Mereka bertiga ini adalah kakak beradik seperguruan. Yang paling tua adalah tosu tinggi kurus yang berjenggot panjang bernama atau lebih tepat berjuluk Bhok Seng-cu, yang ke dua adalah tosu codet yang luka dahinya, berjuluk Kong Seng-cu. Adapun tosu ke tiga adalah guru dari Tan-piauwsu yang berjuluk Lok Seng-cu.
Mereka ini rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, namun masih nampak sehat dan berwibawa, penuh semangat karena sesungguhnya, tiga orang tosu inilah yang bertugas untuk melaksanakan segala peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena terpengaruh tugas mereka yang harus dilaksanakan secara baik-baik dan penuh disiplin, maka tiga orang tosu ini sudah biasa berwatak keras asal benar!
Mereka bertiga tidak begitu ramah ketika diperkenalkan kepada Sin Kiat dan Soan Li, karena sesungguhnya mereka bertiga tidak suka kepada Im-yang Seng-cu, tokoh Hoa-san-pai yang dianggap menyeleweng, yaitu menyeleweng daripada aturan Hoa-san-pai, tidak suka menjadi tosu di Hoa-san-pai melainkan lebih suka mengembara dan berkeluyuran!
Juga perasaan tidak suka ini timbul pula karena Im-yang Seng-cu dianggap tidak setia kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain golongan, bahkan berani "mengawinkan" IImu silat Hoa-san-pai yang asli dengan ilmu silat golongan lain. Apalagi kalau diingat bahwa mereka itu tidaklah seguru dengan Im-yag Seng-cu karena Im-yang Seng-cu bukanlah murid Thian Cu Cinjin, melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah meninggal dunia, yaitu sute dari Thian Cu Cinjin.
"Tan Bu Kong, kami mendengar akan pelaporanmu dari mulut utusan Pek-eng-piauwkiok, karena mengingat akan gawatnya persoalan, maka kami bertiga datang sendiri untuk memberi hukuman kepada dia yang berdosa. Benarkah bahwa kedua orang Sutemu Lie Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut alis Wan Sin Kiat. Para supeknya ini ternyata adalah orang-orang yang berhati keras dan yang dipentingkan adalah urusan kematian anak murid Hoa-san-pai, padahal di batik urusan ini tersembunyi hal yang lebih gawat lagi, yaitu ancaman permusuhan dengan fihak Siauw-lim-pai. Ataukah mungkin laporan utusan Tan-piauwsu yang tidak jelas menyampaikan laporan? Namun, ia tidak berani mengganggu, hanya mendengarkan saja.
"Benar, Suhu. Sute Lie Cit San dan Sute Ok Sun tewas, bahkan Sute Teng Lok juga terluka hebat, buntung lengannya. Semua ini terjadi karena tipu muslihat keji seorang gadis Mancu, seorang puteri Kaisar sendiri yang bernama Puteri Nirahai….”
"Siapakah yang membunuh dan melukai Sute-sutemu? Apakah dia murid Siauw-lim-pai?”
"Bukan, Suhu. Memang terjadi bentrokan dengan fihak Siauw-lim-pai, akan tetapi semua itu adalah akibat tipu muslihat keji Puteri Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu menceritakan asal mula terjadinya perkara yang hebat ini."
Melihat betapa tiga orang tosu tua itu diam saja dan semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong segera menceritakan asal mula terjadinya peristiwa itu. Betapa puteri itu datang mengirim dua buah peti ke selatan dan betapa dia tidak berani menolak karena tidak ingin dicurigai oleh pemerintah Mancu akan perjuangan Hoa-an-pai menentang penjajah.
Kemudian betapa Teng Lok sampai buntung lengannya ketika menyelidiki keadaan puteri aneh itu. Diceritakannya pula betapa rombongan piauwsu yang mengantar dua buah peti ke selatan, di tengah jalan dihadang oleh anak-anak murid Siauw-Lim-pai yang memaksa mereka membuka peti sehingga terjadi pertempuran.
"Pinto telah mendengar penuturan itu dari utusanmu, tak perlu diulangi lagi,"
Lok Seng-cu memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan kirinya ke atas sehingga ujung lengan bajunya bergetar dan bergoyang.
"Pinto hanya tertarik mendengar akan kematian murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang membunuh mereka?"
Berkerut kening Han Han. Ingin ia melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu, mengaku bahwa dialah yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Wan Sin Kiat, ia melihat pemuda itu menggeleng-geleng kepala perlahan sehingga ia membatalkan niatnya.
Tan-piauwsu juga bingung sekali atas pertanyaan gurunya yang mendesak-desak itu, seolah-olah tidak hendak memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan semua agar kesalahan tangan Han Han itu dapat diperingan dengan alasan kuat.
Akan tetapi, piauwsu ini yang sudah merasa yakin akan kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan terhadap dua orang sutenya itu, memberanikan hatinya dan melanjutkan ceritanya.
"Pertempuran berat sebelah itu tentu akan berakibat terbasminya semua anak buah piauwsu yang mengawal kalau saja tidak secara kebetulan muncul seorang pendekar muda yang membantu fihak Hoa-san-pai dan pemuda itu memukul tewas tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian fihak Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti kiriman puteri Mancu dan isinya ternyata adalah…."
"Mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto sudah tahu semua akan hal itu. Bu Kong, katakan, siapa yang membunuh dua orang Sutemu?"
"Pendekar muda yang tadinya membantu Hoa-san-pai dan membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai ketika melihat bahwa dua peti itu berisi mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi menyesal dan marah sekali, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka dalam kemarahannya ia turun tangan membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa baik fihak Siauw-lim-pai maupun fihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka semua telah termasuk dalam perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu itu…."
"Tan Bu Kong! Engkau berfihak kepada siapakah? Katakan, di mana adanya orang yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu!" bentak Lok Seng-cu dengan nada marah sehingga Tan-piauwsu menjadi jerih dan menundukkan mukanya.
"Totiang, akulah orangnya yang membunuh dua orang muridmu itu!"
Tiba-tiba terdengar suara Han Han memecah kesunyian sehingga suasana menjadi tambah sunyi lagi karena kini kesunyian itu dicekam ketegangan yang memuncak ketika tiga orang tosu tua itu menoleh dan memandang kepada Han Han penuh perhatian. Han Han sudah melangkah maju dengan sikap tenang, kemudian berdiri menghadapi tiga orang Hoa-san-pai itu sambil melanjutkan kata-katanya.
"Memang aku yang telah membunuh mereka, hal ini tidak kupungkiri dan aku mohon maaf kepada Totiang bertiga sebagai guru-guru mereka. Aku merasa menyesal sekali telah membunuh mereka berdua seperti rasa penyesalanku telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tak bersalah. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah karena aku membunuh dua orang murid Hoa-san-pai dengan persangkaan bahwa Hoa-san-pailah yang membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka bersikap palsu sehingga menyebabkan aku kesalahan tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai.
Hal itu telah terjadi di luar kesalahanku, dan aku pasti akan mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu. Nah, kurasa cukup lama aku tinggal di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi menemui pimpinan Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa kembali….."
"Berhenti!"
Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang membentak. Suaranya mengejutkan semua orang karena mengandung getaran yang menusuk rongga dada, tanda bahwa kakek ini telah mempergunakan khikang yang amat kuat.
Han Han yang tadinya, sudah melangkah hendak keluar diikuti oleh Lulu, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Sikapnya tenang saja, demikian pula dengan Lulu sehingga Bhok Seng-cu sendiri menjadi terheran-heran.
Hampir semua yang hadir di situ, kecuali Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li yang rnemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, menjadi pucat sekali wajah mereka karena pengaruh bentakan tadi, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun tidak!
“Orang muda, apakah sedemikian murahnya kau menghargai nyawa dua orang anak murid kami? Cukup dengan pernyataan menyesal dan minta maaf? Sungguh engkau memandang rendah kepada Hoa-san-pai!" kata Bhok Seng-cu dengan alis terangkat.
"Habis apa yang harus kulakukan,Totiang? Aku telah lama menanti kedatangan Totiang di sini, hal itu karena aku memandang Hoa-san-pai," jawab Han Han dengan sikap yang masih tenang.
Pandang mata pemuda ini bertemu dengan pandang mata Bhok Seng-cu dan kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan mengalihkan pandang matanya.
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!"
Bentak Lok Seng-cu, guru Tan-piauwsu yang menjadi marah sekali kalau teringat betapa murid-muridnya terbunuh hanya oleh seorang pemuda yang tak di kenaI sama sekali, bukan pula murid Siauw-lim-pai, bahkan seorang pemuda yang kelihatannya liar.
Mereka ini rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, namun masih nampak sehat dan berwibawa, penuh semangat karena sesungguhnya, tiga orang tosu inilah yang bertugas untuk melaksanakan segala peraturan di Hoa-san-pai. Mungkin karena terpengaruh tugas mereka yang harus dilaksanakan secara baik-baik dan penuh disiplin, maka tiga orang tosu ini sudah biasa berwatak keras asal benar!
Mereka bertiga tidak begitu ramah ketika diperkenalkan kepada Sin Kiat dan Soan Li, karena sesungguhnya mereka bertiga tidak suka kepada Im-yang Seng-cu, tokoh Hoa-san-pai yang dianggap menyeleweng, yaitu menyeleweng daripada aturan Hoa-san-pai, tidak suka menjadi tosu di Hoa-san-pai melainkan lebih suka mengembara dan berkeluyuran!
Juga perasaan tidak suka ini timbul pula karena Im-yang Seng-cu dianggap tidak setia kepada Hoa-san-pai, mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain golongan, bahkan berani "mengawinkan" IImu silat Hoa-san-pai yang asli dengan ilmu silat golongan lain. Apalagi kalau diingat bahwa mereka itu tidaklah seguru dengan Im-yag Seng-cu karena Im-yang Seng-cu bukanlah murid Thian Cu Cinjin, melainkan murid dari Tee Cu Cinjin yang sudah meninggal dunia, yaitu sute dari Thian Cu Cinjin.
"Tan Bu Kong, kami mendengar akan pelaporanmu dari mulut utusan Pek-eng-piauwkiok, karena mengingat akan gawatnya persoalan, maka kami bertiga datang sendiri untuk memberi hukuman kepada dia yang berdosa. Benarkah bahwa kedua orang Sutemu Lie Cit San dan Ok Sun dibunuh orang?"
Mendengar pertanyaan ini, berkerut alis Wan Sin Kiat. Para supeknya ini ternyata adalah orang-orang yang berhati keras dan yang dipentingkan adalah urusan kematian anak murid Hoa-san-pai, padahal di batik urusan ini tersembunyi hal yang lebih gawat lagi, yaitu ancaman permusuhan dengan fihak Siauw-lim-pai. Ataukah mungkin laporan utusan Tan-piauwsu yang tidak jelas menyampaikan laporan? Namun, ia tidak berani mengganggu, hanya mendengarkan saja.
"Benar, Suhu. Sute Lie Cit San dan Sute Ok Sun tewas, bahkan Sute Teng Lok juga terluka hebat, buntung lengannya. Semua ini terjadi karena tipu muslihat keji seorang gadis Mancu, seorang puteri Kaisar sendiri yang bernama Puteri Nirahai….”
"Siapakah yang membunuh dan melukai Sute-sutemu? Apakah dia murid Siauw-lim-pai?”
"Bukan, Suhu. Memang terjadi bentrokan dengan fihak Siauw-lim-pai, akan tetapi semua itu adalah akibat tipu muslihat keji Puteri Mancu Nirahai. Sebaiknya teecu menceritakan asal mula terjadinya perkara yang hebat ini."
Melihat betapa tiga orang tosu tua itu diam saja dan semua memandang kepadanya, Tan Bu Kong segera menceritakan asal mula terjadinya peristiwa itu. Betapa puteri itu datang mengirim dua buah peti ke selatan dan betapa dia tidak berani menolak karena tidak ingin dicurigai oleh pemerintah Mancu akan perjuangan Hoa-an-pai menentang penjajah.
Kemudian betapa Teng Lok sampai buntung lengannya ketika menyelidiki keadaan puteri aneh itu. Diceritakannya pula betapa rombongan piauwsu yang mengantar dua buah peti ke selatan, di tengah jalan dihadang oleh anak-anak murid Siauw-Lim-pai yang memaksa mereka membuka peti sehingga terjadi pertempuran.
"Pinto telah mendengar penuturan itu dari utusanmu, tak perlu diulangi lagi,"
Lok Seng-cu memotong tak sabar sambil menggerakkan tangan kirinya ke atas sehingga ujung lengan bajunya bergetar dan bergoyang.
"Pinto hanya tertarik mendengar akan kematian murid-murid Lie Cit San dan Ok Sun. Siapakah yang membunuh mereka?"
Berkerut kening Han Han. Ingin ia melangkah maju dan menjawab pertanyaan itu, mengaku bahwa dialah yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu. Akan tetapi ketika bertemu pandang dengan Wan Sin Kiat, ia melihat pemuda itu menggeleng-geleng kepala perlahan sehingga ia membatalkan niatnya.
Tan-piauwsu juga bingung sekali atas pertanyaan gurunya yang mendesak-desak itu, seolah-olah tidak hendak memberi kesempatan kepadanya untuk menjelaskan semua agar kesalahan tangan Han Han itu dapat diperingan dengan alasan kuat.
Akan tetapi, piauwsu ini yang sudah merasa yakin akan kebersihan hati Han Han dalam pembunuhan terhadap dua orang sutenya itu, memberanikan hatinya dan melanjutkan ceritanya.
"Pertempuran berat sebelah itu tentu akan berakibat terbasminya semua anak buah piauwsu yang mengawal kalau saja tidak secara kebetulan muncul seorang pendekar muda yang membantu fihak Hoa-san-pai dan pemuda itu memukul tewas tujuh orang anak murid Siauw-lim-pai. Kemudian fihak Siauw-lim-pai memaksa membuka dua buah peti kiriman puteri Mancu dan isinya ternyata adalah…."
"Mayat-mayat Liok Si Bhok dan Liong Ki Tek, dua orang di antara Siauw-lim Chit-kiam! Pinto sudah tahu semua akan hal itu. Bu Kong, katakan, siapa yang membunuh dua orang Sutemu?"
"Pendekar muda yang tadinya membantu Hoa-san-pai dan membunuh tujuh orang Siauw-lim-pai ketika melihat bahwa dua peti itu berisi mayat tokoh-tokoh Siauw-lim, menjadi menyesal dan marah sekali, mengira bahwa fihak Hoa-san-pai yang bersalah, maka dalam kemarahannya ia turun tangan membunuh kedua orang Sute, tidak tahu bahwa baik fihak Siauw-lim-pai maupun fihak Hoa-san-pai tidak bersalah karena mereka semua telah termasuk dalam perangkap dan siasat adu domba puteri Mancu itu…."
"Tan Bu Kong! Engkau berfihak kepada siapakah? Katakan, di mana adanya orang yang membunuh dua orang murid Hoa-san-pai itu!" bentak Lok Seng-cu dengan nada marah sehingga Tan-piauwsu menjadi jerih dan menundukkan mukanya.
"Totiang, akulah orangnya yang membunuh dua orang muridmu itu!"
Tiba-tiba terdengar suara Han Han memecah kesunyian sehingga suasana menjadi tambah sunyi lagi karena kini kesunyian itu dicekam ketegangan yang memuncak ketika tiga orang tosu tua itu menoleh dan memandang kepada Han Han penuh perhatian. Han Han sudah melangkah maju dengan sikap tenang, kemudian berdiri menghadapi tiga orang Hoa-san-pai itu sambil melanjutkan kata-katanya.
"Memang aku yang telah membunuh mereka, hal ini tidak kupungkiri dan aku mohon maaf kepada Totiang bertiga sebagai guru-guru mereka. Aku merasa menyesal sekali telah membunuh mereka berdua seperti rasa penyesalanku telah membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai yang tak bersalah. Akan tetapi aku tidak merasa bersalah karena aku membunuh dua orang murid Hoa-san-pai dengan persangkaan bahwa Hoa-san-pailah yang membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan kusangka bersikap palsu sehingga menyebabkan aku kesalahan tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai.
Hal itu telah terjadi di luar kesalahanku, dan aku pasti akan mencari biang keladinya, Puteri Mancu itu. Nah, kurasa cukup lama aku tinggal di sini bersama Adikku. Tan-piauwsu, dan juga kalian berdua, Sin Kiat dan Adik Lu Soan Li, aku harus pergi dari sini setelah bertemu dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan minta maaf. Aku hendak pergi menemui pimpinan Siauw-lim-pai untuk menjelaskan persoalan. Sampai jumpa kembali….."
"Berhenti!"
Tiba-tiba Bhok Seng-cu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang membentak. Suaranya mengejutkan semua orang karena mengandung getaran yang menusuk rongga dada, tanda bahwa kakek ini telah mempergunakan khikang yang amat kuat.
Han Han yang tadinya, sudah melangkah hendak keluar diikuti oleh Lulu, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Sikapnya tenang saja, demikian pula dengan Lulu sehingga Bhok Seng-cu sendiri menjadi terheran-heran.
Hampir semua yang hadir di situ, kecuali Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li yang rnemiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi, menjadi pucat sekali wajah mereka karena pengaruh bentakan tadi, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak terpengaruh, kaget sedikit pun tidak!
“Orang muda, apakah sedemikian murahnya kau menghargai nyawa dua orang anak murid kami? Cukup dengan pernyataan menyesal dan minta maaf? Sungguh engkau memandang rendah kepada Hoa-san-pai!" kata Bhok Seng-cu dengan alis terangkat.
"Habis apa yang harus kulakukan,Totiang? Aku telah lama menanti kedatangan Totiang di sini, hal itu karena aku memandang Hoa-san-pai," jawab Han Han dengan sikap yang masih tenang.
Pandang mata pemuda ini bertemu dengan pandang mata Bhok Seng-cu dan kakek Hoa-san-pai ini bergidik dan mengalihkan pandang matanya.
"Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa!"
Bentak Lok Seng-cu, guru Tan-piauwsu yang menjadi marah sekali kalau teringat betapa murid-muridnya terbunuh hanya oleh seorang pemuda yang tak di kenaI sama sekali, bukan pula murid Siauw-lim-pai, bahkan seorang pemuda yang kelihatannya liar.
Andaikata kedua orang muridnya tewas di tangan seorang tokoh besar, atau setidaknya oleh anak murid Siauw-lim-pai yang pandai, dia tidak akan begitu malu.
"Suheng," katanya kepada Bhok Seng-cu, “bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini menjadi kaki tangan Mancu yang sengaja membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar taktik adu domba berhasil baik. Bocah setan ini tak boleh diberi ampun!"
"Suhu dan Ji-wi Supek, Han Han bukanlah kaki tangan Mancu….!"
Tiba-tiba Wan Sin Kiat berseru dari tempat duduknya karena tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan suhunya dan supeknya yang nadanya menekan Han Han.
"Teecu mengenal dia baik-baik semenjak dia masih kanak-kanak karena dia adalah sahabat baik teecu di waktu kecil."
"Wan Sin Kiat! Tak patut engkau sebagai anak murid Hoa-san-pai bicara seperti itu terhadap seorang yang telah membunuh dua orang Suhengmu! Di mana kesetiaanmu terhadap Hoa-san-pai? Apakah kalau dia ini menjadi sahabat baikmu di waktu kecil, lalu tak mungkin lagi menjadi kaki tangan Mancu? Pandangan picik sekali!" bentak Bhok Seng-cu sambil menatap wajah pemuda itu dengan mata melotot.
Sin Kiat menunduk, akan tetapi ia menjawab dengan suara tenang,
"Maaf, Supek. Bukan karena itu, melainkan karena dia adalah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan Lee……. "
"Ahhhhh !"
Seruan ini keluar dari mulut ketiga orang tosu tua itu karena mereka benar-benar merasa kaget sekali mendengar bahwa pemuda ini adalah murid seorang di antara tokoh-tokoh datuk hitam yang amat terkenal itu. Dan mereka pun maklum bahwa biarpun seorang tokoh datuk hitam, namun Siang-koan Lee bukanlah seorang yang tunduk kepada pemerintah penjajah Mancu.
Kini mereka kembali memandang kepada Han Han penuh perhatian dan dengan pandang mata agak meragu. Akan tetapi hanya sebentar saja mereka meragu karena segera terdengar suara Bhok Seng-cu yang kaku dan tegas.
"Kalau dia murid Ma-bin Lo-mo, memang bukan kaki tangan Mancu. Akan tetapi biarpun demikian, dia telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Biarpun murid Ma-bin Lo-mo tidak boleh menghina kami orang-orang Hoa-san-pai!"
"Suheng, nanti dulu, Suheng!"
Tiba-tiba Kong Seng-cu berkata dan tiba-tiba tubuh tosu ini sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkah lebar menghampiri Lulu. Ia menghampiri dan memandang gadis itu penuh perhatian, mulutnya menggerutu,
"Adiknya……..? ini Adikmu………?"
Han Han yang merasa sebal menyaksikan sikap congkak dari tiga orang Hoa-san-pai ini berkata,
"Benar, Totiang. Dia Adik angkatku."
Lulu yang dipandang penuh perhatian,bahkan kini tosu yang dahinya terhias bekas luka itu berjalan mengelilinginya sambil memandang seperti orang memeriksa kuda yang hendak dibelinya, tersenyum-senyum dan melirak-lirik dengan sikap lucu dan mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke bangkunya, duduk dan berkata,
"Gadis ini adalah seorang wanita Mancu!"
Semua orang yang mendengar ini menjadi terheran, bagaimana tosu codet ini dapat menduga sedemikian tepatnya.
"Wanita Mancu?"
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget. Lok Seng-cu memandang kepada Tan-piauwsu dengan pandang mata bengis lalu membentak,
"Tan Bu Kong! Betulkah bahwa gadis ini seorang wanita Mancu dan sudah kau biarkan dia menjadi tamumu?"
Sebelum Tan-piauwsu sempat menjawab, Lulu sudah melangkah maju dan menjawab dengan suara lantang sambil memandang kepada Kong Seng-cu,
"Benar sekali! Aku adalah seorang gadis Mancu dan namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she Sie. Tosu codet, matamu benar-benar tajam sekali!"
“Siancai……. ! Apa kata pinto? Dalam jarak sepuluh li, pinto sudah dapat mengenal wanita Mancu! Suheng dan Sute biarpun orang she Sie ini murid Ma-bin-Lo-mo, akan tetapi dia mempunyai Adik angkat wanita Mancu! Terang bahwa dia telah berkhianat, dan mungkin sekali dia sekarang menjadi kaki tangan Puteri Mancu itu! Wah, berbahaya kalau begini, sama sekali tidak boleh membebaskan dia."
"Tosu codet, selain matamu awas sekali, juga hatimu busuk sekali. Tentu karena kebusukan hatimu maka dahimu menjadi codet, bekas terluka senjata tajam. Sayang di dahi, sebaiknya di mulut agar mulutmu tidak dapat menghamburkan ucapan-ucapan busuk lagi.”
Lulu yang diam-diam marah kini mulai mempermainkan tosu itu. Semua orang terkejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya.. Gadis yang dicintanya itu benar-benar berani mati, mengeluarkan omongan yang seperti itu terhadap Kong seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua Hoa-san-pai yang berilmu tinggi! Pemuda perkasa ini maklum bahwa ucapan itu akan rnempunyai akibat yang berbahaya sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia memandang dengan jantung berdebar dan muka pucat.
Juga para anak buah Pek-eng-piauw-kiok terutama sekali Tan Bu Kong, menjadi khawatir sekali, apalagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa perbuatannya menerima seorang gadis Mancu sebagai tamu benar-benar akan menimbulkan salah faham dari para supeknya.
"Suhu, harap maafkan teecu. Biarpun dia seorang gadis Mancu, akan tetapi dia lain lagi, sama sekali tidak menganggap kita sebagai musuh dan dia adalah Adik angkat Sie-taihiap ………"
Ucapan ini malah merupakan angin yang membesarkan api kemarahan di dada tiga orang tosu itu, terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina dan dimaki oleh seorang gadis Mancu.
"Bocah Mancu, mampuslah!"
Bentak Kong Seng-cu dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan kanannya kearah dada Lulu. Jarak antara mereka ada empat meter dan kakek ini yang mermandang rendah gadis Mancu itu yang disangkanya gadis biasa saja, menaksir bahwa pukulan-nya ini cukup kuat untuk merusak isi dada gadis yang dianggapnya jahat dan musuh rakyat itu
Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lulu dan jelas tampak betapa baju gadis itu di bagian dadanya berkibar disambar angin pukulan, akan tetapi gadis itu sendiri berdiri sambil tersenyum-senyum manis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak merasakan datangnya angin pukulan jarak jauh ini seperti sebongkah batu gunung ditiup angin semilir!
Dan memang sesungguhnyalah bahwa Lulu sama sekali tidak tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti arnat kuat dari tokoh Hoa-san-pai itu sarna sekali tidak terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki kesaktian yang luar biasa seperti Han Han?
Sebetulnya tidaklah demikian. Seperti kita ketahui, ketika berdiam di Pulau Es, Lulu juga tekun belajar di bawah bimbingan Han Han. Akan tetapi berbeda dengan Han Han yang memiliki dasar tidak karuan, bahkan secara paksa menggembleng diri dengan ilmu dari aliran hitam. Lulu sebaliknya mempelajari kitab-kitab peninggalan manusia sakti pemilik Istana Pulau Es.
Gadis ini berlatih samadhi dan pengumpulan hawa murni untuk membentuk tenaga sakti menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau itu, dan ternyata ia dapat memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat kuat dan yang kini telah menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya sehingga tenaga sakti ini akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada bahaya mengancam tubuhnya.
Juga gadis ini melatih ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang dari dua buah kitab lain yang sudah amat tua dan tidak berjudul lagi, ilmu silat tangan kosong yang lebih mirip ilmu tari karena gerakan-gerakan-nya indah sekali sehingga sering kali jika Sedang berlatih, lulu ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa tarian adiknya amat indah dan 'bahwa' adiknya bukan mempelajari ilmu silat melainkan ilmu tari.
Namun, dengan "ilmu tari" ini,.Lulu sudah dapat membuat biruang es mengaku kalah! Adapun ilmu pedangnya juga amat indah, akan tetapi karena dipulau itu mereka tidak mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih mempergunakan sebatang ranting.
Dengan adanya sinkang yang sudah mendarah daging itulah maka tadi ketika Kong Seng-cu melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sinkang, begitu angin pukulan menyentuh kulit, otomatis sinkang di tubuh Lulu bergerak dan menolak serangan dari luar itu maka gadis ini tidak merasakan apa-apa sungguhpun bajunya sampai berkibar dilanda angin pukulan jarak jauh tokoh Hoa-san-pai itu!
Wan Sin Kiat menjadi pucat mukanya,dan pandang matanya menjadi kagum dan heran bukan main. Sebagat murid tersayang dari im-yang Seng-cu seorang tokoh yang biarpun tingkatnya hanya saudara seperguruan tiga orang tosu ini namun memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi, dan sebagai seorang yang ahli dalam ilmu silat Hoa-san-pai, Sin Kiat tadi dapat rnelihat jelas gerakan Kong Seng-cu dan maklum bahwa supeknya itu dengan secara keji sekali telah melakukan pukulan jarak jauh yang disebut jurus Sian-jin¬hian-ko (Dewa Memberi Buah) dan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagum nya ketika melihat bahwa gadis yang telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk lutut itu sama sekali tidak rnerasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak, malah senyumnya makin lebar dan makin manis, mata yang lebar itu makin bersinar-sinar!
"Eh, Tosu Codet. Engkau mengeluarkan ilrnu hitam apakah?"
Setelah bajunya berkibar dan dadanya agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu sadar bahwa tosu itu tadi telah memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia sengaja mengejek dan diarn-diam gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena maklum bahwa para tosu Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han Han.
Sementara itu, ketika melihat betapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Kong Seng-cu kepada gadis Mancu itu sama sekalj tjdak berhasil, tiga orang tokoh Hoa.-san-pai ini diam-diam terkejut dan berhati-hati. Mereka maklum bahwa. gadis Mancu yang masih remaja itu telah memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak lumrah dimiliki seorang gadis yang demikian muda.
Tiga orang tosu itu menjadi serba salah. Mau merintahkan anak murid turun tangan terhadap Han Han dan Lulu, mereka maklum bahwa murid-murid yang berada di situ agaknya bukanlah lawan pemuda berambut riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang hebat itu. Mau turun tangan sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu karena amatlah menurunkan derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua orang yang masih amat muda, boleh disebut setengah dewasa itu!
Tiba-tiba pandang mata Bhok Seng cu yang memandangi para anak murid Hoa-san-pai dan anak buah Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke Satu arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong Seng-cu yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng mereka yang tentu saja sebagai orang tertua di antara mereka merupakan penentu terakhir, mereka berdua pun mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan wajah mereka berseri.
Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran suheng mereka dan merekapun setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara, tiga orang tosu Hoa-san-pai ini telah bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menghadapi Han Han dan Lulu!
Mereka itu sarna mudanya sehingga tidak akan menurunkan nama Hoa-san-pai, mereka berdua itu pun murid-murid Hoa-san-pai yang lihai ilmunya sehingga di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap dan Hoa-san Kiam-li. Dan yang menggirangkan hati ketiga orang tosu ini, dua orang muda itu adalah murid-murid Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai yang mereka anggap menyeleweng dan murtad sehingga kalau dua orang murid itu sampai kalah, Hoa-san-pai tidaklah terlalu merasa malu dan memang tiga orang tosu ini dalam kebenciannya terhadap Im-yang Seng-cu, menjadi tidak suka pula kepada Sin Kiat dan Soan Li.
Rasa benci terhadap Im-yang Seng-cu bukan semata karena tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan Hoa-san-pai, melainkan lebih banyak terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu membuat nama besar bukan bersandar kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, dan di samping ini, Im-yang Seng-cu tidak lagi hidup terikat dan terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai seorang pendekar dan petualang yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan duniawi!
"Murid-murid Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li! Pinto memerintahkan kalian untuk menangkap musuh Hoa-san-pai dan adiknya, gadis Mancu itu. Kerjakan perintah pinto sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang baik!"
Bhok Seng-cu berkata dengan nada suara halus dan muka berseri. Dua orang sutenya mengangguk-angguk dan tersenyum sambil meraba-raba jenggot mereka.
Sin Kiat dan Soan Li menjadi terkejut bukan main mendengar perintah ini. Wajah mereka berubah dan jantung mereka berdebar karena mereka tersudut kedalam keadaan yang serba salah. Untuk membantah, perintah itu keluar dari mulut supek mereka dan dikeluarkan atas nama Hoa-san-pai. Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka dapat memusuhi dua orang muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua orang muda yang masing-masing telah menjatuhkan hati mereka?
Mereka tak tahu harus berbuat apa, merasa mundur salah maju tidak sesuai dengan suara hati mereka. Apalagi ketika mereka melihat betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan memandang mereka dengan sikap tenang dan bahkan Lulu tersenyum-senyum memandang Sin Kiat karena gadis nakal ini agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan melihat pemuda itu yang ia tahu menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta, kini disuruh menyerang !
Teringatlah dua orang murid Hoa-san-pai ini akan pesan suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu,
"Kalian memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu asli dari Hoa-san-pai. Karena itu, kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan Sute-suteku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku memegang peraturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap kenikmatan hidup tanpa pantangan-pantangan, lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari urusan Hoa-san-pai.
Demikianlah pesan suhu mereka dan kini di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.
"Mengapa kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menentang perintah pinto dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?"
Kini suara Bhok Seng-cu terdengar keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua orang muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai.
Soan Li hanya dapat memandang kepada suhengnya dengan pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu berkata.
"Supek, mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi mereka?"
"Wan Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suhengmu sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada kalian?" bentak Kong Seng-cu.
Ucapan keras yang menambah ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh semua telinga,
"Koko, Tosu Codet itu galak sekali! Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi, baru puas hatiku!"
"Sssttttt, Lulu, jangan lancang mulut…..!"
Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu saja terdengar pula oleh semua orang. Kong Seng-cu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan, jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.
"Supek," jawab Sin Kiat dengan suara tenang, "Suhu mengajarkan agar teecu tidak sembrono dalam sepak terjang teucu, tidak menurutkan panasnya nafsu hati melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan liang-sim (hati nurani). Biarpun Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Adapun Adik Lulu ini……..dia bukanlah musuh dia tidak memusuhi kita.
"Kreeekkkkk!"
Lengan kursi yang diduduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi kemarahannya.
"Murid murtad!" Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru, "Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu!"
"Serrr….serrrrr……!"
Bhok Seng-cu menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya, menyambar kearah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu.
Han Han mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek,
"Wah, sayang luput Tosu galak!"
Tan-piauwsu dan para sutenya, juga anak buah Pek-eng¬piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak buah Hoa-san-pai, tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu!
Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan SoanLi cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati mereka akan ikhtikad baik Kwee Twan Giap.
Akan tetapi, sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik .melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak diantara mereka meremang bulu tengkuknya mendengar suara ini. Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil melengking keras, kemudian berkata.
"Majulah semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan yang kalian dapat!"
Lulu juga meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung,
"Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau kalian sudah bosan hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan golok karena pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Han Han.
Amat mengerikan akibatnya karena empat orang itu roboh dengan lengan kanan sebatas siku gosong seperti dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang!
Lulu menjadi gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan membuat seorang anak buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya patah tulangnya dan pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan gerakan indah dan cepat, seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangannya, dan la melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah boneka.
"Pedang yang bagus sekali!'" Ia memainkan ronnce-ronce pedang yang berwarna kuning itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam.
Melihat ini, Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan menyerbu Han Han dan Lulu yang telah bergerak terlebih dulu.
Biarpun sampai mati dalam pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han Han telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu. Kalau mereka menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas berarti mati konyol!
“Han Han…..Lulu-moi…., kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka….!" Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak terjang Han Han.
Lulu mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.
"Koko, jangan bunuh orang……."
Pada saat itu, Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apabila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya. latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh.
Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai, kemarahannya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya, sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas hawa melainkan api.
Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh sebanyaknya, dan ia mengangguk sambil berkata lirih.
"Lulu, kau tahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong!" ,.
Lulu tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok, tangan kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata mendelik, pingsan!
Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang aneh, juga ditambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar kesengajaannya ketika ia berlatih dengan biruang es yang lihai sekali.
Biasanya, kalau ia memukul tengkuk biruang es dengan tangan miring, biruang itu kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, biruang es itu hanya akan terhuyung. Siapa kira orang ini sekali kena disambar tengkuknya terus roboh pingsan!
Hebat bukan main sepak terjang Lulu. Dia kini telah meloncat dekat kakaknya menyerahkan pedang dengan sikap seperti anak kecil dan berkata,
"Aku titip dulu, Koko, jangan sampai hilang pedangkul"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari, namun cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat bayangan berkelebatan disekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Lulu dan pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lenganya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening kepalanya dengan mata berkunang, karena ditempiling, dan ada pula yang mulas perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu.
Mereka seolah-olah melawan bayangan setan, membacok, dan menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka malang-melintang di ruangan itu!
"Bukan main !"
Sin Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi, memiliki ginkang yang hebat, akan tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang saja!
Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi itu? Siapakah gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu dari golongan bersih, kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda itu mengerikan sekali, Jelas termasuk Ilmu dari kaum sesat.
Kini hanya tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sutenya yang lain saja di antara para piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika nnenyaksikan betapa semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah.
Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang maju. Tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima ilmu silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauw kiok tadi.
"Pergilah……!"
Terdengar bentakan Han Han yang tidak membiarkan adiknya dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini. Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke kanan kiri…… dan empat orang murid Hoa-san-pai itu terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Han Han.
Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan adiknya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh pingsan dengan tulang remuk saja.
"Siancai…… pemuda iblis…….!”
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun sesunggunnya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu.
Melihat tiga orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini dan karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaian hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan.
Mereka masih bingung dan serba salah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa berhenti berdetik.
"Koko, mana pedangku! Biar kau serahan Si Codet galak itu kepadaku!" kata Lulu yang agaknya tidak mengenal bahaya.
Pedang itu tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambar pedang itu dan terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.
"Hayo, Tosu Codet, beranikah engkau melawan pedang wasiat jimat keramatku?”
Kong Seng-cu yang sudah sejak tadi diejek dan dipermainkan Lulu, memuncak kemarahannya. Ia lupa diri, lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut pedangnya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang gemilang kehijauan itu bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu!
"Cring……iiihhhhh…..! Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet! Wah, kau berikan saja pedangmu itu padaku dan aku serta kokoku akan mengampunimu. Hayo, serahkan pedangmu sebagai pengganti nyawamu!”
Lulu berteriak kaget dan memandang pedangnya yang tinggal sepotong. Ketika menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan sekali beradu pedang rampasannya buntung. Maka ia menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang pedang kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu.
"Suheng," katanya kepada Bhok Seng-cu, “bukan hal yang mustahil kalau pemuda ini menjadi kaki tangan Mancu yang sengaja membunuh murid-murid Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai agar taktik adu domba berhasil baik. Bocah setan ini tak boleh diberi ampun!"
"Suhu dan Ji-wi Supek, Han Han bukanlah kaki tangan Mancu….!"
Tiba-tiba Wan Sin Kiat berseru dari tempat duduknya karena tidak tahan lagi mendengar ucapan-ucapan suhunya dan supeknya yang nadanya menekan Han Han.
"Teecu mengenal dia baik-baik semenjak dia masih kanak-kanak karena dia adalah sahabat baik teecu di waktu kecil."
"Wan Sin Kiat! Tak patut engkau sebagai anak murid Hoa-san-pai bicara seperti itu terhadap seorang yang telah membunuh dua orang Suhengmu! Di mana kesetiaanmu terhadap Hoa-san-pai? Apakah kalau dia ini menjadi sahabat baikmu di waktu kecil, lalu tak mungkin lagi menjadi kaki tangan Mancu? Pandangan picik sekali!" bentak Bhok Seng-cu sambil menatap wajah pemuda itu dengan mata melotot.
Sin Kiat menunduk, akan tetapi ia menjawab dengan suara tenang,
"Maaf, Supek. Bukan karena itu, melainkan karena dia adalah murid Ma-bin Lo-mo Siang-koan Lee……. "
"Ahhhhh !"
Seruan ini keluar dari mulut ketiga orang tosu tua itu karena mereka benar-benar merasa kaget sekali mendengar bahwa pemuda ini adalah murid seorang di antara tokoh-tokoh datuk hitam yang amat terkenal itu. Dan mereka pun maklum bahwa biarpun seorang tokoh datuk hitam, namun Siang-koan Lee bukanlah seorang yang tunduk kepada pemerintah penjajah Mancu.
Kini mereka kembali memandang kepada Han Han penuh perhatian dan dengan pandang mata agak meragu. Akan tetapi hanya sebentar saja mereka meragu karena segera terdengar suara Bhok Seng-cu yang kaku dan tegas.
"Kalau dia murid Ma-bin Lo-mo, memang bukan kaki tangan Mancu. Akan tetapi biarpun demikian, dia telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Biarpun murid Ma-bin Lo-mo tidak boleh menghina kami orang-orang Hoa-san-pai!"
"Suheng, nanti dulu, Suheng!"
Tiba-tiba Kong Seng-cu berkata dan tiba-tiba tubuh tosu ini sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan langkah lebar menghampiri Lulu. Ia menghampiri dan memandang gadis itu penuh perhatian, mulutnya menggerutu,
"Adiknya……..? ini Adikmu………?"
Han Han yang merasa sebal menyaksikan sikap congkak dari tiga orang Hoa-san-pai ini berkata,
"Benar, Totiang. Dia Adik angkatku."
Lulu yang dipandang penuh perhatian,bahkan kini tosu yang dahinya terhias bekas luka itu berjalan mengelilinginya sambil memandang seperti orang memeriksa kuda yang hendak dibelinya, tersenyum-senyum dan melirak-lirik dengan sikap lucu dan mentertawakan. Akhirnya tosu itu kembali ke bangkunya, duduk dan berkata,
"Gadis ini adalah seorang wanita Mancu!"
Semua orang yang mendengar ini menjadi terheran, bagaimana tosu codet ini dapat menduga sedemikian tepatnya.
"Wanita Mancu?"
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu berseru kaget. Lok Seng-cu memandang kepada Tan-piauwsu dengan pandang mata bengis lalu membentak,
"Tan Bu Kong! Betulkah bahwa gadis ini seorang wanita Mancu dan sudah kau biarkan dia menjadi tamumu?"
Sebelum Tan-piauwsu sempat menjawab, Lulu sudah melangkah maju dan menjawab dengan suara lantang sambil memandang kepada Kong Seng-cu,
"Benar sekali! Aku adalah seorang gadis Mancu dan namaku Lulu, she Sie karena Kakakku ini pun she Sie. Tosu codet, matamu benar-benar tajam sekali!"
“Siancai……. ! Apa kata pinto? Dalam jarak sepuluh li, pinto sudah dapat mengenal wanita Mancu! Suheng dan Sute biarpun orang she Sie ini murid Ma-bin-Lo-mo, akan tetapi dia mempunyai Adik angkat wanita Mancu! Terang bahwa dia telah berkhianat, dan mungkin sekali dia sekarang menjadi kaki tangan Puteri Mancu itu! Wah, berbahaya kalau begini, sama sekali tidak boleh membebaskan dia."
"Tosu codet, selain matamu awas sekali, juga hatimu busuk sekali. Tentu karena kebusukan hatimu maka dahimu menjadi codet, bekas terluka senjata tajam. Sayang di dahi, sebaiknya di mulut agar mulutmu tidak dapat menghamburkan ucapan-ucapan busuk lagi.”
Lulu yang diam-diam marah kini mulai mempermainkan tosu itu. Semua orang terkejut sekali, bahkan Sin Kiat menjadi pucat wajahnya.. Gadis yang dicintanya itu benar-benar berani mati, mengeluarkan omongan yang seperti itu terhadap Kong seng-cu, seorang di antara ketiga murid ketua Hoa-san-pai yang berilmu tinggi! Pemuda perkasa ini maklum bahwa ucapan itu akan rnempunyai akibat yang berbahaya sekali bagi Han Han dan Lulu, maka ia memandang dengan jantung berdebar dan muka pucat.
Juga para anak buah Pek-eng-piauw-kiok terutama sekali Tan Bu Kong, menjadi khawatir sekali, apalagi karena Tan-piauwsu maklum bahwa perbuatannya menerima seorang gadis Mancu sebagai tamu benar-benar akan menimbulkan salah faham dari para supeknya.
"Suhu, harap maafkan teecu. Biarpun dia seorang gadis Mancu, akan tetapi dia lain lagi, sama sekali tidak menganggap kita sebagai musuh dan dia adalah Adik angkat Sie-taihiap ………"
Ucapan ini malah merupakan angin yang membesarkan api kemarahan di dada tiga orang tosu itu, terutama sekali Kong Seng-cu yang dihina dan dimaki oleh seorang gadis Mancu.
"Bocah Mancu, mampuslah!"
Bentak Kong Seng-cu dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, kakek berdahi codet ini mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan tangan kanannya kearah dada Lulu. Jarak antara mereka ada empat meter dan kakek ini yang mermandang rendah gadis Mancu itu yang disangkanya gadis biasa saja, menaksir bahwa pukulan-nya ini cukup kuat untuk merusak isi dada gadis yang dianggapnya jahat dan musuh rakyat itu
Angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lulu dan jelas tampak betapa baju gadis itu di bagian dadanya berkibar disambar angin pukulan, akan tetapi gadis itu sendiri berdiri sambil tersenyum-senyum manis, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah ia tidak merasakan datangnya angin pukulan jarak jauh ini seperti sebongkah batu gunung ditiup angin semilir!
Dan memang sesungguhnyalah bahwa Lulu sama sekali tidak tahu bahwa dia dipukul orang! Akan tetapi mengapa pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sakti arnat kuat dari tokoh Hoa-san-pai itu sarna sekali tidak terasa olehnya? Apakah Lulu sudah memiliki kesaktian yang luar biasa seperti Han Han?
Sebetulnya tidaklah demikian. Seperti kita ketahui, ketika berdiam di Pulau Es, Lulu juga tekun belajar di bawah bimbingan Han Han. Akan tetapi berbeda dengan Han Han yang memiliki dasar tidak karuan, bahkan secara paksa menggembleng diri dengan ilmu dari aliran hitam. Lulu sebaliknya mempelajari kitab-kitab peninggalan manusia sakti pemilik Istana Pulau Es.
Gadis ini berlatih samadhi dan pengumpulan hawa murni untuk membentuk tenaga sakti menurut petunjuk kitab yang dibacanya di pulau itu, dan ternyata ia dapat memiliki sinkang yang murni dan bersih yang amat kuat dan yang kini telah menjadi satu dengan darah daging dan pernapasannya sehingga tenaga sakti ini akan bergerak dengan sendirinya setiap kali ada bahaya mengancam tubuhnya.
Juga gadis ini melatih ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang dari dua buah kitab lain yang sudah amat tua dan tidak berjudul lagi, ilmu silat tangan kosong yang lebih mirip ilmu tari karena gerakan-gerakan-nya indah sekali sehingga sering kali jika Sedang berlatih, lulu ditertawai dan digoda Han Han, dikatakan bahwa tarian adiknya amat indah dan 'bahwa' adiknya bukan mempelajari ilmu silat melainkan ilmu tari.
Namun, dengan "ilmu tari" ini,.Lulu sudah dapat membuat biruang es mengaku kalah! Adapun ilmu pedangnya juga amat indah, akan tetapi karena dipulau itu mereka tidak mempunyai pedang, Lulu selalu berlatih mempergunakan sebatang ranting.
Dengan adanya sinkang yang sudah mendarah daging itulah maka tadi ketika Kong Seng-cu melancarkan pukulan jarak jauh yang mengandalkan tenaga sinkang, begitu angin pukulan menyentuh kulit, otomatis sinkang di tubuh Lulu bergerak dan menolak serangan dari luar itu maka gadis ini tidak merasakan apa-apa sungguhpun bajunya sampai berkibar dilanda angin pukulan jarak jauh tokoh Hoa-san-pai itu!
Wan Sin Kiat menjadi pucat mukanya,dan pandang matanya menjadi kagum dan heran bukan main. Sebagat murid tersayang dari im-yang Seng-cu seorang tokoh yang biarpun tingkatnya hanya saudara seperguruan tiga orang tosu ini namun memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi, dan sebagai seorang yang ahli dalam ilmu silat Hoa-san-pai, Sin Kiat tadi dapat rnelihat jelas gerakan Kong Seng-cu dan maklum bahwa supeknya itu dengan secara keji sekali telah melakukan pukulan jarak jauh yang disebut jurus Sian-jin¬hian-ko (Dewa Memberi Buah) dan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagum nya ketika melihat bahwa gadis yang telah membuat jantungnya jungkir balik dan bertekuk lutut itu sama sekali tidak rnerasakan pukulan itu, bahkan berkedip pun tidak, malah senyumnya makin lebar dan makin manis, mata yang lebar itu makin bersinar-sinar!
"Eh, Tosu Codet. Engkau mengeluarkan ilrnu hitam apakah?"
Setelah bajunya berkibar dan dadanya agak berdenyut kulitnya, barulah Lulu sadar bahwa tosu itu tadi telah memukulnya dengan pengerahan sinkang, maka ia sengaja mengejek dan diarn-diam gadis ini bersikap waspada dan hati-hati karena maklum bahwa para tosu Hoa-san-pai itu benar-benar hendak memusuhi dia dan Han Han.
Sementara itu, ketika melihat betapa pukulan jarak jauh yang dilontarkan Kong Seng-cu kepada gadis Mancu itu sama sekalj tjdak berhasil, tiga orang tokoh Hoa.-san-pai ini diam-diam terkejut dan berhati-hati. Mereka maklum bahwa. gadis Mancu yang masih remaja itu telah memiliki tenaga sinkang yang hebat dan tidak lumrah dimiliki seorang gadis yang demikian muda.
Tiga orang tosu itu menjadi serba salah. Mau merintahkan anak murid turun tangan terhadap Han Han dan Lulu, mereka maklum bahwa murid-murid yang berada di situ agaknya bukanlah lawan pemuda berambut riap-riapan dan adiknya yang bertenaga sinkang hebat itu. Mau turun tangan sendiri, mereka masih merasa tidak enak dan malu karena amatlah menurunkan derajat bagi mereka untuk turun tangan terhadap dua orang yang masih amat muda, boleh disebut setengah dewasa itu!
Tiba-tiba pandang mata Bhok Seng cu yang memandangi para anak murid Hoa-san-pai dan anak buah Pek-eng-piauwkiok itu menatap ke Satu arah. Ketika Lok Seng-cu dan Kong Seng-cu yang ragu-ragu menoleh ke arah suheng mereka yang tentu saja sebagai orang tertua di antara mereka merupakan penentu terakhir, mereka berdua pun mengikuti arah pandang mata suheng mereka itu dan wajah mereka berseri.
Mengertilah kedua orang tosu ini akan jalan pikiran suheng mereka dan merekapun setuju sekali. Tanpa mengeluarkan suara, tiga orang tosu Hoa-san-pai ini telah bersepakat untuk memerintahkan Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li menghadapi Han Han dan Lulu!
Mereka itu sarna mudanya sehingga tidak akan menurunkan nama Hoa-san-pai, mereka berdua itu pun murid-murid Hoa-san-pai yang lihai ilmunya sehingga di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Hoa-san Gi-hiap dan Hoa-san Kiam-li. Dan yang menggirangkan hati ketiga orang tosu ini, dua orang muda itu adalah murid-murid Im-yang Seng-cu, seorang tokoh Hoa-san-pai yang mereka anggap menyeleweng dan murtad sehingga kalau dua orang murid itu sampai kalah, Hoa-san-pai tidaklah terlalu merasa malu dan memang tiga orang tosu ini dalam kebenciannya terhadap Im-yang Seng-cu, menjadi tidak suka pula kepada Sin Kiat dan Soan Li.
Rasa benci terhadap Im-yang Seng-cu bukan semata karena tokoh Hoa-san-pai ini meninggalkan Hoa-san-pai, melainkan lebih banyak terdorong rasa iri hati. Im-yang Seng-cu membuat nama besar bukan bersandar kepada Hoa-san-pai karena ilmu silatnya telah bercampur dengan ilmu-ilmu silat lain, dan di samping ini, Im-yang Seng-cu tidak lagi hidup terikat dan terkurung di Hoa-san, melainkan hidup sebagai seorang pendekar dan petualang yang bebas dan bebas pula menikmati kesenangan duniawi!
"Murid-murid Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li! Pinto memerintahkan kalian untuk menangkap musuh Hoa-san-pai dan adiknya, gadis Mancu itu. Kerjakan perintah pinto sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang baik!"
Bhok Seng-cu berkata dengan nada suara halus dan muka berseri. Dua orang sutenya mengangguk-angguk dan tersenyum sambil meraba-raba jenggot mereka.
Sin Kiat dan Soan Li menjadi terkejut bukan main mendengar perintah ini. Wajah mereka berubah dan jantung mereka berdebar karena mereka tersudut kedalam keadaan yang serba salah. Untuk membantah, perintah itu keluar dari mulut supek mereka dan dikeluarkan atas nama Hoa-san-pai. Untuk mentaati perintah, bagaimana mereka dapat memusuhi dua orang muda yang menjadi sahabat baik mereka, bahkan dua orang muda yang masing-masing telah menjatuhkan hati mereka?
Mereka tak tahu harus berbuat apa, merasa mundur salah maju tidak sesuai dengan suara hati mereka. Apalagi ketika mereka melihat betapa Han Han dan Lulu kini menoleh dan memandang mereka dengan sikap tenang dan bahkan Lulu tersenyum-senyum memandang Sin Kiat karena gadis nakal ini agaknya merasa geli, sama sekali tidak kasihan melihat pemuda itu yang ia tahu menjadi bingung. Baru saja menyatakan cinta, kini disuruh menyerang !
Teringatlah dua orang murid Hoa-san-pai ini akan pesan suhu mereka, yaitu Im-yang Seng-cu,
"Kalian memang dapat disebut murid-murid Hoa-san-pai, akan tetapi ilmu yang kuberikan kepada kalian sesungguhnya bukanlah ilmu asli dari Hoa-san-pai. Karena itu, kalian harus berhati-hati terhadap Hoa-san-pai. Para tosu Hoa-san-pai, yaitu Suheng-suheng dan Sute-suteku, adalah tosu-tosu yang kukuh dan terlalu kaku memegang peraturan sehingga kadang-kadang mereka itu keras sekali. Memang demikian watak orang-orang yang terikat oleh keadaan pada lahirnya namun sesungguhnya batinnya belum dapat mereka sesuaikan dengan keadaan lahir. Mereka banyak yang merasa iri hati melihat kehidupan orang-orang di luar lingkungan tosu yang hidup serba bebas dan dapat mengecap kenikmatan hidup tanpa pantangan-pantangan, lebih baik kalau kalian menjauhkan diri dari urusan Hoa-san-pai.
Demikianlah pesan suhu mereka dan kini di luar kehendak mereka, mereka dihadapkan dengan urusan yang amat sulit yang menyangkut Hoa-san-pai.
"Mengapa kalian tidak lekas turun tangan? Apakah kalian hendak menentang perintah pinto dan hendak menjadi murid murtad Hoa-san-pai pula?"
Kini suara Bhok Seng-cu terdengar keras dan tidak senang, mengandung tekanan menyindir bahwa guru kedua orang muda itu adalah seorang murid murtad Hoa-san-pai.
Soan Li hanya dapat memandang kepada suhengnya dengan pandang mata penuh permohonan agar suheng ini dapat mengambil keputusan. Sin Kiat menghela napas panjang lalu berkata.
"Supek, mohon maaf, bukan sekali-kali teecu membantah. Hanya teecu teringat akan pesan Suhu bahwa segala perbuatan teecu berdua harus didasarkan kebenaran. Teecu menganggap bahwa Saudara Sie Han dan Lulu tidak bersalah dalam urusan ini, bagaimana mungkin teecu berdua harus memusuhi mereka?"
"Wan Sin Kiat! Bocah ini telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai yang terhitung Suheng-suhengmu sendiri dan kau masih hendak membelanya? Dan gadis ini, sudah terang dia itu gadis Mancu, seorang musuh bangsa kita, dan engkau pun hendak membelanya? Pelajaran macam apakah ini yang diberikan Gurumu kepada kalian?" bentak Kong Seng-cu.
Ucapan keras yang menambah ketegangan itu disusul suara Lulu yang perlahan akan tetapi karena keadaan yang amat sunyi, terdengar oleh semua telinga,
"Koko, Tosu Codet itu galak sekali! Kalau terjadi pertempuran, kau bikin mukanya bertambah satu codet lagi, baru puas hatiku!"
"Sssttttt, Lulu, jangan lancang mulut…..!"
Han Han menjawab lirih, akan tetapi tentu saja terdengar pula oleh semua orang. Kong Seng-cu hampir tak dapat menahan kemarahannya dan ia memandang kepada Lulu dengan mata melotot. Untuk turun tangan sendiri, ia merasa malu hati, tidak turun tangan, jantungnya serasa ditusuk-tusuk oleh sindiran dan ejekan gadis Mancu itu.
"Supek," jawab Sin Kiat dengan suara tenang, "Suhu mengajarkan agar teecu tidak sembrono dalam sepak terjang teucu, tidak menurutkan panasnya nafsu hati melainkan menggunakan pertimbangan pikiran dan liang-sim (hati nurani). Biarpun Han Han membunuh kedua orang Suheng teecu, akan tetapi dia membunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena tertipu muslihat Puteri Mancu. Adapun Adik Lulu ini……..dia bukanlah musuh dia tidak memusuhi kita.
"Kreeekkkkk!"
Lengan kursi yang diduduki Bhok Seng-cu hancur berkeping-keping karena dicengkeram tangan tosu lihai ini yang sudah tak dapat mengendalikan lagi kemarahannya.
"Murid murtad!" Ia menudingkan telunjuknya kepada Sin Kiat, kemudian menoleh ke arah Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap, dan murid-murid Hoa-san-pai pembantu Tan-piauwsu yang lain sambil berseru, "Tangkap dua orang murid murtad ini, dan kami akan turun tangan sendiri menangkap bocah dan gadis Mancu itu!"
"Serrr….serrrrr……!"
Bhok Seng-cu menggerakkan tangan kanannya, dua sinar hitam menyambar ke arah Han Han dan Lulu. Itulah hancuran kayu lengan kursi yang dicengkeramnya tadi, kini ditimpukkan dengan pengerahan sinkang sehingga merupakan senjata rahasia yang amat berbahaya, menyambar kearah dada Han Han dan Lulu yang sejak tadi hanya berdiri dengan sikap tenang di tengah ruangan itu.
Han Han mengibaskan tangannya sehingga hancuran kayu itu runtuh ke bawah, sedangkan Lulu dengan sikap lincah meloncat ke samping, mengelak sambil tertawa mengejek,
"Wah, sayang luput Tosu galak!"
Tan-piauwsu dan para sutenya, juga anak buah Pek-eng¬piauwkiok yang sudah menganggap diri mereka sebagai anak buah Hoa-san-pai, tidak berani membantah perintah itu dan mereka telah mencabut senjata masing-masing, kini telah mengurung ruangan itu!
Di luar tahunya semua orang, Kwee Twan Giap sute termuda dari Tan-piauwsu yang amat cerdik, telah memberi tanda dengan jari tangan agar Sin Kiat dan SoanLi cepat melarikan diri saja sehingga terhindar pertandingan antara murid Hoa-san-pai sendiri. Melihat ini, Sin Kiat dan Soan Li mencatat dalam hati mereka akan ikhtikad baik Kwee Twan Giap.
Akan tetapi, sebelum dua orang murid Im-yang Seng-cu ini sempat melakukan sesuatu, tiba-tiba terdengar pekik .melengking keras sekali yang membuat semua orang tertegun, bahkan banyak diantara mereka meremang bulu tengkuknya mendengar suara ini. Suara ini keluar dari mulut Han Han yang sudah meloncat ke depan sambil melengking keras, kemudian berkata.
"Majulah semua! Tosu-tosu picik, hayo majulah kalian. Kalau kekerasan yang kalian kehendaki, kekerasan yang kalian dapat!"
Lulu juga meloncat ke dekat kakaknya sambil membusungkan dadanya yang sudah membusung,
"Jangan mengeroyok Wan Sin Kiat dan Lu Soan Li, keroyoklah kami kalau kalian sudah bosan hidup!"
Akan tetapi tiba-tiba Han Han sudah menggerakkan kedua tangannya, mendorong ke kanan kiri dan terdengarlah suara hiruk-pikuk jatuhnya beberapa buah senjata pedang dan golok karena pemiliknya rebah terguling disambar hawa pukulan hebat luar biasa, yaitu yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan Han Han.
Amat mengerikan akibatnya karena empat orang itu roboh dengan lengan kanan sebatas siku gosong seperti dibakar. Masih untung bahwa Han Han menyerang mereka mengarah lengan, kalau tubuh mereka yang terkena sambaran hawa pukulan yang merupakan inti dari Hwi-yang Sin-ciang ini, pasti nyawa mereka telah melayang!
Lulu menjadi gembira, tubuhnya berkelebat ke kiri dan sebuah tendangan membuat seorang anak buah piauwkiok menjerit kesakitan, lengan tangannya patah tulangnya dan pedangnya mencelat ke atas. Tubuh Lulu meloncat dengan gerakan indah dan cepat, seperti seekor burung walet terbang dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangannya, dan la melayang turun, berdiri tersenyum-senyum menimang-nimang dan memandang pedang, sikapnya seperti seorang anak kecil mendapatkan sebuah boneka.
"Pedang yang bagus sekali!'" Ia memainkan ronnce-ronce pedang yang berwarna kuning itu dan mengelus-elus mata pedang yang tajam.
Melihat ini, Tan-piauwsu dan para sute serta anak buah mereka mau tak mau lalu maju menyerbu, bukan menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, melainkan menyerbu Han Han dan Lulu yang telah bergerak terlebih dulu.
Biarpun sampai mati dalam pertandingan, mereka ini memilih mati di tangan Han Han dan Lulu yang merupakan orang-orang lain, bahkan boleh juga dianggap musuh karena Han Han telah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai sedangkan Lulu adalah seorang gadis Mancu. Kalau mereka menyerbu Sin Kiat dan Soan Li, berarti mereka bermusuhan dengan murid-murid Hoa-san-pai sendiri dan kalau tewas berarti mati konyol!
“Han Han…..Lulu-moi…., kasihanilah mereka yang tak berdosa, jangan bunuh mereka….!" Sin Kiat berteriak dengan hati sedih dan amat terkejut menyaksikan sepak terjang Han Han.
Lulu mendengar getaran suara Sin Kiat ini dan ketika ia mengerling kepada kakaknya, ia melihat bahwa kakaknya telah diserang nafsunya yang aneh, yang kadang-kadang datang seperti ketika kakaknya ini menyiksa ular merah di Pulau Es. Ia cepat berbisik.
"Koko, jangan bunuh orang……."
Pada saat itu, Han Han memang telah kemasukan nafsu iblis yang selalu menyerangnya apabila ia mengerahkan sinkang di tubuhnya. latihan-latihan yang ia tempuh selama bertahun-tahun adalah latihan-latihan ilmu golongan hitam yang selalu menimbulkan nafsu ingin menyiksa dan membunuh.
Begitu menyaksikan sikap tiga orang tosu Hoa-san-pai, kemarahannya bangkit dan sekali ia mengerahkan sinkang, nafsu membunuh ini telah bangkit di dadanya, sepasang matanya yang amat tajam itu menjadi agak kemerahan, napasnya agak terengah dan ia merasa seolah-olah ia bukan bernapas hawa melainkan api.
Akan tetapi aneh sekali, bisikan suara Lulu itu merupakan embun dingin sejuk yang seketika dapat menekan gairahnya untuk membunuh musuh sebanyaknya, dan ia mengangguk sambil berkata lirih.
"Lulu, kau tahan mereka itu, biar aku menghadapi tiga orang tosu sombong!" ,.
Lulu tersenyum, menggerakkan tubuh ke kanan menghindarkan bacokan seorang anak buah piauwkiok, tangan kirinya menyambar tengkuk dan orang itu mengeluh dan roboh dengan mata mendelik, pingsan!
Jurus-jurus pukulan Lulu amat aneh, selain karena memang ilmu silat tangan kosong yang dilatihnya dari kitab kuno di Pulau Es memang aneh, juga ditambah dengan gerakan-gerakan yang ia ciptakan di luar kesengajaannya ketika ia berlatih dengan biruang es yang lihai sekali.
Biasanya, kalau ia memukul tengkuk biruang es dengan tangan miring, biruang itu kadang-kadang dapat mengelak atau menangkis, dan kalau terkena juga, biruang es itu hanya akan terhuyung. Siapa kira orang ini sekali kena disambar tengkuknya terus roboh pingsan!
Hebat bukan main sepak terjang Lulu. Dia kini telah meloncat dekat kakaknya menyerahkan pedang dengan sikap seperti anak kecil dan berkata,
"Aku titip dulu, Koko, jangan sampai hilang pedangkul"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat, berputaran seperti orang menari, namun cepat bukan main sehingga para anak buah Peng-eng-piauwkiok hanya melihat bayangan berkelebatan disekeliling mereka dan mencium keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Lulu dan pada detik-detik berikutnya, senjata-senjata di tangan mereka beterbangan dan orangnya pun mengaduh-aduh, ada yang patah tulang lenganya, ada yang terkilir kakinya kena tendangan, ada yang pening kepalanya dengan mata berkunang, karena ditempiling, dan ada pula yang mulas perutnya kena dicium ujung sepatu gadis itu.
Mereka seolah-olah melawan bayangan setan, membacok, dan menusuk secara ngawur karena tidak dapat melihat jelas lawannya, dan tahu-tahu dua puluh orang lebih telah kehilangan senjata dan tubuh mereka malang-melintang di ruangan itu!
"Bukan main !"
Sin Kiat berseru sambil menahan napas saking kagumnya. Dia sendiri adalah seorang ahli silat kelas tinggi, memiliki ginkang yang hebat, akan tetapi menyaksikan gerakan Lulu, ia menjadi bengong karena gerakan gadis itu seolah-olah terbang saja!
Betapa mungkin dara remaja itu memiliki ginkang setinggi itu? Siapakah gerangan gurunya? Melihat gerakannya yang jelas membayangkan ilmu dari golongan bersih, kaum putih, ia tidak percaya kalau Lulu juga murid Ma-bin Lo-mo. Kalau Han Han memang amat boleh jadi, karena gerakan dan pukulan pemuda itu mengerikan sekali, Jelas termasuk Ilmu dari kaum sesat.
Kini hanya tinggal Tan Bu Kong, Kwee Twan Giap dan dua orang sutenya yang lain saja di antara para piauwsu yang belum roboh. Mereka berempat ketika nnenyaksikan betapa semua anak buah piauwkiok roboh oleh gadis Mancu itu menjadi kaget akan tetapi juga marah.
Tanpa dikomando lagi mereka sudah mencabut senjata dan menerjang maju. Tentu saja sebagai murid-murid Hoa-san-pai yang sudah bertingkat empat atau lima ilmu silat mereka sudah hebat dan gerakan mereka ketika menyerang Lulu tak boleh disamakan dengan gerakan para anak buah Pek-eng-piauw kiok tadi.
"Pergilah……!"
Terdengar bentakan Han Han yang tidak membiarkan adiknya dikeroyok murid-murid Hoa-san-pai ini. Dia membentak dan kedua tangannya mendorong ke kanan kiri…… dan empat orang murid Hoa-san-pai itu terpental sampai empat meter ke belakang, roboh tak dapat bangkit kembali karena tulang pundak mereka remuk disambar hawa yang keluar dari kedua telapak tangan Han Han.
Untung bagi mereka bahwa Han Han masih ingat akan cegahan adiknya sehingga ia membatasi dorongannya dan hanya membuat mereka roboh pingsan dengan tulang remuk saja.
"Siancai…… pemuda iblis…….!”
Bhok Seng-cu dan Lok Seng-cu dengan gerakan tenang namun sesunggunnya cepat dan mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, meloncat turun dari kursi mereka diikuti oleh Kong Seng-cu.
Melihat tiga orang kakek tokoh Hoa-san-pai itu hendak turun tangan, diam-diam Sin Kiat dan Soan Li menjadi khawatir sekali. Mereka maklum akan kelihaian tiga orang supek mereka ini dan karena sekali ini yang turun tangan adalah tokoh tinggi yang berkepandaian hebat, maka akibatnya pun tentu mengerikan.
Mereka masih bingung dan serba salah, tidak tahu harus berbuat apa. Membantu sana salah membantu sini tak benar. Maka mereka hanya memandang bengong dan jantung mereka serasa berhenti berdetik.
"Koko, mana pedangku! Biar kau serahan Si Codet galak itu kepadaku!" kata Lulu yang agaknya tidak mengenal bahaya.
Pedang itu tadi oleh Han Han ditancapkan di atas tanah ketika ia membantu Lulu dan merobohkan empat orang murid Hoa-san-pai. Kini Lulu menyambar pedang itu dan terus dimainkan sambil mengejek ke arah Kong Seng-cu.
"Hayo, Tosu Codet, beranikah engkau melawan pedang wasiat jimat keramatku?”
Kong Seng-cu yang sudah sejak tadi diejek dan dipermainkan Lulu, memuncak kemarahannya. Ia lupa diri, lupa bahwa adalah pantangan pertama dan terutama bagi seorang ahli tapa seperti dia untuk mudah dirangsang nafsu amarah. Dengan seruan keras ia telah mencabut pedangnya dan menerjang Lulu. Sinar pedangnya yang gemilang kehijauan itu bagaikan kilat menyambar ke arah leher Lulu!
"Cring……iiihhhhh…..! Pedangmu bagus sekali, Tosu Codet! Wah, kau berikan saja pedangmu itu padaku dan aku serta kokoku akan mengampunimu. Hayo, serahkan pedangmu sebagai pengganti nyawamu!”
Lulu berteriak kaget dan memandang pedangnya yang tinggal sepotong. Ketika menangkis tadi, pedang rampasannya bertemu dengan pedang Kong Seng-cu yang bersinar kehijauan, dan sekali beradu pedang rampasannya buntung. Maka ia menjadi tertarik sekali dan wajah serta matanya berseri memandang pedang kehijauan yang dipegang Kong Seng-cu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar