“Siuuuutttt.... byurrrr!”
“Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?”
Seorang gadis cilik yang berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.
“Hemmm, manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Hiiii, Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!”
Kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.
Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Adapun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.
Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak dekat, Milana berseru,
“Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!”
“Hemmm, agaknya dia sudah mati....!”
Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi.
Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika keranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan.
Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya.
Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!
“Brukkkk!”
Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening, bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan matanya.
“Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam sebuah keranjang?”
Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah.
Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.
“Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan terima kasihku.”
Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apalagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.
“Ajaib....! Ajaib....! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar dipercaya!”
Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
“Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya jatuh ke sini.”
Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini masih kurang percaya.
Akan tetapi dia berkata,
“Hemm, engkau tentu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh istirahat di bagian belakang kapal.”
Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.
Bun Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi.
“Lihat, Paman Pangeran, apa yang jatuh dari langit itu?”
Seorang gadis cilik yang berpakaian serba merah, berusia kurang lebih sembilan tahun, berseru sambil menunjuk ke arah benda yang jatuh dari langit dan tampak mengapung di atas lautan.
“Hemmm, manakah? Ahhh, kau benar. Benda apakah itu? Hiiii, Ciangkun, suruh dekatkan perahu dan coba kau ambil benda itu!”
Kata laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang berpakaian mewah dan berwajah tampan itu. Mereka berada di atas sebuah perahu yang mewah dan indah, dengan hiasan bendera sebagai tanda bahwa penumpangnya adalah seorang bangsawan.
Memang demikianlah kenyataannya. Laki-laki tampan berpakaian mewah itu adalah seorang pangeran Mongol yang bernama Pangeran Jenghan yang pada waktu itu sedang berpesiar di lautan utara di atas perahunya, dikawal oleh pasukan Mongol yang menumpangi tiga buah perahu lain. Adapun gadis cilik berpakaian merah yang berwajah cantik jelita berusia sembilan tahun itu adalah keponakannya yang bernama Milana.
Atas perintah kepala pengawal, seorang kakek yang memakai topi caping lebar seperti para pengawal lain yang berada di perahu besar, perahu yang ditumpangi pangeran itu didayung mendekati benda yang terapung di laut. Setelah agak dekat, Milana berseru,
“Sebuah keranjang! Dan ada orangnya di dalam!”
“Hemmm, agaknya dia sudah mati....!”
Pangeran Jenghan berseru melihat seorang anak laki-laki rebah meringkuk di keranjang tak bergerak-gerak seperti tak bernyawa lagi.
Memang itulah keranjang berisi Bun Beng yang jatuh dari angkasa ketika keranjangnya dilepas oleh cengkeraman burung rajawali. Ketika keranjang meluncur dengan cepatnya, Bun Beng pingsan.
Keranjang itu jatuh ke laut dan mengapung sehingga menyelamatkan nyawa Bun Beng. Namun kalau saja ada kebetulan kedua, yang pertama jatuhnya keranjang ke laut, yaitu kalau tidak kebetulan lagi dia jatuh tidak di dekat perahu itu, tentu keranjangnya sebentar lagi akan tenggelam dan dia tidak akan tertolong.
Kepala pengawal segera menggerakkan tangan kanannya dan tampaklah sehelai tali meluncur seperti seekor ular panjang, menuju ke arah keranjang. Dengan tepat sekali ujung tali itu membelit keranjang pada saat Bun Beng siuman dari pingsannya.
Anak ini terkejut ketika membuka matanya melihat bahwa dia berada di tengah laut. Lebih lagi kagetnya ketika tiba-tiba keranjang yang didudukinya itu terangkat ke atas seperti ada yang menerbangkan. Celaka, pikirnya, agaknya dia telah disambar lagi oleh burung rajawali!
“Brukkkk!”
Keranjang yang diterbangkan oleh tali yang dilepas secara lihai oleh kepala pengawal Mongol itu terbanting ke atas papan dan tubuh Bun Beng terlempar keluar, bergulingan di atas papan. Ia merangkak bangun dengan kepala pening, bangkit berdiri terhuyung-huyung. Karena pandang matanya berkunang, dia cepat berlutut dan memegangi kepala dengan kedua tangan, menutupi mukanya dan memejamkan matanya.
“Sungguh ajaib! Eh, anak, engkau siapakah dan mengapa bisa jatuh dari langit dalam sebuah keranjang?”
Suara yang terdengar asing dan kaku mempergunakan bahasa pedalaman ini membuat Bun Beng menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka dan membuka mata memandang. Dilihatnya seorang laki-laki berpakaian indah berdiri di depannya, dan di samping laki-laki itu berdiri seorang anak perempuan yang cantik jelita berpakaian merah.
Ia memandang ke sekeliling. Kiranya dia berada di atas sebuah perahu besar dan tak jauh dari situ kelihatan tiga buah perahu lain. Mengertilah dia bahwa keranjangnya jatuh ke laut dan bahwa dia telah ditolong oleh orang-orang ini. Maka perlahan dia bangkit berdiri, kemudian membungkuk dan menjawab.
“Namaku Gak Bun Beng. Tadinya aku digondol burung rajawali dan dilepaskan dari atas. Aku pingsan dan tidak tahu apa-apa, baru siuman ketika keranjang dinaikkan ke sini. Aku telah menerima budi pertolongan kalian, sudilah menerima ucapan terima kasihku.”
Sejenak semua orang yang berada di situ tertegun dan keadaan menjadi sunyi. Cerita anak ini terlalu aneh, apalagi melihat anak yang berwajah tampan, bersikap sederhana dan halus akan tetapi menggunakan bahasa yang sederhana pula, sama sekali tidak bersikap hormat kepada Pangeran Jenghan! Para pengawal sudah mengerutkan alis hendak marah karena dianggapnya sikap anak ini kurang ajar dan tidak menghormat kepada junjungannya. Akan tetapi Pangeran itu tersenyum dan mengangkat kedua lengan ke atas.
“Ajaib....! Ajaib....! Seolah-olah engkau dijatuhkan dari langit oleh para dewa untuk bertemu dengan aku! Eh, Gak Bun Beng, bagaimana engkau sampai bisa terbawa terbang dalam keranjang oleh seekor burung raksasa? Amat aneh ceritamu, sukar dipercaya!”
Bun Beng berpikir. Memang pengalamannya amat aneh dan sukar dipercaya. Orang ini telah menyelamatkan nyawanya. Kalau dia menceritakan semua pengalamannya, semenjak terlempar ke air berpusing sampai hidup di antara kawanan kera kemudian bertemu dengan para pemuja Sun Go Kong dan bertemu dengan murid Pendekar Siluman yang bertanding sambil menunggang garuda melawan anak iblis dari Pulau Neraka, agaknya ceritanya akan lebih tidak dipercaya lagi. Dia tidak suka bercerita banyak tentang dirinya karena hal itu hanya akan menimbulkan kesulitan saja, maka ia lalu mengarang cerita yang lebih masuk akal.
“Saya sedang mencari rumput untuk makanan kuda dan di dalam hutan saya tertidur dalam keranjang ini. Tiba-tiba saya terkejut dan ternyata bahwa keranjang yang saya tiduri telah berada di angkasa, dicengkeram oleh seekor burung besar. Karena ketakutan, saya meronta-ronta dan akhirnya keranjang itu dilepaskan dan saya jatuh ke sini.”
Pangeran Jenghan mengangguk-angguk, akan tetapi melihat pandang matanya yang penuh selidik dan kerutan alisnya, ternyata bahwa di dalam hatinya Pangeran ini masih kurang percaya.
Akan tetapi dia berkata,
“Hemm, engkau tentu kaget dan lelah, juga lapar. Pakaianmu robek-robek. Ciangkun, beri dia makan dan suruh istirahat di bagian belakang kapal.”
Bun Beng lalu mengikuti pengawal itu. Dia disuruh makan hidangan yang amat lengkap dan serba mahal. Kemudian dia diperbolehkan mengaso. Karena memang merasa lelah sekali, tak lama kemudian Bun Beng tertidur di atas papan perahu di bagian belakang.
Bun Beng terbangun oleh suara nyanyian merdu. Ia membuka mata dan menoleh. Kiranya yang sedang bernyanyi adalah anak perempuan berpakaian merah yang dilihatnya tadi. Anak itu berdiri di atas papan, di pinggir perahu, memandang ke angkasa yang biru indah, dan suaranya amat merdu ketika bernyanyi.
Akan tetapi, bagi Bun Beng, yang amat mengherankan adalah nyanyian itu. Kata-kata dalam nyanyian itu bukanlah nyanyian kanak-kanak bahkan mengandung makna dalam seperti sajak dalam kitab-kitab kuno. Ia mendengarkan penuh perhatian tanpa menggerakkan tubuhnya yang masih terlentang.
“Betapa ajaib alam dunia segala sesuatu bergerak sewajarnya menuju ke arah titik sempurna matahari memindahkan air samudra memenuhi segala kebutuhan di darat dibantu hembusan angin yang kuat setelah melaksanakan tugas mulia air kembali ke asalnya semua itu digerakkan oleh cinta apa akan jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?”
Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata-kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya.
“Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?”
Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.
“Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?” Bun Beng melompat berdiri dan bertanya.
Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
“Apa kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?”
“Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?”
“Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku.”
Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin-kang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki-laki Pulau Neraka itu!
Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.
“Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!”
Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu!
Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya.
“Bagian manakah yang kau katakan ngawur?”
“Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?”
Mata itu bersinar lembut ketika menjawab,
“Gak Bun Beng, ketika aku diajar menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!”
Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.
“Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!”
Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangksn perasaan kasihan!
“Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidurpun, semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang?
Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buahpun akan jatuh sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?”
Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
“Eh.... oh.... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?” Ia berhenti sebentar lalu menengok ke arah bilik perahu besar.
“Tentu.... laki-laki yang berpakaian mewah tadi, ya?”
Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala.
“Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar seringkali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu.... Ibu selalu mengucurkan air matanya kalau menyanyikan itu.”
Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula.
“Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?”
“Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasih-nya.”
“Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam....”
“Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?”
Bun Beng terdesak.
“Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti,”
Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang!
Anak perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata,
“Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku.”
“Engkau takut dimarahi?”
“Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku.”
Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia menelan ludah,
“Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang.”
Anak perempuan itu tersenyum.
“Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!”
“Cinta kasih menguasai alam semesta
suci murni dan penuh mesra namun mengapa....
hatiku merana....
jiwaku dahaga akan cinta....?
aihhh.... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta.... cintaku....
mengapa engkau begitu tega....?”
Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini terisak-isak.
“Engkau.... engkau menangis....?” tanyanya, suaranya serak.
Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk,
“Aku.... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu.”
Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata,
“Ahh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Dimana Ayahmu?”
Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk.
“Aihhh.... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan dimana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah.”
“Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?”
“Namaku Milana.”
“Bagus sekali!”
“Apakah yang bagus?”
“Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?”
Milana menggeleng kepala,
“Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan, biarpun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi kemana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran-pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng.”
“Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula.”
“Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa....”
“Milana....!”
Mereka terkejut dan menengok.
“Paman memanggilku.”
Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.
Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya.
“Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman.”
“Apakah yang terjadi, Paman?” Milana bertanya.
“Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak datang. Cepat sembunyi!”
Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat keluar.
“Mau apakah bajak-bajak laut itu?” Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.
“Hemm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita.”
Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
“Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?”
Bun Beng tersenyum pahit.
“Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia.”
“Ohhh....! Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia.”
“Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana daripada mati sebagai tikus-tikus terjepit di tempat ini!”
“Aku.... aku tidak pernah bertempur!”
“Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?”
Milana menggeleng kepala.
“Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!”
“Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?”
“Lebih baik dibunuh daripada membunuh.”
Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Wah-wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?”
“Kata Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya.”
“Nah, sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!”
“Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!”
“Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita.”
“Kau.... kau berani membunuh orang?”
“Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?”
“Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?”
Bun Beng tertawa.
“Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!”
Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencingnya senjata-senjata yang beradu.
Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka atau tewas.
Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mereka mulai menggunakan api untuk membakar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain menghadapi serbuan bajak yang amat banyak, juga mereka harus memadamkan api yang mulai membakar di sana-sini sambil merobohkan para bajak yang membakari perahu.
“Paman Pangeran....!”
Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut. Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam-po-cin-keng. Kebetulan sekali jurusnya ini adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin-kang yang dipusatkan pada telapak tangan.
“Bukkk!”
Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojotan!
Melihat ini, Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, lalu berteriak,
“Lekas kau selamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!” Sambil berteriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak.
Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan celakalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau memang disediakan kalau sewaktu-waktu keadaan membutuhkan.
Bun Beng melepaskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah menyusul perahu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.
“Paman....! Paman Pangeran....!” Milana berteriak dan menangis.
“Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari keselamatan sendiri.”
“Tapi.... tapi Paman Pengeran....”
“Dia seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andaikata kita menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba melarikan perahu sebelum terlihat oleh bajak-bajak itu.”
Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah asap-asap mengepul hitam yang menutupi perahu-perahu besar pamannya sambil menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu-perahu yang kebakaran ketika tiba-tiba Milana menjerit.
Bun Beng memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan manusia muncul dari dalam air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di antara para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.
“Betapa ajaib alam dunia segala sesuatu bergerak sewajarnya menuju ke arah titik sempurna matahari memindahkan air samudra memenuhi segala kebutuhan di darat dibantu hembusan angin yang kuat setelah melaksanakan tugas mulia air kembali ke asalnya semua itu digerakkan oleh cinta apa akan jadinya dengan alam semesta tanpa cinta?”
Bun Beng mengerutkan alisnya. Anak ini masih terlalu kecil untuk menyanyikan kata-kata seperti itu! Mungkin hanya seperti burung saja yang meniru kata-kata tanpa tahu artinya.
“Gak Bun Beng, engkau sudah sadar dari tadi, mengapa pura-pura masih tidur?”
Bun Beng terkejut dan bangkit duduk, matanya terbelalak. Bagaimana anak perempuan itu bisa tahu bahwa dia sudah terbangun? Padahal dia tidak mengeluarkan suara dan anak itu tidak pernah menengok bahkan ketika menegurnya pun tidak membalikkan tubuh.
“Eh, apa engkau mempunyai mata di belakang kepalamu?” Bun Beng melompat berdiri dan bertanya.
Anak perempuan itu kini membalikkan tubuhnya, memandang dengan sepasang mata yang mengingatkan Bun Beng akan sepasang mata burung garuda tunggangan murid Pendekar Siluman. Anak itu tersenyum dan Bun Beng terseret dalam senyum itu, tanpa disadari ia pun meringis tersenyum.
“Apa kau kira aku ini siluman yang mempunyai mata di belakang kepala?”
“Kalau tidak mempunyai mata di belakang, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku telah bangun dari tidur?”
“Bunyi pernapasan orang tidur dan orang sadar jauh bedanya, dan biarpun sedikit, gerakan tubuhmu terdengar olehku.”
Bun Beng bengong. Wah, kiranya anak perempuan yang kelihatan lemah lembut dan pandai bernyanyi dengan suara merdu ini memiliki pendengaran yang tajam luar biasa. Ah, ini hanya menandakan bahwa anak ini telah berlatih sin-kang! Teringatlah ia akan cara pengawal menaikkan keranjangnya. Tak salah lagi, tentu penumpang perahu ini merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan anak ini bukan anak sembarangan, dapat dibandingkan dengan murid Pendekar Siluman, atau anak laki-laki Pulau Neraka itu!
Akan tetapi, karena dia sendiri pun sejak kecil telah digembleng orang-orang pandai, Bun Beng memandang rendah dan tidak memperlihatkan kekagumannya, bahkan pura-pura tidak tahu bahwa anak perempuan ini memiliki kepandaian.
“Nyanyianmu tadi sungguh ngawur!”
Karena tidak tahan melihat betapa sinar mata anak perempuan itu memandangnya seperti orang mentertawakan, Bun Beng lalu mengambil sikap menyerang dengan mencela untuk memancing perdebatan agar dia dapat dikenal sebagai seorang yang lebih pandai daripada anak itu!
Bun Beng merasa kecelik kalau dia memancing kemarahan anak itu, karena anak itu sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali dan bertanya.
“Bagian manakah yang kau katakan ngawur?”
“Semuanya! Maksudku, engkau bernyanyi seperti burung, tanpa mengerti artinya! Misalnya kalimat yang mengatakan bahwa semua itu digerakkan oleh cinta, aku tanggung engkau tidak mengerti apa artinya. Bocah sebesar engkau ini mana tahu tentang cinta?”
Mata itu bersinar lembut ketika menjawab,
“Gak Bun Beng, ketika aku diajar menyanyikan kata-kata itu, aku telah diberi penjelasan. Tentu saja aku tahu dan aku heran sekali kalau engkau tidak tahu arti cinta. Cinta adalah kasih sayang murni yang menguasai seluruh alam. Tanpa cinta atau kasih sayang ini, kehidupan akan tiada! Segala macam benda dan mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak, seluruhnya dapat hidup oleh kasih sayang ini. Cinta adalah sifat daripada Tuhan yang menguasai seluruh alam!”
Kembali Bun Beng menjadi bengong. Tidak salahkah pendengarannya? Ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang anak perempuan yang masih.... ingusan! Ia penasaran dan menyerang lagi.
“Engkau hanya meniru-niru, belum tentu engkau mengerti betul tentang cinta. Kalau benar mengerti, coba kau beri penjelasan dan contoh-contoh!”
Kini anak itu memandang wajah Bun Beng dan kelihatan sinar mata membayangksn perasaan kasihan!
“Bun Beng, benarkah engkau tidak mengenal arti cinta itu? Aih, sungguh patut dikasihani! Sinar matahari yang memberi kehidupan itu adalah kuasa cinta! Air laut yang mengandung garam, yang menjadi awan dan hujan mengaliri segala yang membutuhkan air di darat, angin yang bertiup, hawa udara yang kita hisap, tanah yang kita injak dan menghasilkan tumbuh-tumbuhan, semua itu adalah kuasa cinta! Darahmu yang mengalir di seluruh tubuhmu tanpa kau sengaja, pernapasanmu yang terus bekerja tanpa kau sadari dalam tidurpun, semua itu digerakkan oleh apa kalau tidak oleh kekuasaan yang penuh kasih sayang?
Bibit bertunas menjadi pohon tanpa bergerak, tanah dan air menghidupkannya, angin dan hawa menyegarkannya, sampai berdaun dan berbunga. Bunga tanpa bergerak menciptakan buah, dan buahpun akan jatuh sendiri dan bersemi menjadi bibit, demikian seterusnya. Benda-benda itu tanpa bergerak telah teratur sendiri, bukankah itu bukti nyata betapa maha besarnya cinta kasih yang dimiliki Tuhan? Dan engkau masih bertanya akan bukti?”
Kini Bun Beng terbelalak memandang wajah yang semringah kemerahan itu. Bukan main!
“Eh.... oh.... maafkan, kiranya engkau benar-benar hebat! Siapakah yang mengajarkan kepadamu akan semua pengetahuan itu?” Ia berhenti sebentar lalu menengok ke arah bilik perahu besar.
“Tentu.... laki-laki yang berpakaian mewah tadi, ya?”
Akan tetapi anak perempuan itu menggeleng kepala.
“Bukan dia. Yang mengajarkan semua itu adalah Ibuku sendiri. Banyak hal lain yang diajarkan Ibu kepadaku, akan tetapi tentang cinta ini, ada sebuah nyanyian yang kudengar seringkali dinyanyikan Ibu, yang aku tidak mengerti artinya. Kalau kutanyakan, Ibu selalu menggeleng kepala tanpa menjawab. Dan kau tahu.... Ibu selalu mengucurkan air matanya kalau menyanyikan itu.”
Bun Beng tertarik sekali. Anak ini mempunyai sikap yang amat menarik dan watak yang begitu halus! Tentu ibunya orang luar biasa pula.
“Benarkah? Bagaimana nyanyian itu?”
“Sebetulnya tidak boleh aku beritahukan orang lain. Akan tetapi engkau seorang anak yang aneh, yang datang tiba-tiba saja dari langit, dikirim oleh Tuhan sendiri melalui kekuasaan cinta kasih-nya.”
“Aihh, mengapa begitu? Sudah kuceritakan bahwa aku diterkam....”
“Burung rajawali yang menerbangkanmu ke atas, bukan? Engkau lupa! Kekuasaan apa yang membuat burung itu mampu terbang? Kemudian, kekuasaan apa yang membuat engkau kebetulan dijatuhkan di atas laut, dekat dengan perahu Paman sehingga engkau tertolong? Tanpa kekuasaan cinta kasih itu, kita dapat berbuat apakah?”
Bun Beng terdesak.
“Baiklah.... baiklah...., engkau benar. Akan tetapi, orang sepandai engkau masih tidak mengerti arti nyanyian yang dinyanyikan Ibumu sambil menangis. Coba perdengarkan nyanyian itu, kalau engkau tidak mengerti artinya, tentu aku mengerti,”
Bun Beng membusungkan dadanya karena kini timbul kesempatan baginya untuk membuktikan bahwa dia lebih pandai. Kalau gadis cilik yang aneh ini tidak tahu artinya kemudian dia bisa mengartikannya, berarti dia menang!
Anak perempuan itu ragu-ragu sejenak, memandang wajah Bun Beng penuh selidik. Kemudian dia menghela napas dan berkata,
“Sudah kukatakan bahwa engkau seorang anak luar biasa dan aku percaya kepadamu. Akan tetapi, berjanjilah bahwa engkau takkan menceritakan kepada siapapun juga tentang nyanyian Ibu ini, karena kalau Ibu mengetahui, tentu Ibu akan menyesal sekali kepadaku.”
“Engkau takut dimarahi?”
“Tidak. Kalau Ibuku memarahiku, hal itu biasa saja. Akan tetapi kalau sampai Ibu menyesal dan berduka karena perbuatanku, hal ini amat menyedihkan hatiku.”
Keharuan meliputi hati Bun Beng. Ah, kalau saja dia mempunyai ibu, dia akan mencontoh anak ini! Rasa takut dalam hati seorang anak melihat ibunya marah, bukanlah cinta kasih. Namun rasa sedih dalam hati seorang anak melihat ibunya berduka dan menyesal, barulah timbul dari cinta kasih yang murni!
Dia menelan ludah,
“Engkau.... engkau seorang anak yang baik sekali! Aku berjanji, aku bersumpah tidak akan menceritakan kepada lain orang.”
Anak perempuan itu tersenyum.
“Aku percaya kepadamu dan kepercayaanku tidak akan sia-sia. Nah, dengarlah nyanyian istimewa Ibuku!”
“Cinta kasih menguasai alam semesta
suci murni dan penuh mesra namun mengapa....
hatiku merana....
jiwaku dahaga akan cinta....?
aihhh.... haruskah aku menjadi ikan dalam air mati kehausan?
cinta.... cintaku....
mengapa engkau begitu tega....?”
Bun Beng berdiri bengong dan dua titik air mata turun membasahi pipinya ketika ia melihat betapa air mata bercucuran dari sepasang mata anak perempuan itu yang kini terisak-isak.
“Engkau.... engkau menangis....?” tanyanya, suaranya serak.
Anak perempuan itu menoleh, mengusap air matanya dan mengangguk,
“Aku.... aku teringat kepada Ibu. Aku kasihan mengingat dia berduka dan aku sedih karena tidak mengerti mengapa dia menangis dan apa artinya nyanyiannya itu.”
Bun Beng mengerutkan alisnya, berpikir. Kemudian ia berkata,
“Ahh, aku mengerti! Ibumu tentu mencinta seseorang! Tentu saja seorang pria! Ehhh.... maaf, tentu mencinta Ayahmu. Dimana Ayahmu?”
Anak perempuan itu bengong dan mengangguk-angguk.
“Aihhh.... agaknya engkau benar, Bun Beng. Terima kasih! Kalau aku menanyakan Ayahku. Ibu selalu kelihatan berduka dan hanya mengatakan bahwa Ayah pergi amat jauh, bahwa Ayah adalah seorang pendekar besar. Akan tetapi Ibu tidak pernah mau mengatakan dimana adanya Ayah dan siapa namanya, hanya menyuruh aku bersabar karena kelak tentu akan bertemu dengan Ayah.”
“Nah, benar kalau begitu! Ibumu mencinta Ayahmu, merindukan Ayahmu yang lama pergi! Eh, siapakah namamu?”
“Namaku Milana.”
“Bagus sekali!”
“Apakah yang bagus?”
“Namamu itu. Tentu engkau puteri bangsawan, bukan?”
Milana menggeleng kepala,
“Ibu melarang aku menganggap diriku keturunan bangsawan, biarpun Paman Jenghan adalah seorang pangeran Mongol. Aku disuruh ikut di Kerajaan Mongol untuk mempelajari ilmu. Ibu sendiri entah pergi kemana akan tetapi sering kali, sedikitnya sebulan sekali, Ibu tentu datang menjengukku dan menurunkan pelajaran-pelajaran kepadaku. Kini, Paman Pangeran Jenghan berpesiar ke laut ini dan mengajakku, tidak kusangka akan bertemu dengan engkau, Bun Beng.”
“Ibumu tentu seorang yang hebat! Dan engkau di samping pandai bernyanyi dan mempelajari kesusasteraan, tentu engkau belajar ilmu silat pula.”
“Benar, keluarga istana Mongol penuh dengan orang yang berilmu tinggi. Akan tetapi menurut Paman Pangeran, tidak ada yang melebihi ilmu kepandaian Ibu yang amat tinggi. Hanya aku belum pernah menyaksikan sendiri kepandaian Ibu, kecuali kalau dia datang dan pergi lagi dari kamarku dengan kecepatan seperti menghilang. Kadang-kadang aku bahkan menduga apakah Ibu itu sebangsa dewi, bukan manusia biasa....”
“Milana....!”
Mereka terkejut dan menengok.
“Paman memanggilku.”
Anak perempuan itu berlari menuju ke bilik perahu besar, diikuti oleh Bun Beng. Mereka melihat kesibukan di perahu itu dan semua pengawal memegang senjata. Juga para pengawal di tiga buah perahu kecil siap dengan senjata mereka.
Pangeran Jenghan menyongsong keponakannya.
“Lekas kau sembunyi di bilik kapal. Engkau juga, Bun Beng. Jangan sekali-kali keluar dari bilik kalau belum aman.”
“Apakah yang terjadi, Paman?” Milana bertanya.
“Kita akan diserang sekawanan bajak! Perahu-perahu mereka sudah tampak datang. Cepat sembunyi!”
Pangeran itu memegang lengan Milana dan ditariknya keponakan itu memasuki bilik kapal, diikuti oleh Bun Beng. Kemudian pintu bilik ditutup dan Pangeran itu meloncat keluar.
“Mau apakah bajak-bajak laut itu?” Di dalam bilik, Milana bertanya kepada Bun Beng.
“Hemm, namanya juga bajak, tentu mau membajak, merampas kapal atau membakarnya, dan membunuh kita.”
Mata yang bening itu terbelalak, muka yang manis itu menjadi agak pucat.
“Mengapa? Bukankah mereka itu juga manusia?”
Bun Beng tersenyum pahit.
“Pujianmu tentang cinta kasih itu akan hancur kalau jatuh ke tangan manusia, Milana. Tidak ada mahluk di dunia ini yang sejahat, sekejam, dan seganas manusia.”
“Ohhh....! Akan tetapi.... aku tidak pernah menyaksikan kekejaman manusia.”
“Kalau begitu engkau belum berpengalaman, Milana. Berhati-hatilah kalau engkau berhadapan dengan sesama manusia dan simpan saja kepercayaanmu tentang cinta kasih itu di dalam hati. Tuhan memang bersifat Maha Kasih, kasih sayangnya melimpah, akan tetapi manusia hanya menghancurkan kasih sayang murni itu. Mengapa Pamanmu menyembunyikan kita? Kalau memang ada serbuan bajak, aku lebih suka berada di luar dan membantu menghadapi mereka. Seribu kali lebih baik mati sebagai seekor harimau yang melakukan perlawanan mati-matian di luar sana daripada mati sebagai tikus-tikus terjepit di tempat ini!”
“Aku.... aku tidak pernah bertempur!”
“Kulihat kepandaianmu sudah baik, dan kau belum pernah bertempur?”
Milana menggeleng kepala.
“Aku.... aku tidak mau bertempur, tidak mau menggunakan ilmu silat yang kupelajari untuk melukai dan membunuh manusia lain!”
“Dan kalau mereka menerjang ke sini dan membunuhmu?”
“Lebih baik dibunuh daripada membunuh.”
Bun Beng membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya.
“Wah-wah-wah, bagaimana ini? Habis, untuk apa Ibumu mengajar ilmu silat tinggi kepadamu?”
“Kata Ibu untuk menjaga diri dari marabahaya.”
“Nah, sekarang marabahaya tiba. Mari kita pergunakan untuk menjaga diri!”
“Tapi dengan membunuh bajak? Aku tidak mau!”
“Mari kita keluar, Milana. Akulah yang akan menjaga dan melindungimu. Biarlah aku yang akan membunuh mereka kalau mereka berani mengganggu kita.”
“Kau.... kau berani membunuh orang?”
“Tentu saja kalau orang itu juga mau membunuhku. Membela diri, bukan?”
“Bun Beng, pernahkah ada orang yang hendak membunuhmu?”
Bun Beng tertawa.
“Tak terhitung banyaknya! Engkau belum mengenal kekejaman manusia. Mari kita keluar. Dengar, sudah ada suara pertempuran!”
Dan memang pada saat itu sudah terdengar teriakan-teriakan di antara berdencingnya senjata-senjata yang beradu.
Ketika kedua orang anak itu tiba di luar, Milana mengeluarkan jerit tertahan melihat betapa empat buah perahu mereka telah dikurung dan tampak banyak sekali anak buah bajak menyerang. Pamannya dan para pengawal melakukan perlawanan dengan gigih dan karena kepandaian Pangeran Jenghan dan para pengawalnya memang tinggi, banyak anak buah bajak yang menyerbu itu roboh dan jatuh ke laut dalam keadaan terluka atau tewas.
Akan tetapi, jumlah anak buah bajak itu banyak sekali dan mereka mulai menggunakan api untuk membakar empat buah perahu itu! Keadaan menjadi kacau balau dan para pengawal kewalahan karena selain menghadapi serbuan bajak yang amat banyak, juga mereka harus memadamkan api yang mulai membakar di sana-sini sambil merobohkan para bajak yang membakari perahu.
“Paman Pangeran....!”
Milana menjerit melihat pamannya dikeroyok enam orang bajak laut. Melihat seorang bajak laut dengan tombak di tangan lari menyerbu dari belakang Pangeran itu, Bun Beng meloncat dan tanpa disadarinya dia menghantam dengan jurus dari ilmu silat yang dipelajari dari tiga buah kitab rahasia Sam-po-cin-keng. Kebetulan sekali jurusnya ini adalah jurus pukulan yang menggunakan tenaga sin-kang yang dipusatkan pada telapak tangan.
“Bukkk!”
Tangannya yang kecil itu tepat sekali menghantam punggung bajak selagi tubuh Bun Beng masih meloncat. Bajak itu memekik, tombaknya terlepas dan mulutnya muntahkan darah segar, lalu tubuhnya terguling roboh berkelojotan!
Melihat ini, Pangeran Jenghan terkejut dan kagum, lalu berteriak,
“Lekas kau selamatkan Milana dengan perahu darurat di pinggir kiri itu!” Sambil berteriak begini, Pangeran itu memutar pedangnya menangkis hujan senjata para bajak.
Bun Beng mengerti bahwa melihat keadaannya, perahu itu akan terbakar dan akan celakalah mereka semua. Memang sebaiknya menyelamatkan Milana lebih dulu. Cepat ia menyambar lengan Milana, diajaknya lari ke pinggir kiri. Di situ memang terdapat sebuah perahu kecil yang biasanya dipergunakan untuk para pengawal mencari ikan, atau memang disediakan kalau sewaktu-waktu keadaan membutuhkan.
Bun Beng melepaskan ikatan perahu itu, menyeretnya ke pinggir, lalu ia melempar perahu ke bawah. Tanpa menghiraukan jeritan Milana yang merasa ngeri, ia menyambar tangan anak perempuan itu dan dibawanya meloncat ke bawah menyusul perahu kecil. Untung bahwa Bun Beng bersikap tenang sehingga loncatannya tepat jatuh di tengah perahu kecil. Dilepaskannya dua batang dayung yang terikat di pinggir perahu dan ia mulai mendayung perahu itu melawan ombak menjauhi perahu besar yang mulai terbakar.
“Paman....! Paman Pangeran....!” Milana berteriak dan menangis.
“Milana, dalam keadaan seperti ini kita harus masing-masing mencari keselamatan sendiri.”
“Tapi.... tapi Paman Pengeran....”
“Dia seorang berilmu tinggi, tentu akan dapat menyelamatkan diri. Andaikata kita menolong pun tiada gunanya. Duduklah yang tenang, akan kucoba melarikan perahu sebelum terlihat oleh bajak-bajak itu.”
Dengan sepenuh tenaganya Bun Beng mendayung perahu, sedangkan Milana memandang ke arah asap-asap mengepul hitam yang menutupi perahu-perahu besar pamannya sambil menangis. Mereka sudah berada agak jauh dari perahu-perahu yang kebakaran ketika tiba-tiba Milana menjerit.
Bun Beng memandang dan ia pun terkejut melihat dua buah tangan manusia muncul dari dalam air dan memegang pinggiran perahu kecil. Ketika kepala orang itu muncul, tahulah dia bahwa orang itu adalah seorang di antara para anak buah bajak laut yang jatuh ke laut. Orang itu tidak terluka dan pandang matanya beringas menyeramkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar