Hek-giam-ong sudah menubruk dengan kemarahan meluap-luap. Melihat kematian dua orang saudara seperguruannya, ia menjadi marah sekali. Tanpa mempedulikan sesuatu, maklum bahwa dengan pukulan dan senjata akan percuma terhadap pemuda buntung itu, ia telah membuang goloknya dan menubruk maju memeluk pinggang Han Han dari belakang.
Sebelum pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri karena baru menghadapi Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah dipeluk oleh sepasang lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari Hek-giam-ong! Raksasa hitam ini bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan mengandung Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram, yang kanan mencengkeram perut, yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.
Sedetik pemuda buntung ini bingung juga menghadapi serangan tidak lumrah ini. Namun tentu saja dia tidak kehilangan akal. Mula-mula, tubuhnya secara otomatis telah menggerakkan sin-kang untuk melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian kakinya dan tongkatnya menekan tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali.
Semua perajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan pertandingan ini menahan napas. Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut terbawa mencelat ke atas dan tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali melakukan gerakan jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar diikuti pandang mata.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan melayanglah tubuh Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara berdebuk dan dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan ujung tongkat Han Han.
Han Han melesat ke depan melampaui kepala pasukan Mancu. Akan tetapi ketika ia melayang lagi ke atas pohon, tiba-tiba ada desir angin yang amat hebat dari pohon itu. Kiranya di atas pohon itu telah berdiri seorang pendeta gendut yang bukan lain adalah Thian Tok Lama dan yang mengirim pukulan ke arahnya.
Pendeta Lama itu berdiri setengah berjongkok di atas dahan pohon yang besar, perutnya mengeluarkan bunyi “kok-kok-kok!” seperti suara ayam biang dan kedua lengannya didorongkan ke arah tubuh Han Han yang sedang mencelat ke atas.
Itulah pukulan jarak jauh Hek-in-hwi-hong-ciang yang amat dahsyat dan agaknya kakek ini sudah mengenal gerakan-gerakan Han Han yang cepat seperti kilat maka ia sengaja menghadangnya dari atas pohon. Angin yang keras dan panas dengan uap hitam menyambar ke arah tubuh Han Han.
Han Han terkejut sekali, maklum bahwa lawan tangguh ini melancarkan pukulan yang dahsyat dan berbahaya selagi tubuhnya masih di udara. Namun tidak percuma dia digembleng oleh wanita sakti buntung Khu Siauw Bwee dan telah mewarisi ilmu gerak kilat Soan-hong-lui-kun.
Sambaran angin pukulan yang dahsyat itu dapat ia pergunakan sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan sin-kang di tangan kanan yang didorongkan ke depan menangkis, ia dapat “meminjam” hawa pukulan lawan membuat tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu luput. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara kagum,
“Omitohud....!” dan dari pohon sebelah kiri menyambar pula angin pukulan yang biarpun tidak sehebat Hek-in-hwi-hong-ciang tadi, namun dibarengi bentakan,
“Robohlah!”
Luar biasa sekali bentakan ini karena Han Han merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh! Biarpun ia sudah menggerakkan lengan menangkis dan mendapat kenyataan bahwa serangan dari pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah sekuat serangan Thian Tok Lama tadi, namun di dalam bentakan itu terkandung wibawa dan kekuatan yang lebih berbahaya daripada pukulan itu! Seperti mimpi Han Han terpelanting, seolah-olah lebih parah terkena “pukulan” bentakan itu pada lubuk hatinya.
Masih untung bahwa Han Han memiliki kekuatan batin yang aneh. Andaikata tidak demikian, tentu serangan tadi benar-benar akan membuat ia roboh terbanting karena pendeta kurus ini telah menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang disertai ilmu sihir yang terkandung dalam bentakannya tadi.
Dalam waktu dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya melayang turun, Han Han sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia berjungkir-balik sehingga ketika turun ke tanah, ia berdiri tegak dengan kaki tunggalnya.
Akan tetapi, baru saja ia turun, kembali Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah menyerangnya, sekarang kedua orang pendeta Tibet itu menyerangnya dari atas tanah, dari kanan kiri. Thian Tok Lama masih menggunakan pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang menyambar dari kanan, sedangkan pendeta kurus Thai Li Lama mengirim hantaman dari kiri sambil membentak lagi,
“Robohlah!”
Han Han merasa tubuhnya tergetar, bukan hanya oleh bentakan, melainkan juga oleh hawa pukulan. Ia mengerahkan semua sin-kangnya, maklum betapa lihainya dua orang lawan itu dan secepat kilat ia menancapkan pedang rampasan dan tongkat di atas tanah kemudian mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri mendorong kembali serangan lawan.
Secara otomatis, tangan kiri Han Han mengerahkan tenaga inti es, sedangkan tangan kanan mengerahkan tenaga inti api. Memang pemuda ini memiliki sin-kang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga dia dapat memecah sin-kangnya menjadi dua, yaitu menggunakan tangan kiri dengan Im-kang dan tangan kanan dengan Yang-kang.
“Wuuut.... wuuuttttt.... desssss!”
Pertemuan tenaga sakti yang amat dahsyat ini membuat tubuh Han Han tergetar, akan tetapi kedua orang pendeta Tibet juga terkejut dan mundur selangkah, tubuh Thai Li Lama agak menggigil kedinginan, sedangkan wajah Thian Tok Lama menjadi merah sekali.
Dalam detik berikutnya, mereka berdua sudah menambah tenaga dan memukul lagi, sambil melangkah dekat. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tubuh Han Han berikut pedang dan tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu sudah mencelat ke atas.
Hampir saja kedua orang pendeta sakti ini saling mengadu pukulan sendiri dan hanya karena tingkat mereka yang sudah amat tinggi membuat mereka dapat mengubah sasaran sehingga menyeleweng dan masing-masing hanya merasakan sambaran angin pukulan teman.
Han Han mencelat ke atas dengan niat hendak melepaskan diri dari kepungan, akan tetapi tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari atas pohon-pohon yang mengelilinginya. Ia makin terkejut, maklum bahwa pihak musuh telah melakukan persiapan sehingga barisan panah telah menutup jalan keluarnya melalui puncak-puncak pohon. Terpaksa ia memutar tongkatnya turun lagi, agak jauh dari situ.
Sebelum pemuda buntung ini sempat menghindarkan diri karena baru menghadapi Pek-giam-ong yang ditendangnya, tahu-tahu tubuhnya telah dipeluk oleh sepasang lengan yang panjang hitam dan amat kuat dari Hek-giam-ong! Raksasa hitam ini bukan hanya memeluk, bahkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan mengandung Toat-beng Hwi-ciang itu telah mencengkeram, yang kanan mencengkeram perut, yang kiri mencengkeram tenggorokan Han Han.
Sedetik pemuda buntung ini bingung juga menghadapi serangan tidak lumrah ini. Namun tentu saja dia tidak kehilangan akal. Mula-mula, tubuhnya secara otomatis telah menggerakkan sin-kang untuk melindungi perut dan tenggorokannya, kemudian kakinya dan tongkatnya menekan tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali.
Semua perajurit Mancu dan para tokoh yang menyaksikan pertandingan ini menahan napas. Mereka melihat betapa tubuh Hek-giam-ong ikut terbawa mencelat ke atas dan tampaklah betapa pemuda buntung itu berkali-kali melakukan gerakan jungkir-balik seperti kitiran di atas udara sehingga sukar diikuti pandang mata.
Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu pecah dua dan melayanglah tubuh Hek-giam-ong yang terbanting jatuh ke atas tanah dengan suara berdebuk dan dalam keadaan tak bernyawa lagi, kepalanya pecah oleh pukulan ujung tongkat Han Han.
Han Han melesat ke depan melampaui kepala pasukan Mancu. Akan tetapi ketika ia melayang lagi ke atas pohon, tiba-tiba ada desir angin yang amat hebat dari pohon itu. Kiranya di atas pohon itu telah berdiri seorang pendeta gendut yang bukan lain adalah Thian Tok Lama dan yang mengirim pukulan ke arahnya.
Pendeta Lama itu berdiri setengah berjongkok di atas dahan pohon yang besar, perutnya mengeluarkan bunyi “kok-kok-kok!” seperti suara ayam biang dan kedua lengannya didorongkan ke arah tubuh Han Han yang sedang mencelat ke atas.
Itulah pukulan jarak jauh Hek-in-hwi-hong-ciang yang amat dahsyat dan agaknya kakek ini sudah mengenal gerakan-gerakan Han Han yang cepat seperti kilat maka ia sengaja menghadangnya dari atas pohon. Angin yang keras dan panas dengan uap hitam menyambar ke arah tubuh Han Han.
Han Han terkejut sekali, maklum bahwa lawan tangguh ini melancarkan pukulan yang dahsyat dan berbahaya selagi tubuhnya masih di udara. Namun tidak percuma dia digembleng oleh wanita sakti buntung Khu Siauw Bwee dan telah mewarisi ilmu gerak kilat Soan-hong-lui-kun.
Sambaran angin pukulan yang dahsyat itu dapat ia pergunakan sebagai tenaga landasan, dan sambil mengerahkan sin-kang di tangan kanan yang didorongkan ke depan menangkis, ia dapat “meminjam” hawa pukulan lawan membuat tubuhnya mencelat ke kiri dan pukulan yang dahsyat itu luput. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara kagum,
“Omitohud....!” dan dari pohon sebelah kiri menyambar pula angin pukulan yang biarpun tidak sehebat Hek-in-hwi-hong-ciang tadi, namun dibarengi bentakan,
“Robohlah!”
Luar biasa sekali bentakan ini karena Han Han merasa seolah-olah ia terpaksa harus roboh! Biarpun ia sudah menggerakkan lengan menangkis dan mendapat kenyataan bahwa serangan dari pendeta kurus Thai Li Lama ini tidaklah sekuat serangan Thian Tok Lama tadi, namun di dalam bentakan itu terkandung wibawa dan kekuatan yang lebih berbahaya daripada pukulan itu! Seperti mimpi Han Han terpelanting, seolah-olah lebih parah terkena “pukulan” bentakan itu pada lubuk hatinya.
Masih untung bahwa Han Han memiliki kekuatan batin yang aneh. Andaikata tidak demikian, tentu serangan tadi benar-benar akan membuat ia roboh terbanting karena pendeta kurus ini telah menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu Sin-kun-hoat-lek, semacam ilmu pukulan yang disertai ilmu sihir yang terkandung dalam bentakannya tadi.
Dalam waktu dua detik saja setelah ia merasa tubuhnya melayang turun, Han Han sudah dapat menguasai dirinya dan cepat ia berjungkir-balik sehingga ketika turun ke tanah, ia berdiri tegak dengan kaki tunggalnya.
Akan tetapi, baru saja ia turun, kembali Thian Tok Lama dan Thai Li Lama sudah menyerangnya, sekarang kedua orang pendeta Tibet itu menyerangnya dari atas tanah, dari kanan kiri. Thian Tok Lama masih menggunakan pukulan maut Hek-in-hwi-hong-ciang yang menyambar dari kanan, sedangkan pendeta kurus Thai Li Lama mengirim hantaman dari kiri sambil membentak lagi,
“Robohlah!”
Han Han merasa tubuhnya tergetar, bukan hanya oleh bentakan, melainkan juga oleh hawa pukulan. Ia mengerahkan semua sin-kangnya, maklum betapa lihainya dua orang lawan itu dan secepat kilat ia menancapkan pedang rampasan dan tongkat di atas tanah kemudian mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri mendorong kembali serangan lawan.
Secara otomatis, tangan kiri Han Han mengerahkan tenaga inti es, sedangkan tangan kanan mengerahkan tenaga inti api. Memang pemuda ini memiliki sin-kang yang sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga dia dapat memecah sin-kangnya menjadi dua, yaitu menggunakan tangan kiri dengan Im-kang dan tangan kanan dengan Yang-kang.
“Wuuut.... wuuuttttt.... desssss!”
Pertemuan tenaga sakti yang amat dahsyat ini membuat tubuh Han Han tergetar, akan tetapi kedua orang pendeta Tibet juga terkejut dan mundur selangkah, tubuh Thai Li Lama agak menggigil kedinginan, sedangkan wajah Thian Tok Lama menjadi merah sekali.
Dalam detik berikutnya, mereka berdua sudah menambah tenaga dan memukul lagi, sambil melangkah dekat. Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan berkelebat dan tubuh Han Han berikut pedang dan tongkatnya telah lenyap karena pemuda itu sudah mencelat ke atas.
Hampir saja kedua orang pendeta sakti ini saling mengadu pukulan sendiri dan hanya karena tingkat mereka yang sudah amat tinggi membuat mereka dapat mengubah sasaran sehingga menyeleweng dan masing-masing hanya merasakan sambaran angin pukulan teman.
Han Han mencelat ke atas dengan niat hendak melepaskan diri dari kepungan, akan tetapi tiba-tiba puluhan batang anak panah menyambar dari atas pohon-pohon yang mengelilinginya. Ia makin terkejut, maklum bahwa pihak musuh telah melakukan persiapan sehingga barisan panah telah menutup jalan keluarnya melalui puncak-puncak pohon. Terpaksa ia memutar tongkatnya turun lagi, agak jauh dari situ.
Begitu ia turun, ia sudah dikepung lagi oleh puluhan orang perajurit Mancu. Senjata pasukan ini datang menyerangnya bagaikan hujan. Han Han makin marah. Ia memang tidak suka berkelahi dengan mereka, akan tetapi kalau dipaksa seperti itu, tentu saja ia harus membela diri mati-matian. Ia mengeluarkan seruan keras, tongkat dan pedang rampasannya ia gerakkan seperti kilat menyambar-nyambar sehingga dalam waktu singkat enam orang pengeroyok roboh dan tewas.
“Minggir....!”
Bentakan ini keluar dari mulut Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Dua orang pendeta sakti dari Tibet ini maklum bahwa pemuda ini bukan lawan para perajurit itu dan hanya mereka berdua dan para tokoh sakti saja yang akan mampu menandinginya.
Han Han berdiri tegak, bersandar pada tongkat di tangan kirinya, sedangkan pedang rampasan yang sudah merah oleh darah itu ia pegang dengan tangan kanan. Kedua alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya tajam melirik ke arah lima orang sakti yang bergerak melangkah perlahan-lahan mengepungnya.
Mereka itu bukan lain adalah Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan Bhong Poa Sik yang kepalanya ada “telurnya”, yaitu sepasang saudara kakak beradik yang terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil berjenggot panjang yang ia tidak kenal siapa, dan di bawah sebatang pohon, dengan cara berdirinya yang aneh, tampak Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu yang tidak ikut mengepungnya, hanya menonton dengan mata tak pernah berkedip seperti mata seekor burung bangau mengintai katak!
Han Han bersikap waspada. Ia dapat menduga bahwa di antara enam orang lawannya yang sakti ini, kedua orang pendeta Tibet dan Si Burung Hantu itulah yang agaknya paling lihai. Kedua Tikus Kuburan itu biarpun berkepandaian tinggi, namun bukan merupakan lawan tangguh, hal ini tampak bukan hanya dalam sikap mereka yang kelihatan gentar, juga terbukti bahwa mereka berdua memegang senjata.
Bhong Lek si Muka Tikus itu memegang senjata siang-kek (sepasang tombak bercabang) bergagang pendek, sedangkan adiknya Bhong Poa Sik yang kepalanya benjol sebesar telur itu memegang sebatang pedang. Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek kurus kecil berjenggot panjang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.
Aku harus dapat lebih dulu merobohkan tiga orang yang paling berbahaya itu, pikir Han Han. Musuh terlampau banyak dan kalau dia melawan mereka yang lebih lemah namun banyak jumlahnya sehingga nanti tenaganya akan habis untuk menghadapi tiga orang sakti itu, tentu dia akan celaka. Kalau dia berhasil merobohkan tiga orang lawan tangguh itu, dia akan selamat, yang lain-lain tidaklah berat untuk dihadapi dan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Setelah berpikir demikian, Han Han mengeluarkan seruan melengking dari dalam pusar menembus dada dan tenggorokan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir-balik dan berputaran membingungkan para pengurungnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke arah Ciam Tek si Burung Hantu yang kelihatannya melenggut di bawah pohon, bersandar pada gagang sabitnya yang amat tajam.
Gerakan Han Han amatlah cepatnya karena memang dia mempergunakan gerak kilat dari Soan-hong-lui-kun sehingga Si Burung Hantu yang lihai itupun kini menjadi amat terkejut.
Dahulu, ketika ikut membantu Giam Kok Ma menjebak Han Han, Ciam Tek si Burung Hantu ini pernah mendapat kesempatan bergebrak sejurus menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan ternyata kepandaiannya berimbang dengan nenek itu! Karena itu, biarpun terkejut sekali, ia tidak kehilangan akal melihat tubuh pemuda buntung itu meluncur dan menusuknya dengan pedang rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu tahu-tahu sudah meloncat naik pula, senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu berubah menjadi sinar menyilaukan, menyambar ke atas menangkis pedang rampasan yang dipergunakan Han Han untuk menyerangnya.
“Tranggggg....!”
Pedang rampasan di tangan Han Han patah menjadi dua, akan tetapi senjata sabit itupun patah, bahkan Ciam Tek masih terhuyung-huyung ke belakang. Ia terkejut bukan main, cepat ia menjatuhkan diri bergulingan dan setelah meloncat bangun Ciam Tek sudah siap menghadapi lawannya yang buntung namun memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa itu.
Akan tetapi ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun, ia melihat Han Han telah dikeroyok dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama! Kembali Ciam Tek tertegun dan memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang terhitung suheng-suhengnya karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan mereka itu, sudah ia ketahui kelihaian mereka.
Namun kini mereka berdua maju berbareng, mengeroyok si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat aneh dan mulai menipislah rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan saja senjatanya yang ampuh menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.
Dengan tongkat bututnya, Han Han menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Tibet. Pemuda ini mengerti bahwa dua orang lawannya memiliki pukulan-pukulan ampuh sekali, maka ia menghadapi mereka dengan hati-hati, akan tetapi juga ingin mengakhiri pertandingan itu secepatnya agar dia dapat membebaskan diri sebelum terlambat dan kehabisan tenaga.
Oleh karena ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau Siang-mo Kiam-sut lebih hebat dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini dia hanya menggunakan sebatang tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia pergunakan untuk menangkis pukulan-pukulan lawan atau membalas dengan pukulannya sendiri yang mengandung tenaga dahsyat.
Dua buah kitab yang dahulu diberikan kepadanya oleh Sepasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu Iblis Jantan dan Iblis Betina yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang sebatang tongkat di tangan kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu bagian Ilmu Pedang Iblis Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.
Melihat gerakan tongkat yang amat hebat, apalagi didasari gin-kang yang sukar dicari lawannya dan tenaga sin-kang yang amat kuat, dua orang pendeta Tibet itu diam-diam merasa heran sekali, juga kagum. Belum pernah selamanya mereka bertemu tanding selihai ini dan diam-diam mereka mengerti bahwa kalau mereka harus melawan satu-satu, mereka tentu akan sukar sekali menandingi kehebatan pemuda buntung ini!
Selama tiga empat puluh jurus kedua orang pendeta itu berusaha merobohkan Han Han dengan serangan bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka tahu bahwa kalau mereka mempergunakan jurus-jurus silat, tak mungkin mereka akan dapat merobohkan pemuda buntung yang ternyata dapat bergerak secepat kilat secara aneh ini, bahkan membahayakan mereka sendiri karena gerakan loncatan Han Han amat sukar diikuti pandangan mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya berkaki satu itu mencelat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang agaknya menjadi isyarat bagi sutenya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke belakang, menghadapi Han Han dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan pukulan dahsyat yang berdasarkan sin-kang mereka yang kuat!
Thian Tok Lama sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya merendah seperti jongkok, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan yang amat panas hawanya, bahkan dari lengan kanannya yang membiru itu keluar suara bercuitan, dibarengi mengebulnya uap hitam yang menerjang ke arah Han Han.
Thai Li Lama juga berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, kedua lengannya bergerak, yang kanan melakukan gerakan mendorong ke arah Han Han, yang kiri dengan telunjuk mengacung membuat gerakan berputar dan mencoret-coret seperti sedang menggambar atau menulis huruf diudara.
Han Han juga maklum bahwa kalau ia mengandalkan ilmu silatnya saja, akan sukarlah ia mengalahkan kedua orang pendeta Tibet itu, maka begitu melihat mereka mulai mengandalkan pukulan sakti, ia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian cepat ia mengerahkan tenaga di kedua lengannya dan dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri, dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan dengan sin-kang yang menggetar keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.
Han Han merasa betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja yang panas. Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah mengeluarkan tenaga Yang-kang, maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke arah kedua lengannya.
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini. Biarpun kedua tangan Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh setengah meter, namun sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari kedua tangan Thian Tok Lama makin menebal!
Han Han berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya tampak kokoh kuat menahan ke kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua orang lawannya tidak seimbang.
Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat dan melihat kedua orang itu makin mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia maklum bahwa kalau dia tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin sukar baginya mencapai kemenangan. Dalam hal sin-kang, ia percaya kepada tenaganya sendiri, dan kalau mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah baginya mempergunakan ginkang dari Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka mengirim serangan maut.
Para perajurit Mancu dan para tokoh yang menonton pertandingan itu menjadi tegang hatinya. Pertandingan yang aneh bagi para perajurit, akan tetapi bagi tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan, mereka maklum betapa bahayanya mencampuri pertandingan seperti itu yang seolah-olah mengeluarkan sinar-sinar kilat yang akan mematikan orang yang berani mendekat. Dari jauh saja mereka sudah dapat merasakan getaran-getaran hebat yang keluar dari benturan tenaga sakti tiga orang itu.
Tubuh kedua orang hwesio Tibet itu makin dekat dan telapak tangan mereka hampir menyentuh kedua telapak tangan Han Han. Tiba-tiba Han Han menjadi terkejut bukan main karena dari sebelah kirinya di mana Thai Li Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul semacam gelombang yang amat aneh. Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya, yang kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat dekat di telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun mempunyai daya tarik yang sukar dilawan.
“Menyerahlah.... engkau tidak kuat lagi.... menyerahlah.... berlututlah....!”
Suaranya sendirikah itu? Tiba-tiba Han Han merasa betapa beratnya mempertahankan diri, betapa kedua lengannya yang tadi masih kuat menahan himpitan tenaga sakti dari kanan kiri itu terasa lelah sekali, hampir tidak kuat dia.
“Menyerahlah, berlutut....!”
Suaranyakah itu? Ah, bukan! Itu suara Thian Li Lama yang entah bagaimana memasuki otaknya. Ketika Han Han di dalam hatinya menggoyang kepala mengusir keadaan seperti mimpi itu, seketika pandang matanya terang kembali, bisikan lenyap akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa dia sudah benar-benar menekuk lutut kaki tunggalnya! Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para perajurit Mancu yang melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan tubuh gemetar.
“Setan!”
Han Han mengerahkan seluruh kekuatan batin dan sin-kangnya, lalu perlahan-lahan ia bangkit berdiri. Kiranya telapak tangannya sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di kanan kiri dan ia merasa betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu masih dapat ia tahan. Ia melirik ke arah Thian Li Lama dan melihat pendeta kurus ini mulutnya berkemak-kemik, tangan pendeta ini menempel di tangan kirinya dan tangan kiri pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh.
Mengertilah Han Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan ilmu hitam. Teringat ia akan kekuatan mujijat yang terkandung dalam tubuhnya sendiri, maka ia pun membalas pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan kekuatan kemauannya dan di dalam hatinya ia membentak,
“Thai Li Lama, mengapa menyuruh orang lain? Engkaulah yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!”
Tiba-tiba pendeta Tibet yang kurus itu mengeluarkan seruan aneh dari dadanya dan.... kedua kakinya bertekuk lutut!
“Ji-suheng....!”
Terdengar suara parau Burung Hantu. Agaknya teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li Lama. Pendeta kurus ini terkejut sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi terlambat. Saat yang hanya sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang tiba-tiba, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah inti hawa panas Hwi-yang Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin sekali. Seketika tubuh Thai Li Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru keras, mengerahkan seluruh tenaganya melawan hawa dingin.
“Aihhhhh....!”
Han Han mengeluarkan seruan keras sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah sin-kangnya, dari dingin ke panas, dari panas ke dingin sehingga kedua orang lawannya menjadi bingung dan tersiksa. Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang memang sudah terluka sebagai akibat kelengahannya jatuh di bawah pengaruh kekuatan mujijat Han Han. Perubahan-perubahan hawa sakti itu membuat keringat dingin bercucuran dan mukanya pucat sekali.
Akan tetapi, pertandingan hebat ini bukan tidak merugikan Han Han sendiri karena melawan dua orang tokoh yang begitu kuat membutuhkan pengerahan seluruh tenaganya. Biarpun dia dapat menguasai keadaan, namun sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga raksasa, dan tadi ketika sejenak ia tertekan hebat dan hampir saja ia celaka.
Maklum bahwa tidak boleh ia berlama-lama karena keadaannya sendiri berbahaya, Han Han mengumpulkan seluruh tenaganya, tubuhnya direndahkan sedikit kemudian ia mendorong ke kanan kiri dengan keras sambil berteriak,
“Hyyyaaaaattttt!”
Inti tenaga sin-kang Han Han memang bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya sudah timbul ketika ia mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia menggunakan kekuatan kemauan untuk melatih sin-kang yang tinggi tingkatnya seperti Hwi-yang Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau Es, dia sudah memiliki sin-kang yang sukar dicari bandingnya. Kemudian sekali, dia digembleng oleh Khu Siauw Bwee, seorang di antara pemilik Pulau ES, tentu saja tingkatnya menjadi amat tinggi.
Biarpun kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan sukar dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan dengan hawa sin-kang yang berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak dapat mereka tahan dan tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan meter jauhnya. Begitu terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat bersila dan meramkan mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan sin-kang untuk menolong nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.
Akan tetapi, Han Han sendiri pun harus menggunakan tenaga terakhir tadi untuk dapat melontarkan dua orang lawannya yang kuat, maka kini biarpun dia berhasil, dia sendiri pun tidak keluar tanpa luka, biarpun lukanya tidak seberat kedua orang lawan.
Begitu kedua orang lawannya terlempar, pemuda buntung ini terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntahkan sedikit darah segar, kedua matanya dipejamkan dan tangan kirinya meraba-raba gagang tongkat yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
“Aku mencari adikku.... kenapa kalian mendesakku....?” mulutnya berbisik penuh penyesalan.
Tiba-tiba dari belakangnya menyambar angin pukulan yang amat hebat. Han Han terkejut, cepat ia memutar tubuh, akan tetapi karena kepalanya masih pening, gerakannya kurang cepat. Terpaksa ia hanya menggerakkan tangan kanan menangkis, dan berhasil menangkis tangan kiri Ciam Tek. Akan tetapi tangan kanan Si Burung Hantu masih tepat memukul dadanya dengan pukulan Hek-in-sin-ciang yang beracun.
“Desssss....!”
Tubuh Han Han terpelanting ke kanan dan kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini masih sadar dan maklum bahwa kalau tidak cepat bergerak, akan celakalah dia. Kaki tunggalnya menjejak tanah, tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Benar saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan mengenai tanah tempat ia tadi rebah.
Melihat pukulannya gagal, Ciam Tek Si Burung Hantu yang sudah kegirangan karena serangan pertamanya tadi berhasil, cepat meloncat naik mengejar dan mengirim pukulan pula.
“Pengecut curang....!”
Han Han memapaki dan terpaksa ia berjungkir-balik untuk mengelak dan terpaksa ia meloncat turun lagi ke atas tanah. Si Burung Hantu juga melayang turun. Han Han membelalakkan matanya penuh amarah, bibirnya masih berdarah, dadanya terasa sakit sekali. Ia marah oleh kecurangan lawan yang memukul dari belakang selagi ia pening.
“Ha-ha-ha, mampuslah!”
Ciam Tek tertawa mengejek dan kembali ia melakukan pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan ini sebetulnya sama sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan memang dahulu ketika merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu pukulan ini dari guru kedua orang pendeta Lama maka mereka itu terhitung suheng-suhengnya.
Pukulannya yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti Awan Hitam) inipun mengeluarkan uap hitam dan beracun. Sungguhpun tidak sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup hebat dan jarang ada orang mampu menahan pukulan maut ini.
Manusia bermuka seperti burung ini amat licik dan juga bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa sedikit banyak pemuda luar biasa ini sudah terluka dalam pertandingan melawan kedua orang pendeta Tibet, maka ia mempergunakan kesempatan untuk menghantam Han Han dari belakang. Ketika pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang sekali dan terus mendesak Han Han.
Akan tetapi Han Han kini sudah marah bukan main. Orang telah mendesak dia yang tidak ingin berkelahi. Apalagi Si Burung Hantu yang curang ini. Baik, ia menggigit bibir. Mari kita bertanding mati-matian! Dengan kemarahan meluap, melihat Ciam Tek memukul, Han Han tidak mau mengelak, melainkan menerima pukulan Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan pula sambil mengerahkan Im-kang.
“Desssss!”
Si Burung Hantu jatuh terduduk, tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya keluar suara mencicit seperti burung, tangan kanannya menghantam didahului uap hitam ke arah ulu hati Han Han.
Pemuda ini miringkan tubuh mengelak sambil berputar. Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu dengan jari terbuka dan digerakkan miring membabat ke arah lehernya seperti sebatang golok.
Han Han kembali mengelak, akan tetapi rambutnya yang panjang itu terbabat sedikit dan.... putus! Han Han terkejut. Kiranya tangan kiri manusia aneh bermuka burung ini dapat dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak kalah oleh pedang, dapat membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!
“Heh-heh-heh!”
Ciam Tek mengejek dan kembali kedua lengannya yang panjang-panjang itu sudah bergerak ke depan. Yang kanan menonjok perut yang kiri membacok kepala. Pada saat itu, tiga orang perwira Mancu ikut pula menerjang maju dengan senjata tombak mereka.
“Pergi, jangan bantu....!”
Si Burung Hantu membentak, akan tetapi tiga orang perwira Mancu itu terus saja menyerang Han Han, pura-pura tidak mengerti. Dan memang mereka tentu saja mengerti bahwa mereka tidak semestinya memyerang terus. Akan tetapi karena penasaran maka mereka pura-pura tidak mendengar dan menerjang Han Han menggunakan tombak, seolah-olah berlumba untuk memperebutkan jasa.
Diam-diam Han Han menjadi girang. Dia sudah agak lemah dan terluka, dan biarpun dia masih sanggup menandingi Ciam Tek, namun kalau manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang lihai, tentu keadaannya akan berbahaya sekali.
Untung baginya bahwa tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari situ, sehingga yang datang membantu Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Hal ini menguntungkan dia, dan merugikan Ciam Tek karena bagi ahli silat tinggi, bantuan dari orang-orang yang tidak pandai bukan merupakan bantuan lagi, bahkan menjadi pengganggu! Karena itulah maka tadi ia berteriak mencegah mereka sungguhpun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan Han Han sendiri saja.
Han Han membiarkan dua tombak datang meluncur. Setelah dekat sekali, ia menangkap kedua tombak dengan tangan, kakinya menendang roboh perwira ke tiga dan sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh dua orang perwira itu terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke arah tubuh Ciam Tek!
“Tolol kamu!”
Ciam Tek mendengus marah, kedua tangannya bergerak mendorong dan tubuh dua orang perwira itu terbanting ke atas tanah, bergulingan dan pingsan. Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan Han Han. Melihat betapa manusia burung itu menangkis dan melontarkan kedua orang perwira Mancu, ia sudah meloncat ke depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan, tangan kanan menonjok dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat menotok.
Si Burung Hantu atau Sin-tiauw-kwi Ciam Tek benar-benar amat lihai. Biarpun serangan Han Han ini amat cepat dan hanya beberapa detik setelah ia menangkis tubuh dua orang perwira, namun ia masih dapat menghadapinya.
Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Han Han, kemudian tangan kanannya mencengkeram ke arah tongkat yang menotok lehernya. Namun, karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han Han sudah mengatur siasat lebih dulu, tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit dan sebaliknya malah menggempur lengannya dengan pukulan yang menggetar karena mengandung tenaga sin-kang
“Krakkk! Auuuggghhh!”
Si manusia burung itu mencelat ke belakang, menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya retak! Saking marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan tulang lengan kanannya, malah maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor burung.
Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka masih begitu nekat, padahal saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan Sepasang Tikus Kuburan. Maka ia sengaja menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek yang ia tahu telah terluka, sedangkan cengkeraman tangan kiri lawan ke arah ubun-ubunnya ia tangkis dengan tangan kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur ke arah dada lawan.
“Krakkk....! Crotttt....!”
Terdengar jerit melengking dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung tongkat yang menembus dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han Han karena memang tadinya tulang itu telah retak.
Han Han menyeringai kesakitan. Biarpun lengan kanan Ciam Tek telah retak tulangnya, namun pukulan yang mengenai dadanya itu masih hebat sekali membuat napasnya sesak dan matanya berkunang.
Pemuda ini maklum bahwa dirinya terancam bahaya maka cepat ia mencabut tongkatnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Pandang matanya masih berkunang dan kepalanya berat sekali. Ia perlu cepat-cepat membebaskan diri agar dapat mengobati luka di dalam dadanya.
“Minggir....!”
Bentakan ini keluar dari mulut Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Dua orang pendeta sakti dari Tibet ini maklum bahwa pemuda ini bukan lawan para perajurit itu dan hanya mereka berdua dan para tokoh sakti saja yang akan mampu menandinginya.
Han Han berdiri tegak, bersandar pada tongkat di tangan kirinya, sedangkan pedang rampasan yang sudah merah oleh darah itu ia pegang dengan tangan kanan. Kedua alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya tajam melirik ke arah lima orang sakti yang bergerak melangkah perlahan-lahan mengepungnya.
Mereka itu bukan lain adalah Thian Tok Lama, Thai Li Lama, Bhong Lek si Muka Tikus dan Bhong Poa Sik yang kepalanya ada “telurnya”, yaitu sepasang saudara kakak beradik yang terkenal dengan julukan Tikus Kuburan, seorang kakek kurus kecil berjenggot panjang yang ia tidak kenal siapa, dan di bawah sebatang pohon, dengan cara berdirinya yang aneh, tampak Sin-tiauw-kwi Ciam Tek si Burung Hantu yang tidak ikut mengepungnya, hanya menonton dengan mata tak pernah berkedip seperti mata seekor burung bangau mengintai katak!
Han Han bersikap waspada. Ia dapat menduga bahwa di antara enam orang lawannya yang sakti ini, kedua orang pendeta Tibet dan Si Burung Hantu itulah yang agaknya paling lihai. Kedua Tikus Kuburan itu biarpun berkepandaian tinggi, namun bukan merupakan lawan tangguh, hal ini tampak bukan hanya dalam sikap mereka yang kelihatan gentar, juga terbukti bahwa mereka berdua memegang senjata.
Bhong Lek si Muka Tikus itu memegang senjata siang-kek (sepasang tombak bercabang) bergagang pendek, sedangkan adiknya Bhong Poa Sik yang kepalanya benjol sebesar telur itu memegang sebatang pedang. Orang ke tiga yang memegang senjata adalah kakek kurus kecil berjenggot panjang yang bertelanjang kaki, memegang sebatang rantai panjang yang ia putar-putar dengan kedua tangannya.
Aku harus dapat lebih dulu merobohkan tiga orang yang paling berbahaya itu, pikir Han Han. Musuh terlampau banyak dan kalau dia melawan mereka yang lebih lemah namun banyak jumlahnya sehingga nanti tenaganya akan habis untuk menghadapi tiga orang sakti itu, tentu dia akan celaka. Kalau dia berhasil merobohkan tiga orang lawan tangguh itu, dia akan selamat, yang lain-lain tidaklah berat untuk dihadapi dan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Setelah berpikir demikian, Han Han mengeluarkan seruan melengking dari dalam pusar menembus dada dan tenggorokan, kemudian tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir-balik dan berputaran membingungkan para pengurungnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke arah Ciam Tek si Burung Hantu yang kelihatannya melenggut di bawah pohon, bersandar pada gagang sabitnya yang amat tajam.
Gerakan Han Han amatlah cepatnya karena memang dia mempergunakan gerak kilat dari Soan-hong-lui-kun sehingga Si Burung Hantu yang lihai itupun kini menjadi amat terkejut.
Dahulu, ketika ikut membantu Giam Kok Ma menjebak Han Han, Ciam Tek si Burung Hantu ini pernah mendapat kesempatan bergebrak sejurus menghadapi Toat-beng Ciu-sian-li dan ternyata kepandaiannya berimbang dengan nenek itu! Karena itu, biarpun terkejut sekali, ia tidak kehilangan akal melihat tubuh pemuda buntung itu meluncur dan menusuknya dengan pedang rampasan. Ciam Tek si Burung Hantu tahu-tahu sudah meloncat naik pula, senjatanya yang hebat berbentuk sabit itu berubah menjadi sinar menyilaukan, menyambar ke atas menangkis pedang rampasan yang dipergunakan Han Han untuk menyerangnya.
“Tranggggg....!”
Pedang rampasan di tangan Han Han patah menjadi dua, akan tetapi senjata sabit itupun patah, bahkan Ciam Tek masih terhuyung-huyung ke belakang. Ia terkejut bukan main, cepat ia menjatuhkan diri bergulingan dan setelah meloncat bangun Ciam Tek sudah siap menghadapi lawannya yang buntung namun memiliki tenaga sin-kang yang amat luar biasa itu.
Akan tetapi ketika Si Burung Hantu ini meloncat bangun, ia melihat Han Han telah dikeroyok dua oleh Thian Tok Lama dan Thai Li Lama! Kembali Ciam Tek tertegun dan memandang kagum. Dua orang pendeta Tibet yang terhitung suheng-suhengnya karena dia pernah belajar di bawah satu guru dengan mereka itu, sudah ia ketahui kelihaian mereka.
Namun kini mereka berdua maju berbareng, mengeroyok si pemuda buntung Han Han! Benar-benar hal yang amat aneh dan mulai menipislah rasa penasaran di hatinya mengapa dalam segebrakan saja senjatanya yang ampuh menjadi patah dan dia terhuyung ke belakang.
Dengan tongkat bututnya, Han Han menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Tibet. Pemuda ini mengerti bahwa dua orang lawannya memiliki pukulan-pukulan ampuh sekali, maka ia menghadapi mereka dengan hati-hati, akan tetapi juga ingin mengakhiri pertandingan itu secepatnya agar dia dapat membebaskan diri sebelum terlambat dan kehabisan tenaga.
Oleh karena ini Han Han mainkan tongkat di tangan kirinya dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat dahsyat, hanya bedanya, kalau Siang-mo Kiam-sut lebih hebat dimainkan dengan sepasang senjata pedang, kini dia hanya menggunakan sebatang tongkat di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia pergunakan untuk menangkis pukulan-pukulan lawan atau membalas dengan pukulannya sendiri yang mengandung tenaga dahsyat.
Dua buah kitab yang dahulu diberikan kepadanya oleh Sepasang Pedang Iblis Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua kitab yang mengandung pelajaran ilmu pedang iblis, yaitu Iblis Jantan dan Iblis Betina yang kalau digabungkan menjadi Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat ampuh. Kini, karena dia hanya memegang sebatang tongkat di tangan kiri, Han Han hanya bisa mainkan semacam saja, yaitu bagian Ilmu Pedang Iblis Jantan dari kitab peninggalan Can Ji Kun.
Melihat gerakan tongkat yang amat hebat, apalagi didasari gin-kang yang sukar dicari lawannya dan tenaga sin-kang yang amat kuat, dua orang pendeta Tibet itu diam-diam merasa heran sekali, juga kagum. Belum pernah selamanya mereka bertemu tanding selihai ini dan diam-diam mereka mengerti bahwa kalau mereka harus melawan satu-satu, mereka tentu akan sukar sekali menandingi kehebatan pemuda buntung ini!
Selama tiga empat puluh jurus kedua orang pendeta itu berusaha merobohkan Han Han dengan serangan bertubi-tubi. Namun akhirnya mereka tahu bahwa kalau mereka mempergunakan jurus-jurus silat, tak mungkin mereka akan dapat merobohkan pemuda buntung yang ternyata dapat bergerak secepat kilat secara aneh ini, bahkan membahayakan mereka sendiri karena gerakan loncatan Han Han amat sukar diikuti pandangan mata dan sukar diduga ke mana tubuh yang hanya berkaki satu itu mencelat.
Tiba-tiba Thian Tok Lama mengeluarkan gerengan keras yang agaknya menjadi isyarat bagi sutenya. Keduanya sudah meloncat dua langkah ke belakang, menghadapi Han Han dari barat dan timur, kemudian mereka melancarkan pukulan dahsyat yang berdasarkan sin-kang mereka yang kuat!
Thian Tok Lama sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya merendah seperti jongkok, perutnya mengeluarkan bunyi berkokok dan dari kedua tangannya menyambar angin pukulan yang amat panas hawanya, bahkan dari lengan kanannya yang membiru itu keluar suara bercuitan, dibarengi mengebulnya uap hitam yang menerjang ke arah Han Han.
Thai Li Lama juga berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, kedua lengannya bergerak, yang kanan melakukan gerakan mendorong ke arah Han Han, yang kiri dengan telunjuk mengacung membuat gerakan berputar dan mencoret-coret seperti sedang menggambar atau menulis huruf diudara.
Han Han juga maklum bahwa kalau ia mengandalkan ilmu silatnya saja, akan sukarlah ia mengalahkan kedua orang pendeta Tibet itu, maka begitu melihat mereka mulai mengandalkan pukulan sakti, ia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, kemudian cepat ia mengerahkan tenaga di kedua lengannya dan dia menggerakkan kedua lengannya ke kanan kiri, dilonjorkan untuk menahan pukulan-pukulan lawan dengan sin-kang yang menggetar keluar dari telapak kedua tangannya yang terbuka.
Han Han merasa betapa kedua tangannya seolah-olah bertemu dengan dinding baja yang panas. Maklumlah ia bahwa kedua orang kakek itu telah mengeluarkan tenaga Yang-kang, maka ia pun mengerahkan inti tenaga Hwi-yang Sin-ciang disalurkan ke arah kedua lengannya.
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga di udara ini. Biarpun kedua tangan Han Han masih terpisah dari tangan lawan, masih sejauh setengah meter, namun sudah terasa panasnya dan uap hitam yang mengebul dari kedua tangan Thian Tok Lama makin menebal!
Han Han berdiri tegak, tidak bergeming, kedua lengannya tampak kokoh kuat menahan ke kanan kiri. Pemuda ini merasa betapa tenaga kedua orang lawannya tidak seimbang.
Tenaga Thian Tok Lama lebih kuat dan melihat kedua orang itu makin mendekat, Han Han sengaja membiarkan hal ini karena ia maklum bahwa kalau dia tidak berani membiarkan mereka mendekat, akan makin sukar baginya mencapai kemenangan. Dalam hal sin-kang, ia percaya kepada tenaganya sendiri, dan kalau mereka sudah dekat, tentu akan lebih mudah baginya mempergunakan ginkang dari Soan-hong-lui-kun untuk mendahului mereka mengirim serangan maut.
Para perajurit Mancu dan para tokoh yang menonton pertandingan itu menjadi tegang hatinya. Pertandingan yang aneh bagi para perajurit, akan tetapi bagi tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan, mereka maklum betapa bahayanya mencampuri pertandingan seperti itu yang seolah-olah mengeluarkan sinar-sinar kilat yang akan mematikan orang yang berani mendekat. Dari jauh saja mereka sudah dapat merasakan getaran-getaran hebat yang keluar dari benturan tenaga sakti tiga orang itu.
Tubuh kedua orang hwesio Tibet itu makin dekat dan telapak tangan mereka hampir menyentuh kedua telapak tangan Han Han. Tiba-tiba Han Han menjadi terkejut bukan main karena dari sebelah kirinya di mana Thai Li Lama menyerang dengan hawa pukulan, timbul semacam gelombang yang amat aneh. Gelombang yang menggetarkan seluruh tubuhnya, yang kemudian menyelimuti pikirannya dan terdengar suara pendeta itu, amat dekat di telinganya atau seperti di dalam kepalanya, suara perlahan namun mempunyai daya tarik yang sukar dilawan.
“Menyerahlah.... engkau tidak kuat lagi.... menyerahlah.... berlututlah....!”
Suaranya sendirikah itu? Tiba-tiba Han Han merasa betapa beratnya mempertahankan diri, betapa kedua lengannya yang tadi masih kuat menahan himpitan tenaga sakti dari kanan kiri itu terasa lelah sekali, hampir tidak kuat dia.
“Menyerahlah, berlutut....!”
Suaranyakah itu? Ah, bukan! Itu suara Thian Li Lama yang entah bagaimana memasuki otaknya. Ketika Han Han di dalam hatinya menggoyang kepala mengusir keadaan seperti mimpi itu, seketika pandang matanya terang kembali, bisikan lenyap akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa dia sudah benar-benar menekuk lutut kaki tunggalnya! Dan terdengarlah olehnya sorakan-sorakan para perajurit Mancu yang melihat dia berlutut, mementangkan kedua lengannya ke kanan kiri dengan tubuh gemetar.
“Setan!”
Han Han mengerahkan seluruh kekuatan batin dan sin-kangnya, lalu perlahan-lahan ia bangkit berdiri. Kiranya telapak tangannya sudah menempel kepada telapak tangan kedua lawan di kanan kiri dan ia merasa betapa hawa panas yang keluar dari tangan mereka itu masih dapat ia tahan. Ia melirik ke arah Thian Li Lama dan melihat pendeta kurus ini mulutnya berkemak-kemik, tangan pendeta ini menempel di tangan kirinya dan tangan kiri pendeta itu membuat gerakan-gerakan aneh.
Mengertilah Han Han bahwa tentu pendeta ini menggunakan ilmu hitam. Teringat ia akan kekuatan mujijat yang terkandung dalam tubuhnya sendiri, maka ia pun membalas pandang mata hwesio Tibet itu, mengerahkan kekuatan kemauannya dan di dalam hatinya ia membentak,
“Thai Li Lama, mengapa menyuruh orang lain? Engkaulah yang ingin menyerah dan berlutut. Berlututlah!”
Tiba-tiba pendeta Tibet yang kurus itu mengeluarkan seruan aneh dari dadanya dan.... kedua kakinya bertekuk lutut!
“Ji-suheng....!”
Terdengar suara parau Burung Hantu. Agaknya teriakan inilah yang menyadarkan Thai Li Lama. Pendeta kurus ini terkejut sekali dan cepat bangkit berdiri, akan tetapi terlambat. Saat yang hanya sejenak itu telah dimanfaatkan oleh Han Han yang tiba-tiba, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam tubuhnya, telah mengubah inti hawa panas Hwi-yang Sin-ciang menjadi Swat-im Sin-ciang yang dingin sekali. Seketika tubuh Thai Li Lama menggigil sedangkan Thian Tok Lama berseru keras, mengerahkan seluruh tenaganya melawan hawa dingin.
“Aihhhhh....!”
Han Han mengeluarkan seruan keras sekali, berkali-kali, ia mengubah-ubah sin-kangnya, dari dingin ke panas, dari panas ke dingin sehingga kedua orang lawannya menjadi bingung dan tersiksa. Lebih-lebih lagi Thai Li Lama yang memang sudah terluka sebagai akibat kelengahannya jatuh di bawah pengaruh kekuatan mujijat Han Han. Perubahan-perubahan hawa sakti itu membuat keringat dingin bercucuran dan mukanya pucat sekali.
Akan tetapi, pertandingan hebat ini bukan tidak merugikan Han Han sendiri karena melawan dua orang tokoh yang begitu kuat membutuhkan pengerahan seluruh tenaganya. Biarpun dia dapat menguasai keadaan, namun sesungguhnya dia terhimpit oleh tenaga raksasa, dan tadi ketika sejenak ia tertekan hebat dan hampir saja ia celaka.
Maklum bahwa tidak boleh ia berlama-lama karena keadaannya sendiri berbahaya, Han Han mengumpulkan seluruh tenaganya, tubuhnya direndahkan sedikit kemudian ia mendorong ke kanan kiri dengan keras sambil berteriak,
“Hyyyaaaaattttt!”
Inti tenaga sin-kang Han Han memang bukan didapat dengan latihan biasa. Tenaga saktinya sudah timbul ketika ia mengalami hal yang mengguncang jiwanya, kemudian ia menggunakan kekuatan kemauan untuk melatih sin-kang yang tinggi tingkatnya seperti Hwi-yang Sin-ciang. Lebih-lebih lagi setelah ia melatih diri di Pulau Es, dia sudah memiliki sin-kang yang sukar dicari bandingnya. Kemudian sekali, dia digembleng oleh Khu Siauw Bwee, seorang di antara pemilik Pulau ES, tentu saja tingkatnya menjadi amat tinggi.
Biarpun kedua orang pendeta Tibet itu merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet dan sukar dicari tandingannya, namun setelah mereka dibingungkan dengan hawa sin-kang yang berubah-ubah tadi, kini serangan terakhir Han Han tak dapat mereka tahan dan tubuh mereka terlempar ke belakang sampai sebelasan meter jauhnya. Begitu terbanting roboh, kedua orang pendeta Tibet ini cepat bersila dan meramkan mata, cepat-cepat mengatur pernapasan dan menggunakan sin-kang untuk menolong nyawa mereka dari luka dalam yang cukup berbahaya.
Akan tetapi, Han Han sendiri pun harus menggunakan tenaga terakhir tadi untuk dapat melontarkan dua orang lawannya yang kuat, maka kini biarpun dia berhasil, dia sendiri pun tidak keluar tanpa luka, biarpun lukanya tidak seberat kedua orang lawan.
Begitu kedua orang lawannya terlempar, pemuda buntung ini terhuyung-huyung, tubuhnya bergoyang-goyang dan ia muntahkan sedikit darah segar, kedua matanya dipejamkan dan tangan kirinya meraba-raba gagang tongkat yang tadi ia tancapkan di atas tanah.
“Aku mencari adikku.... kenapa kalian mendesakku....?” mulutnya berbisik penuh penyesalan.
Tiba-tiba dari belakangnya menyambar angin pukulan yang amat hebat. Han Han terkejut, cepat ia memutar tubuh, akan tetapi karena kepalanya masih pening, gerakannya kurang cepat. Terpaksa ia hanya menggerakkan tangan kanan menangkis, dan berhasil menangkis tangan kiri Ciam Tek. Akan tetapi tangan kanan Si Burung Hantu masih tepat memukul dadanya dengan pukulan Hek-in-sin-ciang yang beracun.
“Desssss....!”
Tubuh Han Han terpelanting ke kanan dan kembali ia muntahkan darah segar. Pemuda ini masih sadar dan maklum bahwa kalau tidak cepat bergerak, akan celakalah dia. Kaki tunggalnya menjejak tanah, tangan dan tongkat juga bergerak dan tubuhnya sudah mencelat ke atas. Benar saja dugaannya, pukulan Si Burung Hantu tiba dan mengenai tanah tempat ia tadi rebah.
Melihat pukulannya gagal, Ciam Tek Si Burung Hantu yang sudah kegirangan karena serangan pertamanya tadi berhasil, cepat meloncat naik mengejar dan mengirim pukulan pula.
“Pengecut curang....!”
Han Han memapaki dan terpaksa ia berjungkir-balik untuk mengelak dan terpaksa ia meloncat turun lagi ke atas tanah. Si Burung Hantu juga melayang turun. Han Han membelalakkan matanya penuh amarah, bibirnya masih berdarah, dadanya terasa sakit sekali. Ia marah oleh kecurangan lawan yang memukul dari belakang selagi ia pening.
“Ha-ha-ha, mampuslah!”
Ciam Tek tertawa mengejek dan kembali ia melakukan pukulan Hek-in-sin-ciang dengan gerakan yang aneh. Pukulan ini sebetulnya sama sumbernya dengan pukulan kedua orang pendeta Tibet dan memang dahulu ketika merantau sampai ke Tibet, Si Burung Hantu belajar ilmu pukulan ini dari guru kedua orang pendeta Lama maka mereka itu terhitung suheng-suhengnya.
Pukulannya yang disebut Hek-in-sin-ciang (Pukulan Sakti Awan Hitam) inipun mengeluarkan uap hitam dan beracun. Sungguhpun tidak sedahsyat Hek-in-hwi-hong-ciang dari Thian Tok Lama akan tetapi juga cukup hebat dan jarang ada orang mampu menahan pukulan maut ini.
Manusia bermuka seperti burung ini amat licik dan juga bermata tajam. Ia dapat mengerti bahwa sedikit banyak pemuda luar biasa ini sudah terluka dalam pertandingan melawan kedua orang pendeta Tibet, maka ia mempergunakan kesempatan untuk menghantam Han Han dari belakang. Ketika pukulannya mengenai dada, ia menjadi girang sekali dan terus mendesak Han Han.
Akan tetapi Han Han kini sudah marah bukan main. Orang telah mendesak dia yang tidak ingin berkelahi. Apalagi Si Burung Hantu yang curang ini. Baik, ia menggigit bibir. Mari kita bertanding mati-matian! Dengan kemarahan meluap, melihat Ciam Tek memukul, Han Han tidak mau mengelak, melainkan menerima pukulan Hek-in-sin-ciang ini dengan pukulan pula sambil mengerahkan Im-kang.
“Desssss!”
Si Burung Hantu jatuh terduduk, tubuhnya menggigil kedinginan dan matanya terbelalak. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke arah Han Han, dari kerongkongannya keluar suara mencicit seperti burung, tangan kanannya menghantam didahului uap hitam ke arah ulu hati Han Han.
Pemuda ini miringkan tubuh mengelak sambil berputar. Tiba-tiba tangan kiri Si Burung Hantu dengan jari terbuka dan digerakkan miring membabat ke arah lehernya seperti sebatang golok.
Han Han kembali mengelak, akan tetapi rambutnya yang panjang itu terbabat sedikit dan.... putus! Han Han terkejut. Kiranya tangan kiri manusia aneh bermuka burung ini dapat dipergunakan sebagai senjata yang tajamnya tidak kalah oleh pedang, dapat membabat putus gumpalan rambut. Bukan main!
“Heh-heh-heh!”
Ciam Tek mengejek dan kembali kedua lengannya yang panjang-panjang itu sudah bergerak ke depan. Yang kanan menonjok perut yang kiri membacok kepala. Pada saat itu, tiga orang perwira Mancu ikut pula menerjang maju dengan senjata tombak mereka.
“Pergi, jangan bantu....!”
Si Burung Hantu membentak, akan tetapi tiga orang perwira Mancu itu terus saja menyerang Han Han, pura-pura tidak mengerti. Dan memang mereka tentu saja mengerti bahwa mereka tidak semestinya memyerang terus. Akan tetapi karena penasaran maka mereka pura-pura tidak mendengar dan menerjang Han Han menggunakan tombak, seolah-olah berlumba untuk memperebutkan jasa.
Diam-diam Han Han menjadi girang. Dia sudah agak lemah dan terluka, dan biarpun dia masih sanggup menandingi Ciam Tek, namun kalau manusia burung itu dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang lihai, tentu keadaannya akan berbahaya sekali.
Untung baginya bahwa tokoh-tokoh seperti Sepasang Tikus Kuburan dan yang lain-lain agak jauh dari situ, sehingga yang datang membantu Ciam Tek adalah perwira yang tidak memiliki kepandaian tinggi. Hal ini menguntungkan dia, dan merugikan Ciam Tek karena bagi ahli silat tinggi, bantuan dari orang-orang yang tidak pandai bukan merupakan bantuan lagi, bahkan menjadi pengganggu! Karena itulah maka tadi ia berteriak mencegah mereka sungguhpun ia belum yakin benar akan dapat mengalahkan Han Han sendiri saja.
Han Han membiarkan dua tombak datang meluncur. Setelah dekat sekali, ia menangkap kedua tombak dengan tangan, kakinya menendang roboh perwira ke tiga dan sekali ia mengerahkan tenaga, tubuh dua orang perwira itu terbawa oleh tombaknya sendiri ke atas dan melayang ke arah tubuh Ciam Tek!
“Tolol kamu!”
Ciam Tek mendengus marah, kedua tangannya bergerak mendorong dan tubuh dua orang perwira itu terbanting ke atas tanah, bergulingan dan pingsan. Kesempatan itulah yang dinanti-nantikan Han Han. Melihat betapa manusia burung itu menangkis dan melontarkan kedua orang perwira Mancu, ia sudah meloncat ke depan dan mengirim pukulan dahsyat dengan kedua tangan, tangan kanan menonjok dada, tangan kiri menggunakan ujung tongkat menotok.
Si Burung Hantu atau Sin-tiauw-kwi Ciam Tek benar-benar amat lihai. Biarpun serangan Han Han ini amat cepat dan hanya beberapa detik setelah ia menangkis tubuh dua orang perwira, namun ia masih dapat menghadapinya.
Dengan tangan kirinya ia menangkis pukulan Han Han, kemudian tangan kanannya mencengkeram ke arah tongkat yang menotok lehernya. Namun, karena ia tergesa-gesa dan sebaliknya Han Han sudah mengatur siasat lebih dulu, tiba-tiba tongkat itu bergerak melejit dan sebaliknya malah menggempur lengannya dengan pukulan yang menggetar karena mengandung tenaga sin-kang
“Krakkk! Auuuggghhh!”
Si manusia burung itu mencelat ke belakang, menyeringai kesakitan karena tulang lengan kanannya retak! Saking marahnya, ia tidak terlalu merasakan keretakan tulang lengan kanannya, malah maju menubruk ke depan seperti gerakan seekor burung.
Han Han terkejut, tidak menyangka bahwa lawan yang sudah terluka masih begitu nekat, padahal saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan Sepasang Tikus Kuburan. Maka ia sengaja menerima hantaman tangan kanan Ciam Tek yang ia tahu telah terluka, sedangkan cengkeraman tangan kiri lawan ke arah ubun-ubunnya ia tangkis dengan tangan kanan, kemudian ujung tongkatnya meluncur ke arah dada lawan.
“Krakkk....! Crotttt....!”
Terdengar jerit melengking dari mulut Ciam Tek, tubuhnya berkelojotan di ujung tongkat yang menembus dadanya, tulang lengannya patah bertemu dengan dada Han Han karena memang tadinya tulang itu telah retak.
Han Han menyeringai kesakitan. Biarpun lengan kanan Ciam Tek telah retak tulangnya, namun pukulan yang mengenai dadanya itu masih hebat sekali membuat napasnya sesak dan matanya berkunang.
Pemuda ini maklum bahwa dirinya terancam bahaya maka cepat ia mencabut tongkatnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Pandang matanya masih berkunang dan kepalanya berat sekali. Ia perlu cepat-cepat membebaskan diri agar dapat mengobati luka di dalam dadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar