FB

FB


Ads

Minggu, 07 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 033

Ia bangkit menjura kepada Tan-piauwsu yang cepat membalas. Piauwsu ini memandang kagum dan menghela napas karena selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu seorang pemuda yang demikian anehnya dan demikian kuat sinkangnya.

"Engkau juga tidak boleh terlalu disalahkan, Sie-enghiong. Andaikata engkau tidak turun tangan dan terlibat dalam urusan ini, kurasa antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai tetap saja akan terjadi pertentangan yang mungkin membawa akibat lebih parah dan lebih berlarut-larut lagi."

Sejenak keadaan menjadi sunyi, semua orang tenggelam dalam lamunan masing-masing menghadapi urusan yang amat tidak menyenangkan hati itu. Tiba-tiba terdengar suara Lulu.

"Wah, sialan benar, Koko! Kau membantu rombongan piauwsu ternyata salah tangan membunuh murid-murid Siauw-lim-pai yang tak berdosa! Kemudian kau membunuh dua orang piauwsu untuk membela kematian murid-murid Siauw-lim-pai dan ternyata yang kau bunuh itu juga tidak bersalah! Itulah kalau kau terlalu bernafsu untuk menolong orang, Koko! Sekarang semua kesalahan ditimpakan kepadamu!"

Semua orang tertegun. Dara remaja yang cantik jelita ini bicaranya amat kasar, jujur dan tanpa sungkan-sungkan lagi. Akan tetapi Sin Kiat memandang dengan mata kagum. Semenjak tadi, tiap kali ia memandang Lulu, jantungnya berdebar tidak karuan dan setiap gerak-gerik Lulu selalu menarik hatinya, bahkan ketika Lulu mencela Han Han, ia tersenyum dan di dalam hati membenarkan dara ini seribu prosen!

Memang demikianlah kalau cinta kasih telah mencengkeram hati seorang pemuda. Apa pun yang dilakukan, diucapkan dan dipikir dara yang dicintanya, selalu benar dan menarik hati! Tanpa disadarinya sendiri, sekali bertemu dengan Lulu, Wan Sin Kiat pendekar muda Hoa-san¬pai ini telah bertekuk lutut, hatinya jungkir-balik dalam cengkeraman asmara.

"Menurut pendapat saya, Saudara Sie tidaklah salah. Dia melakukan pembunuhan-pembunuhan itu dalam pertempuran dan dengan dasar hendak berbuat baik. Pembunuhan atas diri tujuh orang murid Siauw-lim-pai terjadi karena Saudara Sie mengira mereka itu perampok yang hendak mengganggu rombongan pengawal Pek-eng-piauwkiok. Kemudian, pembunuhan yang dia lakukan atas diri kedua orang Suheng kami pun didasari pendapat bahwa mereka berdua itu amat jahat terhadap orang-orang Siauw-lim-pai. Hanya sayang sekali bahwa Saudara Sie terlalu terburu nafsu, seandainya tidak terburu nafsu dan agak sabar sambil meneliti keadaan, belum tentu terjadi hal yang amat menyedihkan ini."

Ucapan yang keluar dari mulut Lu Soan Li terdengar sungguh-sungguh, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Han Han penuh simpati dan pembelaan. Hal ini terasa pula oleh Han Han sehingga ia bangkit menjura kepada nona itu sambil berkata.

"Nona Lu benar-benar amat adil dan aku mengucapkan terima kasih, juga aku harus mengakui semua kelancanganku yang telah mengakibatkan bencana ini. Biarlah akan kuhadapi semua akibatnya, bahkan aku akan menghadap Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai untuk menerima hukuman kalau perlu!"

Jawaban ini memancing keluar sinar mata yang penuh kekaguman dari pandang mata Lu Soan Li. Seperti halnya suhengnya yang sekaligus tergila-gila kepada Lulu, gadis pendekar Hoa-san-pai ini pun amat tertarik akan pribadi Han Han yang aneh dan penuh dengan sifat-sifat liar ganas namun gagah perkasa.

"Ah, engkau tidak boleh dipersalahkan, Han Han!" Tiba-tiba Wan Sin Kiat berkata. "Yang bersalah adalah Puteri Nirahai yang seperti iblis betina itu! Aku bersama Sumoi sehari tadi pergi menyelidik dan mendapat kabar bahwa dia itu adalah puteri selir Kaisar Mancu bernama Nirahai dan bahwa kini dia sedang pergi ke kota raja, agaknya untuk melaporkan hasil muslihatnya kepada Kaisar. Terkutuk benar puteri Mancu itu. Dan orang-orang Mancu memang amat jahat, penjajah laknat yang sepatutnya dibasmi dari muka Bumi ini!"

Dalam kemarahan terhadap penjajah Mancu, Sin Kiat bangkit dari kursinya. Memang semua anak murid Hoa-san-pai adalah patriot-patriot yang merasa marah melihat tanah air dijajah bangsa Mancu, sehingga menimbulkan rasa benci kepada bangsa Mancu.

Tiba-tiba semua orang, terutama sekali Sin Kiat sendiri, dikejutkan oleh bentakan Lulu yang sudah bangkit berdiri pula lalu bertolak pinggang, matanya yang lebar memancarkan kemarahan, sepasang pipinya menjadi merah sekali, mulutnya yang kecil cemberut, kepalanya bergerak-gerak sehingga rambut yang dikepang dua itu bergoyang, satu di depan dada, yang lain di belakang punggung. Manis bukan main dalam pandangan Sin Kiat, akan tetapi pada saat itu pemuda ini memandang terbelalak dengan kaget mendengar bentakan Lulu.

"Eihhh…… eihhhhh….., seenaknya saja membuka mulut, ya?!" Telunjuk tangan kirinya diangkat menuding ke arah hidung Sin Kiat, sedangkan tangan kanannya masih bertolak pinggang. "Wan Sin Kiat, apakah engkau hendak menyamakan satu bangsa manusia dengan seladang gandum saja?"

Sin Kiat terbelalak heran.
"Apa….. apa….. maksudmu, Nona….?"

Baru sekali ini selama hidupnya, pendekar muda yang biasanya lincah, ramah, tabah dan pandai bicara itu kehilangan akal dan menjadi gugup.

Lulu memandang tajam dengan sepasang matanya yang lebar dan indah sehingga Sin Kiat menjadi makin bingung dan gugup, seolah-olah menjadi seorang pesakitan yang menghadapi jaksa penuntut.

"Kalau ada beberapa batang gandum yang busuk, orang menganggap seladang gandum itu busuk. Akan tetapi kalau ada beberapa orang Mancu jahat, apakah patut kalau seluruh bangsa Mancu dianggap jahat semua? Kalau begitu, karena aku mendengar bahwa banyak bangsa Han yang menjadi pengkhianat bangsa, semua bangsa Han adalah pengkhianat, termasuk engkau! Dan aku tahu bahwa banyak sekali perampok bangsa Han, maka semua bangsa Han adalah perampok, termasuk engkau! Ada pula bangsa Han yang jahat sekali maka semua bangsa Han adalah jahat, terutama engkau! Begitukah pendapatmu?"

Muka Sin Kiat menjadi merah, kemudian pucat, dan dengan gugup ia berkata.
"Tentu saja tidak, dan…. eh, itu lain lagi…. akan tetapi…. ahhh, mengapa kau marah-marah karena aku mencela bangsa Mancu yang menjadi musuh kita, Nona?"

"Tentu saja marah! Kau mengatakan aku jahat dan patut dibasmi dari muka bumi, dan kau masih bertanya mengapa aku marah? Hayo, kau basmilah aku! Kau kira...”

Han Han hanya memandang sambil tersenyum. Rasakan kau, Sin Kiat, pikirnya dengan hati geli. Rasakan kau menghadapi adikku yang liar ini. Ketemu tanding kau!

"Eh, kapan aku mengatakan demikian, Nona? Bagaimana ini, Han Han?"

"Tak usah mencari pelindung! Dan seorang laki-laki tidak patut plin-plan, bicara mencla-mencle! Bukankah kau tadi mengatakan bahwa semua bangsa Mancu jahat dan patut dibasmi dari muka bumi ini?"

"Benar demikian, akan tetapi tidak menyangkut dirimu, Nona….”

"Kau bilang semua bangsa Mancu dan kini mengatakan tidak menyangkut diriku? Aku seorang gadis Mancu, tahukah engkau??"

“Aihhh….."

Sin Kiat terkejut sekali dan semua orang yang berada di situ pun terkejut, cepat bangkit berdiri dalam keadaan siap siaga. Kalau gadis ini seorang Mancu, berarti bahwa rahasia Pek-eng-piauwkiok sebagai anggauta pejuang menjadi bocor!

"Hayo, siapa yang menganggap aku jahat dan patut dibasmi? Maju! Aku tidak takut!!" bentak Lulu dengan mata dilebarkan dan sikap mengancam.

Lu Soan Li yang sejak tadi memperhatikan Han Han secara diam-diam dan melihat betapa pemuda rambut terurai itu tersenyum-senyum geli, dapat lebih dulu menguasai hatinya. Ia melangkah maju dan memegang pundak Lulu sambil berkata,

"Aihhh, Adik Lulu yang baik, siapa sih yang mau memusuhimu? Suheng telah salah bicara, apakah kau begini kejam untuk menekannya? Lihat, dia sudah amat menyesal dan kebingungan!"

Dengan muka merah Wan Sin Kiat lalu menjura.
"Harap Nona Sie suka memaafkan mulutku yang lancang."

Lulu cemberut dan mengerling ke arah pemuda tinggi besar itu.
"Habis, kau terlalu menghina sih….!”






Han Han tertawa lalu berkata nyaring setelah menyaksikan ketegangan membayang di wajah semua orang yang hadir,

"Tak perlu disembunyikan, memang Adikku ini adalah seorang gadis Mancu, akan tetapi sekarang telah menjadi Adikku, she Sie dan namanya tetap Lulu. Hendaknya diketahui bahwa semenjak kecil, Adikku ini hidup sebatangkara dan menderita karena Ayah Bundanya dan seluruh keluarganya dibasmi habis oleh para pejuang."

"Ahhhhh…..!" seruan ini keluar dari mulut Sin Kiat.

"Apa ah-ah-uh-uh-uh sejak tadi? Biar keluargaku dibunuh habis oleh orang Han, aku tidak begitu tolol untuk menganggap semua orang Han musuh-musuhku yang harus kubasmi habis dari muka bumi!"

Wajah Sin Kiat makin merah dan ia benar-benar terpukul. Seolah-olah dibuka matanya betapa kelirunya mendendam kepada bangsa lain hanya karena terjadi perang, karena sesungguhnya tidak semua orang dari sesuatu bangsa itu jahat semua atau baik semua.

"Aku telah mengaku salah, harap Nona maafkan dan mau hukum apa pun juga aku siap menerimanya."

Han Han tersenyum lebar.
"Lulu, dia sudah mengaku salah dan minta dihukum. Hayo, kau hukumlah dia kalau kau mau!"

Aneh sekali, digoda kakaknya begini, Lulu yang biasanya lincah dan nakal, kini hanya cemberut, kemudian melengos dengan kedua pipinya merah. Semua orang merasa lega bahwa tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, akan tetapi tetap saja masih ada rasa tegang di antara mereka setelah mendengar bahwa dara jelita itu adalah seorang gadis Mancu. Mereka semua telah menjadi korban kekejian seorang puteri Mancu, kini di situ terdapat seorang gadis Mancu, bagaimana mereka tidak akan menjadi gelisah dan tidak enak hati?

"Keadaan menyedihkan seperti yang kini timbul dalam hati Sin Kiat dan Lulu adalah akibat perang yang terkutuk!" demikian Han Han berkata setelah semua orang duduk kembali. "Perang yang hanya dicetuskan oleh beberapa gelintir orang yang berambisi, yang memperebutkan kekuasaan dan kedudukan, membakar hati semua rakyat, menimbutkan kekejaman-kekejaman, menimbulkan dendam, menimbulkan kebencian antara bangsa yang sesungguhnya adalah sesama manusia. Perang menjadikan keluargaku terbasmi orang-orang Mancu dan sebaliknya menjadikan keluarga Adikku Lulu terbasmi oleh orang-orang Han. Yang suka akan perang hanyalah mereka yang rnenginginkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di kerajaan.

Dengan dalih membela nusa bangsa, mereka ini mempergunakan kekuatan rakyat yang sebetulnya membenci perang karena perang hanya mendatangkan malapetaka bagi rakyat jelata, sebaliknya mendatangkan kemuliaan duniawi bagi para penggerak perang yang mendapat kemenangan! Rakyat Mancu ditipu oleh para pimpinan mereka, dijadikan bala tentara yang setiap saat kehilangan nyawanya. Sebaliknya, rakyat pribumi ditipu oleh pimpinan mereka, dijadikan pula tentara yang mengorbankan nyawa. Dalihnya berlainan, namun selalu yang muluk-muluk memabukkan dan membodohi rakyat, padahal semua itu hanya ditujukan kepada pamrih yang satu, yaitu kemuliaan dan kemenangan bagi para pimpinan!"

Mendengar ucapan penuh nafsu dari pemuda aneh yang rambutnya terurai kacau itu, Tan-piauwsu sendiri melongo. Ucapan itu mengandung penuh kepahitan, namun memang pada kenyataannya demikianlah. Dan pendirian seperti yang diucapkan pemuda ini bahkan menjadi pendirian pula dari banyak partai persilatan termasuk Hoa-san-pai sendiri ketika terjadi perang saudara.

Akan tetapi hanya dalam perang saudara saja para tokoh kang-ouw tidak suka mencampurkan diri, diperalat oleh mereka yang memperebutkan kedudukan dengan saling bunuh antara sebangsa sendiri!

Akan tetapi sekarang, yang menjajah negara adalah bangsa Mancu sehingga pendapat Han Han itu lebih luas lagi, tidak lagi mengenal bangsa melainkan berlaku untuk seluruh manusia sedunia! Ia maklum bahwa tentu bocah itu terpengaruh oleh kasih sayangnya terhadap adik angkatnya, gadis Mancu itu sehingga pertalian persaudaraan antara mereka melenyapkan rasa benci kepada bangsa Mancu, sungguhpun keluarganya sendiri terbasmi oleh orang-orang Manchu.

"Tepat sekali, Koko!" Lulu bersorak girang. "Aku akan senang sekali melihat para kaisar yang gendut karena banyak makan dan terlalu senang hidupnya, berikut semua pembesar-pembesar tinggi, mengadakan perang sendiri, tidak membawa-bawa rakyat jelata! Biarkan mereka itu berperang, kaisar lawan kaisar, menteri lawan menteri, dan pembesar lawan pembesar. Tentu badut-badut itu akan terkencing-kencing ketakutan menghadapi ancaman maut!"

Kembali semua orang terheran. Tidak ada yang mau membantah pendapat dua orang muda yang aneh itu karena mereka tidak ingin timbulnya satu kesalah-fahaman lagi. Bahkan Tan-piauwsu lalu membelokkan percakapan.

"Yang terpenting sekarang kita harus menghadapi kenyataan. Tak dapat disangkal lagi bahwa fihak Siauw-lim-pai tentu akan memusuhi Sie-enghiong, juga fihak pimpinan Hoa-san-pai akan salah faham terhadap Sie-enghiong. Oleh karena itu, saya harap Ji-wi suka sementara tinggal di sini menanti datangnya mereka itu. Saya yakin bahwa orang-orang Siauw-lim-pai tentu akan datang ke sini, mengingat bahwa peristiwa ini timbul dari Pek-eng-piauwkiok yang membawa dua peti jenazah. Kalau Sie-enghiong berada di sini, ada kami yang akan menjadi saksi dan yang akan menerangkan duduknya perkara sebenarnya sehingga semua fihak mengerti bahwa yang menjadi biang keladinya adalah puteri Mancu itu."

Han Han mengerutkan keningnya.
"Akan tetapi, kami tidak suka mengganggu Cu-wi sekalian. Lebih baik aku dan Adikku pergi, karena aku pun ingin sekali-kali bertemu dengan puteri Mancu yang demikian lihainya, dan tentang kemarahan fihak Siauw-lim-pai maupun pimpinan Hoa-san-pai, biarlah kami sendiri yang menanggungnya."

Wan Sin Kiat memegang tangan sahabatnya itu.
"Aih, Han Han. Mengapa kau banyak sungkan? Kita berada di antara sahabat sendiri. Aku ingin sekali bercakap-cakap denganmu. Tinggallah di sini barang sepekan. Apakah engkau sudah melupakan sahabatmu ini? Sahabat senasib sependeritaan di waktu kecil? Aku ingin mendengar semua pengalamanmu, juga ingin menceritakan pengalaman-pengalamanku. Demi persahabatan kita, kuharap kau dan Nona Sie sudi untuk tinggal beberapa hari lamanya disini."

Berat juga rasanya hati Han Han untuk menolak. Apalagi ketika Lu Soan Li merangkul Lulu dan berkata,

"Adik yang manis, kuharap kau tidak menolak undangan kami. Aku ingin sekali belajar satu dua pukulan darimu yang lihai agar bertambah pengertianku!"

"Aih, Cici. Engkau merendahkan diri. Sebagai tokoh Hoa-san-pai, agaknya aku yang harus berguru kepadamu!"

Dua orang gadis itu bersendau-gurau, keduanya sama muda remaja, sama cantik jelita. Han Han merasa kasihan kepada adiknya dan tidak tega untuk memaksanya pergi sekarang juga. Sudah terlalu lama Lulu tinggal menyendiri di pulau, terlalu lama jauh dari pergaulan mesra. Kini bertemu dengan gadis Hoa-san-pai itu, timbul kegembiraan hati Lulu dan sebaiknya kalau mereka tinggal di situ beberapa lamanya.

Juga, ia tidak dapat membantah bahwa ia merasa amat suka kepada sahabat lamanya yang kini telah menjadi seorang pemuda tampan yang gagah perkasa itu, di samping merasa suka kepada Lu Soan Li yang cantik manis, pendiam dan memiliki sifat-sifat gagah dalam gerak-geriknya.

Demikianlah, Han Han dan Lulu tinggal di Pek-eng-piauwkiok, dijamu dan diperlakukan dengan manis dan hormat oleh Tan-piauwsu dan para anah buahnya. Mereka telah melupakan rasa dendam bahwa pemuda ini telah membunuh Lie Cit San dan Ok Sun. Kini mereka maklum bahwa pemuda ini melakukan hal itu tanpa dasar membenci Hoa-san-pai.

Bahkan tadinya pemuda itu membantu Lie Cit San dan Ok Sun menghadapi orang-orang Siauw-lim-pai sehingga membunuh tujuh orang murid Siauw-lim-pai. Kemudian pemuda itu membunuh dua orang tokoh Hoa-san-pai itu hanya karena menganggap mereka ini jahat. Semua terjadi karena kesalah-fahaman, terjadi sebagai akibat daripada tipu muslihat keji yang diatur oleh Puteri Nirahai yang selain lihai juga amat cerdik itu.

Lulu benar-benar mendapatkan kegembiraan di tempat ini. Dia merupakan sahabat yang amat cocok dengan Lu Soan Li, bahkan ia bersikap manis terhadap Wan Sin Kiat. Juga Han Han merasa suka kepada Lu Soan Li yang manis budi dan pendiam. Empat orang muda ini setiap hari berkumpul, bercakap-cakap dan Han Han mendengarkan penuturan Wan Sin Kiat dengan hati tertarik.

Ternyata dari penuturan tokoh muda Hoa-san-pai itu bahwa tidak lama setelah berpisah dari Han Han, Wan Sin Kiat bertemu dengan seorang tosu aneh. Tosu ini sesungguhnya adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, akan tetapi berbeda dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang lain, tokoh ini adalah seorang tosu perantau yang selain wataknya aneh, juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi karena ilmu-ilmunya dari Hoa-san-pai mendapat kemajuan pesat setelah ia banyak merantau dan menyempurnakan ilmu-ilmunya dengan membandingkannya dengan ilmu dari lain golongan.

Tosu ini berjuluk Im-yang Seng-cu dan selain Sin Kiat, dia juga mengambil seorang murid wanita, yaitu Lu Soan Li yang hidupnya juga sudah sebatangkara, ditinggal mati keluarganya dalam sebuah bencana banjir Sungai Huang-ho.

Berkat gemblengan suhu mereka yang memiliki kesaktian melebihi tokoh-tokoh Hoa-san-pai lainnya, Sin Kiat dan Soan Li menjadi jago muda yang lihai sekali, sehingga biarpun menurut tingkat mereka itu terhiturtg masih sute dan sumoi dari Tan-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu silat, mereka jauh melampaui tingkat kepandaian sang suheng ini.

Sudah banyak mereka melakukan perbuatan-perbuatan menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjang mereka sebagai pendekar-pendekar muda yang perkasa, bahkan semenjak ada gerakan perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu, kedua orang muda ini sudah banyak berjasa.

Tentu saja ketika menceritakan pengalamannya Sin Kiat tidak menceritakan tentang perjuangan ini, khawatir kalau-kalau akan membikin hati Lulu menjadi tidak enak. Apalagi karena ia mengenal pendirian Han Han yang agaknya tidak ingin melibatkan dirinya dalam urusan perang. Ia hanya menceritakan tentang pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu, kemudian betapa bersama sumoinya dia digembleng oleh gurunya sambil merantau sampai jauh ke selatan dan ke barat.

Diceritakannya pula pertandingan-pertandingan melawan kaum penjahat dalam usaha mereka membasmi kejahatan sehingga Sin Kiat mendapat julukan Hoa-san Gi-hiap dan sumoinya dijuluki Hoa-san Kiam-li. Nama mereka terkenal di dunia kang-ouw sebagai tokoh-tokoh muda Hoa-san-pai yang mengagumkan.

Han Han dan Lulu mendengarkan dengan amat tertarik. Apalagi Lulu. Dia mendengarkan penuturan pemuda tampan tinggi besar itu seperti mendengar dongeng yang amat menarik hati. Ia seolah-olah berubah menjadi arca, pandang matanya melekat dan bergantung kepada bibir Sin Kiat yang bergerak-gerak ketika bercerita. Baru setelah selesai cerita itu, Lulu menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak lalu berkata.

"Wahhh kalian hebat sekali…! Kalian ini pendekar-pendekar muda yang amat mengagumkan….!"

Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sin Kiat, Lulu melihat betapa pandang mata pemuda itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri seolah-olah ucapan Lulu tadi mendatangkan rasa bahagia yang luar biasa. Tentu saja Lulu tidak mengerti atau dapat menduga akan isi hati Sin Kiat,hanya dia pada saat itu merasa betapa wajah pemuda ini sungguh tampan dan gagah. Entah mengapa, jantungnya berdebar dan pipinya tiba-tiba terasa panas. Untuk menghindarkan perasaan yang tidak dikenalnya ini, Lulu berpaling kepada Soan Li dan berkata,

"Enci Soan Li, engkau hebat sekali, lain waktu kau harus memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku!"

Soan Li merangkulnya dan mengerling kepada Han Han.
"Adik Lulu, engkau seperti mutiara terpendam, tidak dikenal akan tetapi dalam hal kepandaian, agaknya aku boleh berguru kepadamu!"

"Wah, Adikku dan aku ini sama sekali tidak memiliki kepandaian, mana dapat dibandingkan dengan Sin Kiat dan kau, Nona Lu?"

Han Han berkata sambil tersenyum. Gadis itu memandangnya dan sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan seolah-olah ada sesuatu yang membuat mereka sukar sekali untuk melepaskan pandang mata mereka dari pertemuan yang melekat itu.

Lulu bertepuk tangan.
"Hi-hik, dari tadi tiada hentinya kalian saling memandang saja. Ada apakah dengan Enci Soan Li, Koko? Dan mengapa kau mengerling saja kepada Kakakku, Enci Soan Li?"

"Ihhh, genit kau, Adik Lulu!" Soan Li menjadi merah sekali mukanya dan ia mencubit paha Lulu sehingga gadis ini menjerit.

Han Han juga merasa betapa mukanya menjadi panas, maka ia tertawa dan memandang,

"Lulu, kita mempunyai mata untuk memandang! Apa salahnya dipakai memandang sesuatu yang indah dan menarik?"

Ucapan Han Han yang terus terang ini membuat Soan Li menjadi makin malu dan jengah lagi. Dia sendiri diam-diam menjadi amat heran akan diri sendiri. Sudah banyak kali terjadi, ia menjadi marah-marah kalau mendengar ada laki-laki mengeluarkan ucapan-ucapan tentang dirinya, memuji-muji kecantikannya dan sebagainya. Bahkan ada laki-laki kurang ajar yang dibunuhnya hanya karena mengeluarkan ucapan-ucapan yang bermaksud kotor dan kurang ajar.

Kini, mendengar ucapan-ucapan Han Han yang memuji kecantikannya dengan blak-blakan di depan banyak orang ketika mereka diperkenalkan, kini secara terang-terangan pula dalam menjawab godaan Lulu, mengapa dia tidak marah malah menjadi….. berdebar jantungnya, berdebar karena girang?

Akan tetapi pemuda ini lain daripada laki-laki lain, dia membela perasaannya sendiri yang tidak wajar. Pemuda ini secara terang-terangan menyatakan isi hatinya, tanpa tedeng aling-aling, akan tetapi juga bersih daripada niat-niat kurang ajar, hal ini dapat dilihat dari pancaran pandang matanya yang wajar dan biasa, sinar mata kagum yang tidak ditutup-tutupi, seperti kewajaran sinar mata orang mengagumi bintang di langit atau mawar ditaman.

Sin Kiat hanya tersenyum saja melihat sumoinya digoda Lulu, kemudian ia berkata kepada Han Han,

"Han Han, sekarang tiba giliranmu untuk bercerita kepada kami. Tentu pengalamanmu amat menarik hati, terutama tentang pertemuan dengan Adikmu, dan tentang Gurumu yang tentu amat sakti, melihat akan kelihaianmu."

"Nanti dulu, Sin Kiat. Aku teringat akan ketekadan hatimu dahulu. Bukankah kau dahulu pernah menyatakan kepadaku bahwa engkau ingin menjadi seorang perwira Mancu? Kenapa sekarang engkau sebaliknya malah menjadi orang yang memusuhi perwira-perwira Mancu?"

Sin Kiat menarik napas panjang.
"Ada sebabnya memang. Ingatkah engkau dahulu betapa kau telah membelaku ketika aku dipukuli oleh bangsawan muda Ouw-yang Seng murid datuk hitam Kang-thouw-kwi itu? Nah, semenjak itu, aku berbalik haluan, apalagi setelah bertemu dengan Suhu, menerima pelajaran dan juga mendengarkan wejangan-wejangannya. Han Han, sekarang ceritakanlah kepadaku, bagaimana engkau bertemu dengan Nona Lulu?"

"Wah, aku menjadi kikuk sekali kau sebut Nona! Usiamu tentu tidak banyak selisihnya dengan Han-koko, maka aku akan menyebutmu Wan-koko dan kau pun menyebut aku Adik seperti biasa Koko menyebutku. Kalau tidak mau, aku selamanya tidak akan mau bicara dengan.mu!"

Tiba-tiba Lulu berkata kepada Sin Kiat. Pemuda ini menjadi merah mukanya dan hatinya menjadi girang bukan main.

"Baiklah, Lulu-moi, dan terima kasih atas kebaikanmu," Sin Kiat berdiri dan menjura.

"Wah, kebetulan sekali usul Lulu ini. Aku pun hendak mencontohnya dan kuminta Nona Lu Soan Li juga jangan bersungkan-sungkan lagi, mulai sekarang mau tak mau kusebut Moi-moi dan harap suka menyebut Kakak kepadaku!”

Jantung di dalam dada Soan Li berdebar. Dia merasa makin suka kepada kakak beradik yang baru dikenalnya ini. Mereka berdua itu begitu jujur, begitu polos, dan juga ia dapat menduga bahwa mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali.

"Terima kasih atas kebaikanmu, Han-twako."

"Sebetulnya tidak ada yang banyak dapat diceritakan tentang kami berdua," kata Han Han. "Engkau sudah tahu bahwa aku dahulu di waktu kecilku adalah seorang bocah jembel seperti engkau, Sin Kiat. Dan aku bertemu dengan adikku Lulu ini yang juga seorang bocah jembel setelah hidup terlunta-lunta karena keuarganya terbasmi semua. Nah, kami saling bertemu dan mengangkat saudara sampai sekarang kami menjadi kakak beradik yang tak pernah berpisahan."

"Han-twako, belehkah aku mengetahui, siapakah Suhumu yang mulia?" tiba-tiba Soan Li bertanya, mendahului suhengnya, karena ia ingin sekali mendengar siapa adanya guru dari pemuda yang amat mengagumkan hatinya ini.

Han Han dan Lulu saling berpandangan sejenak. Mereka berdua selama ini berlatih di Pulau Es, berlatih tanpa guru, hanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab dan berlatih secara ngawur. Ataukah biruang itu dapat dianggap menjadi guru mereka? Ah, tidak biruang itu hanya teman berlatih. Guru mereka adalah penghuni-penghuni Pulau Es, pemilik-pemilik istana yang meninggalkan kitab-kitab pelajaran, akan tetapi siapakah dia itu?

Han Han memiliki pikiran yang tidak lumrah, dapat berpikir cepat melebihi manusia biasa, dapat mengambil keputusan yang amat tepat dalam sedetik dua detik pemikiran saja. Ia tahu bahwa Sin Kiat dan Soan Li adalah murid-murid Hoa-san-pai yang menentang Mancu, dan dia tidak boleh sekali-kali memperlihatkan sikap bermusuh atau mengaku sebagai fihak yang bermusuhan.

Dia telah belajar ilmu dari Lauw-pangcu, kemudian mencuri ilmu dari Kang-thouw-kwi Gak Liat. Akan tetapi dua orang ini tidak boleh dia sebut-sebut, karena menyebut nama Lauw-pangcu berarti menyinggung hati Lulu, menyebut Kang-thouw-wi Gak Liat sebagai guru lebih tidak mungkin lagi karena Setan Botak itu adalah kaki tangan Mancu. Dan dia tidak suka berbohong maka ia mendapat jalan tengah yang baik.

"Guruku adalah Suhu Siangkoan Lee..."

"Ahhh….!" Sin Kiat dan Soan Li benar-benar terkejut mendengar ini. "Ma-bin Lo-mo…?”

Han Han memandang wajah Sin Kiat.
"Benar, mengapa? Apakah kau mengenal Suhu? Dia juga seorang yang amat setia kepada Kerajaan Beng-tiauw, bahkan kalau tidak salah dia bekas menteri….."

"Tentu saja kami telah mendengar namanya. Ah, Ma-bm Lo-mo, seorang di antara datuk-datuk hitam yang amat sakti. Pantas saja kau begini lihai, Han Han. Kiranya engkau murid tokoh besar itu!"

Lulu yang mendengarkan ucapan Han Han itu pun diam saja, hanya memandang dengan sinar mata nakal. Ia menganggap bahwa kakaknya ini tidak terlalu berbohong, karena memang kakaknya menjadi murid banyak orang sakti, di antaranya Ma-bn Lo-mo Siangkoan Lee yang hampir membunuhnya, bahkan yang telah berusaha membakar mereka berdua di perahu. Ia tidak mengerti mengapa kakaknya seolah-olah tidak mau bercerita terus terang bahwa mereka berdua telah belajar ilmu di Pulau Es.

Biarpun Lulu dan Han Han baru tinggal di Pek-eng-piauwkiok selama beberapa hari, namun hubungan empat orang muda ini menjadi amat akrab. Apalagi karena di situ ada Lulu yang wataknya lincah jenaka, yang nakal dan tak pernah malu-malu, jujur dan tidak mengenal palsu, sebentar saja rasa jengah yang membatasi pergaulan mereka menjadi lenyap.

Berkat kelincahan Lulu, Lu Soan Li menjadi tidak malu-malu lagi terhadap Han Han, juga Sin Kiat makin tertarik kepada gadis Mancu yang benar-benar telah menjatuhkan hatinya itu.

Sepekan kemudian, ketika Lulu sedang mengumpulkan bunga-bunga yang dipetiknya dalam taman bunga tak jauh dari gedung Pek-eng-piauwkiok, ia dikejutkan oleh suara Sin Kiat,

"Wah, Lulu-moi, setiap pagi kau tentu berada di sini memetik bunga!"

Dara jelita itu menoleh dan tersenyum. Bagi Sin Kiat, senyumnya amat manis dan hangat, sehangat matahari di pagi hari itu. Taman bunga itu menjadi makin cerah dan makin jernih bagi Sin Kiat.

"Tentu saja, Twako. Bertahun-tahun aku tidak berkesempatan melihat bunga, sekarang ada begini banyak bunga indah di sini. Dahulu aku hanya melihat bunga-bunga es melulu…."

Tiba-tiba gadis itu teringat akan larangan kakaknya untuk bercerita kepada siapa juga tentang Putau Es, maka ia terikejut dan menghentikan kata-katanya. Akan tetapi Sin Kiat telah mendengar kalimat terakhir itu dan dia mendekat.

"Bunga es? Apa maksudmu, Moi-moi?"

"Eh….. oh….. tidak apa-apa….."

Lulu yang biasanya. amat jujur polos dan tidak biasa membohong itu menjadi gagap. Ia tidak senang sekali untuk menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu, karena untuk ini, terpaksa ia harus pula membohong, padahal ketidak wajaran ini terasa amat asing dan amat sukar baginya.

Sin Kiat memandang tajam, hatinya merasa tidak enak, bahkan sakit karena ia mengerti bahwa dara yang dikaguminya ini menyembunyikan sesuatu dari padanya dan hal ini menimbulkan kesan bahwa Lulu tidak menaruh kepercayaan penuh kepadanya! Dengan nada sedih ia lalu berkata, tanpa disadarinya ia memegang kedua tangan Lulu yang penuh bunga.

"Moi-moi, mengapa engkau tidak percaya kepadaku? Ahhh, sungguh mati, aku tidak ingin memaksamu untuk membuka sesuatu yang kau rahasiakan, akan tetapi….. ah, ketidak percayaanmu ini menyakitkan hatiku, Moi-moi. Tidak tahukah engkau, tidak merasakah engkau betapa aku…… aku cinta kepadamu, Lulu?"

Lulu tersenyum dan dengan gerakan halus menarik tangannya sehingga terlepas dari genggaman jari tangan pemuda itu, yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

"Aku merasakan itu dan aku tahu, Twako. Akan tetapi, tidak kelirukah cintamu itu kau jatuhkan atas diriku? Ingat, aku seorang gadis Mancu, musuhmu!"

Sin Kiat memandang penuh keharuan.
"Moi-moi, tak dapatkah kau memaafkan kesalahan ucapanku ketika pertama kali kita bertemu? Tidak, aku tidak memusuhi seluruh bangsa Mancu, dan aku hanya akan menentang yang jahat, siapapun dia dan bangsa apa pun dia. Engkau bagiku bukan bangsa apa-apa, engkau adalah Lulu, satu-satunya gadis yang pernah dan akan menjadi pujaan hatiku, menjadi satu-satunya wanita yang kucinta!"

Tiba-tiba Lulu tertawa. Hati Sin Kiat makin sakit, mengira bahwa dara yang dicintanya ini mentertawakan pernyataan cinta kasihnya! Tidak ada hal yang lebih menyakitkan hati bagi seorang pria daripada cinta kasihnya ditertawai oleh wanita yang dicintanya.

"Hi-hi-hik, alangkah lucunya!"

"Apa yang lucu, Moi-moi? Mengapa engkau tertawa?" Sin Kiat bertanya, mukanya menjadi agak pucat.

"Habis, lucu sekali sih! Engkau dan Sumoimu keduanya telah jatuh cinta kepada aku dan Kakakku, bukankah ini lucu sekali namanya?"

Sin Kiat memandang wajah jelita itu dengan kaget.
"Apa? Sumoi mencinta Kakakmu? Ah, bagaimana engkau bisa tahu?"

"Apa sih sukarnya mengetahui itu? Aku tahu bahwa Sumoimu mencinta Han-koko dan bahwa engkau mencintaku. Mau bukti? Mari, kau ikut denganku!"

Lulu menancapkan bunga-bunga yang dipetiknya di atas tanah, kemudian ia memegang tangan Sin Kiat dan menarik pemuda itu, diajak pergi ke sebelah selatan taman bunga, di mana terdapat pondok yang bercat kuning dan disebut pondok Cahaya Matahari karena pondok ini menghadap ke timur dan setiap pagi menerima sinar matahari sepenuhnya. Memang pondok ini dipergunakan untuk mandi cahaya matahari oleh keluarga Tan-piauwsu.

Sin Kiat menjadi tegang dan juga girang. Ia merasa betapa kulit telapak tangan yang halus dan hangat menggandengnya. Akan tetapi ia pun gelisah kalau mengingat bahwa perbuatan dara ini menggandengnya terdorong oleh sifatnya yang polos dan kekanak-kanakan, bukan sekali-kali terdorong oleh cinta kasih seperti yang ia harapkan.

Setelah mereka tiba di pondok, Lulu menaruh telunjuknya di depan mulut sebagai isyarat agar pemuda itu tidak mengeluarkan suara berisik, kemudian berindap-indap ia mengajak Sin Kiat measuki pondok dari pintu belakang, terus menembus sampai ke ruangan depan pondok.

Lulu berhenti dan memandang Sin Kiat dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kemenangan. Tangan kanannya bertolak pinggang, sedangkan tangan kiri menuding ke sebelah luar di mana tampak Han Han duduk di atas anak tangga pondok itu sambil bercakap-cakap dengan Soan Li dalam suasana mesra dan ramah.

"Nah, betul tidak keteranganku? Itu mereka mengobrol dengan asyiknya! Sumoimu mencinta Kakakku dan setiap pagi mereka berdua tentu duduk dan mengobrbl mesra di situ. Semenjak semula sudah kuduga, dalam pertemuan pertama mereka sudah saling lirak-lirik, hi-hik!"

"Wah, ini sama sekali tidak boleh….!" kata Sin Kiat dengan alis dikerutkan.

"Apa kau bilang? Apanya dan mengapa tidak boleh? Jangan main-main kau, ya? Apa kau hendak menghina Kakakku? Menganggap Kakakku kurang berharga untuk Sumoimu?"

Kini Lulu menghadapi Sin Kiat dengan mata terbelalak marah, kedua tangan di pinggang, sikapnya menantang.

"Bukan…., bukan begitu, akan tetapi Sumoi….. dia…. dia telah ditunangkan oleh Suhu…. dia sudah mempunyai calon suami….."

Kini Lulu yang terbelalak kaget.
"Apa kau bilang? Dan engkau calon suaminya?"

"Bukan, bukan! Calon suaminya adalah seorang sastrawan…."

"Taihiap….! Para pimpinan Hoa-san-pai telah tiba, Taihiap diminta untuk menyambut….!"

Seruan ini keluar dari mulut seorang anak buah Pek-eng-piauwkiok yang datang berlari-lari. Ia berteriak-teriak sehingga tidak saja Sin Kiat dan Lulu yang menengok kaget dan percakapan mereka terputus, juga Han Han dan Soan Li menjadi kaget dan menengok, lalu menghampiri mereka.

Sepintas lalu Sin Kiat melihat betapa wajah sumoinya berseri-seri, agak kemerahan sehingga hatinya makin tidak enak. Dia akan merasa bahagia sekali kalau sumoinya dapat menjadi calon isteri Han Han, andaikata dia belum bertunangan. Akan tetapi sumoinya telah ditunangkan kepada orang lain! Berbeda dengan wajah Soan Li, Lulu maupun Sin Kiat melihat betapa wajah Han Han biasa saja.

Semua urusan mengenai sumoinya itu segera terhapus dari ingatan Sin Kiat karena pada saat itu ada urusan yang lebih gawat, yaitu dengan datangnya para pimpinan Hoa-san-pai yang tentu akan timbul persoalan yang amat gawat dengan Han Han.

"Han Han, tokoh-tokoh Hoa-san-pai telah tiba, sebaiknya engkau bersamaku pergi menyambut mereka agar persoalan ini lekas beres."

Han Han mengangguk, sikapnya tenang sekali, berbeda dengan Sin Kiat dan sumoinya yang mengerutkan kening dan kelihatan gelisah. Han Han sudah membunuh dua orang murid Hoa-san-pai, apa pun alasannya, tentu akan membikin hati para pimpinan Hoa-san-pai menjadi tidak puas.

Sungguhpun Sin Kiat dan Soan Li merupakan dua orang tokoh Hoa-san-pai, namun mereka tidak banyak mengenal para pimpinan Hoa-san-pai karena mereka itu digembleng oleh guru mereka, Im-yang Seng-cu, dalam perantauan dan hanya satu kali mereka disuruh guru mereka pergi menghadap ketua Hoa-san-pai di Puncak Hoa-san. Maka, hanya ketua Hoa-san-pai saja yang mereka kenal, sedangkan para susiok (paman guru) lainnya, mereka tidak kenal.

Ketika empat orang muda itu tiba di ruangan dalam yang lebar, di situ Tan-piauwsu dan para sutenya telah menghadap tiga orang tosu tua dengan sikap hormat. Sin Kiat dan Soan Li sebagai murid-murid Hoa-san-pai, cepat melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang tosu itu yang duduk berjajar diatas bangku-bangku kehormatan.

"Suhu dan Ji-wi Supek (Dua Uwa Guru), ini adalah Sute Wan Sin Kiat dan Sumoi Lu Soan Li." Tan-piauwsu memperkenalkan dua orang muda itu.

“Hemmm….!” Tosu yang berjenggot pendek, guru Tan Bu Kong, mengangguk-angguk dan berkata, "Agaknya kalian inikah murid-murid Sute Im-yang Seng-cu?"

"Tidak salah dugaan Sam-wi Supek. Teecu berdua adalah murid-murid Suhu Im-yang Seng-cu. Teecu berdua menghaturkan hormat kepada Sam-wi Supek," kata Sin Kiat sambil memberi hormat, yang dicontoh oleh Soan Li.

"Bagus! Kalian tidak mengecewakan menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Pinto telah mendengar akan sepak-terjang kalian di dunia kang-ouw," kata tosu ke dua yang lebih tua dan yang didahinya terdapat cacad bekas luka memanjang. "Duduklah baik-baik di bangku di pinggir sana."

Tosu ini menunjuk bangku-bangku dengan sikap tidak begitu mengacuhkan. Betapapun juga, dua orang muda ini hanyalah murid-murid keponakan mereka, dan mereka bertiga datang untuk membereskan urusan yang amat gawat.

Dengan sikap hormat, Sin Kiat dan Soan Li duduk di atas bangku-bangku yang ditunjuk oleh tosu codet (luka di dahi) itu, dan diam-diam Han Han, terutama sekali Lulu, merasa tidak puas menyaksikan sikap angkuh Si Tosu terhadap sahabat-sahabat baik mereka. Akan tetapi mereka tidak peduli dan hanya berdiri di pinggiran, tidak jauh dari tempat duduk dua orang sahabat mereka itu.

Tiga orang tosu tua yang melihat Han Han dan Lulu, tidak mengacuhkannya pula karena mereka ini mengira bahwa Han Han dan Lulu tentulah orang-orang muda tak berarti, anggauta keluarga atau pembantu-pembantu di Pek-eng-piauwkiok.

Tiga orang tosu Hoa-san-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tiga, karena mereka ini adalah murid-murid langsung dari ketua Hoa-san-pai, yaitu yang bernama Thian Cu Cinjin, seorang tosu yang amat sakti dan sudah berusia tinggi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar