FB

FB


Ads

Selasa, 09 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 042

Han Han dan Lulu duduk mengaso di dalam hutan. Melihat kakaknya itu duduk bersamdhi, Lulu juga tidak berani mengganggu, bahkan ia pun lalu duduk bersila dan siulian untuk memulihkan tenaga dan menekan kekecewaan hatinya karena kehilangan pedang yang terampas di Siauw-lim-pai.

Han Han tidak dapat menyatukan panca inderanya. Dia sudah dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya, dan mengobati akibat-akibat guncangan pukulan-pukulan yang ia terima di Siauw-lim-pai, akan tetapi pikirannya bekerja keras. Hatinya terkesan oleh wejangan-wejangan yang didengarnya dari mulut Kian Ti Hosiang, supek dari ketua Siauw-lim-pai tadi.

Mengenangkan semua wejangan itu, terjadi perang tanding yang hebat dalam pikirannya sendiri. Perasaan menyesal menggumuli perasaannya, menyesal kalau ia kenangkan betapa sepak terjangnya selama ini hanya mendatangkan malapetaka dan keributan belaka. Ia sendiri tidak mengerti mengapa kalau datang perasaan marah akan sesuatu yang dianggapnya jahat dan tidak adil, lalu timbul kemarahan yang tak tertahankan dan seolah-olah ia baru akan merasa puas, terhindar dari himpitan nafsu amarah kalau sudah ia lampiaskan dengan pukulan-pukulan sakti dari kedua tangannya, kalau sudah ia hajar banyak orang dan membunuhi lawannya! Pemuda ini tidak tahu bahwa sesungguhnya terjadi konflik atau pertentangan hebat dalam dirinya.

Mula-mula pertentangan ini terjadi karena ia mempelajari dua macam sin-kang yang berlawanan yaitu inti sari Hwi-yang Sin-ciang dan inti sari Swat-im Sin-ciang. Pertentangan ini mempengaruhi jiwanya, ditambah lagi ketika ia membaca kitab-kitab peninggalan penghuni Pulau Es yang sifatnya bersih dan berbareng ia mempelajari kitab-kitab Ma-bin Lo-mo dan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis) yang bersifat kotor.

Terjadilah pertentangan hebat sekali dari aliran bersih ditambah kesadaran watak aslinya yang baik berlawanan dengan pelajaran aliran kotor yang ditambah oleh nafsunya, membuat ia kadang-kabang merasa tersiksa sekali. Kini ia mendapat nasihat yang amat aneh dari kakek sakti di Siauw-lim-pai itu. Dia disuruh membuntungi kaki kirinya! Nasihat apakah ini? Betul-betulkah kaki kirinya yang mendatangkan perasaan tersiksa seperti itu?

Makin dipikirkan makin bingunglah hatinya. Kebingungan ini makin memuncak kalau ia pikirkan bahwa semua malapetaka yang timbul akibat sepak terjangnya itu sama sekali terjadi bukan karena kesalahannya! Dia memang telah membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan murid-murid Hoa-san-pai di hutan dahulu itu, akan tetapi bukankah hal itu terjadi karena salah faham? Bukankah hal itu terjadi bukan karena memang dia bermaksud jahat dan membunuhi mereka?

Kemudian kekacauan yang timbul karena perlawanannya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok. Dia telah diserang, dituduh yang bukan-bukan, dituduh mata-mata Mancu! Terjadi pertempuran, akan tetapi salahkah dia dalam hal itu? Dan akhirnya peristiwa keributan di Siauw-lim-si. Dia datang dengan iktikad baik, dengan maksud memberi penjelasan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai untuk melenyapkan kesalah fahaman.

Akan tetapi dia disambut dengan kekerasan, bahkan seolah-olah dipaksa untuk bertanding. Dia hanya membela diri, karena bukankah itu haknya? Ataukah dia harus membiarkan saja dia ditawan, dipukul, atau dibunuh, juga Lulu ditangkap? Karena membela diri, kembali dia melakukan pukulan-pukulan dan pembunuhan-pembunuhan.

Teringat akan ini semua, timbul kemarahannya. Tidak! Dia tidak bersalah! Akan tetapi kalau ia ingat akan nasihat kakek di Siauw-lim-pai itu dia menyesal karena kenyataannya, apapun alasannya, sepak terjangnya menimbulkan keributan dan malapetaka, bahkan pembunuhan. Salah kaki kirinyakah?

Tiba-tiba Han Han meloncat bangun, tidak kuasa lagi menahan tubuhnya yang digetarkan dua hawa yang bertentangan, sebagai akibat perang dalam hatinya. Ia mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh seperti orang gagu, tubuhnya bergoyang-goyang, kaki tangannya bergerak-gerak seolah-olah ia bertanding melawan dirinya sendiri!

Kedua tangannya seperti hendak saling pukul, atau lebih tepat, kalau tangan kiri hendak memukul tubuhnya sendiri penuh penyesalan dan hendak menghukum, tangan kanannya bergerak menangkis dengan keyakinan membela karena dia tidak bersalah. Demikian pula kedua kakinya bergerak menurutkan suara hati yang berlawan!

Entah berapa lamanya Han Han berhal seperti itu, tubuhnya bergerak-gerak aneh dan kelihatan lucu sekali, padahal ia merasa amat tersiksa baik tubuh maupun batinnya. Tiba-tiba Lulu datang mendekatinya, dan melihat keadaan kakaknya ini Lulu segera menyentuh lengan Han Han.

Akan tetapi gadis ini menjerit karena lengan yang disentuhnya itu mengeluarkan getaran yang membuat tangan yang menyentuhnya seperti lumpuh. Ia meloncat ke belakang dan menjerit.

“Han-koko.... sadarlah....! Celaka, ada orang merampas kantung surat-surat itu....!”

Sebelum gadis itu menjerit, Han Han sudah sadar. Sentuhan tangan yang halus dari adiknya itu sudah menyadarkannya dan seolah-olah menariknya kembali ke dunia dari alam khayal yang menakutkan. Ada sesuatu dalam sentuhan dan dalam suara Lulu yang amat mempengaruhi jiwa Han Han sehingga kini dia sadar, menghentikan gerakan-gerakan tubuhnya dan memandang adiknya itu.

“Apa? Apa yang dirampas orang?”

“Karena kau bersamadhi tidak sadar-sadar, aku lalu pergi mencari air untuk mandi. Kemudian aku pergi ke sebuah kuil tua tak jauh dari sini, duduk di depan kuil dan mengeluarkan kantung surat-surat dari Pulau Es untuk kubersihkan. Akan tetapi tiba-tiba kantung itu terbang dari tanganku dan ketika aku meloncat dan membalik, ternyata kantung itu telah dipegang oleh seorang kakek yang menyeramkan. Aku minta kembali, bahkan memukulnya, akan tetapi ia tidak menjawab, dan ketika kupukul, ia tidak mengelak atau menangkis, bahkan bergoyang pun tidak ketika menerima pukulanku. Aku takut....!”

Merah wajah Han Han mendengar bahwa kantung surat-surat itu dirampas orang. Kantung itu ia anggap sebagai barang yang amat berharga berisi surat-surat penghuni Pulau Es yang ia bawa dan akan ia sampaikan kepada siapa yang berhak menerimanya. Dan kini dirampas orang!

“Hemmm, kenapa aku selalu diganggu orang? Siapakah dia yang merampas kantung kita itu? Mari kita temui dia.”

Lulu memegang tangan kakaknya dan menarik kakaknya itu, diajak lari menuju ke kuil tua yang hanya setengah li jauhnya dari situ, di pinggir sebuah sungai kecil.

“Tuh dia masih berdiri depan kuil, Koko. Untung dia belum lari!”

Kata Lulu menuding ke arah tubuh seorang laki-laki tinggi kurus berambut panjang yang berdiri membelakangi mereka.

“Hemmm, kurang ajar, biar kuminta kembali kantung itu!” Han Han meloncat ke depan kakek itu, memandang dan alis matanya bergerak karena kaget.

“Ma-bin Lo-mo....!” teriaknya ketika mengenal kakek penghuni In-kok-san itu.

Kakek itu memang Ma-bin Lo-mo si Iblis Muka Kuda! Dengan wajah bengis ia memandang Han Han dan tidak mengucapkan sepatah pun kata, hanya memandang dengan penuh perhatian, manik matanya bergerak-gerak meneliti Han Han dari kepala sampai ke kaki.

“Siangkoan-locianpwe, harap suka mengembalikan kantung itu kepadaku. Kantung itu hanya terisi surat-surat pribadi yang tidak ada gunanya bagi orang lain,” kata Han Han penuh ketenangan setelah ia berhasil menekan hatinya yang kaget.

“Hemmm, murid apakah engkau ini? Tidak menyebut suhu lagi kepadaku?”

Han Han tersenyum pahit.
“Lupakah locianpwe bahwa Locianpwe hendak membunuh saya di perahu itu dahulu? Sikap locianpwe bukan seperti guru yang menyayang murid, bagaimana saya bisa menjadi murid yang menghormat guru?”






Bekas guru dan murid ini saling memandang dan dalam pertemuan sinar mata itu diam-diam Ma-bin Lo-mo menjadi kecut hatinya dan cepat ia mengalihkan pandang matanya. Ia menghendaki sesuatu dari pemuda itu, maka ia lalu berganti siasat, bersikap lunak dan manis.

“Han Han, kau kembalikan dulu kitab-kitabku.”

Han Han teringat akan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo yang ia bawa ke Pulau Es. Tanpa ia sengaja, bahkan ia telah mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu yang ia gabung dengan ilmu dari kitab-kitab peninggalkan Siang-mo-kiam. Ia tidak merasa mencuri kitab-kitab itu, maka ia memperingatkan.

“Saya tidak mencuri kitab-kitab locianpwe.”

Kini Lulu teringat akan Ma-bin Lo-mo, maka ia berkata,
“Koko, bukankah dia ini orang jahat yang menangkap kita di perahu dan meninggalkan kita dalam keadaan terikat? Koko, dia jahat, jangan percaya dia!”

Ma-bin Lo-mo tidak memperhatikan gadis Mancu yang dibencinya itu, dan berkata lagi kepada Han Han,

“Han Han, kitab-kitabku itu tertinggal di perahu, dan melihat betapa engkau berhasil menyelamatkan diri, tentu kitab-kitab itu berada padamu. Akan tetapi tidak apalah, bukankah engkau juga muridku yang berhak mempelajari ilmu dari kitab-kitabku? Sesungguhnya sudah terlalu banyak kesalahan yang kau lakukan terhadapku, Han Han. Pertama, engkau bersaudara dengan seorang gadis Mancu. Ke dua, engkau mengambil kitab-kitabku. Akan tetapi aku mengampunimu akan semua kesalahan itu, bahkan kantung ini yang hanya berisi surat-surat cinta, kukembalikan kepadamu.”

Sambil berkata demikian Ma-bin Lo-mo melemparkan kantung ke arah Han Han. Pemuda itu menggerakkan tangan menyambut kantung itu dan menyimpannya dalam baju setelah melihat bahwa isinya tidak lenyap. Ia melakukan hal ini seenaknya dan sewajarnya saja, dan Ma-bin Lo-mo terkejut. Ketika melemparkan kantung tadi, ia sengaja mengerahkan tenaga untuk menguji. Kalau hanya memiliki ilmu kepandaian tinggi biasa saja, tentu pemuda itu akan roboh menerima lontaran kantung itu, atau setidaknya terhuyung.

Akan tetapi pemuda itu menerima seenaknya seolah-olah pelemparan kantung itu tidak disertai pengerahan sin-kang yang amat kuat. Tadinya, kalau melihat pemuda itu roboh atau terhuyung saja tentu Ma-bin Lo-mo sudah menerjang maju untuk menangkapnya, akan tetapi melihat sikap Han Han menerima kantung seenaknya itu amat mengejutkan hatinya, maka kakek ini berlaku cerdik sekali dan tidak menyerang.

“Han Han, mengingat akan hubungan lama antara kita, aku tidak akan mengganggumu, hanya akan bertanya kepadamu tentang Pulau Es. Engkau tentu telah mendarat di Pulau Es, bukan?”

“Jangan katakan sesuatu kepadanya, Koko!”

Lulu yang di dalam hatinya masih menaruh dendam kepada kakek yang pernah hendak membunuh mereka itu, cepat berkata mencegah. Akan tetapi, tanpa dicegah pun Han Han tidak akan bercerita kepada siapa juga tentang pulau rahasia itu.

“Saya tidak dapat bicara apa-apa tentang pulau itu, locianpwe.”

“Jadi engkau telah menemukan pulau itu?” Han Han tidak menjawab, hanya menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau bicara tentang itu.

“Han Han, ingatlah. Aku hanya ingin engkau menceritakan tentang Pulau Es. Kalau aku menggunakan kekerasan, engkau tentu takkan kuat melawanku. Ingat, dosamu sudah terlalu besar terhadap perguruan kami dan kalau aku menyerahkan engkau kepada Toat-beng Ciu-sian-li, nyawamu tentu tidak akan diampuni lagi. Akan tetapi kalau kau suka bicara denganku tentang Pulau Es, aku yang menanggung agar engkau diampuni.”

“Maaf, sia-sia saja engkau membujuk atau mengancam, locianpwe. Saya tidak bisa bicara tentang pulau itu. Hendaknya locianpwe membiarkan saya dan Adik saya pergi. Saya tidak hendak memusuhi locianpwe sungguhpun locianpwe pernah menyiksa dan hendak membunuh kami berdua. Marilah kita mengambil jalan kita masing-masing dan tidak saling mengganggu, locianpwe.”

Muka Ma-bin Lo-mo menjadi merah saking marahnya. Ucapan Han Han itu cukup sopan, akan tetapi nadanya seperti ucapan seorang yang setingkat saja! Padahal dia adalah seorang di antara datuk-datuk yang ditakuti orang, sedangkan Han Han adalah seorang muda yang malah menjadi bekas muridnya!

“Han Han, sungguh engkau keras kepala! Akan tetapi betapapun kerasnya kepalamu, apakah cukup keras untuk menerima pukulanku?” Ia membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam sekali.

Namun Han Han tetap bersikap tenang.
“Terserah kepada locianpwe, tapi.... tapi.... harap locianpwe ingat bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, hal itu bukanlah kehendak saya, melainkan locianpwe yang memaksaku.”

“Uwaaahhhhh, sombongnya bocah ini. Tidak bisa dibujuk dengan omongan halus, agaknya perlu dihajar dulu!”

Setelah berkata demikian, Ma-bin Lo-mo menerjang maju mengirim pukulan. Karena dia tidak ingin membunuh mati anak itu yang dia butuhkan untuk memberi petunjuk tentang Pulau Es, maka ia tidak mengirim pukulan Swat-im Sin-jiu, melainkan menampar dengan tangan kanan ke arah pundak disusul cengkeraman tangan kiri ke arah dada. Biarpun tidak menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang, namun daya pukulan kakek ini bukan main.

Han Han mengelak ke kiri dan biarpun angin pukulan kakek itu mengenai pundaknya, sedikit pun ia tidak merasainya dan ia berkata penuh rasa menyesal,

“Engkau sungguh jahat, Ma-bin Lo-mo, tidak patut menerima penghormatan orang muda.”

“Heh, Han Han. Apakah kau benar tidak mau bicara tentang Pulau Es? Ingat, tebusannya adalah nyawamu dan nyawa bocah Mancu ini. Aku bahkan mau mengampuni bocah ini asal engkau suka memberi penjelasan tentang Pulau Es.”

“Tidak! Dan kalau engkau memaksa, terpaksa aku melawanmu, Ma-bin Lo-mo!”

“Bedebah! Baru memiliki sedikit kepandaian saja engkau sudah berani melawan aku?”

Ma-bin Lo-mo mencelat maju dengan gerakan cepat sekali sambil mencengkeram pundak Han Han, namun gerakan Han Han tidak kalah cepatnya, tahu-tahu ia sudah mengelak ke kanan dan cengkeraman itu kembali luput. Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran sekali, begitu tubrukannya luput dan kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah melesat lagi ke kanan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan menyilang mengarah kepala Han Han.

Bukan main cepat dan lihainya serangan ini sehingga Han Han terkejut dan cepat merendahkan diri untuk menghindarkan kedua tangan yang menghimpit kepalanya dari kanan kiri itu. Akan tetapi dengan gerakan susulan, tahu-tahu kaki Ma-bin Lo-mo menendang ke perut pemuda itu.

Selama melatih diri di Pulau Es, sesungguhnya Han Han hanya memperoleh inti sari tenaga sin-kang yang amat hebat saja, yang tidak diperoleh ahli lain dalam latihan biasa selama puluhan tahun. Akan tetapi dalam hal ilmu silat, dibandingkan dengan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee, tentu saja ia masih kalah jauh.

Kini menghadapi gerakan serangan tokoh hitam yang hebat ini, tentu saja ia tidak menyangka sama sekali dan tendangan itu tahu-tahu telah mengenai perutnya! Akan tetapi gerakan hawa sin-kang secara otomatis telah melindungi perutnya, dan ia menangkap kaki itu sambil mendorong ke depan seperti membuang sesuatu yang menjijikkan.

“Dukkk! Aihhhhh....!”

Tendangan mengenai perut, akan tetapi tubuh Ma-bin Lo-mo terlempar sampai jauh sekali. Kalau bukan kakek sakti ini tentu tubuhnya akan terbanting ke bawah, akan tetapi kakek ini malah melompat ke atas sehingga tenaga dorongan itu terpatahkan dan ia turun lagi ke atas tanah dengan mata terbelalak merah karena heran, kagum dan penasaran.

“Huh, kiranya engkau sudah mempelajari sedikit ilmu, ya?”

Hati Ma-bin Lo-mo makin tertarik untuk memaksa Han Han bicara tentang Pulau Es, karena tentu saja ia ingin sekali mengetahui rahasia itu dan memiliki pusaka dari Pulau Es.

Melihat betapa Han Han sanggup menerima tendangannya, dan melihat tenaga hebat ketika pemuda itu mendorong kakinya, hatinya makin yakin bahwa pemuda ini tentu telah mewarisi kepandaian dari tempat rahasia itu, maka ia makin tidak ingin membunuhnya dan hanya ingin menangkap dan memaksanya.

Kepalanya yang penuh dengan akal dan muslihat itu bekerja dan tiba-tiba sambil tertawa tubuhnya melesat, bukan menyerang Han Han, melainkan meloncat ke arah Lulu yang berdiri menonton. Dia mendapat akal untuk menangkap Lulu dan menggunakan gadis itu untuk memaksa Han Han!

“Ihhh, mau apa engkau?”

Kembali Ma-bin Lo-mo kecelik karena gadis yang ditubruk dan hendak ditangkapnya itu, biarpun tergesa-gesa, dapat melesat pergi dengan gerakan yang amat ringan dan tak tersangka-sangka, sehingga ia menubruk angin! Ketika ia membalik dan hendak mengejar sambil mengirim pukulan jarak jauh untuk merobohkan gadis itu, tiba-tiba dari samping terdengar bentakan Han Han,

“Jangan ganggu Adikku!” Bentakan ini disusul dengan bertiupnya angin yang hawanya dingin memukul ke arah lambungnya!

Ma-bin Lo-mo cepat menggerakkan tangan menangkis, sekali ini karena penasaran ia menggunakan tenaga Im-kang untuk membuat pemuda itu roboh.

“Desss!” Dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya kedua orang itu terjengkang ke belakang!

“Eh, eh.... tenaga Im-kang....” Ma-bin Lo-mo yang sudah meloncat bangun lagi berkata penuh keheranan.

“Ma-bin Lo-mo, perlukah pertempuran ini dilanjutkan? Aku tidak ingin bermusuh denganmu!” Han Han berkata lagi.

“Sambutlah ini....!”

Ma-bin Lo-mo membentak dan sekali ini ia tidak ragu-ragu lagi untuk menggunakan Swat-im Sin-ciang, menyerang lagi dengan gerakan lambat namun malah amat berbahaya karena setiap gerakannya mengandung hawa dingin yang dahsyat.

Han Han mengenal gerakan itu. Dia telah mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan di dalam perahu oleh Iblis Muka Kuda ini, maklum bahwa lawannya telah menggunakan Swat im Sin-ciang. Ia mulai menjadi marah, bukan saja karena kakek itu mendesaknya terus, terutama sekali karena ia melihat kelicikan kakek ini yang hendak memaksanya dengan berusaha menawan Lulu. Maka ia pun lalu menggerakkan kedua tangannya, dengan gerakan yang sama dan ketika Ma-bin Lo-mo mendorong, ia pun mendorong dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang pula!

“Wuuutttt.... desssss!”

Tubuh kedua orang itu bergoyang-goyang, kemudian keduanya mundur terhuyung. Han Han dapat mengerahkan tenaga Yang-kang sehingga seketika hawa dingin yang luar biasa itu lenyap, akan tetapi Ma-bin Lo-mo membutuhkan loncatan ke atas dan menggoyang-goyang tubuhnya baru ia pulih kembali. Ia memandang dengan mata terbelalak kemudian ia berseru marah.

“Bocah celaka! Engkau telah mencuri Swat-im Sin-ciang!”

Akan tetapi sesungguhnya ia merasa heran dan kaget setengah mati mendapat kenyataan bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang dari pemuda itu tidak berselisih jauh dengan tenaganya sendiri! Ia sama sekali tidak mimpi bahwa sesungguhnya tenaga Han Han jauh lebih kuat dan hebat daripada tenaganya sendiri.

Sebaliknya, Han Han maklum betapa lihai dan kejamnya kakek ini dan bahwa sekali lagi, setelah terlepas daripada ancaman maut di Siauw-lim-si, kini ia terancam oleh kakek yang amat sakti ini. Maka timbullah kemarahannya lagi dan ia mengambil keputusan untuk melindungi Lulu dan dirinya sendiri, kalau perlu dengan taruhan nyawa.

Kembali Ma-bin Lo-mo sudah menyerang, kini serangannya hebat sekali karena kakek ini tidak lagi menganggap Han Han seorang lawan ringan. Tubuhnya seperti berpusing dan kedua tangannya seperti berubah banyak ketika ia melancarkan serangan ke arah dada dan pusar pemuda itu.

Han Han tetap tenang, namun juga bergerak cepat. Ia memutar kedua lengannya dari kanan kiri menjaga tubuh depan dan kembali ia berhasil menangkis pukulan-pukulan maut Ma-bin Lo-mo.

Akan tetapi kakek itu menerjang terus dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat dengan perubahan yang tak tersangka-sangka sehingga dalam gebrakan-gebrakan selanjutnya tanpa dapat dielakkannya lagi terpaksa Han Han menerima hantaman-hantaman yang mengenai pundak dan lambungnya. Akan tetapi tubuhnya hanya terpental saja dan sama sekali tidak terluka sehingga diam-diam Ma-bin Lo-mo makin penasaran dan terkejut.

Ketika melihat kakek itu mengejarnya, Han Han yang sudah bangkit kembali sehabis terbanting, cepat mengerahkan tenaganya dan menyambut kedatangan lawan dengan pukulan dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang. Ia sudah marah sekali maka kekuatan sin-kangnya dapat dibayangkan hebatnya. Angin menderu keras dan hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan.

Ma-bin Lo-mo tentu saja tidak takut menghadapi pukulan yang menjadi keahliannya sendiri itu. Ia menangkis dengan tenaga Swat-im Sin-ciang juga dan sekali ini dua tenaga sakti bertemu. Hanya bedanya dengan tadi, kini Han Han yang menyerang dan Ma-bin Lo-mo yang menangkis.

“Wesssss....!”

Tubuh Ma-bin Lo-mo tergetar hebat, seolah-olah tubuhnya kemasukan aliran kilat dan sejenak tubuhnya kaku membeku! Kakek ini mengeluarkan seruan aneh, kemudian melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sampai lama baru dapat melompat bangun kembali, wajahnya pucat dan matanya terbelalak merah.

“Luar biasa....!”

Ia menggumam karena kini ia mendapatkan kenyataan pahit yang amat hebat, yaitu bahwa tenaga Swat-im Sin-ciang pemuda itu jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Didorong oleh kemarahannya yang timbul dari rasa penasaran, kini tubuh Ma-bin Lo-mo menerjang maju seperti badai mengamuk saking hebatnya.

Tentu saja Han Han menjadi sibuk sekali dan sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Bahkan dia yang kalah jauh ilmu silatnya tak mungkin dapat menghindarkan diri dari serangan yang bertubi-tubi itu dan hanya dapat mengelak dan menangkis, melindungi dirinya di bagian-bagian yang berbahaya dan membiarkan bagian-bagian yang dapat menahan pukulan untuk menerima hantaman-hantaman dahsyat dari lawannya!

Ia menjadi bulan-bulanan dan biarpun tubuh yang tidak berbabaya itu mengandung sin-kang kuat sehingga tidak terluka, namun kerasnya pukulan-pukulan itu membuat tubuhnya berkali-kali terlempar dan bergulingan.

Melihat betapa pemuda itu dapat menahan pukulan-pukulannya yang cukup kuat untuk merobohkan lawan tangguh, Ma-bin Lo-mo menjadi makin marah dan penasaran, serangannya makin diperhebat.

Lulu berdiri dengan wajah tegang dan penuh kegelisahan. Seperti ketika ia menyaksikan kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Hoa-san-pai di gedung Pek-eng-piauwkiok, dan kemudian menyaksikan kakaknya menghadapi tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai, kini pun ia hanya dapat menonton saja karena ia maklum bahwa untuk membantu kakaknya tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup sehingga ia bukan membantu malah membahayakan diri sendiri dan mengacaukan pertahanan kakaknya.

Kedua orang itu memang bertanding dengan amat seru dan hebat. Keduanya mempergunakan hawa sakti Im-kang sehingga dari tubuh mereka keluar hawa yang amat dingin yang seolah-olah membikin beku keadaan sekeliling mereka, bahkan Lulu yang sudah biasa tinggal ditempat dingin seperti Pulau Es sekalipun kini merasa betapa hawa dingin menyerangnya dan otomatis sin-kang di tubuhnya bekerja sehingga hawa yang hangat timbul melenyapkan rasa dingin.

Han Han tidak berani mencoba untuk menggunakan Yang kang atau hawa sakti panas. Ia maklum bahwa tingkat kakek ini sudah tinggi sekali, sehingga kalau ia mengeluarkan Yang kang, berarti ia menghadapi lawan dengan keras lawan keras yang tentu saja resikonya amat besar karena kalah sedikit saja kekuatannya dapat merenggut nyawa. Ia pun maklum bahwa biarpun dalam ilmu silat ia kalah jauh namun dengan pengerahan inti sari dari Im-kang ia masih dapat bertahan karena kekuatan sin-kangnya tidak kalah oleh lawan.

Selagi Han Han terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak disambung kata-kata nyaring penuh ejekan,

“Ma-bin Lo-mo si Setan Kuda benar-benar sekarang tak tahu malu, mendesak orang muda dan tidak malu-malu mengeluarkan Swat-im-Sin-ciang!”

Han Han melirik sebentar dan hatinya kecut ketika mengenal orang yang muncul dan mengeluarkan kata-kata itu karena orang itu bukan lain adalah Kang-thouw-kwi Gak Liat si Setan Botak bersama seorang pemuda tampan pesolek yang ia kenal sebagai Ouwyang Seng! Celaka, pikirnya. Ma-bin Lomo jahat, akan tetapi dua orang yang muncul ini tidak kalah jahat dan sama sekali tidak boleh diharapkan bantuannya!

Akan tetapi, selagi ia menangkis pukulan Ma-bin Lo-mo yang masih mendesaknya tiba-tiba Gak Liat meloncat maju dan memukul Iblis Muka Kuda dengan dorongan kedua lengan yang menimbulkan hawa panas. Itulah Hwi-yang Sin-ciang!

“Eh, Setan Botak, mau apa engkau?”

Ma-bin Lo-mo membentak dan cepat ia meloncat jauh ke belakang untuk menghindarkan pukulan itu. Karena loncatannya yang jauh itu kini Han Han berada di tengah, di antara dua orang tokoh hitam itu. Pemuda itu menghadapi Gak Liat dan memandang dengan mata berapi. Kemarahannya sudah membakar hatinya dan kini melihat kakek yang juga amat jahat ini, ia memandang penuh kecurigaan.

“Han Han, lupakah engkau kepadaku? Aku Owyang-kongcu, sahabat lamamu. Kami datang untuk membantumu!”

Ouwyang Seng sudah cepat berteriak untuk mengambil hati pemuda itu. Tadi ia melihat betapa Han Han dapat menghadapi Ma-bin Lo-mo, biarpun terdesak namun juga tidak dapat dirobohkan. Hal ini saja sudah menyatakan bahwa Han Han sekarang benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi. Biarpun di dalam hatinya ia sama sekali tidak suka kepada Han Han, namun demi tugasnya ia harus mentaati perintah Puteri Nirahai untuk “menarik” Han Han menjadi kawan, bukan lawan.

“Ouwyang-kongcu, saya tidak membutuhkan bantuan apa-apa darimu atau dari Gak-locianpwe.”

Ouwyang Seng menghela napas panjang dengan muka menyatakan penyesalannya, lalu menghampiri Lulu dan menjura sambil berkata,

“Nona, bukankah Kakakmu itu keliru sekali? Dia diserang dan didesak orang, masa tidak mau dibantu?”

Lulu sejenak memandang Ouwyang Seng, kemudian berkata kepada kakaknya,
“Koko, kalau mereka memang benar-benar hendak membantu, mengapa kau menolak?”

“Lulu, jangan mencampuri. Mereka itu pun bukan orang-orang yang dapat dipercaya!”

Akan tetapi Lulu memandang wajah Ouwyang Seng yang tampan dan tersenyum-senyum itu dan ia merasa heran akan ucapan kakaknya karena dalam pandangannya, pemuda tampan ini sama sekali tidak jahat.

“Han Han, betapapun juga, engkau bukanlah lawan Iblis Muka Kuda. Biarlah aku membantumu mengusir iblis itu, kemudian kita bicara sebagai kenalan-kenalan lama. Bagaimana?”

“Gak-locianpwe, apakah locianpwe juga seperti Ma-bin Lo-mo ini, hendak bertanya tentang Pulau Es kepadaku setelah locianpwe membantuku mengenyahkan Ma-bin Lo-mo?”

Pertanyaan yang tiba-tiba dari Han Han ini tepat menusuk hati Gak Liat yang memang ingin sekali mendengar tentang Pulau Es itulah, sehingga ia lupa akan tugasnya dan penuh gairah berteriak,

“Ah, jadi engkau sudah berhasil sampai ke sana? Anak baik, mari kubantu engkau membinasakan Iblis Muka Kuda, baru kita bicara tentang Pulau Es!”

Kemarahan hati Han Han meluap.
“Kang-thouw-kwi, engkau setali tiga uang (sama saja) dengan Ma-bin Lo-mo. Aku tidak sudi akan bantuanmu!”

Mendengar jawaban ini dan karena mereka yakin bahwa Han Han tak dapat dibujuk, Ouwyang Seng sudah cepat turun tangan untuk melakukan siasat yang ke dua. Yaitu, merampas Lulu terlebih dahulu untuk menyelamatkan gadis Mancu itu dan juga untuk dijadikan umpan memancing Han Han ke kota raja, bahkan kelak akan dapat dipergunakan untuk memaksa Han Han tunduk akan perintah Puteri Nirahai.

Ia maklum bahwa sekali ini ia tidak boleh menurutkan nafsu berahinya yang berkobar begitu ia melihat gadis Mancu yang cantik molek tidak kalah oleh Puteri Nirahai sendiri itu, karena Lulu adalah seorang gadis Mancu dan keadaan gadis ini sudah menjadi perhatian Puteri Nirahai dan sudah diumumkan kepada para pembantunya.

Cepat ia menubruk untuk menangkap Lulu, akan tetapi alangkah kaget dan herannya kelika tubuh gadis itu seperti seekor kupu-kupu yang hendak ditangkap saja, telah melesat dan mengelak dari kedua tangannya! Itulah gerak otomatis yang sudah ada pada diri Lulu sebagai hasil latihan-latihannya selama berada di Pulau Es bersama Han Han.

Melihat Ouwyang-kongcu tidak berhasil dan gadis itu berkelebat dekat dengannya, Gak Liat lalu menggerakkan tangan kanannya mendorong perlahan. Lulu mengeluh dan roboh dalam pelukan Ouwyang Seng yang sudah cepat menyambar, menotoknya dan memondong tubuhnya.

“Koko....!”

Han Han marah bukan main.
“Keparat! Lepaskan Adikku!”

Ia mengejar maju akan tetapi dihadang oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat. Melihat ini, dengan muka merah dan pandang mata beringas Han Han menerjang Gak Liat dan memukul dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang! Gak Liat terkejut bukan main melihat ini dan cepat menangkis.

“Bressss!”

Tubuh Kang-thouw-kwi Gak Liat seperti yang dialami oleh Ma-bin Lo-mo tadi tergetar oleh pukulan Hwiyang Sin-ciang, keahliannya sendiri. Ia tergetar dan terhuyung ke belakang sedangkan Han Han hanya tergetar saja.

“Ha-ha, Setan Botak! Bocah ini sekarang tak boleh dibuat main-main, dia telah mewarisi pusaka Pulau Es!” Ma-bin Lo-mo mentertawakan Gak Liat.

“Kita berdua harus menundukkannya!”

Gak Liat yang amat cerdik berkata. Dari pada memperebutkan bocah itu dan kedua-duanya tidak berhasil, lebih baik menangkapnya bersama dan kelak membagi-bagi hasilnya. Melihat betapa dalam waktu lima enam tahun saja bocah ini sudah dapat menggunakan Hwi-yang Sin-ciang sedemikian hebatnya, dapat dibayangkan betapa luar biasa dan amat berharga pusaka Pulau Es.

Ma-bin Lo-mo bukan seorang bodoh. Ia maklum akan isi hati Gak Liat, maka ia berkata,
“Baiklah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup!”

Gak Liat berteriak ke belakangnya,
“Kongcu, lekas bawa pergi Nona itu!”

Ouwyang-kongcu sudah mengempit tubuh Lulu dan menotoknya sehingga kini Lulu menjadi lemas tak dapat bergerak atau berteriak lagi, kemudian ia melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh Lulu dengan lengan kirinya.

“Heiiiii, Ouwyang Seng keparat kurang ajar! Lepaskan adikku.... anjing keparat, kulumatkan tubuhmu, kuhancurkan kepalamu!”

Han Han menerjang ke depan hendak mengejar Ouwyang Seng, akan tetapi ia disambut oleh pukulan Kang¬thouw-kwi Gak Liat, bahkan dari belakang ia diserang pula oleh Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.

Han Han mengeluarkan suara menggereng seperti biruang es, wajahnya merah dan matanya mengeluarkan sinar beringas. Kemarahan hebat membuat ia menjadi mata gelap dan kebuasannya timbul kembali. Dua pukulan dari depan dan belakang hampir berbareng mengenai tubuhnya, akan tetapi seolah-olah tidak dirasakannya dan ia mengamuk, menggunakan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang berganti-ganti tanpa aturan lagi sehingga dua orang kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan heran dan kaget.

Andaikata lawan-lawannya hanyalah orang-orang yang memiliki kepandaian tidak terlalu tinggi, tentu amukan Han Han ini akan melumatkan tubuh mereka dan tentu kebuasannya sudah mengorbankan banyak nyawa-nyawa lagi. Akan tetapi sekali ini yang mengeroyoknya adalah dua orang di antara datuk-datuk hitam yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan pada jaman itu sukar dicari tandingnya, maka betapapun ia mengamuk, tetap saja ia tidak dapat memukul lawannya, bahkan tubuhnya berkali-kali harus menerima hantaman-hantaman yang amat berat.

Hantaman-hantaman itu amat kuat dan membuat dada Han Han terasa sesak, kepalanya pening dan hal ini menambah kemarahannya melihat adiknya diculik Ouwyang Seng. Ia menjadi nekat dan ketika dua orang kakek itu kembali menyerangnya dari kanan kiri, ia mengeluarkan pekik melengking dan mengerahkan seluruh sin-kangnya menyalurkan Hwi-yang Sin-ciang di tangan kiri menghantam Ma-bin Lo-mo sedangkan tangan kanannya dengan hawa Swat-im Sin-ciang menghantam Gak Liat.

Ia balas memukul tanpa mempedulikan datangnya pukulan kedua lawan itu. Karena ia menyalurkan sin-kang secara terbalik dan dengan demikian sekaligus menghadapi kedua lawan itu dengan dua macam tenaga yang berlawanan sehingga keras bertemu keras, terjadilah tabrakan tenaga sakti yang luar biasa sekali.

“Desssss....!”

Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo seketika muntahkan darah segar dari mulut mereka akan tetapi Han Han sendiri yang terhimpit oleh dua tenaga raksasa itu roboh pingsan!

Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee cepat duduk bersila untuk mencegah terluka di dalam dada mereka. Sepuluh menit kemudian mereka sudah bergerak kembali dan keduanya memandang Han Han sambil menggeleng-geleng kepala.

“Dia luar biasa sekali, Setan Botak,” Ma-bin Lo-mo berkata perlahan.

“Hemmm, kalau tidak mengalami sendiri mana aku bisa percaya?” jawab Gak Liat dan keduanya cepat menghampiri Han Han yang masih rebah pingsan.

Mereka berdua lalu turun tangan menotok jalan darah Han Han. Ditotok oleh dua orang ahli dengan dua cara menotok yang berlainan dan amat lihai, seketika tubuh Han Han menjadi lemas dan tak lama kemudian ia siuman kembali. Betapa kaget dua orang kakek itu ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tidak mengalami luka sama sekali, padahal mereka berdua nyaris terluka parah di sebelah dalam dada!

Biarpun tidak terluka parah, akan tetapi setelah siuman kembali Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya lemas sekali saking lelahnya. Dia tahu bahwa dia telah tertotok dan dia tidak ingin mencoba untuk membebaskan diri, maklum bahwa di tangan kedua orang kakek itu percuma saja baginya untuk melawan. Namun, menyerahpun tidak ada sedikit juga di dalam hatinya. Ia memandang kakek-kakek yang duduk didekatnya lalu berkata.

“Kalian telah mengalahkan aku, tidak lekas bunuh mau apa lagi?”

Suaranya terdengar dingin sekali dan sedikit pun tidak kelihatan gentar sehingga kedua orang kakek datuk golongan hitam itu menjadi kagum.

“Han Han, mengapa engkau amat keras kepala? Kami tidak ingin membunuhmu.”

“Benar, Han Han. Engkau masih amat muda, tidak sayangkah kalau membuang nyawa secara sia-sia?”

Mendengarkan ucapan kedua orang kakek ini yang halus dan seolah-olah menyayangnya, rasa dada Han Han menjadi makin sesak karena marah. Ia mengerti betul bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk golongan hitam yang amat kejam, yang kini bersikap halus kepadanya karena ada pamrihnya, sikap yang palsu seperti desis dua ekor ular.

“Sudahlah, bosan aku mendengarnya. Kalian sama-sama menghendaki aku bicara tentang Pulau Es, bukan? Sudahlah, percuma saja bicara. Aku tidak mau bicara dan kalau kalian mau bunuh, kerjakan saja. Aku tidak takut mati!”

Gak Liat dan Siangkoan Lee saling memandang. Dalam bertemu pandang itu keduanya bersepakat cara apa yang harus mereka pergunakan. Membujuk bocah yang berhati baja ini akan sia-sia, jalan satu-satunya adalah paksaan dengan jalan penyiksaan.

“Baiklah, hendak kulihat apakah engkau akan kuat mempertahankan kekerasan hatimu!” bentak Ma-bin Lo-mo dan jari telunjuknya menotok punggung Han Han di tiga tempat.

Han Han tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan Iblis Muka Kuda ini ketika menotoknya, akan tetapi seketika ia merasa betapa seluruh tulang-tulang di tubuhnya nyeri, seperti ditusuk-tusuk jarum! Ia mempertahankan diri agar tidak mengeluh, rasa nyeri makin menghebat, sampai berdenyut-denyut di ubun-ubunnya, akan tetapi ia tetap mengeraskan hatinya sehingga mukanya penuh keringat dan mukanya menjadi pucat.

“Engkau tidak mau bicara tentang pulau itu?”

Ma-bin Lo-mo membentak marah, akan tetapi Han Han diam saja, hanya memandang dengan mata mendelik, sedikit pun tidak mau menjawab.

“Ha-ha, agaknya dia tetap berkeras. Biar kutambah sedikit!”

Gak Liat lalu menggunakan tangannya mengurut tengkuk Han Han dan seketika Han Han merasa betapa seluruh tubuhnya gatal-gatal. Bukan main hebatnya penderitaan ini. Rasa tulang tertusuk-tusuk menimbulkan nyeri yang sampai terasa di ubun-ubun, akan tetapi rasa gatal yang tidak nyeri sekali malah ternyata lebih hebat lagi karena merangsang syaraf-syaraf, terasa di bawah kulitnya. Ingin sekali kedua tangannya menggaruk, akan tetapi dia masih tertotok lumpuh kedua kaki tangannya!

Hampir ia tak dapat menahan lagi dan ingin menjerit-jerit sekerasnya, namun kekerasan hatinya yang tidak ingin mengeluarkan keluhan membuat ia tidak suara sedikit pun, bahkan ia memejamkan kedua matanya. Begitu kedua matanya dipejamkan, terbayanglah wajah Lulu dan teringatlah ia betapa adiknya itu terancam bahaya yang lebih mengerikan daripada yang dihadapinya sendiri. Kekhawatiran dan kemarahan yang bergelombang hebat dalam dirinya mendatangkan kekuatan kemauan yang tidak lumrah dan seketika ia mengeluarkan pekik dahsyat, tubuhnya bergerak dan seketika itu juga ia telah melompat bangun!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar