakar! Milana menjerit melihat betapa perahu kecil itu akan menubruk perahu yang bernyala-nyala, bahkan Bun Beng sendiri yang berusaha sekuat tenaga untuk bersikap tenang, menjadi pucat dan memandang terbelalak ke depan, melihat betapa perahu terbakar itu seolah-olah mulut seekor naga mengeluarkan api hendak menelan perahu mereka.
“Celaka....!” teriak Bun Beng.
“Ha-ha-ha-heh-heh-heh!”
Kakek itu tertawa dan tiba-tiba perahu itu membelok dengan kecepatan luar biasa sehingga miring dan hampir terguling, akan tetapi dapat menghindari tabrakan dengan perahu terbakar.
“Ha-ha-ha! Aku takut?”
“Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-bajak laut yang demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku berani memastikan bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing-kencing di celanamu, kencing kuning pula!”
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak-mencak.
“Memang kencingku kuning! Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tunggu dan lihat saja betapa mudah aku membasmi mereka!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran Jenghan bersama pengawalnya masih mati-matian melawan serbuan para bajak.
Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar sepotong dayung dari banyak kayu-kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya, kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa menghiraukan kedua tangannya yang menjadi lelah sekali, Bun Beng mendayung terus dan tiba-tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya.
Mendayung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang dayung dan ia membantu Bun Beng mendayung.
Kini melihat perahu diombang-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak terguling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya daripada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk mengatasi suara angin ribut.
“Milana, engkau tidak takut?”
Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.
Bun Beng menjadi heran.
“Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?”
Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun Beng berteriak,
“Bicara yang keras, aku tidak dengar!”
Milana tertawa,
“Ribut-ribut begini kau mengajak orang mengobrol!”
Bun Beng mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar-benar amat luar biasa,
“Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?”
“Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan kekejaman manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, andaikata ombak-ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!”
Bun Beng bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir terguling dan mendengar Milana malah tertawa-tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan mengomel.
“Bocah ajaib dia ini!”
Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi girang dan bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas pasir.
“Di mana kita ini?” Bun Beng bertanya.
“Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman Pangeran dan para pengawal selamat.”
“Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan terbasmi dan mereka selamat.”
Tiba-tiba Milana tertawa geli.
“Eh, kenapa tertawa?”
“Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan tertarik sekali kalau kelak kuceritakan.”
“Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka.”
“Ihhh....! Pulau Neraka? Aku sudah mendengat itu, penghuninya adalah manusia-manusia aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?”
“Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau Neraka.”
“Eh, betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng.”
“Tidak, biasa saja. Mari kita pergi.”
“Engkau hendak ke mana?”
“Eh, bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian.... kemudian.... hem.... aku tidak tahu kemana nanti.”
“Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?”
“Pulang kemana?”
“Kemana lagi? Ke rumahmu tentu!”
“Aku tidak punya rumah.”
Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng.
“Tidak punya rumah? Dan Ayah Bundamu....?”
“Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua.”
“Aihhh....!” Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang mendalam. “Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?”
Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak merasa kasihan kepada dirinya sendiri!
“Aku tidak punya siapa-siapa, apa salahnya dengan itu?” Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang. “Dia itu pun tidak punya siapa-siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa-siapa, tetap tumbuh segar.”
“Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi Pamanmu....”
“Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan.”
Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan diam-diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu-batu besar dan tidak nampak dusun di situ.
“Begini sunyi.... tidak ada tampak rumah orang....” kata Milana, kecewa.
“Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang yang besar luar biasa!” Milana menengok dan ia pun berseru girang, “Benar! Ada orang dan dia menunggang seekor gajah! Sunguh luar biasa!”
“Gajah? Aku sudah pernah mendengat namanya. Gajahkah binatang itu?”
“Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi orang itu.”
“Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!”
Mereka berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika mereka sudah tiba dekat, Tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan,
“Lihat...., dia.... kakek Pulau Neraka itu....”
“Sssttt....!” Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari belakang. “Jangan ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau Es.... dan itu muridnya.....”
Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot panjang, tangan kiri memegang sebuah senjata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menunggang seekor gajah yang amat besar.
Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengimbangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang untuk injakan kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang bambu sebagai pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si Kakek Bersorban!
Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan penunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!
Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor burung garuda dan ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik maka dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi-Hong diam-diam menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak-geriknya lucu dan lihai!
“Heh-heh-heh!” Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak-gerakkan kedua bambu yang telah menyambung kakinya. “Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa? Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar-benar seorang sahabat dan aku akan mengampunimu!”
“Sadhu-sadhu-sadhu!” Kakek bersorban itu berkata lirih. “Berbulan-bulan dari negara barat sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, mati hidup dia bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang kau pelajari puluhan tahun itu untuk melakukan hal yang tidak baik.”
“Heh-heh-heh! Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menyenangkan, itu baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau engkau berikan gajah itu kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kau berikan, engkau tidak baik dan terpaksa kurampas, heh-heh-heh-heh!”
“Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terbalik sama sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber segala ketidak baikan.”
“Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan-wejanganmu. Hayo turun!”
Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu panjang yang kanan menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.
“Sadhu-sadhu-sadhu, terpaksa aku membela diri!”
Kakek bersorban menggerakkan tangan kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya bergoyang-goyang.
Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia melihat Suma Han yang berdiri menonton dengan tenang. Setelah mendapat kenyataan bahwa orang Pulau Neraka itu hendak merampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apalagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pembantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak mencongkel batu dua kali.
“Trak! Trak!”
Kakek muka kuning berseru kaget ketika tiba-tiba bambu yang menyambung kedua kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya, akan tetapi sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun sebelum terbanting jatuh karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi.
Melihat itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti bersorak ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh kakek bersorban ikut roboh!
Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terbanting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!
“Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?” Kakek itu mengeluh, kemudian berkata kepada Suma Han. “Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku.”
Suma Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang. Kakek itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya terengah,
“Gajah itu.... dia memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi tugasku jauh daripada selesai....! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi.... terpaksa aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhh, orang muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau bukan manusia biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?”
“Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es....”
“Hah? Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To-cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, kalau engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba akan mati tenteram!”
Suma Han mengerutkan alisnya,
“Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?”
“Aku Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis.... adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa manusia! Aku.... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi.... aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku....”
Kembali Suma Han mengerutkan alisnya,
“Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakayhira?”
“Senjataku ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak kau berikan kepada siapa yang berjodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis.... kau bantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini....”
Suma Han mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan urusan begini hebat!
“Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang.”
“Aku adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi perikemanusian!”
“Kakek yang baik, biarlah aku membantumu!”
Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju mendekati kakek itu. Kakek bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu akan tetapi karena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum menanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh.
Kini melihat sikap anak laki-laki itu, diam-diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pendekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.
“Siapakah engkau?”
“Paman, dia adalah anak laki-laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali. Bocah dalam keranjang!”
Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki-laki yang membantunya dengan memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek India membuat pedang. Bukan main!
“Siapa namamu?”
Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki ini.
“Saya adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai Fen-ho di lembah Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san....”
Suma Han benar-benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri.
“Kau....?”
“Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng.”
Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar-benar amat luar biasa pertemuan ini!
“Di mana suhumu Siauw Lam Hwesio?”
“Suhu.... telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.
“Sadhu-sadhu-sadhu....” Tiba-tiba kakek itu berkata, “Bhong Ji Kun adalah Koksu Pemerintah Mancu.... dia.... dia itu adalah muridku....”
“Kau....!” Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Bun Beng, jangan lancang!” Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan diri berlutut lagi. “Tai-hiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!”
“Hemmm, sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelakakan orang tanpa pertimbangan lagi.”
Sementara itu, kakek tua itu menarik napas panjang.
“Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan anak ini! Muridku itu memang telah menyeleweng dan perjalananku ini di samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau menolongku?”
Suma Han tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng,
“Bagaimana dengan engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?”
“Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!”
Suma Han tersenyum.
“Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak perempuan itu, Bun Beng?”
Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata-kata Suma Han. Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar dari Bun Beng bahwa laki-laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan wajahnya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang amat terkenal!
“Memang beranimu hanya menakut-nakuti anak kecil, Kakek yang nakal! Aku tidak percaya bahwa engkau tidak kenal takut. Misalnya terhadap bajak-bajak laut yang demikian ganas, kejam dan jumlahnya amat banyak. Aku berani memastikan bahwa engkau tentu takut mengganggu mereka dan kalau engkau yang melawan mereka di atas perahu yang terbakar itu, tentu engkau akan terkencing-kencing di celanamu, kencing kuning pula!”
Tiba-tiba kakek itu meloncat berdiri dan mencak-mencak.
“Memang kencingku kuning! Kau bilang aku takut kepada segala bajak cacing tanah itu? Kau tunggu dan lihat saja betapa mudah aku membasmi mereka!”
Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan kaki dan tubuhnya sudah melesat ke arah perahu besar yang terbakar, di mana Pangeran Jenghan bersama pengawalnya masih mati-matian melawan serbuan para bajak.
Tentu saja hati Bun Beng menjadi girang bukan main. Cepat ia menyambar sepotong dayung dari banyak kayu-kayu pecahan perahu yang terapung di dekat perahunya, kemudian secepat mungkin dia mendayung perahu kecil menjauhi pertempuran. Tanpa menghiraukan kedua tangannya yang menjadi lelah sekali, Bun Beng mendayung terus dan tiba-tiba datang ombak-ombak besar yang menghanyutkan perahunya.
Mendayung lagi tidak mungkin dan apa yang ia lakukan hanya menggunakan dayung untuk mencegah perahunya terguling. Milana tidak menangis lagi, bahkan anak ini pun sudah menyambar sebatang dayung dan ia membantu Bun Beng mendayung.
Kini melihat perahu diombang-ambingkan ombak, dia membantu Bun Beng menahan agar perahu tidak terguling. Akan tetapi dia tidak kelihatan takut, padahal keadaan mereka waktu itu tidaklah kalah berbahaya daripada tadi. Hal ini mengherankan hati Bun Beng dan ia bertanya dengan suara keras untuk mengatasi suara angin ribut.
“Milana, engkau tidak takut?”
Milana memandangnya, tersenyum dan menggeleng kepala.
Bun Beng menjadi heran.
“Kalau tadi, kenapa ketakutan dan menangis?”
Milana membuka mulut menjawab, akan tetapi suaranya lenyap ditelan angin sehingga Bun Beng berteriak,
“Bicara yang keras, aku tidak dengar!”
Milana tertawa,
“Ribut-ribut begini kau mengajak orang mengobrol!”
Bun Beng mendongkol akan tetapi juga geli hatinya. Anak ini benar-benar amat luar biasa,
“Katakanlah mengapa sekarang engkau menjadi begini tabah?”
“Tadi bukan penakut sekarang pun bukan tabah. Aku ngeri menyaksikan kekejaman manusia saling bunuh. Aku percaya kepada alam yang maha kasih, andaikata ombak-ombak ini menelan kita pun sama sekali tidak mengandung hati benci atau marah!”
Bun Beng bengong sehingga lupa mengerjakan dayungnya. Perahu terputar, hampir terguling dan mendengar Milana malah tertawa-tawa. Cepat ia menggerakkan dayung dan mengomel.
“Bocah ajaib dia ini!”
Setelah ombak mereda, perahu itu tiba di dekat daratan. Bun Beng menjadi girang dan bersama Milana dia lalu mendayung perahu ke darat. Mereka berdua melompat turun dan lari ke darat, meninggalkan perahu kecil itu dan keduanya duduk di atas pasir.
“Di mana kita ini?” Bun Beng bertanya.
“Aku pun tidak tahu. Akan tetapi mari kita berjalan. Kalau bertemu orang tentu akan dapat menceritakan di mana letaknya Kerajaan Mongol. Ahhh, semoga Paman Pangeran dan para pengawal selamat.”
“Jangan khawatir. Mereka itu lihai dan dengan bantuan kakek gila itu, tentu para bajak akan terbasmi dan mereka selamat.”
Tiba-tiba Milana tertawa geli.
“Eh, kenapa tertawa?”
“Kakek itu tidak gila, akan tetapi lucu sekali dan kepandaiannya hebat. Ibu tentu akan tertarik sekali kalau kelak kuceritakan.”
“Tentu saja dia lihai karena dia adalah seorang tokoh Pulau Neraka.”
“Ihhh....! Pulau Neraka? Aku sudah mendengat itu, penghuninya adalah manusia-manusia aneh seperti iblis. Bagaimana kau bisa tahu dia dari Pulau Neraka?”
“Kulit tubuhnya yang berwarna itu! Aku sudah bertemu dengan orang-orang Pulau Neraka.”
“Eh, betulkah? Engkau benar luar biasa, Bun Beng.”
“Tidak, biasa saja. Mari kita pergi.”
“Engkau hendak ke mana?”
“Eh, bagaimana lagi? Mengantar engkau sampai engkau dapat pulang, kemudian.... kemudian.... hem.... aku tidak tahu kemana nanti.”
“Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak hendak pulang?”
“Pulang kemana?”
“Kemana lagi? Ke rumahmu tentu!”
“Aku tidak punya rumah.”
Milana menghentikan langkahnya dan memandang wajah Bun Beng.
“Tidak punya rumah? Dan Ayah Bundamu....?”
“Aku tidak punya, Ayah Bundaku sudah mati semua.”
“Aihhh....!” Milana memegang kedua tangan Bun Beng, wajahnya membayangkan perasaan iba yang mendalam. “Kasihan engkau, Bun Beng. Dan tidak mempunyai saudara?”
Bun Beng merasa panas dadanya. Dia tidak ingin dikasihani orang, bahkan dia tidak merasa kasihan kepada dirinya sendiri!
“Aku tidak punya siapa-siapa, apa salahnya dengan itu?” Dia menunjuk ke arah seekor burung camar yang terbang. “Dia itu pun tidak punya siapa-siapa, toh dapat hidup. Dan pohon itu tidak punya siapa-siapa, tetap tumbuh segar.”
“Ahhhh, burung itu tentu punya sarang dan pohon itu banyak saudara-saudaranya di sekelilingnya. Engkau menjadi pahit karena tidak mempunyai siapa-siapa. Bun Beng, aku mau menjadi saudaramu, dan biarlah Ibuku juga menjadi Ibumu, Pamanku menjadi Pamanmu....”
“Sudahlah, Milana. Aku tidak ingin apa-apa. Engkau anak yang amat baik hati. Mari kita lanjutkan perjalanan. Di sebelah kanan itu ada pegunungan, tentu di sana ada penghuninya yang dapat memberi keterangan kepada kita dan menunjukkan jalan.”
Mereka berjalan lagi dan Milana menggandeng tangannya. Bun Beng tidak menolak dan diam-diam dia merasa suka sekali kepada anak yang amat baik hati ini. Akan tetapi setelah mereka mendaki pegunungan itu, ternyata gunung itu penuh dengan batu-batu besar dan tidak nampak dusun di situ.
“Begini sunyi.... tidak ada tampak rumah orang....” kata Milana, kecewa.
“Nanti dulu! Lihat di sana itu. Ada orang.... eh, malah ada orang menunggang binatang yang besar luar biasa!” Milana menengok dan ia pun berseru girang, “Benar! Ada orang dan dia menunggang seekor gajah! Sunguh luar biasa!”
“Gajah? Aku sudah pernah mendengat namanya. Gajahkah binatang itu?”
“Benar. Raja Mongol memelihara dua ekor, akan tetapi tidak sebesar yang ditunggangi orang itu.”
“Hebat! Binatang raksasa itu memiliki tenaga melebihi seratus ekor kuda. Mari kita lihat!”
Mereka berlari menuruni puncak pegunungan batu kapur itu. Ketika mereka sudah tiba dekat, Tiba-tiba Bun Beng berhenti dan Milana juga berhenti. Keduanya terkejut bukan main menyaksikan pemandangan di depan itu sehingga sampai lama mereka tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya Milana berbisik dengan napas tertahan,
“Lihat...., dia.... kakek Pulau Neraka itu....”
“Sssttt....!” Bun Beng berbisik pula menyentuh pinggang Milana dari belakang. “Jangan ribut..... orang berkaki tunggal itu.... dia Pendekar Siluman To-cu Pulau Es.... dan itu muridnya.....”
Memang amat mengherankan kedua orang anak itu apa yang tampak oleh mereka. Kakek bermuka kuning yang mereka temui di tengah lautan itu kini berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang bersorban dan berjenggot panjang, tangan kiri memegang sebuah senjata yang aneh, gagangnya berduri dan ujungnya merupakan bulan sabit, menunggang seekor gajah yang amat besar.
Akan tetapi kakek muka kuning tidak kalah anehnya. Agaknya untuk mengimbangi kedudukan kakek bersorban yang tinggi di atas punggung gajah, dia kini menggunakan jangkungan atau egrang. Yaitu dua batang bambu panjang yang di tengahnya diberi cabang untuk injakan kaki. Dengan berdiri di cabang itu dan menggunakan dua batang bambu sebagai pengganti kedua kaki, dia kini sama tingginya dengan Si Kakek Bersorban!
Mereka agaknya sedang bertengkar sedangkan di atas sebuah batu berdiri Pendekar Siluman dengan sikap tenang sebagai penonton, menggandeng tangan seorang anak perempuan yang dikenal Bun Beng sebagai anak perempuan penunggang garuda yang berkelahi dengan anak Pulau Neraka dahulu!
Kwi Hong, murid Suma Han menoleh dan melihat kedatangan Bun Beng dan Milana, akan tetapi karena kini kedua orang kakek aneh yang berhadapan itu sudah saling serang, dia tertarik dan menengok lagi menonton pertandingan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Han menyusul ke Pulau Neraka dan berhasil membawa muridnya itu. Mereka meninggalkan Pulau Neraka menunggang dua ekor burung garuda dan ketika dari atas Suma Han melihat orang menunggang gajah, hatinya tertarik maka dia lalu turun di pegunungan itu, dan bersama Kwi-Hong diam-diam menghampiri dan menonton pertandingan yang amat menarik hatinya antara kakek penunggang gajah dan kakek muka kuning yang gerak-geriknya lucu dan lihai!
“Heh-heh-heh!” Kakek muka kuning tertawa sambil menggerak-gerakkan kedua bambu yang telah menyambung kakinya. “Kita sudah sama tinggi sekarang. Hayo, kau mau apa? Lekas turun dan berikan gajah itu kepadaku, baru kau benar-benar seorang sahabat dan aku akan mengampunimu!”
“Sadhu-sadhu-sadhu!” Kakek bersorban itu berkata lirih. “Berbulan-bulan dari negara barat sejauh itu, belum pernah bertemu orang yang begini nekad. Sahabat, gajah tunggangan ini adalah sahabatku yang telah berjasa besar, mati hidup dia bersamaku, tidak mungkin kuberikan kepadamu. Pergilah, sahabat, dan jangan pergunakan kepandaian yang kau pelajari puluhan tahun itu untuk melakukan hal yang tidak baik.”
“Heh-heh-heh! Apa tidak baik? Apa baik? Yang menguntungkan dan menyenangkan, itu baik! Yang merugikan dan menyusahkan itu tidak baik! Kalau engkau berikan gajah itu kepadaku, engkau baik. Kalau tidak kau berikan, engkau tidak baik dan terpaksa kurampas, heh-heh-heh-heh!”
“Aahh, betapa dangkal dan sesat pandangan itu, sahabat. Pandanganmu terbalik sama sekali. Justeru yang menguntungkan dan menyenangkan diri pribadi itulah sumber segala ketidak baikan.”
“Waaaah, cerewet! Aku tidak butuh engkau kuliahi dengan wejangan-wejanganmu. Hayo turun!”
Kakek muka kuning menggerakkan tangan kanan dan tiba-tiba bambu panjang yang kanan menyambar ke arah kepala kakek bersorban itu. Akan tetapi, kakek itu menekuk tubuh ke depan sehingga sambaran bambu itu luput dan lewat di atas kepalanya.
“Sadhu-sadhu-sadhu, terpaksa aku membela diri!”
Kakek bersorban menggerakkan tangan kanan, dengan jari tangan terbuka mendorong ke depan. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan biarpun kakek muka kuning sudah menggerakkan bambu memutar tubuh ke kanan, tetap saja terdorong dan terhuyung-huyung, kedua bambunya bergoyang-goyang.
Karena ia memutar tubuh ke kanan inilah maka tiba-tiba dia melihat Suma Han yang berdiri menonton dengan tenang. Setelah mendapat kenyataan bahwa orang Pulau Neraka itu hendak merampas binatang tunggangan orang, Suma Han merasa tidak senang. Apalagi kalau mengingat bahwa orang itu adalah pembantu Lulu, dia makin penasaran. Masa Lulu dibantu oleh orang yang berwatak perampok hina, mau merampas binatang tunggangan seorang kakek yang datang dari jauh? Tongkatnya bergerak mencongkel batu dua kali.
“Trak! Trak!”
Kakek muka kuning berseru kaget ketika tiba-tiba bambu yang menyambung kedua kakinya itu patah disambar dua buah kerikil, dan seruannya ini pun sebagian karena dia mengenal Pendekar Siluman yang biarpun belum pernah dijumpainya, akan tetapi sudah banyak didengarnya. Ia cepat meloncat turun sebelum terbanting jatuh karena kedua bambunya patah, kemudian dia meloncat-loncat jauh melarikan diri tanpa menengok lagi.
Melihat itu, Kwi Hong tertawa dan bersorak. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti bersorak ketika melihat gajah besar itu terhuyung dan roboh ke depan, membawa tubuh kakek bersorban ikut roboh!
Tubuh Suma Han melesat ke depan bagaikan seekor burung garuda dan dia sudah berhasil menyambar tubuh kakek bersorban itu dari bahaya terbanting dan tertindih tubuh gajah yang kini berkelojotan lalu diam, tak bernyawa lagi. Dan dengan kaget Suma Han mendapat kenyataan bahwa kakek bersorban itu ternyata lumpuh kedua kakinya!
“Ah, gajahku yang baik, engkau mendahuluiku?” Kakek itu mengeluh, kemudian berkata kepada Suma Han. “Orang muda yang gagah perkasa, turunkanlah aku.”
Suma Han menurunkan kakek itu yang kedua kakinya amat kecil dan selalu bersilang. Kakek itu duduk di atas tanah, wajahnya pucat dan napasnya terengah,
“Gajah itu.... dia memang sudah sakit.... dia menderita karena lelah.... melakukan tugasnya sampai mati. Akan tetapi aku.... ah, aku pun hampir mati akan tetapi tugasku jauh daripada selesai....! Aku hampir kehabisan tenaga saking lelah, perjalanan ini terlalu jauh untuk orang setua aku, dan tadi.... terpaksa aku mengerahkan tenaga dalam yang amat kuperlukan untuk kesehatanku. Aihhh, orang muda perkasa, sinar matamu membuktikan bahwa engkau bukan manusia biasa. Siapakah engkau yang begini lihai?”
“Kakek yang baik, aku adalah penghuni Pulau Es....”
“Hah? Pendekar Super Sakti? Pendekar Siluman To-cu dari Pulau Es? Ya Tuhan, kalau engkau mempertemukan hamba dengan dia ini untuk melanjutkan tugas hamba, hamba akan mati tenteram!”
Suma Han mengerutkan alisnya,
“Kakek, siapakah engkau dan urusan apa yang membuatmu susah payah melakukan perjalanan begitu jauh?”
“Aku Nayakavhira.... aku keturunan dari Mahendra pembuat Sepasang Pedang Iblis.... adikku, Maharya telah mendahuluiku untuk mencari sepasang pedang itu. Kalau terjatuh ke tangannya, akan gegerlah dunia dan terancamlah banyak nyawa manusia! Aku.... aku berkewajiban untuk merampas dan memusnahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi.... aku tidak sanggup lagi.... ahh, Pendekar Super Sakti, engkau tolonglah aku....”
Kembali Suma Han mengerutkan alisnya,
“Bagaimana aku harus menolongmu, Nayakayhira?”
“Senjataku ini.... terbuat dari logam yang akan menandingi dan mengalahkan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi karena bentuknya seperti ini, tidak akan ada orang di sini yang dapat memainkannya. Akan kubuat menjadi pedang.... biarlah kelak kau berikan kepada siapa yang berjodoh untuk menindih dan menaklukkan Sepasang Pedang Iblis.... kau bantulah aku.... buatkan pondok, perapian.... aku tidak kuat lagi, engkau tolonglah aku, buatlah sebatang pedang dari senjataku ini....”
Suma Han mengangguk-angguk. Tidak disangkanya bahwa sepasang pedang yang dahulu dia tanam bersama jenazah kakek dan nenek yang saling bunuh, akan mendatangkan urusan begini hebat!
“Aku suka menolongmu, akan tetapi aku tidak bisa membuat pedang.”
“Aku adalah ahli membuat pedang.... seperti nenek moyangku.... aku yang akan memberi petunjuk, engkau yang membuat. Tolonglah.... Taihiap.... demi.... demi perikemanusian!”
“Kakek yang baik, biarlah aku membantumu!”
Tiba-tiba Bun Beng meloncat maju mendekati kakek itu. Kakek bersorban itu membelalakkan mata memandang Bun Beng dengan heran, Suma Han menengok. Dia sudah tahu akan kehadiran kedua orang anak itu akan tetapi karena terjadi perkara besar, dia lebih mementingkan kakek itu dan belum menanya dua orang anak yang datang di tempat itu secara aneh.
Kini melihat sikap anak laki-laki itu, diam-diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Di lain pihak, ketika melihat sinar mata Pendekar Siluman itu ditujukan kepadanya dan mereka bertemu pandang, kuncuplah hati Bun Beng dan otomatis dia menjatuhkan diri berlutut.
“Siapakah engkau?”
“Paman, dia adalah anak laki-laki yang telah menolongku ketika aku dikeroyok rajawali. Bocah dalam keranjang!”
Suma Han makin tertarik. Kwi Hong sudah menceritakan betapa ketika Kwi Hong diserang putera Lulu dengan rajawali dan dikeroyok muncul seekor burung rajawali yang mencengkeram keranjang berisi seorang anak laki-laki yang membantunya dengan memukul rajawali itu sehingga cengkeraman rajawali terlepas dan keranjang bersama anak itu jatuh ke laut! Kini tiba-tiba anak itu muncul dan dengan suara yang mengandung kesungguhan menawarkan jasa baiknya hendak membantu Si Kakek India membuat pedang. Bukan main!
“Siapa namamu?”
Tanyanya, dalam suaranya terkandung rasa sayang karena dia melihat suatu yang luar biasa pada diri anak laki-laki ini.
“Saya adalah anak yang dahulu ditolong oleh Taihiap dari dalam kuil tua tepi Sungai Fen-ho di lembah Pegunungan Tai-hang-san dan Lu-liang-san....”
Suma Han benar-benar terkejut sehingga ia bangkit berdiri.
“Kau....?”
“Benar, Taihiap. Saya adalah Gak Bun Beng.”
Suma Han menarik napas panjang dan menengadah ke langit. Benar-benar amat luar biasa pertemuan ini!
“Di mana suhumu Siauw Lam Hwesio?”
“Suhu.... telah meninggal dunia, terbunuh oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama, dan Bhe Ti Kong panglima Mancu!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sengit oleh Bun Beng.
“Sadhu-sadhu-sadhu....” Tiba-tiba kakek itu berkata, “Bhong Ji Kun adalah Koksu Pemerintah Mancu.... dia.... dia itu adalah muridku....”
“Kau....!” Bun Beng meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Bun Beng, jangan lancang!” Tiba-tiba Suma Han membentak dan Bun Beng menjatuhkan diri berlutut lagi. “Tai-hiap.... teecu harus membalas kematian Suhu!”
“Hemmm, sungguh tidak baik masih kanak-kanak sudah mendendam. Dendam menimbulkan watak kejam sehingga sembarangan saja engkau akan mencelakakan orang tanpa pertimbangan lagi.”
Sementara itu, kakek tua itu menarik napas panjang.
“Sungguh ajaib, dapat bertemu dengan anak ini! Muridku itu memang telah menyeleweng dan perjalananku ini di samping hendak mencari Sepasang Pedang Iblis juga tadinya akan kupergunakan untuk mengingatkan dia, kalau perlu menghukumnya. Bagaimana, Taihiap, sukakah engkau menolongku?”
Suma Han tidak menjawab, melainkan bertanya kepada Bun Beng,
“Bagaimana dengan engkau, Bun Beng? Apakah engkau masih suka menolong Kakek ini sekarang?”
“Teecu sudah berjanji, tentu teecu penuhi!”
Suma Han tersenyum.
“Baiklah. Nayakavhira, kami akan membantumu. Siapakah anak perempuan itu, Bun Beng?”
Milana yang sejak tadi mendengarkan menjadi tertarik sekali akan kata-kata Suma Han. Dia sudah menghampiri dan memandang Suma Han penuh perhatian. Tadi dia mendengar dari Bun Beng bahwa laki-laki gagah perkasa berkaki satu yang rambutnya putih semua dan wajahnya muram menimbulkan iba itu adalah Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es yang amat terkenal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar